Sabtu, 09 Mei 2009

Hegemoni Mataram terhadap Budaya Arek Suroboyo, sebuah pendahuluan

Mataram pada awalnya adalah hutan belantara yang tidak memiliki sumberdaya apapun. Mataram –bersama dengan wilayah Pati, merupakan sebuah wilayah yang dijanjikan Sultan Pajang untuk bisa dimiliki dan dikuasai apabila seseorang mampu menaklukkan Arya Panangsang. Sayembara untuk menaklukkan Arya Panangsang semula dimenangkan oleh Raden Ngabehi Loring Pasar. Namun demikian, karena usia Raden Ngabehi Loring Pasar masih kecil, maka pembunuh Arya Panangsang disepakati adalah Ki Pemanahan dan Ki Penjawi (Purwadi, 2008: 18)
Penyerahan kekuasaan kepada Ki Pemanahan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sultan Pajang khawatir karena ”...mendengar ramalan Sunan Giri, kalau Mataram kelak akan ada raja yang bertahta sebesar saya...”. Upaya untuk menghindari pemberontakan dan penaklukan oleh penguasa Mataram, maka dilakukan janji setia terhadap Pajang disaksikan Sunan Kalijaga. Akhirnya Ki Pemanahan dan Ki Karanglo berangat ke Mataram, lalu mulai menata perumahan pada 1532[1] (Purwadi, 2008: 25).
Kepercayaan bahwa Mataram akan menjadi sebuah kerajaan besar juga diyakini atau dimitoskan melalui seorang bernama Ki Ageng Giring. Sebuah kelapa muda berujar, ”Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang minum air degan ini sampai habis, seketurunannya akan menjadi raja besar, memangku tanah Jawa semua” (Purwadi, 2008: 25). Dikisahkan bahwa akhirnya air degan atau kelapa muda itu di minum Ki Ngabehi Loring Pasar.
Ketegangan kekuasan yang menghegemoni dari Mataram mulai mengalami ketegangan. Penguasa-penguasa baru, baik bentukan Panembahan Senopati Mataram maupun atas situasi lokal yang ada di berbagai daerah di Jawa Timur, seperti Kediri, Pasuruan, Malang, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Madura, Lasem, Tuban maupun Lamongan mulai mengusik hegemoni Mataram. Panembahan Senopati Mataram berkata, ”Aku mendengar wirayat, kalau Mataram ini besok akan dirusak orang Bang Wetan, orang Mataram akan kalah perang...” (Purwadi, 2008: 75).
Mataram terus memperkuat diri yang memperluas hegemoninya hingga Jawa Barat dan Jakarta. Berbagai kecenderungan hegemonik Mataram menunjukkan bahwa Mataram bukan sekedar menguasai wilayah geografis, tetapi menularkan ajaran-ajaran (bersifat ideologis), kebudayaan, moral maupun tatakrama sosial yang dimiliki Mataram.
Mataram juga menyebarkan turunannya di berbagai sektor kepemimpnan. Salah satu contohnya adalah kehadiran "kaum pentholan" (Kulonan) ini juga mempertegas posisi Arek Suroboyo sebagai komunitas kampung. Mataram berhasil menaklukkan Surabaya pada 1625 Masehi[2], setelah 30.000 orang Surabaya yang dihadapkan kepada 70.000 tentara Mataram. Disinilah awal hegemoni kerajaan Mataram dengan segala konsekuensi budayanya dimulai (Autar Abdillah, 2007b)Hegemoni Mataram yang mampu menciptakan tatanan baru khas Mataram belum banyak diteliti, tetapi cukup banyak menjadi catatan dalam berbagai pertemuan ilmiah. Salah contoh adalah adanya alun-alun yang mencirikan Mataram. Namun demikian, seberapa besar dan bagaimana hegemoni Mataram tersebut sampai memberikan dampak pada suatu budaya, seperti budaya Arek belum ditemukan. Inilah yang menjadi alasan peneliti untuk mengungkapkan bagaimana hegemoni Mataram terhadap budaya Arek.
Teori Hegemoni Gramsci: http://utchanovsky.com/2008/08/teori-hegemoni/
(diakses 10 Desember 2008, 17:42) menyebutkan bahwa
"Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang didalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat, baik secara institusional maupun perseorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral".
Selanjutnya Gramsci menegaskan bahwa ”Hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini, penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai”.
Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat kelas bawah atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa.
Adapun mekanisme penguasaan masyarakat dominan adalah
Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah, sehingga tanpa disadari mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah, serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.
Sedangkan John Storey menjelaskan konsep Hegemoni yang mengacu pada proses:
"...sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur, namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan "kepemimpinan" moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar, dimana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada".
Sutan Takdir Alisjahbana (1986: 205) berpendapat bahwa kata Kebudayaan berasal dari kata kultur yang dalam kata Latin adalah cultura (kata kerjanya, colo, colore), dan artinya memelihara atau mengerjakan, mengolah. Pengertian ini berkembang menjelang abad 18 melalui karangan Herder tentang sejarah semesta, Ideen zur Geschichte der Menscheit, dan terutama karangan Klem berjudul Allgemeine Culturgesschichte der Menscheit. Sutan Takdir Alisjahbana selanjutnya menegaskan bahwa ”dalam analisa kedua tokoh ini, perkataan kultur atau kebudayaan dalam arti yang modern mendapat arti tingkat kemajuan, yaitu tingkat pengerjaan atau pengolahan yang dicapai manusia pada suatu ketika dalam perjalanan sejarah”. Hegemoni Mataram terhadap budaya Arek dalam penelitian ini dilihat dari kemajuan yang dicapai dari upaya membangun hegemoni berdasarkan tingkat pengerjaan atau pengolahan yang dicapai manusia atau komunitas budayanya pada suatu ketika atau dalam periode tertentu dalam perjalanan sejarah.
