Jumat, 16 Juli 2010

Teater Monolog Indonesia, dan Monolog Para Aktor

Catatan ”Pesta Monolog 2005, Panggung Para Aktor Bicara”
Oleh Autar Abdillah
(catatan: tulisan ini merupakan catatan saya sebagai Pengamat pada Pesta Monolog 2005 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005, dan pernah dimuat dalam majalah CIPTA DKJ, 2006; karena seorang mahasiswi IKJ membutuhkan tulisan ini, maka ada baiknya saya terbitkan kembali, semoga bermanfaat)

Empat belas aktor pilihan yang telah diseleksi melalui lomba di 13 wilayah di Indonesia, ditambah dengan dua bintang tamu (Ken Zuraida dan Wawan Sofwan) memperagakan kapasitas mereka sebagai aktor teater monolog Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005. Penampilan mereka tidak berlebihan untuk disebut sebagai presentasi aktor-aktor teater yang kini kita miliki. Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimana kita melihat monolog ala Indonesia itu, dan bagaimana kapasitas keaktoran teater di Indonesia saat ini?

Monolog dalam khazanah perteateran di Indonesia, dibahasakan melalui pemahaman teater modern. Monolog sebagai percakapan seorang diri (seseorang) yang disampaikan kepada pihak lain, sesungguhnya sudah dimiliki Indonesia sejak awal keberadaan teater di Indonesia. Di Sumatera Barat kita mengenal Bakaba dimana seorang pencerita menggunakan media saluang sebagai pengiring, menyampaikan cerita yang disaksikan penonton sambil mengitarinya. Di Surabaya terdapat tokoh paling populer bernama Markeso yang bercerita sendiri dalam bentuk yang disebut dengan Ludruk Garingan. Di Banten kita mengenal Wayang Garingan. Di Bali kita mengenal pula Pacegan. Di Aceh terdapat Kekeberen (dalam komunitas budaya Gayo), Adnan PMTOH, dan Bercerita Tunggal. Sedangkan di Makassar terdapat Kondobulong, Sindrilli yang diiringi instrumen keso-keso atau rebab, dan Massure (Bugis). Bila kita telusuri, masih banyak lagi bentuk-bentuk monolog ini dalam khazanah teater di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai pemahaman teater tutur yang diklasifikasikan dalam teater tradisional Indonesia.
Secara umum, semua teater tradisional kita merupakan perpanjangan bentuk dari sastra lisan hingga melahirkan teater tutur atau secara berseloroh seorang peserta ”Bincang-bincang” dalam Pesta Monolog 2005 lalu, menyebutnya sebagai ”teater” nyerocos. Selain dimainkan oleh satu orang pencerita, juga diiringi oleh berbagai alat musik lokal yang berperan membangkitkan suasana, dan memperkuat karakter tokoh-tokoh yang diceritakan. Hingga saat ini, bentuk teater tutur atau teater nyerocos ini, nyaris sudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya dengan berbagai alasan. Diantaranya, karena cerita yang dimainkan tidak berkembang, dan lemahnya unsur teateral yang dimiliki teater tutur tersebut.
Dalam khazanah teater modern, Monolog dapat kita rujuk pada pengucapan salah satu tokoh atau pemeran pada sebuah drama yang menyampaikan rangkaian dialognya seorang diri. Dialog yang relatif panjang ini berbentuk Soliloquy atau ada juga yang menyebut Aside yang secara harfiah berarti percakapan seorang diri dan berbicara ”kesamping” atau bisikan, dan menjadi satu kesatuan dengan seluruh pertunjukan. Meskipun menjadi satu kesatuan dalam pertunjukan, Soliloquy maupun Aside ini, merupakan percakapan seorang diri yang memiliki konteks khusus, yakni pernyataan tokoh cerita secara personal terhadap situasi yang sedang dihadapinya.
Memang, sejarah teater belum menempatkan monolog sebagai sebuah genre yang dikhususkan dalam teater. Juga, tidak merupakan sebuah gerakan yang mengubah jalannya perkembangan teater. Namun demikian, kalangan teater tetap memandang monolog sebagai sesuatu yang penting sebagai media berlatih seorang aktor. Media berlatih ini pun menjadi salah satu alasan untuk terus mengembangkan teater monolog. Alasan lain, karena sulitnya mengumpulkan para aktor dalam suatu kelompok, dan perbedaan kemampuan yang sulit disatukan diantara para aktor dalam suatu kelompok. Sebagai media berlatih, monolog memang dapat dipandang cukup efektif, karena seorang aktor mendapat tantangan yang lebih besar dalam menghidupkan perannya atau tokoh-tokoh yang diperankannya, karena seluruh artikulasi penokohan harus mampu diperagakannya dengan segala kapasitas yang dimilikinya.
Dalam ”Pesta Monolog 2005, Panggung Para Aktor Bicara” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki yang berkapasitas kecil atau sekitar 200-an penonton, 11-19 Mei lalu, kita dapat melihat bagaimana perbedaan kemampuan masing-masing aktor teater di Indonesia. Kalau tidak disebut kelemahan, kita bisa menyebutnya beberapa aspek pencapaian yang telah dilakukan para aktor tersebut. Pencapaian tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa aspek.
