Selasa, 24 November 2009

Terbentuknya Kampung, dan Modernisasi Surabaya abad 13? (bagian IV)

oleh Autar Abdillah

Aji Setiawan berpendapat bahwa ”Sejak zaman pra-Islam, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak”. Aji Setiawan selanjutnya menjelaskan bahwa:
”pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya”.
Hubungan Surabaya dengan Jawa Barat dalam perdagangan sejak abad ke 4 maupun penyebaran Islam abad 12 M hingga 16 M, juga terlihat dengan berdirinya pesantren Sidogiri di Pasuruan. Website Sidogiri.com , menjelaskan
”Adalah seorang pemuda perantau dari Cirebon, Jawa Barat yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sidogiri, ketika masih berupa hutan belantara, 1715 M. Pemuda itu bernama Sulaiman, putra pertama pasangan Sayyid Abdurrahman bin Umar ba Syaiban dan Syarifah Khadijah binti Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Konon, selama 40 hari Mbah Sayyid (nama akrab Sayyid Sulaiman) berperang melawan jin dan para dedemit. Ditemani salah seorang santrinya, Aminulloh, asal pulau Bawean, beliau akhirnya sukses mendirikan sebuah pesantren kecil yang diberi nama Sidogiri” .
Setelah abad ke 10 –seiring dengan muntahan lahar dingin gunung Kelud yang berakibat pada meluasnya daratan di Surabaya, merupakan awal terbentuknya kampung-kampung yang di huni oleh berbagai etnik yang masuk ke Surabaya. Terbentuknya kampung-kampung Surabaya ini sekaligus merupakan awal ”modernisasi” kota Surabaya. Dalam peta Gereconstueerde Schetkaart van Het Slagveld van de Opstand in Surabaja 1270, tertulis de voormalige geprojceteerd op de Kaart van Modern Surabaja. Peta ini menunjukkan bahwa pusat kota Surabaya bergeser ke Timur dan Utara, dan kampung Surabayan sekarang menjadi jangkar untuk menjadikan Tunjungan sebagai pusat kota. Daerah yang sebelumnya menjadi rawa dan persawahan, dijadikan pemukiman penduduk dan pusat pemerintahan yang baru. Namun demikian, karakter kampung Surabaya tak bisa dilepaskan dari kondisi alam dan tatanan daerah sebelumnya. Pembentukan daerah baru hanya menggeser pola kehidupan sosial yang menimbulkan eskalasi pada tingkat interaksi sosial.
Kampung Surabaya pada awalnya adalah merupakan kampung para pejuang yang terdiri dari para prajurit dan pedagang serta mereka yang tersingkir dari daerah asalnya, seperti bangsa Arab, India dan Tionghoa (Cina). Kemudian dilanjutkan dengan para pendakwah agama dan para pencari lahan untuk menyambung kehidupan. Johan Silas (”Perjalanan Panjang Perumahan Indonesia dalam dan sekitar abad XX”, 2005. Dalam Freek Colombijn, dkk (ed.), 2005: 5), mencatat bahwa ”… kota-kota yang ada kini, pada dasarnya adalah desa agraris yang mengalami aglomerasi, yaitu proses pemadatan (intensifikasi) dan perluasan (ekstensifikasi) yang menggerombol. Desa yang memadat dan hanya bisa sedikit membesar kini dikenal sebagai kampung kota”. Johan Silas juga menyebutkan bahwa terdapat tiga pola pembentukan kampung, yakni
”Ada kampung yang dibentuk secara formal untuk kelompok etnis tertentu, misalnya kampung Bali, Arab, Melayu, Pecinan dan sebagainya. Ada yang merupakan pemukiman pengrajin atau pekerja seperti pada kota Jawa, misalnya Plampitan, Pandean, Jagalan, dan sebagainya. Ada pula "kampung" yang khusus disediakan bagi pejabat kraton, seperti Tumenggungan, Mas-Pati(h), Ke-Rangga-an, Prabuan, dan sebagainya (Ini semua ada di kota Surabaya dan pernah ditulis dalam berbagai penerbitan) ”.
Surabaya sebagai salah satu kota yang berpola mandala di Jawa, maka profesi penghuninya pun diletakkan pada arah tertentu. Johan Silas menyebutkan bahwa ”Kelompok etnis yang dianggap tamu atau pendatang di utara kraton. Para pengrajin dan pekerja di timur, sedangkan para pejabat ”negara” di barat; keluarga dan para abdi kraton di sebelah selatan kraton. Kini kawasan perumahan ini menjadi kampung, dan profesi penghuni sebelum ”disimpan” pada nama kampung”
Orang kampung dalam konteks sosial kontemporer selalu berkonotasi terbelakang, ndeso, kampungan dan udik. Hal ini bertolak dari kenyataan bahwa orang kampung sering terisolasi dari perkembangan modern atau bahkan sebagian menolak atau mengisolasi diri terhadap kehadiran peradaban modern. Orang kampung juga selalu diperbandingkan dengan orang kota, atau orang yang berpendidikan lebih tinggi maupun mereka yang secara sosial dan ekonomi lebih kaya. Orang kota juga dianggap lebih maju atau memiliki peradaban yang ”lebih maju”, dan kondusif bagi kehadiran peradaban modern.
Bagi warga kampung Surabaya, diantaranya Sabrot Dodong Malioboro (62 tahun), menjadi orang kampung merupakan suatu kebanggaan. Hal yang sama juga dinyatakan Kadaruslan (76 tahun) . Kadaruslan menegaskan bahwa "saya ini berasal dari orang kampung, dan arek Suroboyo itu ya orang kampung, tapi bukan kampungan". Orang kampung bagi Sabrot berbeda dengan orang pentholan (orang kaya maupun kaum ningrat atau ndoro). Sabrot mengilustrasikan orang kampung sebagai berikut:
Orang kampung itu berpikir sederhana aja. Orang tua kami dahulu mengajarkan bagaimana supaya cepat dapat uang. Sehingga tidak perlu sekolah atau mendapatkan pekerjaan dengan harus melamar terlebih dahulu. Untuk mendapatkan keahlian, cukup dengan otodidak. Sehingga, sekolah itu tidak menjadi penting. Di samping itu, orang kampung hidupnya bersahaja, saling menolong, dan religius.
Religiusitas orang kampung ditandai oleh adanya psantren-pesantren dan yang tertua dikenal di daerah Sidosermo. Pesantren ini menjadi salah satu bagian penting bagi pendidikan dan penyebaran agama Islam. Di samping agama Islam, juga berkembang pesat agama-agama yang datang dari para pendatang Cina dengan berdirinya Klenteng. Sedangkan agama Kristen dan Protestan juga turut memberikan citra religius bagi masyarakat Surabaya. Keberadaan agama-agama di Surabaya secara relatif berlangsung damai, dan bahkan cnderung saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Masyarakat Surabaya tidak mempertentangkan keberadaan masing-masing agama.
Eddy Samson (74 tahun) menegaskan orang kampung itu terbuka atau apa adanya. ”Bila datang tamu pada jam makan, ya di ajak makan. Kalau ada tempe ya makan tempe”. Cara warga Surabaya menghormati tamunya terlihat dari keramah-tamahan, keakraban yang sangat intim, meskipun tamu yang datang baru saja dikenalnya. Tidak terdapat kekakuan maupun kebingungan sebagaimana banyak ditemukan bila seseorang menerima tamu yang baru dikenalnya. Bahkan, semangat intim atau akrab ini ditunjukkan warga Surabaya bila berada di luar Surabaya. Misalnya, bila mereka berada di Jakarta, dan salah seorang mendengar kata Surabaya atau adanya seseorang yang berasal dari Surabaya, maka akan ditanyakan, ”arek kampung endi cak? ” (anak kampung mana?). Bagi Eddy Samson , Orang kampung itu terbentuk dari pemisahan (segregasi) yang dilakukan kolonial Belanda.
Di bawah ketentuan undang-undang ”Wijkenstelsel” , pada 1843 kota lama di bagi menjadi dua wilayah: pemukiman orang Eropa di sisi Barat Jembatan Merah , dan orang Timur Asing di sisi Timur yang terdiri dari Pribumi, Arab dan Tionghoa (Cina) . Berbeda dengan Timoticin Kwanda, Khomarul Ainiyah (2005: 1) meyakini bahwa ”Pembagian kawasan pemukiman berdasarkan etnik dan ras di kota Surabaya merupakan akibat pemberlakuan Exhorbiante Rechten” . Sedangkan yang menjadi dasar bagi pembagian kota Surabaya adalah Regerings Reglement 1854, yakni peraturan tentang pelapisan sosial, membagi masyarakat Surabaya menjadi 3 lapisan. Pertama, golongan Eropa dan Belanda; Kedua, golongan Timur Asing, seperti Cina, India dan Arab; Ketiga, golongan pribumi (Khomarul Ainiyah, 2005: 1-2). Soetandyo Wignjosoebroto , menyatakan Regerings Reglement 1854 merupakan konstitusi Hindia Belanda. Berdasarkan aturan ini, raja adalah penguasa tertinggi atas seluruh daerah koloninya. Pelaksanaan pemerintahan umum ini dilakukan oleh Gubernur Jenderal. Oleh karena itu, wajib bagi semua yang berada di Hindia Belanda menghormati dan menaatinya.
Segregasi kolonial Belanda mengakibatkan terjadinya pembauran etnik –terutama di luar etnik Arab dan Cina. Etnik-etnik tersebut diantaranya berasal dari Sumatera seperti Minang, dari Jawa Tengah seperti Solo, dan juga dari Ambon, serta beberapa etnik dari Jawa Timur sendiri seperti Madura, Jombang, Malang, Sidoarjo, Blitar, Malang, Mojokerto dan Kediri. Aminuddin Kasdi justru berpandangan bahwa ”Hampir semua etnis di Indonesia bermukim di Surabaya. Jumlah yang paling besar adalah komunitas etnik Jawa, Minahasa, Madura dan Arab. Oleh karena faktor heterogenitas demografis itu, Surabaya kemudian juga dikenal sebagai mininya Indonesia atau Indonesia in small” .
Eddy Samson meyakini bahwa komunitas Arab dan Cina lebih tertutup dibandingkan dengan etnik lainnya, dan kedua etnik itu berprofesi sebagai pedagang. Orang Arab diidentifikasi sebagai pedagang minyak wangi, dan orang Cina berdagang kelontong atau kebutuhan sehari-hari hingga barang bangunan seperti tekel. Orang Cina juga dikenal memiliki sejumlah usaha besar, seperti pengusaha pabrik gula. Bagi kolonial Belanda, orang Cina di anggap lebih mampu melayani kebutuhan usaha dagang kolonial Belanda, sehingga mereka sering diberikan wilayah dan mendapat gelar ”Kapten”. Hal yang sama juga didapatkan orang Arab meskipun tidak terlalu besar. Kedua komunitas ini lebih dahulu menempati wilayah Surabaya lama atau Surabaya bawah. Sebuah wilayah baru pasca meluasnya wilayah daratan di Surabaya.
(bersambung)