Lebih jauh Alisjahbana menyebutkan bahwa terdapat 7 (tujuh) penggolongan definisi kebudayaan, yakni
pertama menekankan kenyataan, bahwa kebudayaan itu adalah suatu keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kedua, menekankan sejarah kebudayaan, yang memandang kebudayaan sebagai warisan sosial atau tradisi. Ketiga, menekankan segi kebudayaan yang normatif, yakni kebudayaan sebagai cara, aturan dan jalan hidup manusia. Di sini juga ditekankan cita-cita, nilai-nilai dan kelakukan. Keempat, pendekatan secara Psikologi, kebudayaan sebagai penyesuaian manusia kepada sekitarnya. Dalam hal ini, Summer dan Keller yang menekankan penyesuaian manusia pada keadaan dan syarat-syarat hidupnya. Sedangkan Kroeber dan Kluckhohn menekankan usaha belajar dan pembiasaan serta definisi yang bersifat psikologi murni yang dirumuskan dalam istilah psiko-analisis dan psikologi sosial. Kelima, menekankan hal-hal yang bersifat struktur yang membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan. Keenam, kebudayaan dipahami sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan manusia. Grover merumuskan kebudayaan sebagai hasil pergaulan atau perkumpulan manusia. Dalam hal ini juga ditekankan pikiran-pikiran dan lambang-lambang. Ketujuh merupakan definisi-definisi yang tidak lengkap dan tidak bersistem (1986: 207).
Alisjahbana maupun Koentjaraningrat mengakui bahwa banyak sekali definisi-definisi kebudayaan yang mengacu pada suatu disiplin ilmu tertentu, bukan saja antropologi, tetapi juga sosiologi, filsafat, sejarah maupun kesusasteraan. A.L. Kroeber dan C. Kluchhohn pernah mengumpulkan sebanyak mungkin definisi kebudayaan, dan tercatat paling sedikit terdapat 160 buah definisi dalam bukunya berjudul Culture, A Critical Review of Concepts and Defenitions (Cambridge, Mass: 1952). Berdasarkan ilmu Antropologi, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (1990: 180).
Di sisi lain, kebudayaan –culture, dalam kata Sanskerta adalah buddhayah, dalam bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal, atau daya dari budi (Koentjaraningrat, 1990: 180). Zoetmulder juga melihat kodrat manusia dengan akal budinya merupakan titik tolak kebudayaan (1951: 14; dalam Soerjanto Poespowardojo, 1993: 218).
Selanjutnya, Soerjanto Poespowardojo (1993: 227-228) dalam memaknai kebudayaan menegaskan bahwa:
Kebudayaan adalah identitas suatu bangsa. Dengan demikian, jelaslah bahwa kebudayaan bukan sekedar pakaian, melainkan hidup yang memolakan setiap sikap dan perbuatan berdasarkan nilai yang dihayati. Kebudayaan di satu pihak adalah ciptaan pribadi-pribadi manusia, namun juga merupakan ciptaan seluruh masyarakat, karena seseorang tidak mungkin menciptakan karya budayanya tanpa pengaruh dan pembentukan dari masyarakat, di mana dia dibesarkan. Maka, kebudayaan adalah keseluruhan warisan yang dilanjutkan dari generasi yang satu ke generasi seterusnya.
Stephen K. Sanderson (2003: 44) tidak melihat kebudayaan sebagai pewarisan secara biologis, tetapi ”kebudayaan sebagai keseluruhan karakteristik para anggota sebuah masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, dan cara berpikir dan cara bertindak yang telah terpolakan, yang dipelajari dan disebarkan serta bukan merupakan hasil dari pewarisan biologis”. Sanderson membagi empat karakteristik utama kebudayaan
pertama, kebudayaan mendasarkan diri pada simbol. Simbol sangat esensial bagi kebudayaan, karena ia merupakan mekanisme yang diperlukan untuk menyimpan dan mentransmisikan sejumlah besar informasi yang membentuk kebudayaan. Kedua, kebudayaan itu dipelajari dan tidak tergantung kepada pewarisan biologis dalam transmisinya. Ketiga, kebudayaan adalah sistem yang dipikul bersama oleh anggota suatu masyarakat, yakni, ia merupakan representasi dari para anggota masyarakat yang dipandang secara kolektif daripada individual. Keempat, kebudayaan cenderung terintegrasi (2003: 44).
Dalam perspektif yang lebih bersifat sosiologis, Haralambos dan Holborn (2000: 884) menempatkan istilah ”budaya” (culture) sebagai ”keseluruhan cara hidup (way of life) dalam suatu masyarakat tertentu”. Yang juga tersirat adalah bahwa budaya itu ”dipelajari” (learned) dan ”dibagi” atau dipakai bersama (shared) oleh para anggota suatu masyarakat. Namun demikian, harus diakui bahwa budaya merupakan suatu konsep yang sangat rumit. Dalam bukunya Keywords, Raymond Williams, seorang teoris budaya terkemuka, menyatakan bahwa ”Culture is one of the two or three complicated words in the English language” (Williams, 1976; dalam Haralambos dan Holborn, 2000: 884).
Lebih jauh, Haralambos dan Holborn (2000: 884) menegaskan bahwa meskipun dipergunakan dalam berbagai cara (dalam kajian ilmiah maupun kehidupan sehari-hari), konsep ini, secara implisit maupun eksplisit, memperhadap-hadapkan ”budaya” dan ”alam” (nature). Semua hal atau sesuatu yang dihasilkan atau dilakukan oleh manusia adalah budaya, sedangkan benda-benda yang hadir atau timbul tanpa intervensi manusia adalah bagian dari dunia alamiah. Christopher Jencks memerikan budaya dalam pengertian ini sebagai ”all which is symbolic: the learned ... aspects of human society” (Jencks, 1993; dalam Haralambos dan Holborn, 2000: 884).
Jencks, lebih lanjut, membedakan pemakaian istilah ”budaya” dalam 4 pengertian utama (Haralambos dan Holborn, 2000: 884):
a. Budaya kerap dipandang sebagai suatu 'state of mind'. Orang dikatakan ”berbudaya” (cultured) jika mereka bergerak ke arah ”the idea of perfection, a goal or an aspiration of individual human achievement or emancipation”. Dalam perspektif ini, budaya dilihat sebagai suatu kualitas yang dimiliki individu-individu yang mampu memperoleh pembelajaran dan meraih kualitas yang dihayati sebagai yang diidamkan oleh makhluk yang berbudaya. Definisi ini terlihat juga dalam pandangan-pandangan penulis seperti Matthew Arnold.