Pertama, penguasaan elemen keaktoran. Elemen keaktoran sedikitnya mencakup beberapa hal, diantaranya kemampuan vokal (baik volume maupun artikulasi, diksi, ketepatan dan kejernihan produksi suara), penggunaan peralatan tubuh (gestur, mimik, kelincahan dan kelenturan pergerakan tubuh), pemanfaatan ruang pertunjukan (eksterior dan interior), kemampuan menggunakan peralatan di luar tubuh (hand property, perabotan –jika ada), penyatuan dan harmonisasi dengan seluruh komponen artistik (baik musik, pencahayaan, kostum maupun make up –bila digunakan), dan kemampuan mengkomunikasikan dirinya dengan penonton.
Pada aspek yang pertama ini, hampir semua aktor mengalami persoalan yang signifikan. Persoalan tersebut bisa dipahami melalui beberapa hal. Yakni, ketidaksiapan aktor menghadapi pertunjukannya (bisa karena gugup yang disebabkan oleh arsitektur ruang yang relatif tidak begitu akrab dengan dirinya, bisa pula karena kondisi fisik yang kelelahan, karena harus menangani hampir seluruh kebutuhan pertunjukan), hingga kekurangmampuan aktor tersebut menggali potensi dirinya. Selain itu, besar kemungkinan para aktor memang tidak menjalani latihan-latihan yang intensif. Keikutsertaan mereka hanya untuk mengisi kesempatan yang ada. Bukan karena monolog menjadi pilihan penting dalam ekspresi berteaternya.
Satu hal yang sangat disayangkan juga adalah adanya aktor yang mengubah naskah pertunjukannya hanya dua minggu menjelang penampilannya. Disamping itu, ada pula yang mengalami pembatasan waktu penampilan ketika mereka mengikuti lomba di wilayahnya, sehingga diambillah jalan pintas dengan mengubah struktur lakon, dan melahirkan struktur lakon dan pertunjukan yang baru tanpa memperhatikan atau membuat pertimbangan yang memadai terhadap kapasitas lakon yang dimainkannya. Celakanya lagi, ada yang menampilkan tokoh imajiner menjadi tokoh yang benar-benar hadir di atas panggung dan melakukan dialog dengan sang aktor. Apapun alasannya, cara semacam ini justru menunjukkan kelemahan mendasar sang aktor pada aspek interpretasi teks dramatiknya.
Kedua, interpretasi dan pengejawantahan lakon atau teks dramatik dan teateral. Meskipun interpretasi awal lakon harus dilakukan oleh sutradara, seorang aktor yang juga menempatkan dirinya sebagai sutradara mencoba melakukan interpretasi sebagai aktor sekaligus sutradara, bahkan ada yang juga memasuki wilayah artistik. Interpretasi teks dramatik dan teateral secara sederhana terlihat amat mudah. Namun akan amat dirasakan akibatnya, ketika teks dramatik dan teateral tersebut memasuki atau ditransformasikan ke dalam teks pertunjukan.
Seorang aktor –bagaimanapun ahlinya, tidak memiliki kesempatan atau peluang melakukan interpretasi terhadap apa yang sedang dilakukannya. Misalnya, bagaimana ia telah mencapai tingkat pemahaman terhadap isi teks tanpa mengetahui output isi teks tersebut, ketika disaksikan oleh orang lain atau penontonnya. Demikian pula dengan transformasi isi teks tersebut menjadi bentuk pertunjukan, penempatan ruang, interaksi dan dinamika teks hingga keterbacaan teks dramatik dan teateral tersebut. Agaknya, terlalu gegabah bila seorang aktor memiliki kepercayaan diri yang terlalu besar, bahwa semua teks dramatik dan teateral bisa diinterpretasi tanpa pembanding yang dapat mendorong bekerjanya teks tersebut.
Pembanding yang tidak diposisikan secara khusus, memiliki akibat tidak adanya pedoman yang memadai dalam mendorong bekerjanya teks secara efektif dan produktif. Terdapat beberapa istilah yang digunakan para aktor untuk melengkapi pembanding atau pihak yang mencoba mendorong bekerjanya teks pertunjukan, seperti Ken Zuraida bintang tamu dari Jakarta yang membawa teks Tanpa Batas, dan Joind Bayuwinanda (Jakarta) melalui teks Nol karya Putu Wijaya menyebutnya Skenografi, Mami Sri Maryani (Bandung) melalui teks Masmirah karya Arthur S. Nalan menyebutnya Dramaturg, Etenk Irsyad (Palu) melalui teks Aut karya Putu Wijaya menyebutnya sebagai Konsultan Garapan. Barangkali dalam istilah lain ada peserta yang menggunakan istilah supervisor untuk tujuan yang sama.
Ketiga, ketiadaan seorang sutradara dalam melakukan proses penyutradaraan. Selain melakukan interpretasi, sutradara sangat berarti dalam membangun struktur pertunjukan. Sutradara akan sangat membantu dalam membangun mise en scene, variasi dan dinamika komposisi, hingga keberartian pengucapan yang dilakukan aktor. Selain peserta yang telah disebutkan diatas, selebihnya tidak menggunakan ”jasa” khusus seorang sutradara. Akibatnya, banyak kemungkinan pengucapan, tidak mampu terbangun dalam struktur pertunjukannya.
Bahkan, aktor-aktor yang menulis sendiri teks dramatik maupun teks teateralnya mengalami kebuntuan yang berdampak pada ketersumbatan aliran tekstualnya. Hal ini sangat mencolok terjadi pada Sendri Yakti (Kendari) dengan lakon Bulan. Sedangkan Aishah Basar (Medan) dengan lakon Perempuan, terbawa terlalu jauh pada penafsirannya sendiri, sehingga sutradara yang dimilikinya (Idris Pasaribu) tidak bekerja terlalu banyak untuk mengalirkan teks dramatiknya ke teks pertunjukan.