Senin, 09 November 2009

Kepahlawanan dan Arek Suroboyo

Oleh Autar Abdillah

Hari pahlawan yang diperingati setiap 10 November selalu diidentikkan dengan perjuangan Arek Suroboyo. Bagaimana Arek Suroboyo begitu heorik menghadapi peperangan itu? Sudah banyak artikel yang menulis heorisme Arek Suroboyo dalam melahirkan hari pahlawan 10 November. Tulisan ini hendak menoleh ke belakang, untuk menunjukkan bahwa herorisme itu merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang atau lebih tepat disebut penderitaan yang tiada henti dari Arek Suroboyo.

Arek Suroboyo tidak berjuang mati-matian pada periode 1945. Tapi, jauh sebelum itu, arek Suroboyo telah membangun perisai dan senjata yang amat kuat dibandingkan masyarakat lainnya di Indonesia. Seperti dilukiskan Sugiyarto (”Pengaruh Alam Terhadap Kehidupan Sepanjang Sungai Brantas”, dalam Wiwik Hidayat, 1975: 43): “Letusan gunung berapi, hujan lebat dan angin besar yang seringkali memberikan tantangan kepada penghuni sepanjang kali Brantas, di jawab olehnya dengan tindakan-tindakan setimpal, dengan pikiran-pikiran yang mendalam dan matang guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh alam. Tantangan-tantangan ini merupakan gemblengan bagi nenek moyang kita, mereka tidak melarikan diri dari kesulitan-kesulitan itu, tapi berusaha keras untuk menundukkan dan mengatasinya. Maka timbullah kebudayaan yang berkembang dengan pesat akibat tantangan-tantangan ini. Mental dan fisik digembleng, menimbulkan renungan-renungan yang kemudian menjiwai tata kehidupannya, dan mendasari kehidupannya sebagai bangsa yang militant … Ujunggaluh menjadi tempat penting dan kemudian menyebabkan lahirnya Surabaya sebagai tempat yang ditakdirkan selalu harus ”Wani ing Pakewuh”, berani menghadapi kesukaran”.
Gambaran Sugiyarto ini ditambahkan oleh GH. Von Faber (1953), bahwa arek Suroboyo (sebutan dari penulis) harus mendisiplinkan diri pada kekuasaan Hindu Jawa. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran, maka ditempatkan di suatu pulau (sekarang sekitar Wonokromo dan Bungkul, bernama De Strafcolonie Domas). Pada kejahatan tingkat pertama ditempatkan di sebuah pulau kecil yang dapat tenggelam sewaktu-waktu. Secara bertahap dilakukan pendidikan yang berakhir di “Leertud-kampong”. Surabaya pada periode ini (abad 4-9 Masehi) masih terdiri dari puluhan pulau.