b. Definisi pertama di atas sangat elitis dalam pengertian bahwa aspek-aspek manusiawi tertentu dipandang sebagai lebih tinggi (superior) dibanding aspek-aspek lainnya. Definisi kedua ini juga elitis dalam pengertian bahwa ia tidak memandang individu-individu tertentu lebih tinggi daripada individu lain, melainkan melihat masyarakat (society) tertentu lebih tinggi daripada masyarakat lainnya. Dalam konteks ini, budaya erat berkaitan dengan ide sivilisasi (the idea of civilization). Beberapa kelompok masyarakat dipandang "lebih berbudaya" (more cultured) atau "lebih beradab" (more civilized) daripada yang lainnya. Pandangan tentang budaya ini erat terjalin dengan gagasan-gagasan evolusioner (evolutionary ideas), seperti yang diajarkan oleh Herbert Spencer yang melihat masyarakat Barat lebih berkembang (evolved) daripada masyarakat lain.
c. Definisi ketiga memandang budaya sebagai ”the collective body of arts and intellectual work within any one society”. Seperti yang dipaparkan Jencks, konsep ini merupakan definisi yang cukup umum dan digunakan orang secara luas. Dalam perspektif ini, budaya dijumpai di teater-teater, gedung konser, galeri dan perpustakaan, daripada di dalam aspek kehidupan sosial manusia. Budaya dalam pengertian ini sering disebut "budaya adiluhung" (high culture).
d. Definisi terakhir memandang budaya sebagai ”the whole way of life of a people”. Definisi ini diadopsi oleh Ralph Linton yang mengatakan bahwa, ”The culture of a society is the way of life of its members; the collection of ideas and habits which they learn, share and transmit from generation to generation” (Linton, 1945; dalam Haralambos dan Holborn, 2000: 884).
Berdasarkan empat definisi di atas, yang keempatlah paling banyak dipakai oleh para sosiolog kontemporer. Budaya dalam pengertian keempat sesungguhnya merangkum keseluruhan tema yang biasa digarap sosiologi. Dengan demikian, sulit mendapati sosiologi budaya begitu berbeda dari bidang-bidang lain dalam sosiologi. Wilayah cakupannya termasuk sosiologi kesenian, sosiologi musik, dan sosiologi susastra. Perspektif sosiologis yang digunakan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan dari pandangan Sanderson, Jencks, Haralambos dan Holborn, serta Koentjaraningrat di sisi lain, bahwa kebudayaan lahir melalui intervensi manusia. Namun demikian, hubungan kebudayaan dan alam yang melahirkan perubahan struktur hubungan alam dan manusia, sehingga mengubah pula karakter manusia atau masyarakatnya menghasilkan suatu kebudayaan.
Lebih jauh, pemahaman dalam penelitian ini adalah kebudayaan sebagai cara, aturan dan jalan hidup atau keseluruhan cara pandang manusia, serta merupakan suatu sistem simbol menekankan cita-cita, nilai-nilai dan kelakukan yang dimiliki Mataram dan budaya Arek. Di samping itu, kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan keseluruhan warisan yang dilanjutkan dari generasi yang satu ke generasi seterusnya. Warisan yang diturunkan dalam kebudayaan bukan warisan biologis, seperti keturunan. Warisan budaya berlangsung melalui proses belajar antar masyarakat, sehingga melahirkan karakteristik yang khas dari para anggota sebuah masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, cara berpikir dan cara bertindak yang telah terpolakan.
Selanjutnya, Haralambos dan Holborn (2000: 884-885) membagi lima tipe budaya, yakni budaya adiluhung, budaya rakyat, budaya massa, budaya populer, dan sub budaya. Budaya adiluhung (High culture)
merujuk pada kreasi-kreasi budayawi (kultural) yang secara khusus memiliki status tinggi. Produk-produk dalam bentuk-bentuk kesenian yang lestari biasanya dipandang sebagai contoh budaya adiluhung, misalnya, karya-karya opera, karya-karya para komposer klasik seperti Beethoven dan Mozart, karya lukis Leonardo da Vinci, dan karya-karya susastra seperti yang digubah Shakespeare dan John Milton (di Indonesia, dikenal kesenian wayang kulit). Bagi kebanyakan pemakai istilah ini, budaya adiluhung dipandang sebagai superior secara estetis dibandingkan dengan bentuk-bentuk budaya yang lebih rendah seperti yang terdapat dalam tiga tipe berikut ini.
Budaya adilihung di Indonesia, selalu pula dikaitkan dengan kebudayaan yang lahir dari lingkungan istana yang membedakannya dengan budaya rakyat.
Budaya rakyat (folk culture) dipahami
merujuk pada budaya masyarakat biasa, orang kebanyakan, khususnya mereka yang hidup dalam masyarakat pra-industrial. Dominic Strinati, menegaskan bahwa budaya rakyat biasanya muncul "dari akar-rumput, self-created dan otonom, dan secara langsung memantulkan kehidupan dan pengalaman masyarakat" (Strinati, 1995). Contoh-contoh tipe ini meliputi nyanyian rakyat tradisional (traditional folk songs) dan ceritera-ceritera tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya rakyat dipandang oleh sejumlah teoris sebagai kurang bernilai dibanding budaya adiluhung namun bermanfaat dalam segi-segi tertentu. Strinati melukiskan pandangan ini dalam cara sebagai berikut, "budaya rakyat boleh jadi tak pernah berkeinginan untuk menjadi seni, namun kekhasan-kekhasannya diterima dan dihargai" (folk culture can never aspire to be art, but its distinctiveness is accepted and respected). Paling kurang ia merupakan suatu budaya yang autentik, bukan yang diciptakan secara artifisial.
Budaya rakyat turut menopang keberadaan komunitas tertentu, bahkan dapat menjadi media untuk melegetimasi kekuasaan.
Budaya massa (Mass culture) dipandang
sebagai kurang bernilai dibanding budaya rakyat. Budaya massa merupakan produk dari masyarakat industrial, berbeda dari budaya rakyat yang merupakan kekhasan masyarakat pra-modern, pra-industrial. Budaya massa merupakan produk media massa, dan contoh-contohnya meliputi film-film populer, opera sabun TV, dan musik pop rekaman. Seperti yang akan kita saksikan, sejumlah kritikus budaya massa melihat hal ini sebagai mendegradasi individu-individu dan merusak jaringan masyarakat. Jika budaya rakyat merupakan produk ciptaan orang-orang biasa, budaya massa hanyalah sekedar konsumsi bagi mereka. Dari titik pandang ini, pemirsa menjadi anggota pasif dalam suatu masyarakat massa yang tak mampu berpikir untuk diri mereka sendiri.
Istilah budaya populer (Popular culture)
kerap dipakai dalam pengertian yang sama dengan istilah 'budaya massa'. Tipe ini meliputi setiap produk budayawi yang dihargai oleh sejumlah besar orang kebanyakan tanpa pretensi kepakaran budayawi: misalnya, program-program TV, musik pop, film-film untuk pasar-massa seperti Titanic dan serial Star Wars, dan fiksi populer seperti kisah-kisah detektif. Sama dengan istilah 'budaya massa' yang biasanya dipakai dalam makna peyoratif (yang menghinakan), demikian juga nasib istilah 'budaya populer'. Sementara sebagian orang mencemooh budaya populer sebagai yang dangkal dan berbahaya, sebagian lagi, termasuk beberapa teoris pasca-modern, berpendapat bahwa tipe ini sama sahih dan sama bermaknanya dengan budaya adiluhung.
Yang terakhir, sub-budaya (Subculture) merupakan istilah yang secara luas dipakai di dalam disiplin sosiologi untuk merujuk
pada ”groups of people that have something in common with each other (i.e. they share a problem, an interest, a practice) which distinguishes them in a significant way from other social groups” (Thornton, 1997). Istilah ini dikenakan pada suatu kelompok yang luas, termasuk komunitas-komunitas yang hidup berdekatan dan memiliki gaya hidup yang sama, kelompok remaja yang memiliki rasa musikal yang sama, dan menikmati kegiatan waktu luang yang sama (misalnya, ravers), kelompok-kelompok etnis, orang-orang yang menghayati keyakinan religius yang sama, anggota-anggota geng yang sama, dan sebagainya. Sejumlah ahli, terutama fungsionalis, cenderung memberi tekanan pada tingkat di mana suatu budaya – dalam pengertian gaya hidup – dihayati bersama oleh para anggotanya. Sejumlah ahli yang lain memberi tekanan pada satu atau lebih aspek pluralisme budayawi atau perbedaan sub-budaya dalam masyarakat.
Lima tipe budaya yang dirumuskan Haralambos dan Holborn merupakan bagian integral dari keseluruhan hubungan budaya yang terjadi. Meskipun tidak kesemua tipe tersebut dapat tumbuh bersamaan, namun demikian kelima tipe budaya ini turut membentuk motif-motif budaya yang dilahirkan oleh suatu komunitas masyarakat. Dalam budaya Arek, tidak banyak mengenal budaya adiluhung. Budaya adiluhung, seperti Wayang Kulit dan Wayang Orang lebih merupakan pertemuan budaya Arek dengan budaya Jawa Tengahan, meskipun terdapat Wayang Kulit Jawa Timuran. Wayang kulit Jawa Tengahan (Kulonan) lebih banyak diminati masyarakat.
Selanjutnya, berkaitan dengan teori kebudayaan modern dari Simmel, Levine (1991) mengajukan skema interpretatif yang mencakup berbagai cara untuk menggambarkan kajian modernitas dalam teks-teks klasik. Ia mendudukkan skema interpretatif tersebut sebagai pendukung jenis program pendidikan yang baru. Levine menyatakan
dalam teks-teks klasik, biasanya advokasi yang dilakukan mempunyai tujuan berdasarkan pada tiga gagasan pengertian, pertama, mereka menganalisis ciri-ciri pokok dari keteraturan baru yang terlihat memperkembangkan kesejahteraan manusia; kedua, mereka mengkritisi beberapa ciri dari keteraturan baru yang berpengaruh buruk pada kemanusiaan; dan ketiga, mereka mengusulkan beberapa bentuk pendidikan yang akan membantu menetralkan atau menolak ciri-ciri yang dianggap buruk tersebut (AB. Widyanta, 2002: 129).
Etnografi memfokuskan diri pada budaya dari sekelompok orang (Moleong, 2005: 235). Moleong selanjutnya menegaskan asumsi yang melatar-belakangi para etnografer, bahwa
setiap kelompok manusia pada dasarnya terlibat dalam budaya yang membimbing pandangan dunia para anggotanya dan cara mereka menstruktur pengalamannya. Tujuan para etnografer adalah belajar (daripada meneliti) pada anggota-anggota suatu kelompok budaya, memahami pandangan dunianya sebagai yang didefinisikan oleh mereka yang diteliti (Moleong, 2005: 236).
Penelitian ini meneliti sekelompok anggota masyarakat yang menakui dirinya berasal dari Mataraman dan "Arek". Meskipun peneliti sudah hidup bersama dengan lingkungan budaya Arek –sedikitnya selama empat belas tahun, namun demikian kedudukan peneliti adalah menstruktur kembali pengalaman yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang menamakan diri Maaraman dan Arek. Untuk selanjutnya, langkah-langkah penelitian etnografi yang peneliti gunakan, seperti dijelaskan oleh Moleong (2005: 237) berikut ini:
a) mengidentifikasi budaya yang akan diteliti;
b) mengidentifikasikan variabel yang signifikan di dalam budaya yang diteliti;
c) mengadakan penelaahan kepustakaan;
d) memperoleh izin memasuki latar penelitian;
e) mempelajari dan memahami budaya;
f) mencari informan;
g) mengunpulkan data, menganalisis data, mendeskripsikan budaya, mengembangkan teori.
Peneliti juga sepakat dengan pandangan James P. Spradley (2006: 265) bahwa "etnografer mempelajari berbagai detail kebudayaan, dan pada waktu yang sama juga berupaya menggambarkan pemandangan budaya yang lebih luas. Suatu deskripsi budaya akan mencakup suatu pengertian keseluruhan". Di samping menstruktur pengalaman warga Mataraman dan budaya Arek, peneliti juga menggambarkan pandangan budaya Mataraman dan Arek yang lebih luas. Spradley juga mengatakan bahwa penyampaian "suatu pengertian tentang keseluruhan kebudayaan atau suasana budaya dengan menggunakan pendekatan inventarisir (inventory approach) ... mengidentifikasi semua domain yang berada dalam suatu kebudayaan, mungkin dengan membaginya ke dalam kategori-kategori seperti kekerabatan (kinship), kebudayaan material (material culture), dan hubungan sosial (social relationship)". Dalam penelitian hegemoni Mataram terhadap budaya Arek ini peneliti menggunakan kategori hubungan sosial (social relationship), seperti terbentuknya kampung. Awal terbentuknya kampung merupakan aspek penting lahirnya kebudayaan, seperti kemunculan Mataram sebagai hasil dari pemberian Sultan Pajang agi pemenang sayembara yang berhasil membunuh Arya Panangsang. Data-data tertulis melalui kajian kepustakaan masih dapat ditemukan dalam bentuk Babad. Selanjutnya data dikembangkan melalui proses wawancara dengan tokoh maupun pelaku budaya Mataram da Arek.
Barbara Sherman Heyl (2001: 369) menjelaskan bahwa "wawancara etnografis merupakan suatu teknik riset kualitatif yang banyak berutang-budi pada antropologi kebudayaan yang secara tradisional melakukan wawancara yang panjang dan lama di lapangan (on-site interview)". Pada 1990-an, teknik ini semakin banyak dipakai oleh bidang-bidang di luar antropologi dan sosiologi sebagai tanggapan atas terbatasnya metodologi penelitian kuantitatif yang tengah mendominasi dunia penelitian sosiologis, kriminologis, pendidikan dan kedokteran. Mereka semakin mengandalkan wawancara etnografis, karena sadar akan kompleksitas pengalaman manusiawi, dan karena adanya keinginan untuk mendengar secara langsung bagaimana orang-orang mengungkapkan pengalaman mereka sendiri.
Pengertian wawancara etnografis meliputi semua penelitian yang membangun suatu relasi penuh hormat (respectfull) dan berkelanjutan (on-going) dengan interviewees (atau subjek), termasuk rapor (rapport) tentang pertukaran (exchange) pandangan secara murni, waktu dan keterbukaan yang cukup bagi interviewees untuk mengeksplorasi – bersama peneliti – makna yang mereka ungkapkan atas peristiwa-peristiwa dalam dunia mereka (Barbara Sherman Heyl, 2001: 369). Heyl menegaskan bahwa "Faktor waktu – durasi dan frekuensi kontak – ditambah dengan kualitas relasi yang terus berkembang membantu membedakan wawancara etnografis dari jenis wawancara lain dengan jalan memberdayakan interviewees membingkai – seturut world-view mereka – pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang bahkan mungkin menjadi fokus studi"[1]. Hubungan peneliti yang cukup panjang membuat wawancara yang dilakukan merupakan kelanjutan dari hubungan tersebut.
Lebih jauh Barbara Sherman Heyl (2001: 369) menyatakan bahwa
Yang penting bagi studi etnografi tradisional adalah fokus atas makna-makna budayawi (Wolcott, 1982). Seperti yang dicatat Spradley dalam The Ethnographic Interview, "Inti dasariah wawancara etnografis adalah perhatian pada makna tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa bagi mereka yang ingin kita pahami" (The essential core of ethnographic interview is this concern with the meaning of actions and events to the people we seek to understand – 1979: 5; lihat pula James P. Spradley, 2006: 5), dan tugas dalam wawancara etnografis adalah berkomunikasi secara murni dan tulus, dalam cara-cara yang lugas maupun yang canggih (Spradley, 1979: hal. 34).
Tantangan terhadap pendekatan kerja lapangan klasik secara khusus berfokus pada isu mengenai 'basis ilmiah' bagi riset sosial dan memunculkan serangkaian pertanyaan baru, termasuk yang dipaparkan Clifford Geertz:
Pertanyaan-pertanyaan tentang keberbedaan (discreteness) ... tentang kontinuitas dan perubahan (continuity and change), objektivitas dan bukti, determinisme dan relativisme, keunikan dan generalisasi, deskripsi dan eksplanasi, konsensus dan konflik, ke-yang-lain-an dan kesepadanan (otherness and commensurability), dan peluang yang polos bagi siapa saja, insider atau outsider, untuk meraih sebanyak mungkin keseluruhan cara hidup dan memilih kata-kata atau ungkapan untuk melukiskannya (Geertz, 1995: 42-43; dalam Barbara Sherman Heyl, 2001: 373).
Untuk menyusun investigasi dengan wawancara peneliti menggunakan enam tahap yang dibuat Kvale (dalam Barbara Sherman Heyl, 2001: 373), yakni:
1. menentukan tema (thematizing);
2. membuat rancangan (designing);
3. melakukan wawancara (interviewing);
4. melakukan transkripsi hasil wawancara (transcribing);
5. menganalisis (analysing);
6. melakukan verifikasi (verifying);
7. menulis laporan (reporting).
Tahap "penentuan tema" (thematizing) melibatkan peneliti dalam memikirkan tujuan-tujuan (goals) dan pertanyaan-pertanyaan dasariah studi itu dalam cara-cara yang menolong memandu berbagai keputusan ikutan (sub-sequent decisions) yang bakal dibuat (Kvale, 1996: 94-98). Kegiatan ini meliputi perencanaan program wawancara secara aktif dengan jalan mengidentifikasi dan mengambil (dari penelusuran literatur atau bahkan kerja lapangan preliminer) suatu "pra-pengetahuan" tentang pokok subjek yang menjadi minat studi, menjelaskan maksud dan kegunaan program, dan mengupayakan keahlian dalam tipe-tipe wawancara dan pendekatan analisis yang berbeda dan memutuskan mana yang diterapkan. Senyampang dengan Kvale, dalam penelitian ini, tema didasarkan pada penyampaian fokus terlebih dahulu oleh peneliti. Kemudian interviewees (atau subjek) menyampaikan tanggapan dan pengalamannya serta pemikiran tentang fokus yang disampaikan peneliti. Tema berkembang setelah penulis mencoba melakukan konfirmasi terhadap data-data kepustakaan, seperti adanya peta Surabaya abad 9. Peneliti meminta kepada interviewees (atau subjek) untuk memberikan tanggapan. Proses ini mengaktifkan peneliti dan interviewees dalam proses wawancara.
Dalam The Active Interview, Holstein dan Gubrium (1995; dalam Heyl, 2001: 373) merumuskan premis mereka bahwa "peneliti dan interviewee adalah (sama-sama) kreator aktif dalam semua fase proses wawancara. Sesungguhnya, mereka menegaskan bahwa suatu transkripsi wawancara secara hati-hati dari audio atau video tape memungkinkan peneliti untuk mencermati dan mendokumentasi bagaimana makna diproduksi sepanjang konversasi. Untuk memperkenalkan pendekatan mereka itu, Holstein dan Gubrium (1995: 14) membangkitkan kembali prescient position (prescient = mampu menujum) yang terkenal yang diambil oleh Ithiel de Sola Pool pada tahun 1957:
Milieu sosial tempat berlangsungnya komunikasi (selama wawancara) memodifikasi tidak hanya apa yang berani dikatakan seseorang tetapi bahkan apa yang ia pikir ia pilih untuk ia katakan (he thinks he chooses to say). Variasi dalam pengungkapan ini tak dapat dilihat sebagai sekedar deviasi dari 'pendapat' yang benar yang mendasar, karena tidak ada situasi yang netral, yang non-sosial, atau yang bebas-pengaruh untuk menyediakan baseline itu (Pool, 1957: 192; dalam Heyl, 2001: 373).
Selanjutnya, Pool (1957: 193; dalam Heyl, 2001: 373) menegaskan bahwa situasi wawancara "mengaktifkan" pendapat; maksudnya, bahwa 'setiap wawancara (di samping menjadi kesempatan pengumpulan infromasi) adalah suatu drama antarpribadi dengan alur (plot) yang berkembang'. Holstein dan Gubrium mengejar implikasi memiliki seorang pewawancara aktif dan seorang responden yang tengah membangun makna, atau menciptakan alur, sepanjang proses wawancara. Sebagai contoh, para responden dapat saja beralih ke stok pengetahuan yang berbeda-beda dalam menjawab satu pertanyaan tunggal. Tanggapan atau jawaban mana yang sahih (valid)? Holstein dan Gubrium (1995: 34; dalam Heyl, 2001: 374) meyakini adanya 'kesahihan alternatif' (alternatives validities) yang didasarkan pada pengakuan (recognition) terhadap peran-peran yang berbeda dan 'sumber-sumber daya naratif' (narrative resources) yang mereka tawarkan bagi reponden.
Berkaitan dengan informan dan reporter, Heyl, (2001: 375), menyatakan bahwa
Ketika seorang pewawancara bertindak sebagai reporter, tujuannya adalah memberi laporan mengenai "pemahaman para anggota", namun pendekatan ini jauh dari metafora "penambang" yang telah didiskusikan di atas. Pada tahap pertama pemberdayaan, kewaspadaan peneliti terhadap bagaimana wawancara itu sendiri membentuk hasil (outcome) menggeser penelitian ke arah metafora "musafir". Reporter memberdayakan responden (sekarang meningkat menjadi seorang 'informan') dengan jalan menyimak dengan cermat dan penuh hormat, sehingga memberi peluang bagi informan "memberi nama" kepada dunia seturut bahasanya sendiri, tinimbang bereaksi terhadap terminologi atau kategori yang diperkenalkan oleh peneliti. Pergeseran pemberdayaan yang berbeda dari praktik tradisional dapat hadir pada tahap ini melalui pencantuman nama terang para informan dalam teks, jika itu yang mereka kehendaki, dengan mempertimbangkan potensi imbas di masa depan bagi mereka atau bagi orang lain yang dapat diidentifikasi berdasarkan hubungan atau asosiasi dengan nama-nama yang tercatat (Mishler, 1986: 123-125; lihat Myerhoff, 1994: 34, mengenai keinginan orang-orang tua Yahudi di dalam penelitiannya agar nama terang mereka dicantumkan dalam buku yang menjadi dokumen permanen tentang sejarah hidup mereka).
Selanjutnya, Heyl (2001, 375-376) menegaskan bahwa "Peneliti yang lain menunjukkan bahwa bukti menyimak secara cermat dan penuh hormat itu tidak saja berlaku pada apa yang dilakukan peneliti sepanjang wawancara melainkan juga pada "menyimak" yang bakal dilakukan ketika ia menulis ulang dan menganalisis pita rekaman dan transkrip". DeVault (1990), Holstein dan Gubrium (1995), Opie (1992), dan Poland dan Pederson (1998) mendesak peneliti
untuk melakukan transkripsi secara cermat atas rekaman wawancara, dan kemudian, melalui penulisan ulang transkrip secara hati-hati (dan memutar-ulang pita-pita tersebut), menyimak ketergesa-gesaan responden, kontradiksi-kontradiksi, topik-topik yang kurang dibicarakan, dan pergeseran posisi verbal (mengambil titik-pandang yang berbeda), semua yang menolong menyoroti (to highlight) kompleksitas dalam apa yang sedang dikatakan responden. Kegiatan "menyimak" pasca wawancara ini menolong meningkatkan kewaspadaan peneliti tentang cara teks wawancara di-ko-produksi. Dengan berfokus pada konteks langsung wawancara, termasuk bagaimana pewawancara mengajukan pertanyaan atau menanggapi ujaran informan yang terakhir, pewawancara dapat memahami dengan lebih baik mengapa informan menjawab dalam cara tertentu. Dalam apa yang dapat dipandang sebagai suatu pendekatan linguistis terhadap analisis wawancara, para peneliti ini mendesakkan studi dan apresiasi yang lebih eksplisit terhadap cara-cara perbincangan aktual berlangsung selama wawancara[2] (dalam Heyl, 2001: 375-376).
Memberi perhatian ketika perbincangan tidak berlangsung juga dapat dipandang sebagai perilaku menyimak penuh hormat. Poland dan Pederson (1998: 295, 300) mencatat bahwa pewawancara etnografis tradisional diajarkan untuk "keep informants talking" (Spradley, 1979: 80); bagaimanapun, diam (silence) dapat menjadi indikator reaksi-reaksi yang kompleks terhadap pertanyaan dan self-censorship. Peneliti perlu menghormati hak responden untuk tetap diam dan menghargai bahwa, bagi sejumlah responden, wawancara penelitian boleh jadi bukan merupakan tempat yang cocok untuk "menceritakan semua" (tell all).
Dengan mengutip pendapat Karp dan Kendall (1982: 250), Heyl memberi tekanan pada apa yang dituntut dari peneliti etnografis –tantangan untuk "membalikkan lensa antropologis ke arah diri sendiri". Selanjutnya, Heyl menegaskan bahwa
Proses memperlebar lensa penelitian yang mencakupi peneliti dan tempatnya dalam penelitian itu tidak hanya memperluas "medan konseptual yang dimiliki para pekerja lapangan, tetapi juga mengenalinya. Ia membawa tantangan bagi keyakinan yang paling mendasar yang dianut pekerja lapangan mengenai kebenaran (truth) dan objektivitas" (1982:250)[3]. Karp dan Kendall (1982: 260-262) juga mencatat bahwa seseorang kerap kali hanya dapat menjadi sungguh-sungguh refleksif sesudah suatu 'momen-kejut' (moment of shock) – ketika baik interviewer maupun interviewee merespon dalam cara yang tidak diduga pihak lain – karena hanya pada momen itulah asumsi-asumsi terhadap pihak masing-masing terungkap.
Sama halnya dengan Michael Burawoy (1998: 18) yang menurut Heyl menemukan bahwa momen-kejut antara apa yang diharapkan peneliti, berdasarkan karya terdahulu, dan apa yang tiba-tiba dijumpainya selama mengamati atau mewawancarai, merupakan hal yang penting dalam mendesakkan revisi-revisi dalam penciptaan teori (theorizing) yang sedang berlangsung. Sesungguhnya, bagi Burawoy,
theorizing ada pada jantung "model ilmu refleksif" (reflexive model of science), yang menurutnya dapat ber-koeksis dengan model ilmu positivis. Kedua model ilmu itu dapat bermanfaat, dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing, dan pilihan pada salah satunya bergantung terutama pada bagaimana kita memilih orientasi kita terhadap dunia: "menepi atau merasuk, tidak terlibat atau masuk ke dalam dialog" (to stand aside or to intervene, to seek detachment or to enter into dialogue) (1998: 30).
Ada empat prinsip ilmu refleksif dari Burawoy (dalam Heyl, 2001: 378) yang meliputi pengakuan bahwa kita:
1. merasuk ke dalam kehidupan mereka yang kita pelajari;
2. menganalisis interaksi sosial;
3. mengidentifikasi proses-proses lokal dan kekuatan-kekuatan sosial eksternal yang saling menentukan;
4. merekonstruksi teori-teori berdasarkan apa yang telah kita pelajari dalam dialog dengan mereka yang terlibat dalam penelitian kita.
Heyl berpendapat bahwa Burawoy mengusulkan suatu metode wawancara refleksif menyusuli keempat prinsip ini: interaksi selama wawancara refleksif adalah intervensionis, dialogis, dan dirancang untuk menyingkap proses-proses, baik dalam lingkungan khusus situasional maupun dalam konteks sosial yang lebih luas, dan hasil-hasil dalam rekonstruksi teori cocok dengan apa yang muncul dalam dialog.
Teori yang dihasilkan juga merupakan bagian dari dialog dengan gagasan-gagasan dalam profesi peneliti. Teori-teori yang dipublikasi (atau versi oralnya) akan kembali ke kehidupan para warga biasa, termasuk para partisipan asli dalam penelitian, yang dapat mengadopsinya, atau menolaknya, ataupun memperluasnya dalam cara-cara yang tak terduga, dan mengirimnya kembali ke dalam 'ilmu' melalui kunjungan seorang peneliti berikut. Burawoy (1998: 16, ck 11) mencatat bahwa "Anthony Giddens (1992) telah melakukan banyak pertukaran yang demikian antara teori akademis dan teori umum, dengan argumen bahwa sosiologi tampaknya tidak maju-maju karena temuan-temuannya beralih menjadi kearifan konvensional (conventional wisdom)". Refleksivitas selama wawancara dan "extended case method" yang disarankan Burawoy (1998) memasok bahan untuk "reflexivity of social theorizing" (dalam Heyl, 2001: 378).
Pierre Bourdieu (1996: 18) mendukung apa yang disebutnya "reflex-reflexivity", yang "didasarkan pada suatu 'rasa' atau 'mata' sosiologis, (yang) memampukan seseorang untuk memahami dan memantau langsung di lapangan akibat-akibat dari struktur sosial tempat wawancara dilakukan". Struktur hubungan wawancara adalah asimetris dalam dua hal: pertama, peneliti memulai permainan dan menentukan aturan-main, dan kedua, pewawancara memasuki lapangan dengan modal sosial yang lebih banyak, termasuk modal linguistis, daripada responden. Bourdieu menaklukkan asimetri ini melalui "menyimak metodis dan aktif" (active and methodical listening). Menyimak aktif terdiri dari "perhatian menyeluruh" (total attention) yang, menurut Bourdieu, sukar ditangani pewawancara karena, dalam praktik sehari-hari, kita banyak kali melakukan kategorisasi terhadap kisah hidup orang lain dan berubah menjadi acuh-tak-acuh. Menyimak metodis didasarkan pada "pengetahuan (peneliti) tentang kondisi-kondisi objektif yang sama dalam seluruh kategori sosial yang relevan" untuk setiap responden (1996: 19). Kiat menyimak seperti ini menuntut pewawancara memiliki "pengetahuan yang luas mengenai subjeknya, yang kerap diperoleh dari penelitian seumur hidup atau dari interviu terdahulu dengan responden yang sama atau dengan informan" (1996: 23). Yang juga penting di sini adalah proses yang meningkatkan kerjasama dengan responden yang memungkinkan mereka "memiliki" sendiri proses bertanya (yang sedang berlangsung). Dalam penelitiannya yang terakhir, Bourdieu (1996: 20) mendorong para anggota tim wawancaranya untuk menyeleksi responden mereka dari kalangan orang yang mereka kenal, dengan pertimbangan bahwa "Kedekatan sosial dan familiaritas menawarkan dua kondisi sosial bagi komunikasi 'tanpa kekerasan' ('non-violent' communication)". Ia pun memperingatkan bahwa strategi demikian dapat membatasi kemungkinan-kemungkinan penelitian jika hanya orang-orang yang saling menyenangi yang berwawancara. Bourdieu berkesimpulan – sama dengan Anselm Strauss (1969: 156-157) pada tiga dekade terdahulu – bahwa memang lebih sulit, namun mungkin untuk melaksanakan wawancara refleksif dengan responden yang berbeda dari diri (kita) sendiri:
Sosiolog dapat saja bersikap netral terhadap para inteviewee yang jauh terpisah dari dirinya secara sosial dengan perasaan bahwa mereka dapat melegitimasi diri mereka sendiri, jika ia tahu bagaimana memperlihatkan kepada mereka, melalui nada suaranya dan, teristimewa, isi pertanyaannya, bahwa tanpa berpura-pura membatalkan jarak sosial yang memisahkan dia dari mereka – ia mampu secara mental menempatkan dirinya pada tempat mereka (Bourdieu, 1996: 22, penekanan ini sesuai aslinya).
Jelaslah bahwa konsep refleksivitas sepanjang proses penelitian bersifat multifaset, dan dibutuhkan dewasa ini untuk melaksanakan tugas yang diperlukan. Tetapi tujuan-tujuan yang ingin dicapai memiliki nilai. Keberhasilan kita memang tidak lengkap, namun upaya kita dapat memberi kontribusi bagi pengidentifikasian proses-proses dan relasi-relasi kekuasaan yang terjadi (baik situasi di dalam wawancara maupun di luar yang terdapat pada dunia kehidupan orang-orang yang kita ajak bicara), menyimak ceritera yang sanggup dikisahkan para responden, dan menegakkan hubungan timbal-balik melintasi lingkungan hidup yang berbeda-beda (Barbara Sherman Heyl, 2001: 379). Hasil relasional dari wawancara etnografis ini sama dengan yang dirumuskan Denzin (1997: 271-287) sebagai tujuan-tujuan bagi para etnograf masa depan. Meskipun Denzin juga skeptis terhadap kemampuan refleksivitas untuk mengubah praktik-praktik etnografi tradisional, ia memberi catatan mengenai keutamaan hubungan-hubungan kolaboratif dan yang memberdayakan ketika ia mendesak para peneliti untuk mengadopsi suatu "care-based ethical system" (Ryan, 1995: 148) dan mengikuti nilai-nilai feminis dan komunitarian dalam penelitian mereka. Berbeda dari model "scientist-subject", "care-based ethical model" meminta peneliti "mengambil posisi orang-orang yang kita teliti" (to step into the shoes of the persons being studied) (Denzin, 1997: 272-273). Isu mengenai apakah kita dapat menempatkan diri kita pada tempat yang berbeda (ber- empati), seperti yang diusulkan juga oleh Bourdieu, diungkapkan secara fasih oleh Elliot Liebow (1993) dalam studinya tentang para perempuan tak berumah (gelandangan):
Perspektif ini – maksudnya, participant observation itu sendiri – memunculkan persoalan tua tentang apakah seseorang mampu memahami orang lain atau menempatkan dirinya pada tempat lain. Banyak pemikir yakin bahwa seorang yang waras tidak dapat mengetahui bagaimana rasanya menjadi gila, bahwa seorang kulit putih tak dapat memahami seorang kulit hitam, seorang Yahudi dapat melihat melalui mata seorang Kristen, seorang laki-laki melalui mata seorang perempuan, dan seterusnya. Dalam pengertian dan tingkat tertentu, hal ini benar adanya; dalam pengertian dan tingkat tertentu, hal ini jelas keliru, karena perluasan logis dari pandangan ini akan menggiring ke pengertian bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memahami orang lain, bahwa hanya John Jones yang mengenal John Jones; dalam kasus seperti ini, kehidupan sosial menjadi mustahil.
Saya tidak bermaksud bahwa seorang laki-laki yang memiliki rumah dan keluarga dapat melihat dan merasakan dunia seperti yang dilihat dan dirasakan oleh seorang perempuan tak berumah. Maksud saya adalah bahwa hal itu dapat dipahami dan bermanfaat untuk coba dilakukan. Upaya menempatkan diri pada tempat orang lain terletak pada jantung kontrak sosial dan kehidupan sosial itu sendiri (1993: xiv-xv).
Meskipun pendekatan ini dibangun dalam keluwesan sepanjang proses wawancara, pencapaian informasi subjektif tentang aspek-aspek khusus kehidupan individual dan data mengenai bagaimana makna dibentuk menuntut suatu strategi riset tertentu. Holstein dan Gubrium (1995: 77) menekankan
pentingnya memperoleh pengetahuan latarbelakang yang relevan dengan topik penelitian dan pengetahuan tentang "keadaan material, budayawi, dan interpretif yang mungkin dikiblati para responden" (material, cultural, and interpretive circumstances to which respondents might orient). Keputusan menyangkut sampling harus mencakup pertimbangan mengenai suara siapa yang akan didengar, juga kesadaran bahwa responden yang ditentukan berdasarkan posisi atau peran khusus dapat saja merumitkan rencana sampling lanjutan ketika mereka secara spontan "berganti suara" (switch voices) dan berbicara dari posisi yang berbeda (1995: 25-27, 74-75). Data " wawancara aktif" (active interview) dapat dianalisis tidak hanya mengenai apa yang dikatakan (informasi substantif) dan bagaimana hal itu dikatakan (konstruksi makna), tetapi juga mengenai cara-cara aspek what dan how itu berkait-kaitan dan "keadaan apa yang mengondisi proses pembentukan makna" (what circumstances condition the meaning-making process) (Holstein dan Gubrium, 1995: 79).
Melalui penelitian lapangan ini, peneliti mengamati beberapa hal berkaitan dengan apa makna dan fungsi simbolik dari berbagai peristiwa dan warisan sosial dan budaya dalam setiap aktivitas budaya (cultural behavior), apa saja yang diketahui (dan dipikirkan) oleh orang-orang Mataraman dan Arek tersebut (cultural knowledge), mengapa dan bagaimana bentuk-bentuk aktivitas dilakukan dan aspek-aspek budaya yang menyertai terjadinya peristiwa budaya tersebut melalui pengintgerasian aktivitas budaya ke dalam kehidupan masyarakat.
[1] Dari posisi ini, program wawancara yang didasarkan pada wawancara singkat (one-shot) tidak akan membangun wawancara etnografis.
[2] Briggs (1983, 1986) mencatat bahwa norma-norma yang mengatur apa dan bagaimana seseorang berkomunikasi dalam dunia sosial informan dapat saja berbeda dari ekspektasi peneliti terhadap wawancara, dan ia (Briggs) menawarkan sejumlah strategi untuk mengidentifikasi dan menganalisis problem bagi informan yang dapat ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan pewawancara.
[3] Ada beberapa pengritik mengenai apakah upaya-upaya tersebut dapat menjadi refleksif. Clough (1998: xxiv) berpendapat bahwa refleksivitas dalam bentuk yang self-reflective mengalami kegagalan: "Gagasan mengenai self-reflection pada ilmuwan yang sadar-diri (self-conscious) sudah menyerah di hadapan kewaspadaan yang semakin tinggi terhadap kekerasan (violence) dalam hal menjadikan orang lain tak lebih daripada sekedar perkakas reflektif bagi ilmuwan" (1998: xxiv).
[1] Tanggal ini perlu diteliti ulang. Ada kemungkinan salah tulis, karena kekuasaan Mataram tumbuh sebelum tahun itu, seperti pada 1509 terjadi pembicaraan antara senopati Kediri dengan Panembahan Senopati Mataram
[2] Dalam buku Purwadi (2008: 97) justru disebutkan bahwa Pangeran Surabaya menyerah (sekitar sebelum 1570)