Konsepsi Sinergis
Bila memang monolog itu merupakan khazanah pemahaman teater Modern, maka konsepsi sinergis menjadi pilihan yang paling kecil resikonya bagi seorang aktor. Konsepsi sinergis ini mengandaikan adanya berbagai komponen yang bisa disatukan untuk menjadikan kerja aktor lebih efektif dan produktif serta melahirkan wacana ke-Indonesiaan yang menarik sebagai referensi perkembangan teater di Indonesia umumnya, teater monolog khususnya. Komponen yang terlibat dalam konsepsi sinergis ini bisa merupakan pola teater tutur yang berkembang di pelosok Indonesia, bisa pula tema lokal yang aktual, kebahasaan, perilaku, dan asumsi kultural.
Dalam Pesta Monolog 2005, konsepsi sinergis ini paling tidak dapat kita temukan pada pertunjukan bintang tamu dari Bandung yang dipercayai tampil dalam acara penutupan, yakni Wawan Sofwan yang membawa teks Dam karya Putu Wijaya, maupun bintang tamu yang dipercaya membuka rangkaian Pesta Monolog 2005, Ken Zuraida (Jakarta) melalui teks Tanpa Batas karya Ken Zuraida. Disamping itu dapat pula kita temukan pada Luna Vidia melalui teks Balada Sumarah karya T. Lestari, Elan Windalian (Aceh) melalui teks Wih karya Salman Yoga S, Mami Sri Maryani (Bandung) melalui teks Masmirah karya Arthur S. Nalan, dan Sukamto (Surabaya) melalui teks Damar Kurung karya Sukamto.
Wawan Sofwan membangun konsepsi sinergis melalui transformasi model teater tutur (topeng) Pacegan yang ada di Bali untuk menghidupkan lakon yang kebetulan di tulis oleh pengarang yang memang berlatarbelakang budaya Bali. Berdasarkan pengakuan Wawan, teks yang telah dimainkan beberapa kali ini juga pernah dicoba menggunakan berbagai latar kultural terhadap tokoh-tokoh yang diperankannya. Kepiawaian Wawan tidak hanya sampai disitu. Ia juga memiliki kapasitas yang lebih dibandingkan para aktor lainnya dalam mengkombinasikan bahasa tubuhnya dengan bahasa verbal melalui berbagai variasi. Dalam konteks konsepsi sinergis bahasa tubuh dan bahasa verbal ini, juga dapat kita temukan pada penampilan Luna Vidia dan Mami Sri Maryani.
Berbeda dengan Elan Windalian, konsepsi sinergis dibangunnya lewat pengungkapan fakta sosio-kultural yang dialaminya di tanah kelahirannya. Melalui media tikar pandan, Elan membuka tabir delinkwenisasi sosial yang merobek pencitraan masa lalu yang menjunjung tinggi adat istiadat. Elan berujar, ”ini saatnya katak memecah tempurung/meretas nurani/meruntuhkan kebungkaman sopan santun adat”. Melalui teknik non verbal, Elan benar-benar memfungsikan seluruh penginderaannya terhadap peristiwa yang seolah-olah terjadi di depan mata.
Dalam konteks yang hampir sama, melalui teknik verbalnya Ken Zuraida menggambarkan tokoh utamanya yang menuntut hak yang sama dirinya sebagai manusia. Teknik verbal yang dibangun Ken Zuraida menggiringnya pada situasi bercerita atau terkesan mendongeng. Kesan semacam ini dimungkinkan pula oleh perbedaan usia tokoh dengan dirinya yang teramat jauh, serta gambaran peristiwa aktualnya tidak secara langsung dihadapi Ken Zuraida. Namun semua itu mampu terabaikan oleh kapasitas keaktoran Ken Zuraida yang dapat menguasai alur penceritaan dan bahasa tubuh dan verbalnya yang amat kuat.
Sedangkan Sukamto mencoba membahasakan pertunjukannya dari khazanah filosofis masyarakat Jawa untuk membaca persoalan masa kini. Teknik non verbal yang digunakan Sukamto cukup efektif, tetapi kurang produktif, karena Sukamto berlari terlalu jauh dari substansi kultural yang hendak dibangunnya. Di samping itu, Sukamto juga mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari kondisi fisikalnya. Hal ini berdampak pada lemahnya produksi suara yang menjadi tuntutan tekstualnya.
Mami Sri Maryani bak penari yang menggunakan sehelai kain untuk membantu pembentukan tokoh-tokoh ceritanya –disamping menggunakan differensiasi suara. Cara ini sangat efektif dan produktif. Personifikasi tokoh-tokoh cerita yang sedemikian gamblang ditampilkan Mami SM, didukung pula oleh penguasaan ruang interior dan eksterior yang memadai. Meskipun membawa warna kultural yang kental seperti yang diupayakan Sukamto, Mami SM lebih mampu membangun kekuatan kulturalnya, karena didukung oleh penataan artistik yang signifikan.
Monda D. Gianes (Riau) dengan lakon Aut (Putu Wijaya) sebenarnya ingin pula membawa nuansa kultural ke dalam nafas pertunjukannya. Tetapi, Monda hanya ”bermain” sebatas instrumen musiknya. Pengucapan dan perilakunya dikembalikan pada ”teks aslinya”. Monda seperti kurang peka akan adanya kemungkinan transformasi kultural seperti yang dilakukan Luna Vidia yang menyelipkan pola ucap orang Makassar, meskipun agak janggal dengan ritme tekstual yang sesungguhnya. Namun, Luna berhasil membentuk suatu iklim rekreatif kulturalnya. Sebagai proses peragaan teks, Monda cukup mampu menggerakkan penceritaanya.

Kerancuan Tekstual
Kerancuan tekstual merupakan pemberian kadar tekstual yang kurang tepat atau berlebihan. Hal ini terlihat pada pertunjukan Hendra Utay (Bali) melalui teks Bahaya Racun Tembakau karya Anton Pavlovich Chekov, dan Pandu Birowo (Padang) melalui teks Apologia karya Plato. Sebagai sebuah pertunjukan, Hendra Utay boleh dibilang cukup berhasil. Namun demikian, jalan pintas yang diambil Utay untuk memecahkan persoalan waktu atau durasi penampilan, sepertinya agak sulit untuk melupakan begitu saja khazanah tekstual yang digunakannya.
Tidak ada larangan untuk melakukan pembongkaran habis-habisan teks yang sudah dilahirkan oleh seorang dramawan atau seorang penulis naskah (playwright). Tetapi setiap teks membawa dengan sendirinya berbagai kaidah yang membawa denyut jantung kehidupan pengarangnya. Bila denyut jantung pengarangnya sudah dicabut dari saluran urat-urat syarafnya, maka teks yang kita gunakan memiliki hak untuk bermigrasi. Migrasi teks tersebut dapat mengalihkan identitas maupun entitas pengarang atau penulis teks tersebut. Meskipun tidak membunuh atau mematikan pengarangnya, migrasi teks harus disertai dengan penjelasan terhadap ”penistaan” atau peleburan dengan nama dan kontekstualisasi teks yang baru.
Utay masih menggunakan nama Bahaya Racun Tembakau dengan pengarang Anton P. Chekov. Kerancuan pada Utay justru memberi kesan, bahwa Utay gagal memahami teks yang digunakannya. Disamping itu, Utay juga terkesan gagal menjadi aktor karena tokoh imajiner yang seharusnya mampu dihidupkannya lewat kemampuan keaktorannya, justru tereliminasi oleh kehadiran tokoh imajiner tersebut. Lebih rumit lagi, Utay justru telah membentuk pertunjukan teater dengan dua aktor yang tentu bukan lagi monolog atau percakapan yang personal dan seorang diri.
Sedangkan Pandu Birowo belum memiliki kesempatan yang cukup untuk memasuki teks yang digunakan. Ia justru menjelmakan diri menjadi seorang filsuf yang diidentikkannya dengan kesopanan, kelembutan, berpikir keras, dan seolah-olah tidak peduli dengan orang lain. Hal ini berakibat pada pelarian teks dari publiknya. Pelarian teks ini bergerak terus hingga pelarian ketubuhan Pandu Birowo kepada penontonnya. Penonton tidak tahu kepada siapa sang aktor hendak bicara. Lebih tepat bila disebut sang aktor hanya ingin bicara pada dirinya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh rendahnya volume dan dinamika pertunjukan yang digiring sang aktor.
Apa yang dialami Pandu nyaris mirip dengan Dedi Apriansyah (Lampung) yang membawakan teks Hamlet dan Sedikit Perkiraan Tentangnya karya Ari P. Hutabarat. Teks dramatik maupun teateral kehilangan tubuhnya. Sepertinya, tidak ada perkiraan yang bisa ditransformasikan dalam idiom yang baru. Terdapat kesan, sang aktor hendak membuat suatu konsep kontras atau ambiguitas dalam berbagai relasi, tetapi justru menimbulkan kelucuan yang tidak lucu. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak ikut bermainnya gestur dan tubuh Dedi dalam menopang konsepsi yang dibangunnya, dan kerancuan tekstual terjadi pada titik tafsir membangun struktur pertunjukan.
Sedangkan Hapsah (Jambi) yang membawakan teks dramatik Prita Istri Kita (Arifin C. Noer) terjebak pada pengejaran kalimat pada saat dia tidak menyentuh benda atau peralatan yang ada. Teks mengalami pengurangan fungsinya secara signifikan. Hal ini dipersulit lagi dengan dinamika emosi dan tubuh Hapsah yang tidak terbangun sebagai akibat pemenggalan kalimat dan jedah yang kurang tepat. Penonton mengalami kesulitan yang berarti mengikuti jalannya penceritaan sang aktor. Hal yang hampir sama terjadi pada Aishah Basar (Medan) dengan lakon Perempuan (Aishah Basar).

Epilog
Apapun yang telah dilakukan para aktor teater monolog di teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta beberapa waktu lalu itu, satu hal yang tak bisa kita pisahkan adalah warna kultural yang kita miliki dan pemahaman modern yang telah merasuk dalam diri kita menjadi idiom keberadaan teater monolog di masa mendatang. Disamping itu, kepada para aktor, banyak harapan yang bisa kita tumpahkan. Harapan tersebut bukan saja pada masa depan mereka, tetapi juga harapan untuk lebih menempatkan monolog sebagai pilihan berteater yang dapat berkembang menjadi salah satu kekuatan berteater kita. Untuk itu, upaya keras para aktor dalam menangani persoalan-persoalan keaktorannya akan sangat menentukan.
Disamping itu, keseriusan untuk menjadikan monolog sebagai salah satu genre teater harus ditopang oleh berbagai penelitian yang dapat menemukan aspek-aspek logis pengembangan monolog tersebut. Jadi, monolog bukan saja sebagai media berlatih dan pengujian kemampuan aktor, tetapi menjadi kekuatan pengucapan teater dalam menggalikemungkinan idiom maupun ideologi berteater di Indonesia. Tidaklah berlebihan, bila khazanah berteater kita, dapat menemukan pilihan baru dari situasi yang sulit bagi suatu kelompok teater dalam membangun komunitas yang dapat terus menerus atau secara periodik mengadakan pertunjukan.
Bila pantomime sebagai satu genre teater yang juga dimainkan secara perseorangan telah mengalami ketersingkiran oleh dunia sulap semacam Doddy Corbuser atau reality show di layar televisi yang penuh kejutan, maka monolog sangat mungkin menjadi bagian yang terpisahkan dari spirit ”one man show” di era sekarang ini. Selamat bertemu di arena pertunjukan yang lain. Dan, selamat berproses menemukan monolog ala Indonesia, yang mungkin bisa menjadi teater nyerocos atau teater tutur atau juga teater tunggal sebagaimana telah dikenal dalam pertunjukan tari. Apapun monolog itu, kita bisa mencoba monolog menurut perkiraan kita masing-masing.

Autar Abdillah
Staf pengajar Drama dan Teater pada program studi Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, Pengamat pada Pesta Monolog 2005 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005

Sabtu, 10 Juli 2010

Membaca Peta Teater Katimuri

oleh Autar Abdillah
(Catatan: tulisan ini dibuat 2 Oktober 2002)

Selama satu minggu, 22-29 September 2002, sebagian warga Surabaya menikmati tontonan teater dari para pekerja teater di kawasan timur Indonesia (Katimuri), yang bertajuk “Temu Teater Katimuri III”. Meskipun hawa panas gedung pertunjukan di gedung Gema Universitas Negeri Surabaya, maupun auditorium IAIN Sunan Ampel Surabaya begitu menyengat, namun tidak mengendurkan niat ratusan penonton untuk berdiam menikmati hampir semua pertunjukan. Hal ini tentu merupakan perjuangan yang tak kalah beratnya dengan yang dilakukan oleh para pekerja teater itu sendiri.
Para pengunjung teater ini sebagian besar adalah para peserta Katimuri yang ikut ambil bagian dalam berbagai acara yang digelar, dan mahasiswa di Surabaya. Tidak banyak terlihat para penonton yang berasal dari kalangan teater non kampus maupun pelajar. Begitu pula pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan teater, baik itu Depdiknas, Taman Budaya, maupun lembaga yang dipercaya memiliki peran memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang suatu kesenian yang sebaiknya dikembangkan di Jawa Timur maupun di Surabaya. Kalangan masyarakat umum pun nyaris tidak menempatkan dirinya dalam peristiwa ini. Pendeknya, telah terjadi semacam “pengisolasian diri” atau terisolasinya kegiatan ini dari berbagai kalangan di Surabaya maupun di Jawa Timur. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena peristiwa semacam ini seharusnya menjadi bagian dari semua pihak yang turut serta menghidupkan atau mengembangkan teater maupun kesenian di Jawa Timur.
Terdapat kesan bahwa “Temu Teater Katimuri III” ini hanya merupakan “kenduri” dari sebuah kelompok teater saja, dan ditujukan kepada saudara-saudara dekatnya. Jadi, bukan sebuah peristiwa teater di kawasan Timur Indonesia. Hal ini dirasakan oleh sejumlah kelompok teater “tamu”, dan mereka ekspresikan dalam sebuah pertunjukan kecil hasil sebuah kolaborasi. Dalam pertunjukan tersebut diperlihatkan bagaimana para peserta Katimuri hanya datang untuk memperebutkan kaos yang menggambarkan kegiatan Katimuri. Disini diperlihatkan pula bagaimana mereka menerima nasi bungkus, dan setelah itu ditinggalkan begitu saja oleh “si pemberi nasi bungkus”. Dan, ironisnya nasi itu digambarkan sebagai nasi yang telah basi.
Kisah ironis lain terlihat dari tidak siapnya tuan rumah kenduri ini dalam menyusun jadwal acara. Sejumlah acara yang telah tertulis dalam buku agenda acara, sebagian tidak terselenggara. Bahkan, sebuah tempat yang disiapkan untuk pertunjukan ditiadakan begitu saja tanpa pemberitahuan. Tidak ada permintaan maaf apapun, karena penonton yang datang --masyarakat umum di Surabaya, memang bukanlah “tamu yang diundang”. Cara-cara semacam ini, sekali lagi sangat disayangkan. Ini merupakan tindakan tidak terpuji yang patut dihindari oleh siapapun dalam penyelenggaraan pertunjukan, termasuk teater. Hubungan penyelenggara teater dengan penonton --siapapun mereka, harus benar-benar merupakan hubungan yang akrab, kondusif dan mampu menjalin komunikasi yang erat dan bersahabat

***
Satu hal lagi yang cukup ironis adalah tidak ada satu pun teater dari Jawa Timur yang ikut berpartisipasi menggelar karyanya. Hal ini berbeda dengan Katimuri I dan II yang menampilkan “teater tuan rumah”. Bahkan, Katimuri II di Mataram memunculkan 10 teater dari Nusa Tenggara Barat. Apakah teater di Jawa Timur itu tidak memenuhi standard yang telah ditetapkan? Apapun alasannya, dan standardisasi apapun yang hendak diterapkan, kelompok teater yang datang ke Surabaya itu, paling tidak ingin mengetahui bagaimana pekerja teater di Surabaya dalam memperlakukan teater. Jadi, kesan yang muncul adalah tidak adanya teater dari Jawa Timur maupun Surabaya yang layak untuk berbagi pengalaman dengan teater di kawasan Timur Indonesia. Kesan ini lebih menunjukkan arogansi dan semakin memperkokoh ketidakharmonisan komunikasi diantara pekerja teater itu sendiri. Disamping itu, juga semakin memperkuat kesan “raja-raja kecil” atau tiran-tiran kecil yang bermunculan di tengah-tengah kompetisi global sekarang ini, termasuk kompetisi kreatif yang memungkinkan teater membangun penemuan-penemuan baru..
Rendahnya ruang kompetisi itu, juga tercermin dari teater-teater yang lahir dari Katimuri III ini. Nyaris tidak ditemukan gagasan-gagasan besar yang mampu mengubah jalan hidup teater. Tidak terlihat sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam Katimuri ini. Selain hanya sebuah pertunjukan demi pertunjukan itu sendiri. Salah seorang pelaksana kegiatan ini sempat mengatakan bahwa kegiatan ini untuk menghadapi adanya superioritas “wilayah Barat” dalam berteater. Semangat atau cita-cita semacam ini semakin tidak mudah untuk dimengerti, karena teater sama sekali tidak mengenal rezim teritorial. Bila hal ini yang menjadi titik tolak keberadaan teater “Katimuri”, maka nasibnya akan sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh gerakan “sastra pedalaman”, yang akhirnya hilang tanpa jejak. Sebelum sejarah “sastra pedalaman” itu berulang kembali, ada baiknya para penggagas teater “Katimuri” ini menancapkan gagasan-gagasan ideal bagi suatu teater yang hidup di kawasan Timur Indonesia.

***
Banyak pertunjukan dari Katimuri III di Surabaya ini, nyaris tanpa eksplorasi data dan semakin mengukuhkan telah terjadinya dehumanisasi dalam teater. Kedua cara penemuan teater ini bukan saja berdampak pada kedangkalan penerimaan dan interaksi antara para aktornya dengan penonton, tetapi juga akan membawa teater pada sesuatu yang tak bermartabat. Pada pertunjukan monolog Marsinah Menggugat dari Teater Sendiri (Kendari) misalnya, mengesankan bahwa tokoh buruh Marsinah adalah seorang wanita yang tidak berdaya sama sekali menghadapi kezaliman yang terjadi. Hampir di semua adegan, Marsinah digambarkan penuh dengan kesedihan. Selain tidak ada data baru dari penampilan ini, sangat sulit untuk dibayangkan bagaimana Marsinah berada dalam kesedihan. Sudah banyak data yang diperlihatkan sebelumnya, bahwa Marsinah sudah tidak punya air mata lagi. Marsinah bukan sekedar buruh pabrik arloji PT CPS Porong, Sidoarjo yang memberikan dukungan terhadap tuntutan rekan-rekannya, tetapi Marsinah adalah seorang guru yang baik bagi anak ibu kostnya di Porong, serta membantu perekonomian keluarganya yang relatif miskin.
Hal yang sama terjadi pada teater Yupa (Samarinda) dengan “skenografi” Kanvas Tak Bertepi, teater Madaduli Kempo melalui Berita Hari Ini, teater Sendiri (Kendari) melalui Lilit Melilit Dililit, dan teater Betang (Sampit) melalui Dikejar Bayangan. Ketiga teater ini nyaris tak memiliki arah yang jelas. Sedangkan teater Kamar Indonesia (Lombok) melalui adaptasi cerpen Sentimentalisme Calon Mayat karya Soni Karsono, terlihat sangat verbal. Mayat-mayat diperlihatkan tergeletak di tengah-tengah panggung yang dibuat berbentuk arena. Sedangkan “Mayat yang sentimentalistik” itu bermain diantara “mayat-mayat” yang tak lain adalah manusia-manusia hidup yang digeletakkan. Entah apa yang membuat sutradara teater ini memiliki kerelaan membiarkan manusia-manusia atau orang-orang yang masih bernyawa itu mempersonifikasikan mayat, terinjak-injak, dan terkena semburat nasi yang keluar dari tokoh utama pertunjukan ini. Dan, entah apa yang dirasakan para pemain yang memerankan mayat-mayat itu, kalau bukan rasa jijik, sakit dan tercerabutnya martabat kemanusiaan yang tentunya merupakan dasar ketika mereka memasuki teater.
Satu pertunjukan yang banyak menarik perhatian penonton adalah dari Sanggar Budaya (Banjarmasin) yang membawa lakon komedi realis Perkawinan dari Nikolai Gogol. Namun demikian, sang sutradara teater ini mengalami sedikit keraguan dalam mentransformasi dialektika bahasa lakon pada masyarakat penontonnya. Di satu sisi ingin membawa lakon ini pada atmosfir masyarakat Surabaya dengan menggunakan sejumlah ikon masyarakat kota Surabaya, di sisi lain terdapat dialektika yang masih berakar pada kultur Yogyakarta, seperti penamaan daerah Bantul dan beberapa pola pengucapannya. Sedangkan teater Srikandi yang membawa lakon Payung Kematian, terkesan terlalu mendramatisir dialog yang berpola mirip dengan lakon-lakon Putu Wijaya. Upaya untuk menggiring komunikasi dengan penonton melalui pemberian duplikasi payung, ternyata tak memberi dampak apapun. Sehingga, payung yang berada di tangan penonton justru memberikan beban tersendiri pada pertunjukan tersebut.
Berbagai kendala yang bersifat teknis dari pertunjukan-pertunjukan teater “Katimuri” lebih disebabkan oleh masih rendahnya pergesekan informasi perkembangan mutakhir dunia teater. Namun demikian, bukan berarti teater bertolak dari informasi semacam ini. Yang jauh lebih penting tentunya adalah pergesekan kalangan teater tersebut dalam kehidupan. Teater tidak harus menjadi cermin dari kehidupan, tetapi teater adalah kehidupan itu sendiri. Ini artinya, eksplorasi didalam teater, memiliki kaitan yang sangat kuat dengan kehidupan. Anehnya, benang merah dengan kehidupan itu sendiri masih sangat terbatas pada isu-isu sosial dan politik semata. Dan, isu yang paling mendalam, yakni bagaimana manusia menghadapi keidiriannya, tubuhnya, dan relasi hidupnya dengan realitas disekitarnya, masih jauh dari harapan. Pada titik ini, teater “Katimuri” tidak memiliki perbedaan mendasar dengan teater-teater lainnya di Indonesia, termasuk yang ada di Jawa Timur.
Untuk penyelenggaraan teater “Katimuri” IV (bila masih ada), sebaiknya teater-teater yang akan tampil sudah melakukan eksplorasi sejak dini, jadi bukan beberapa bulan atau beberapa minggu setelah berakhirnya Katimuri III ini. Kedua, ada baiknya setelah pertunjukan teater berlangsung, pada hari berikutnya diselenggarakan dialog atau pemecahan persoalan-persoalan teater yang didasari atas pertunjukan tersebut. Hal ini lebih efektif ketimbang melakukan pelatihan secara terpisah atau mempersoalkan yang bukan menjadi pusat perhatian dari masing-masing teater. Ketiga, ada baiknya membuat garis yang tegas terhadap apa yang hendak diperjuangkan oleh teater “Katimuri” di masa depan. Dan, lebih jauh, teater “Katimuri” itu dapat membangun suatu gerakan yang dinamis dalam membongkar dan membuat sejarah baru bagi dunia teater.

(Autar Abdillah, staf pengajar prodi Sendratasik FBS-Universitas Negeri Surabaya)

Tentang Teater Modern Indonesia

oleh Autar Abdillah
(catatan: tulisan ini dibuat 4 Juli 2002)

Membaca tulisan “Qua Vadis Teater Modern Indonesia, benarkah?, Perlu Penyegaran, bukan Penyeragaman” (Jawa Pos, 30/6), terdapat sejumlah kerancuan yang berakibat pada penyesatan pandangan tentang teater Modern di Indonesia. Hal ini lebih diperparah oleh asumsi-asumsi yang tidak berdasar tentang teater SAE yang melahirkan “sejumlah pengekor”. Padahal, sangat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh teater SAE sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan oleh teater-teater lainnya, termasuk oleh teater Kubur dan Payung Hitam. Meskipun Dindon dan Andi Bersama di teater Kubur pernah bergabung dengan teater SAE, tetapi mereka memiliki pandangan yang sangat berbeda. Begitu pula dengan aktor yang sangat penting dalam teater SAE dan kini membintangi sejumlah sinetron serta menjadi presenter acara flora dan fauna di sebuah stasiun TV swasta , yakni Zainal Abidin Domba, memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang diinginkan oleh Boedi S. Otong selaku penggagas maupun pelopor penting “teater anthropologis” di Indonesia.
Teater Modern di Indonesia hingga saat ini dipahami sebagai teater yang menggunakan naskah tertulis untuk membedakannya dengan teater tradisional yang menggunakan naskah lisan secara turun temurun. Itu pulalah sebabnya, mengapa Bakdi Sumanto menyebut teater Gandrik sebagai teater “post-tradisi”. Pengertian ini menjadi sangat tidak memadai lagi, karena teater tradisional sejak dilaksanakan berbagai festival teater rakyat-tradisional pertengahan tahun tujuh puluhan --memuncak di tahun delapan puluhan, dan berkembangnya media televisi, mulai memberlakukan naskah-naskah yang bukan berasal dari sastra lisan, tetapi mengembangkan naskah-naskah yang aktual dari persoalan-persoalan sosial ada. Untuk itu, tidak pada tempatnya lagi untuk memandang konsepsi teater dari bagaimana teks lakon dipergunakan.
Maka, teater modern di Indonesia dapat ditelusuri dari bagaimana aktor dan sutradara memposisikan dirinya dalam teater. Teater modern di Indonesia adalah teater dengan posisi aktor dan sutradara tidak lagi memiliki penafsir tunggal. Hal ini telah dimulai oleh Putu Wijaya yang membangun kepengarangan bersama dalam melahirkan teaternya. Hal ini tidak terdapat pada Rendra (Bengkel Teater), Arifin C Noer (Teater Kecil), Teguh Karya (Teater Populer), Nano Riantiarno (Teater Koma) maupun Suyatna Anirun (Studiklub Teater Bandung). James Roose-Evans, menyebut Jacques Copeau sebagai bapak teater modern. Copeau dalam manifesto terakhirnya (1913), mengatakan “Pour l’oeuvre nouvelle qu’on laisse un treteau nu!”. Sebuah panggung yang terang, sebuah ruang kosong. Lima puluh tahun kemudian diikuti oleh Peter Brook. Apakah telah terjadi penyeragaman?
Istilah penyeragaman dengan munculnya teater-teater yang tidak lagi memperlakukan tubuh seperti apa adanya, tubuh yang distilisasi, non verbal dan seterusnya, bukanlah bentuk penyeragaman. Semua itu proses yang lazim, yakni sebuah penguatan atas suatu mainstream dalam pertumbuhan teater. Pekerja teater mencoba untuk merebut hati publiknya dengan cara yang hampir sama dengan apa yang dilakukan teater pendahulunya. Atau, melakukan semacam percobaan untuk sesuatu yang dipandang dapat dieksplorasi lebih jauh. Tapi, semua itu tidak akan berlangsung lama. Karena setiap esensi bentuk yang dilakukan memiliki dasar historisnya sendiri. Tidak semua orang bisa melakukannya. Memang, di sebuah festival teater SMU di Yogyakarta pernah terjadi bentuk penyampaian yang nyaris seperti Gandrik, (saya sendiri sempat menyaksikannya) tapi semua orang tahu, bahwa itu bukan Gandrik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pola pertumbuhan semacam ini.
Khusus mengenai teater SAE yang dianggap melahirkan sejumlah “pengekor”, saya sangat tidak sepakat dengan asumsi ini. Teater SAE yang lebih dari sepuluh tahun membangun teater, dan lahir dari Festival Teater Remaja, lalu tidak berproduksi lagi harus dilihat sebagai suatu persoalan alami dalam suatu gagasan teater. Saya kebetulan berada di tengah-tengah teater ini ketika mengalami krisis “ideologis” yang menajam. Pada waktu itu sedang berlangsung penggarapan teater dengan judul Ayah Telah Berwarna Hijau. Beberapa tahun kemudian, sejumlah penggiat teater inipun sempat memainkan satu lakon yang dipimpin oleh Bustro Q. Yoga, dipentaskan di Jakarta, Bandung dan Surakarta. Pertanyaannya, apakah suatu teater harus berproduksi setiap hari, setiap bulan atau setiap tahun untuk mengatakan bahwa teater tidak mengalami stagnasi estetik atau artistik? Disnilah persoalan mendasar dari kekeliruan berpikir dalam teater.
Di Indonesia, boleh dikatakan ratusan teater lahir setiap tahun. Kelahiran artistik dan estetik juga sangat luar biasa. Ada teater dari Kalimantan dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional dua tahun lalu, bermain dari tali ke tali, bergelantungan untuk mengatakan bahwa tidak ada lagi tanah yang bisa mereka pijak, karena seluruh hutan di Kalimantan telah dirampas oleh para pemegang HPH. Saya menyarankan sdr. Indra Tranggono menyaksikan teater-teater di luar Yogyakarta. Di Yogyakarta itu, teater memang sangat sulit berkembang disebabkan oleh kuatnya pengaruh paham sastra dalam memandang teater. Teater dilihat dari kaca mata sastra, bukan kaca mata teater itu sendiri. Sejarah teater di Indonesia telah berubah jauh dari apa yang kini ditulis di buku-buku berbahasa Indonesia. Sedangkan sejumlah buku terjemahan yang ada, mengalami kesulitan interpretasi karena bukan merupakan bagian dari eksplorasi teater kebayakan para pekerja teater di Indonesia. Memang sulit bagi seorang sastrawan untuk membaca teater pada saat sekarang ini, termasuk sdr. Shoim Anwar. Bahkan, masyarakat secara umum pun merasa ditinggalkan oleh gagasan teater satu dasawarsa terakhir. Kita memang membutuhkan para kritikus teater yang mampu menjembatani jurang yang semakin lebar tersebut.
Mengenai akar teater di Indonesia, Akhudiat mungkin benar. Tapi, teater Indonesia tetap memiliki akar. Sedikitnya ada tiga akar yang menjalar dalam tubuh teater modern di Indonesia. Pertama, akar “stambulan” yang membangun teater tradisional. Kedua, akar teater “Barat” yang membangun prinsip teater ATNI, Asdrafi dan teater-teater yang bercorak realisme, naturalisme, dan romantisme. Ketiga, akar eksperimental yang melawan prinsip legitimasi teks lakon. Ketiga akar ini bisa tumbuh secara sepihak, tetapi dapat pula merupakan gabungan dari dua akar, bahkan ketiga akar itu dapat berjalan beriringan. Inilah keunikan teater modern Indonesia bila dibandingkan dengan teater di Eropa dan Amerika, maupun teater di Asia, Afrika, dan Australia. Khusus teater di Eropa, mereka memiliki akar historis yang lebih jelas, terutama dengan kuatnya hubungan mereka dengan perjalanan teater sejak era klasik (Yunani Kuno). Diaspora teater modern Indonesia pun juga unik, karena kebudayaan itu memang berdiri bebas tanpa ada yang bisa menguntitnya --termasuk rezim otoriter Orde Baru sekalipun, sampai ke akar-akarnya. Lalu, siapa bilang terjadi “pembusukan sejarah” atau pelapukan?
Indra Tranggono mengatakan, "artinya, ide-ide estetik maupun ide-ide sosial yang terkemas dalam kreativitas teater, akhirnya gagal menjawab tantangan zaman, sehingga tak terhindar untuk menjadi usang, lapuk dan busuk". Sungguh ironis bila teater dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman melalui ide-ide estetik maupun ide-ide sosial. Ini merupakan pemikiran yang mengada-ada. Teater tidak lahir untuk mengubah masyarakat. Di Jerman, para salesman, tukang parkir, pegawai percetakan, politikus mengikuti latihan teater tidak untuk mengubah masyarakat Jerman. Mereka masuk ke teater untuk mengubah diri mereka sendiri, agar mereka mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Teater yang membesar-besarkan dirinya untuk dapat melakukan revolusi sosial atau mengubah keadaan masyarakat adalah teater-teater omong kosong. Sama omong kosongnya dengan teater-teater yang menyibukkan diri dengan drama-drama yang bukan presentasi dirinya. Peter Brook mengatakan teater dengan drama-drama semacam itu sebagai “teater sampah”. Karena perbudakan teks lakon itu juga melahirkan diktatoritas sutradara, dan hilangnya otoritas aktor sebagai manusia juga dalam teater. Seni teater adalah seni peran, pertama, terakhir dan selamanya, jelas Granville-Barker. Atau, Jerzy Grotowski menegaskan teater adalah pertemuan aktor dan penonton, tidak perlu ada tata rias bahkan panggung sekalipun.
Modal dasar teater adalah manusia yang memandang dan menjalani kehidupannya. Bukan yang lain. Kalau modal manajemen teater itu soal lain. Selama ini memang terjadi juga kerancuan dalam membedakan mana yang teater, dan mana yang manajemen teater. Karena pekerja teaternya merangkap untuk mencari uang, mencari penonton, mencari sponsor, dan mencari penulis untuk membicarakan teaternya. Sehingga, teater tidak dilihat dari kemungkinan eksploratif yang terjadi, tetapi bagaimana perburuan untuk menghidupi para pekerja teater tersebut. Hal ini memang tidak terpisahkan dengan kebijakan besar negara dalam memandang kesenian, termasuk teater. Pemerintah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membangun kehidupan teater.
Akhirnya, memang cukup menarik bila memandang gejala yang baru saja tumbuh di Indonesia dengan ikut sertanya sejumlah artis menjadi aktor dalam teater. Rendra pernah melakukannya di tahun 1987, ketika menampilkan Zoraya Perucha dalam lakon Oidipus Rex karya Sophocles di Balai Sidang Senayan Jakarta. Namun demikian, gejala yang baru saja muncul di Jakarta itu, lebih merupakan suatu tarik menarik dan upaya menghilangkan kesan, bahwa artis yang bermain di sinetron itu hanya jual tampang. Mereka ingin mengatakan, bahwa gue juga bisa akting lho. Dan, itu belum merupakan tradisi baru, atau pengaruh teater instan. Bila Royal Theatre Shakespeare London di pertengahan tahun delapan puluhan juga memainkan para artis dalam pertunjukannya, barangkali seperti yang dikatakan Akhudiat, yakni adanya kejenuhan dari penonton. Tapi, di Indonesia, penonton tidak mengalami kejenuhan. Yang terjadi adalah ketidaktahuan. Begitu pula dalam memandang teater modern di Indonesia yang penuh ketidaktahuan. Dan, itulah teater modern Indonesia. Apa mau dikata?

(Autar Abdillah, staf pengajar drama pada prodi Seni Drama, tari dan Musik (Sendratasik) FBS Unesa)