Invasi Mataram
Kerajaan Mataram melakukan penyerangan terhadap Surabaya pada 1625 M. Raja Mataram bernama Sultan Agung pernah bertahun-tahun mencoba menundukkan Surabaya, agar dengan demikian dapat mengklaim dirinya sebagai raja untuk seluruh Jawa (Wiwik Hidayat, 1975: 87). Wiwik Hidayat menyatakan bahwa ”memang Surabaya dan muara Brantas itu mempunyai kedudukan kunci, dan telah menjadi demikian karena kondisi geografis, karena Brantas, karena musim dan iklim...”. Wiwik Hidayat memberikan ilustrasi pertempuran dalam upaya kerajaan Mataram untuk menguasai Surabaya melalui pengamatan seorang Eropa (tidak disebutkan namanya) pada 1622 M, yakni ”Saya berada di Surabaya. Dari tempat ini 30.000 orang-orang bersenjata berangkat untuk menghadapi serangan Kaisar Jawa dari Mataram, yang mengepung kota tersebut. Demikian pun kita tidak melihat bahwa penduduk Surabaya berkurang, kecuali bahwa tampaknya lebih banyak wanita yang kelihatan” (Wiwik Hidayat, 1975: 87).
Wiwik Hidayat (1975: 87) mengatakan bahwa ”laporan lain menyatakan tentang peristiwa yang sama bahwa 30.000 orang Surabaya yang dihadapkan kepada 70.000 tentara Mataram telah berhasil mencegah penyerbuan-penyerbuan itu untuk melintasi sebuah kali. Sekalipun akhirnya di tahun 1625 Surabaya jatuh, tetapi perlawanannya gagah perkasa”. Penyerangan Mataram ini memiliki arti penting dan memiliki dampak yang sangat luas.
Arti penting penyerangan Mataram dapat dibagi dalam tiga aspek. Pertama, Mataram ingin mengukuhkan dirinya sebagai penguasa tanah Jawa. Kedua, Mataram ingin menyebarkan pengaruh kerajaannya pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Ketiga, Mataram ingin membangun dinasti yang besar agar dapat meraup berbagai keuntungan dari segi ekonomi, politik dan kebudayaan. Ketiga aspek ini berdampak sangat luas dan mendapat tantangan serta melalui pertarungan yang sangat kuat. Di satu sisi, Mataram sudah menjadi kerajaan yang mapan dengan pasukan yang sudah terlatih, di sisi lain wilayah yang hendak dikuasainya merupakan daerah-daerah bentukan berbagai kelompok kekuasaan.

Titik Kulminasi
Perebutan wilayah Surabaya oleh banyak pihak bukan tanpa alasan. Surabaya memiliki potensi jaringan transportasi yang sangat strategis dengan didukung oleh unsur-unsur sarana dan hembusan angin, turut membantu kapal-kapal layar untuk berlabuh. Dengan demikian, sumber-sumber alam di wilayah sekitarnya dapat didistribusikan dengan cepat dan mudah. Moordati menyatakan bahwa ”... Surabaya memiliki keistimewaan tersendiri sebagai sebuah kota pelabuhan modern, perdagangan maupun industri terbesar sepanjang abad XIX” (2005: 302). Surabaya tidak tertandingi oleh kota-kota pelabuhan manapun seperti Calcutta, Rangoon, Singapore, Bangkok, Hongkong dan Shanghai (Howard Dick, 2000: xvii; Moordiati, 2005: 302).
Moordati (2005: 302) juga menyatakan bahwa ”Kelangkaan akan bahan pangan semakin mulai terlihat saat pendudukan Jepang. Di Surabaya, terhitung mulai 3 Mei 1942, kehidupan yang semula normal mulai terhenti, termasuk bahan makanan pokok dan uang” (Frederick, 1988: 124-125; Zoetmulder, 1942). Situasi sulit ini ikut memicu kekacauan dan mendorong arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan terhadap Jepang dan sisa kolonial Belanda yang masih memiliki keinginan untuk menguasai daerah jajahannya. Perlawanan Arek Suroboyo tumbuh secara gradual dan menemukan titik kulminasinya pada 10 November.

Kepahlawanan Arek
Namun demikian, komunitas dan orang kampung Surabaya tidak bisa dilepaskan dari kondisi ketertindasan yang berlangsung berabad-abad (Autar Abdillah, 115: 2007). Politik diskriminasi rasial (apartheid) Hindia Belanda maupun kekejaman Jepang merupakan bukti nyata ketertindasan yang dialami komunitas dan orang kampung Surabaya. Ketegaran komunitas dan orang kampung Surabaya melahirkan semangat kebersamaan. Kata arek-arek merupakan idiom pemersatu dalam membangun semangat kebersamaan, terutama secara sosial.
Makanya, tidak mengherankan jika warga Surabaya lebih memosisikan Arek Suroboyo sebagai pahlawan, ketimbang orang per orang. Karena, Arek Suroboyo mewujud dalam kebersamaan dan menjadi satu kesatuan dalam menjalani proses perjuangan melawan seluruh kekuatan dan tantangan hidup yang terjadi.

(Autar Abdillah, staf pengajar jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, mahasiswa program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya)