Jumat, 26 Juni 2009

Hidup Teater

Autar Abdillah

Pada sebuah pertemuan di Malang, seorang peserta pertemuan bertanya, "manakah yang harus didahulukan, teater atau masyarakat?". Pertanyaan semacam ini juga sering muncul dalam pertemuan-pertemuan lain. Begitu pula, ketika kita membaca tulisan-tulisan maupun pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan upaya membangun relasi teater dengan kekuasaan, politik, ekonomi, hingga sampah. Di sini, kita selalu kehilangan posisi untuk melihat hidup teater itu sendiri dengan hidup diri kita yang ada di dalamnya.
Terlebih dahulu, marilah kita pahami, mengapa muncul pertanyaan pertama dari seseorang tadi. Teater yang dipahami adalah cara-cara. Artinya, untuk berhadapan dan hadir bersama teater, terlebih dahulu muncul tuntutan untuk memeriksa struktur dramatik (tema --juga amanat, alur, penokohan, dan latar). Juga, persoalan artistik seperti tata lampu, panggung, rias maupun busana. Ditambah lagi dengan pikiran-pikiran maupun pengetahuan tentang pemeranan, penyutradaraan, dan mengelola (sesuatu) pertunjukan, serta penonton.
Pertanyaan kedua, adalah masyarakat. Masyarakat, bagi kita sekarang dipahami sebagai orang – orang yang telah mengalami penguasaan oleh dunia di luar dirinya. Sehingga, mereka kehilangan kedaulatan di atas keberadaan yang tumbuh disekitarnya. Masyarakat dikenali dari penindasan, penggusuran dan represifitas tindakan yang terjadi. Lebih jauh, masyarakat adalah ,akhluk yang "direndahkan" mastabatnya.
Permasalahan tersebut, bukan berarti tidak penting dalam teater. Tetapi justru merupakan realsi yang membangun hidup teater. Namun, antara teater dan masyarakat bukanlah sekuen yang dipandang secara dikotomis. Sehingga, muncul pemahaman, "mana yang harus didahulukan". Pemahaman ini, telah melahirkan teater yang disadari atau tidak, kehilangan hidup teater itu sendiri. Dan, akhirnya "ditinggalkan" oleh publiknya.
Hidup teater yang harus dipahami dalam hidup yang ada dalam "dunia sekitarnya". Terutama dari hidup makhluk yang juga hidup bersamanya. Jadi, teater berawal dari setiap orang yang sedang terlibat di dalamnya. Tidak bisa tidak, keterlibatan itu merupakan persentuhan yang berlangsung terus menerus dari hidup yang sedang berlangsung. Hidups ekarang itu, bukan berarti membutakan dirinya atas hidup di belakang dan didepannya.
Ketika "seseorang" (penonton publik) hidup bersama teater, selalu terjadi dua hal yang dilematik. Pertama, apakah seseorang harus menyaksikan segala sesuatu yang hidup di dalam (realitas) dirinya bersama – sama (realitas) teater. Kedua, apakah seseorang yang harus menyaksikan teater dengan segala pergumulan yang memasuki dirinya dengan menempatkan sebagai dunia lain yang mensubsidi pengalaman baru dalam diri sesorang tersebut. Sehingga, seseorang mendapatkan segala yang diinginkannya pula.
Kejadian pertama, menempatkan seseorang pada penemuan kembali realitas yang ada dalam dirinya. Misalnya, bagaimana seseorang memahami kembali hubungan (relasi) kenyataan hidup sehari – harinya, sehingga terbangun isnpirasi yang baru dalam ia memahami kenyataan hidup yang sedang berlangsung. Nah, di sinilah terjadi semacam kebangkitan atas peran – peran seseorang di dalam memposisikan dirinya, dan akhirnya memiliki dorongan untuk mempercayai antisipasi yang harus dilakukannya dalam hidup sehari – hari.
Sedangkan kejadian kedua, seseorang tetap mengalami pengasingan atas dirinya. Mengapa? Karena, pada saat hidup teater sedang berlangsung, ia membangun klaim – klaim (tuntutan) atas hidup teater itu sendiri. Bukan pada hidup yang dijalaninya sendiri. Seseorang, tiba – tiba mengklaim bahwa teater yang disaksikannya tidak ada emosi, tidak realistik, mengganggu perhatian dan sebagainya. Klaim – klaim tersebut hanya mungkin terjadi melalui satu penyidikan ataupun penelitian dengan terlebihd ahulu mencari variabel yang dapat dijadikan imbangan bagi persepsi – persepsi yang telah dilahirkan. Baik melalui pendekatan semiologi, sosiologi, antropologi, atau kebudayaan.
Surabaya Post, Minggu, 11 Juni 1995, seni

Teater, Presentasi Kemungkinan Hidup

Autar Abdillah

Ketika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) menancapkan kakinya dalam realitas pertumbuhan teater di Indonesia, bersamaan dengan situasi kemasyarakatan dan kebudayaan yang penuh gejolak pada masa itu, maka bolehlah, setiap "ajaran" teater ala ATNI ini menjadi salah satu --atau mungkin satu-satunya, sikap berteater kita. Meskipun WS Rendra sempat menggegerkan situasi pada awal kedatangannya dari Amerika, sikap teater ala ATNI, tetap kokoh tak tergoyahkan. Bahkan, WS Rendra pun hanya membuat sensasi berkesenian saja. Karena, sikap selanjutnya tidak menunjukkan suatu pertentangan yang mencolok dari sikap realisme dramatiknya ATNI. Seluruh pelosok tanah air, menularkan bibit-bibit teater yang berada dalam tradisi ATNI. Tidak kalah menariknya, sejumlah lembaga pendidikan --termasuk lembaga pendidikan tinggi, menjalani tradisi ATNI yang bila dipandang dalam kehidupan sekarang, tentulah sudah tidak memadai lagi.

Akademi Seni Drama dan Filem Indonesia (Asdrafi) Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI dahulu bernama ASTI) Bandung, serta Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan contoh kongkret, bagaimana tradisi ATNI ini dipelihara sedemikian rupa, sehingga melahirkan manusia – manusia tangguh dalam memahami apa yang kemudian kita kenal dengan drama realisme dari "Teater Barat", atau yang sebagian besar berkembang di dataran Eropa. Hanya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang tidak terlalu kuat, dalam mempersepsi teater ini, karena tenaga pengajarnya yang memang hanya sedikit, yang secara instensif memberikan arahan yang mendalam terhadap tradisi teater "ATNI" itu.

Tradisi berteater yang bersifat tradisional, atau teater rakyat, lambat laun, mulai ikut mencampuri tradisi teater ATNI tersebut. Sehingga, tidak mengherankan, bila pada tubuh "teater rakyat" tersebut, terbenamnya tradisi yang sudah mereka miliki sendiri, yakni improvisasi, spontanitas dan guyonan saling bersahut – sahutan, serta keintiman yang menjadikan "teater rakyat" tersebut, sangat dekat dengan segala persoalan dan peristiwa – peristiwa sosial, yang menjadi bahan pembicaraan dari masyarakat pendukungnya.

Ketika Putu Wijaya kemudian hadir di pentas teater di Indonesia, sejumlah orang memang agak terkejut, terpesona dan merasakan suatu keasyikan tersendiri. Begitu pula dengan kehadiran Arifin C Noor (Almarhum), N Riantiarno, Wahyu Sihombing (Almarhum) -- semuanya di Jakarta, maupun Suyatna Anirun di Bandung dan Wisran Hadi di Padang. Tetapi kemudian pentas teater Indonesia sedikit mengalami "keretakan" ketika Boedi S Otong dan Afrizal Malna menggoyahkan paradigma yang selama ini menjadi "kitab suci" dalam tradisi teater ATNI.

Di manakah letak keretakan dan suatu pertentangan yang sedemikian lebar, pada tata kehidupan teater di Indonesia itu? Dan bagaimanakah konsekuensinya dengan tatanan kehidupan teater Indonesia, secara keseluruhan? Dua pertanyaan mendasar ini untuk mencoba mendampingi, apa yang kini sedang dihadapi oleh penyelenggara Festival Teater Nasional 1996 di Bandung, 3 – 7 Oktober ini, yang mencoba mengangkat suatu tema, yang berangkali tak memiliki urgensi dalam pentas teater itu sendiri. Tetapi tidak ada salahnya, bila kita mencoba membicarakan sesuatu, yang mungkin menjadi titik pemikiran yang penting bagi sejumlah pelaku teater kita.

Artikel ini, tentulah tidak menelusuri tema yang hendak dibicarakan dalam Festival Teater nasional 1996, yang mengambil tema Peta Kehidupan Teater Indonesia Masa Kini tersebut, karena memang sudah ada sesi yang membicarakannya dalam acara tersebut. Sebagai catatan pendamping artikel ini hendak menggarisbawahi dua persoalan mendasar yang telah disebutkan di atas.

Dalam tradisi teater ATNI dan tradisi teater di Indonesia secara keseluruhan, naskah drama merupakan titik pusat untuk memasuki apa yang kemudian disebut teater. Melalui seorang sutradara naskah ini diinterprestasikan lebih awal dan diakomodasikan kepada seluruh komponen yang terlibat di dalam teater. Interprestasi menyeluruh, kemudian disepakati, sambil berlangsung proses berlatih. Sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan Putu Wijaya dari sisi naskah lakon ini. Karena, Putu Wijaya melahirkan naskah pada diri aktor masing – masing dengan mencatat semua pembicaraaan yang berlangsung pada diri aktor, untuk dipersiapkan pada pertunjukan teater sendiri.

Pusat pertunjukan pada naskah drama atau lakon itu, dimana pusat pertunjukan ini harus dipatuhi sedemikian rupa oleh masing – masing pemainnya, kemudian bergeser pada pemeranan. Pergeseran pada pemeranan (akting), ini secara total berlangsung dalam sikap berteater Boedi S Otong yang didukung oleh Afrizal Malna yang melahirkan kerja intertekstual, dan inter-relasional di dalam memperlakukan teks yang tidak lagi memutlakkan interprestasi pada diri sutradara. Semua komponen mulai terlibat dalam membangun interprestasi naskah atau lakon atau teks sedemikian rupa. Sehingga membangun suatu pemeranan yang tidak "mutlak" sebagai sesuatu yang berpegang pada satu persepsi atau interprestasi tunggal.

Bergesernya pusat lakon dalam personifikasi pemeranan, lewat kemungkinan terjadinya interprestasi yang beragam, dan kompleks inilah suatu dunia kemungkinan dibuka selebar – lebarnya dan sebesar – besarnya. Pemeranan bukan lagi manifestasi lakon dramatik-tekstual. Tetapi merupakan suatu pembongkaran terhadap realitas yang memungkinkan kehidupan menemukan titik revelansi dan sinkronik aktualitasnya.segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan itu, sedemikian rupa merupakan subjek yang mungkin dalam kehidupan itu sendiri, pada masing – masing diri yang terlibat di dalamnya.

Demikianlah, teater ini, menyatakan dirinya dalam kehadiran atau presentasi kemungkinan hidup yang dialami oleh manusia. Hal ini bukan saja terjadi pada diri sutradara, aktor, maupun para pekerja yang memiliki tanggung jawab masing – masing dalam kerja artistik dan manajerial. Tetapi, lebih jauh memiliki konsekuensi pula pada diri penonton yang hadir bersama – sama aktor di ruang pertunjukan. Penonton bukanlah "mahluk dan keberadaan yang lain", tetapi memiliki peran juga dalam membangun teater, meskipun di dalam dirinya masing – maisng. Inilah yang dimaksud dengan berlangsungnya subjektivikasi di dalam teater, di mana masing – masing personal, terlibat dalam suatu pertemuan yang senlanjutnya dinamakan teater.

Keretakan atau pertentangan yang terjadi dalam tatanan kehidupan teater kita -- dari sesuatu yang dimutlakkan diri melalui "ajaran hidup" yang diinterprestasikan lewat naskah atau lakon, bergeser pada segenap kemungkinan hidup yang dipersepsesikan lewat kehidupan masing – masing komponen yang terlibat dalam pertemuan ruang pertunjukan --, menjadi suatu identitas yang unik dan spesifik dalam perkembangan paradigma teater itu sendiri di Indonesia.

Konsekuensi logis dari kenyataan di atas adalah pada munculnya berbagai manifestasi berteater yang terkadang mengandung indikasi janggal, aneh – aneh, tidak asyik dan tidak membahagiakan. Muncul juga semacam kekacauan paradigma dalam wacana kontekstual kehidupan sehingga membawa kesan pada pemerasan terhadap kehidupan itu sendiri.

Akhirnya, konsekuensi yang menyeluruh adalah pada upaya membawa kembali persepsi teater itu, pada kemungkinan hidup, yang memang merupakan realitas aktual dari kehidupan masing – masing kita. Teater bagaimanapun juga harus mampu menjadi sekuen kehidupan yang penting bagi setiap orang yang melibatkan dirinya. Teater tetap membawa manfaat bagi umat manusia dalam memahami setiap momen kehidupan yang memang memiliki kandungan kemungkinan yang sedemikian besar. Di sinilah peta kehidupan teater Indonesia masa kini, kita awali pelacakannya tanpa membawa korban pada generasi baru teater, yang terus tumbuh dan mencatatkan dirinya sebagai generasi teater, yang menuntut suatu perubahan besar dalam hidup dan kehidupan teater tersebut.
Suara Karya, Minggu, 6 Oktober 1996, seni

Minggu, 21 Juni 2009

Teater adalah "Keringat"

Autar Abdillah

Apakah teater itu? Siapakah yang mengusik setiap orang untuk menyaksikannya? Bagaimana hidup dan matinya? Mengapa dia tidak boleh disaksikan, bila ada kata-katanya atau prosedur penampilannya tidak memenuhi "persyaratan" tertentu? Apakah persyaratan itu? Siapa itu aktor, sutradara, artistik, penonton, skenografi, (penulis) naskah, dan karcis, dan...?
Konon, teater itu, ya, tempat nonton. Gedung tontonan. Dan, yang ditonton itu disebut "teater". Dulunya lagi, yang ditonton itu namanya bukan teater, tetapi bisa Ludruk, Kethoprak, Lenong, Wayang Bangsawan, Sandiwara, Tonil, Drama, Dulmuluk, Makyong, Mendu, Randai, Wayang Wong, dan tempat nonton itu pun bisa di tanah lapang, dan ada yang dipagari ("ditembok" pakai jerami, daun kelapa, tikar, bambu maupun kain, dan seng).
Lebih jauh lagi, "orang" mulai menarik substansi dan merasionalisasikan hubungan yang terjadi, antara yang ditonton, dan penonton. Apa itu yang ditonton. Siapa yang ditonton. Mengapa ditonton. Bagaimana cara menonton tontonan itu. Mengapa menonton harus pakai ini, dan pakai itu, misalnya mengapa menonton harus pakai karcis, pakai sepatu, harus diam, dan tenang, atau tak boleh ikut teriak-teriak, dan menyahut apa yang dibicarakan oleh tontonan. Tak boleh menyalakan blitz bila hendak memotret, dan terkadang juga tak boleh merokok.
Dari hubungan yang terjadi antara tontonan dan penonton, teater itu pun mulai di-wong-ke, dimanusiakan. Teater itu merupakan makhluk (hidup). Teater itu memiliki eksistensi. Teater itu ajaran (filsafat), pendidikan, forum, kebudayaan, peradaban, kesenian, (untuk cari) nafkah, (untuk) sosialisasi, mengangkat martabat dan kebebasan, kebersamaan, kerukunan, tukar menukar informasi, visi, keluhan, kebahagiaan, hiburan, "ideologi", dan bisa juga teror. Dan, disinilah --salah satunya, pilihan orang terusik untuk menyaksikannya.
Lalu, bagaimana hidup dan matinya teater itu? Hidup dan matinya teater di Indonesia --dalam beberapa pembicaraan, selalu dilihat secara "tak lazim". Pertama, dilihat dari bertambah dan berkurangnya jumlah kelompok teater yang pernah ada. Meskipun, perhitungan tersebut tidak dilakukan melalui pencatatan yang intensif. Bubarnya sebuah kelompok teater dianggap sebagai suatu kemunduran --sekaligus sebagai kematian teater. Kedua, dilihat dari kemunculan "tokoh handal". Dalam artikel Tommy F. Awuy, "Teater Sudah Mati" (Kompas, 10/12) yang lalu, semakin mempertegas kenyataan tersebut, dan bahwa teater tidak dipahami lewat disiplin teater yang sesungguhnya dikerjakan, dan dipahami lewat kerja keras teaterawan itu sendiri. Betapa sederhananya, pertumbuhan media sinetron yang menghasilkan nilai uang (ekonomis), kemudian dimasuki oleh seseorang (yang kemudian disebut tokoh handal dalam teater), seperti Putu Wijaya, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, dan (alm) Arifin C Noor, dianggap sebagai kematian teater!
Labih jauh, Tommy melihat bahwa sinetron sebagai pusat baru dari dunia akting --(untuk diketahui saja, bahwa dalam sinetron itu, dan juga film), (padahal) yang akting adalah kamera, bukan manusia atau orang-orang seperti layaknya teater. Maka, tidak bisa dikomparasikan, apalagi dijustifikasi sebagai perubahan seni peran (akting) yang akan mempengaruhi hidup teater. Tetapi, bisa benar bila kehidupan teater mendapat inspirasi dari kehidupan sinetron --juga film, dan juga mode, atau perangkat-perangkat teknologi, dan gerak manusia.
Semakin tidak bisa diterima lagi, ketika Tommy mulai mengidentifikasi teater secara tidak berdasar. Misalnya, (1) teater tinggal mampu mewarisi sisa romantisme maknanya, (2) Utopi, jika ada penerobosan baru yang paradigmatik, (3) secara epistemologis, pemeranan tidak subjek, namun agen mensuplay pemain, (4) teater --media dalam pengertian klasik, merupakan alat, bukan tujuan untuk sinetron dan film, (5) teater kehilangan bahasa tunggal, dan murni, (6) siapakah lagi teaterawan yang berjuang demi teater itu sendiri dalam kondisi globalisme?

***
Pernyataan Suyatna Anirun yang selalu menjadi ingatan saya, terutama dalam menghadapi aktor-aktor, adalah bahwa teater adalah "keringat". Singkatnya, teater tidak bisa lahir begitu saja. Ada kerja-kerja kreatif, dan disiplin yang terjadi di dalam teater yang hanya bisa dilakukan dengan kerja keras. Berlatih intensif. Menggali, menjelajahi, dan meneliti berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan. Dan, peristiwa teater tidak merupakan hasil ciptaan semata. Tetapi, ia merupakan temuan-temuan dari penggalian, penjelajahan, serta penelitian, oleh segenap unsur yang terdapat didalamnya.
Ketika konsep waktu mengalami polarisasi, maka waktu berlatih tidak dipahami lagi berdasarkan perhitungan hari. Misalnya, berlatih teater harus satu tahun, atau sekian bulan. Tetapi, ia sekarang dilihat dari bagaimana intensitas yang bisa dilakukan selama latihan teater tersebut dilakukan. Meskipun banyak kerja teater yang mulai melakukan simplifikasi dalam mempersiapkan kehadiran dirinya. Masih cukup banyak pula yang memang bekerja secara intensif, dan melakukan upaya-upaya yang sangat keras untuk menggali segala potensi diri yang dimilikinya. Kerja keras teater yang dilakukan oleh para teaterawan kita sekarang ini, sesungguhnya juga telah melahirkan banyak paradigma teater yang belum sempat tercatat. Atau, barangkali kita memang membutuhkan seorang pencatat yang memiliki kemampuan menganalisa sekaligus, serta mengakomodasikannya secara luas.
Jadi, kerja keras teater tersebut, tidak semata-mata merupakan kerja dari teaterawan itu sendiri. Tetapi, lebih jauh merupakan kerja dari berbagai pihak yang memiliki minat dan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap berbagai pertumbuhan sektor kehidupan kita. Tulisan ini tidak mungkin menghitung kedala dan peluang yang sedemikian besar terbentang di hadapan kita. Namun, saya dapat menyebutkan bahwa setiap tahun, ratusan teater lahir dari berbagai festival, pertunjukan keliling, dan inisiatif sendiri dari para pelaku teater di berbagai pelosok di Indonesia. Semua itu, tentulah tidak mudah dibaca hanya lewat media cetak kita. Semua itu, hanya mungkin bila kita mau menyadari, bahwa teater itu merupakan kerja yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kebutuhan yang melekat di dalam dirinya masing-masing.
Barangkali, tidak ada, dan kecil kemungkinannya, bila kita berharap bahwa seorang teaterawan harus berjuang demi teater itu sendiri. Seorang teaterawan itu juga berjuang untuk anak, istri, kerabat, tetangga, tubuhnya, dan mungkin juga bagi bangsa dan negaranya. Semua itu merupakan titik kewajaran yang bisa kita pandang sebagai realitas hidup, dan menghidupkan teater. Bila seorang politikus berpuisi, bukanlah berarti politik sudah mati. Analog dengan bila seorang teaterawan "bersinetron", bukan serta merta teater sudah mati.

***
Satu hal lagi yang harus dihadapi oleh teater adalah hilangnya kesempatan untuk hadir, karena beberapa prosedur kehadiran teater yang dihubungkan dengan kenyataan politik dan sosial. Kenyataan ini dihubungkan dengan bahasa teater yang berkaitan erat dengan bahasa publik teater. Pengaruh bahasa teater yang diasumsikan memiliki daya gerak politik dan sosial itu, justru menunjukkan bahwa sikap politik dan sosial itu mengalami kekacauan dan keguncangan. Paling tidak, persepsi politik, dan sosial itu tak sepenuhnya dimengerti sebagai suatu disiplin sendiri. Karena teater memiliki disiplinnya sendiri dalam "mengelola" dirinya.
Lebih jauh, Persyaratan teater itu atau subjek komunikasi teater itu dapat kita pandang sebagai rangsangan menghidupkan kenyataan dari diri masing-masing. Meminjam pernyataan Victor Turner dalam Anthropology of Performance (1988), seperti dikutip Tommy F. Awuy dalam kalimat terakhir tulisannya, merupakan "...daya ekspresi bahasa masing-masing diri kita". Teater hidup dalam pengalaman yang kita sadari, atau disimpan dalam kesadaran yang kita alami.
"Elemen-elemen" teater seperti aktor, sutradara, penonton, skenografi, "naskah lakon" maupun artistik, dan beberapa lagi yang lainnya, bisa ada bisa tidak --seperti karcis, tata rias, dan bahkan gedung pertunjukan sekalipun (ingat perspesi "teater Miskin" Jerzy Grotowski), merupakan jaringan tubuh teater yang tak kalah pentingnya untuk dipahami lewat tradisi kerja teater itu sendiri.Akhirnya, saya ingin mempertegas kembali bahwa kita memerlukan pembicaraan teater yang secara mendasar memandang basis kerja teater tersebut dengan memandangnya sebagai makhluk hidup. Dengan demikian, ia terus berubah. Sebuah disiplin. Kerja Keras. Bangunan kesadaran diri untuk menggali potensi diri yang tidak disadari bersembunyi dibalik "kemalasan", ketakutan, kekhawatiran untuk mengenali diri sendiri, kenyataan diri kita yang sesungguhnya. Bau kita. Bohong kita.
Kompas, Minggu, 31 Desember 1995, seni

Menjelang Festival Teater Nasional 1996

Pada Apa Teater Harus Percaya?
Autar Abdillah

Ada apakah gerangan, sebuah festival teater nasional digelar di Bandung, 3-7 Oktober? Dua puluh tujuh peserta utusan dari 27 propinsi di Indonesia, hampir dapat dipastikan akan berbondong-bondong menghadiri pertemuan ini. Apa tolok ukur bagi upaya penegmbangan dan pembinaan teater secara nasional, bagi teater itu sendiri. Dan, dengan tema Peta kehidupan teater Indonesia masa kini, apakah urgensinya bagi jagad teater di Indonesia? Barngkali, agak jelas adalah harapan masyarakat luas, agar pertemuan tersebut mampu membangun titik tolak baru dalam memahami tantangan ke depan dari kerja teater itu sediri.
Tulisan ini mencoba secara ringkas memberikan gambaran persoalan teater di Indonesia dengan penekanan pada substansi persoalan teater, dan upaya memahami kembali persoalan mendasar yang dihadapi teater (di) Indonesia. Bila berbicara teater, secara intrinsik, sesungguhnya yang dibicarakan adalah sutradara, aktor, dan penonton. Kita sedang melacak, mengapa sutradara "menulis di kanvas pertunjukan" dengan sikap, perilaku, gerak isyarat, warna, bunyi, kesakitan, kebahagiaan, mobilisasi makhluk-makhluk, dan keberadaan --seperti yang ditunjukkan aktor, properti, lampu, kostum, dan mungkin juga musik, dan tata rias.
Kita juga sedang mencari tahu, mengapa aktor berkata tentang sesuatu yang harus dipersepsi oleh orang lain, yakni penontonnya, masyarakatnya. Dan, bahwa dirinya yang bukan dokter, atau seorang ayah, seorang ibu, atau seorang pembantu rumah tangga yang teraniaya majikannya sendiri, dinyatakan kepada orang lain dengan penuh kepercayaan, dan kepastian. Atau, mengapa si anu menyatakan dirinya tanpa malu, ia pernah mencuri, mempermalukan dunia sosialnya, bahkan "membunuh" kehidupan sehari-harinya.
Apa yang dibicarakan aktor tentang dirinya, dan apa yang dihadapi penonton ketika bertemua aktor, bertemu dengan seluruh penampakan yang dilakukan dalam sesuatu pertunjukan itulah, kita membicarakan teater dalam arti sesungguhnya. Maka, segala yang melekat pada teater, adalah segala yang melekat dalam diri sutradara, aktor, dan penontonnya. Bila ada teater nasional, teater modern, atau teater Indonesia --atau mungkin realisme, dan absurditas, perlu disadari disini, bahwa kita tidak serta merta sedang membicarakan teater. Di sini, berarti sedang membicarakan teater dalam prediksinya bernama nasional, modern, dan Indonesia. Juga realisme, dan absurditas dalam drama.
Kesalahkaprahan selama ini adalah semacam kecerobohan dalam memandang teater dalam generalisasi yang justru menjauhkan pemahaman, sekaligus pengkajian terhadap kehidupan teater tersebut. Pembicaraan tentang teater, memang sering tidak menyediakan diri untuk melihat lebih dekat hal-hal semacam ini. Pembicaraan tentang teater, selalu menuju pada persoalan yang jauh berada di luar wilayah kerja teater sendiri. Misalnya, membicarakan teater hanya pada kemungkinan dan gejala lakon, atau pada teks semata. Upaya semacam ini, sering menjauhkan publik dari kemungkinan untuk memahami pembicaraan teater yang hendak dikenalinya.

***

Teater di Indonesia, boleh dikatakan "dijaga ketat" oleh penyelenggara negara. hal ini untuk mengatakan, bahwa di dalam teater sesuatu yang berbicara memiliki konsekuensi dengan penyelenggara negara. Tetapi, teater semacam ini nyaris tak mampu berkembang, karena yang mereka hadapi adalah perubahan yang sedemikian besar di luar kebijaksanaan penyelenggara negara. Dalam situasi semacam ini, teater selalu melakukan resistensi yang ujung-ujungnya adalah kehilangan peluang dalam manifestasi presentasinya.
Satu hal di sini, adalah rendahnya pengembangan yang terjadi dalam teater. Teater memasuki wilayah pembinaan yang hanya dapat ditelusuri lewat kebijakan penyelenggara negara. Teater tidak berpeluang berbicara pada zamannya. Hal ini pulalah yang menyebabkannya, ditinggalkan masyarakat. Kalaupun peluang itu ada, ia tetap terkonsentrasi pada upaya resistensi. Dengan asumsi demikian, maka ada dua sisi teater yang hidup di sini. Pertama, di bawah lindungan, dan ketaatan kepada penyelenggara negara. Kedua, yang melakukan resistensi. Keduanya selalu bertolak belakang. Negara terlalu kuat dalam memberikan, dan menentukan tolok ukur suatu teater. Disinilah pemetaan teater turut menemukan kerumitan.
Pemetaan kehdiupan teater di Indonesia hampir selalu didekati dengan kajian sejarah, sosiologis, dan ekonomi. Dan, secara kultural, pemetaan itu hanya berlangsung di permukaan. Pertemuan di Bandung, seperti hendak menjelaskan kondisi ini. Di sini, justru tak ditemukan teater yang mampu hidup dalam zamannya. Dalam artian, teater hanya melakukan reduplikasi terhadap pikiran masyarakat sendiri tanpa menyediakan diri memberikan "santunan" pikiran kepada masyarakat maupun kebudayaannya.
Pemetaan teater Indonesia masa kini tidak memiliki urgensi dalam jagad teater sendiri, karena kita tidak pernah mau memasuki persoalan yang memiliki relevansi kuat pada kerja masing-masing teater. Kita tidak bekerja dengan segenap data presentasi teater. Kita tidak bekerja dengan ketelitian penuh terhadap disiplin yang sedang berlangsung dalam teater. Kita lebih mau mengulangi kembali semangat "masa lalu" yang pernah ada dalam "teater".
Akhirnya, kita serempak bertanya, pada apa teater harus percaya? Dalam menghadapi tantangan besar kemanusiaan sekarang ini, teater tidak bisa tidak harus dipercayai lewat aktualitas diri kemanusiaan yang memungkinkan manusia dapat membangun dunia bersama yang ditemukannya, atau tidak ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Teater harus sedemikian rupa untuk memiliki "kerajinan" dalam memeriksa kehidupan yang berlangsung di sekitarnya.Sesuatu teater yang hanya percaya pada "drama-drama", sesuatu yang "dibuat-buat", sesuatu yang palsu, sesuatu yang mengasingkan kemanusiaan kini dengan realitas kemanusiaan itu sediri --seperti yang sangat kita pelihara dalam "teater" Indonesia masa ini, sudah tidak bisa dipercayai lagi dalam sesuatu teater masa kini. Teater bukan kemalasan primordial yang melekat pada kemapanan struktural kehidupan itu sendiri.
Kompas, Minggu, 29 September 1996, seni

Sabtu, 20 Juni 2009

Sastra "Ikan Asin"

Autar Abdillah

Ibarat manusia, jagad sastra juga membutuhkan gizi yang cukup memadai untuk dapat terus tumbuh dan berkembang. Sastra dalam perkembangannya sekarang ini, berhadapan dengan segala macam pergesekan yang sedemikian kompleks. Semua itu, membutuhkan energi yang mampu membuatnya untuk tetap sehat walafiat. Di samping itu, sastra juga harus bisa menjaga kesehatannya, agar segala tantangan yang dihadapinya dapat membuatnya tetap tegar, dan bukan malah lesu dan melarikan maupun mengasingkan diri pada hal-hal yang justru menghancurkan "kepribadiannya" yang hakiki sebagai mata pisau perambah jalan bagi masyarakat. Untuk itu, perlu perbaikan kadar gizi maupun menghindarkan diri dari polusi udara yang merusak tubuhnya.
Jagad sastra boleh dikatakan sedang memasuki masa-masa yang kritis. Mengapa? Pertama, pengenalan kita terhadap sastra, tidak lagi sesederhana kita memahami sesuatu sastra yang indah --estetik, dan enak untuk dinikmati. Tidak pula dari sesuatu yang lahir dalam dunia yang komtemplatif. Karena, ruang-ruang kontemplatif itu sudah direbut sedemikian rupa oleh verbalisasi objek-objek audio-visual, pengetahuan dan teknologi yang kini justru sangat digandrungi masyarakat, menjadi kebutuhan manusia yang utama. Kehadirannya nyaris tak dapat ditolak, dan ditawar-tawar lagi.
Bila suatu masa kita mengenal sastra dari manisfestasi bersastra itu sendiri, dan secara langsung dapat menemukan realitasnya yang konkrit, yakni hubungan persaudaraan yang akrab, kedamaian batin yang menyejukkan, dan menjadai identitas bagi suatu bangsa, serta berlangsung dalam suatu perjumpaan yang cenderung kolektif. Maka, sekarang ini justru sebalikya. Sastra kita temukan di ruang seminar-seminar, buku-buku, koran, radio, dan televisi, sebagai wacana publik yang menyesakkan. Wacana sastra juga berlangsung lewat pembicaraan di warung-warung kopi. Dan, disinilah sastra itu berjumpa secara fragmentaris, dan terkotak-kotak, tanpa disadari oleh pelakunya sendiri. Akhirnya, bersastra pun menjadi sedemikian subjektif dalam ruang kolektifnya.
Kondisi demikian tidak terhindarkan lagi --dan tak perlu dihindari, terutama lahirnya eufemisme yang cenderung apologis. Hal seperti ini seperti sebuah eufemisme para politikus di dalam megapolitik, dan sosial kita. Seorang sastrawan bisa saja mengatakan, bahwa kita harus mengapresiasi suatu sastra "A", karena sastra itulah yang "baik" --yang notabene memiliki gizi yang tinggi. Tetapi di sisi lain, sang sastrawan tidak sepenuhnya memiliki perhatian pada khazanah sastra yang dinyatakannya sendiri. Karena ia harus mempresentasikan aspresiasi yang lain terhadap suatu sastra "orang lain". Hal ini akan semakin luas, dalam kenyataan, dan dalam pola pengapresiasian sastra kita dikemudian hari. Karena, bagaimanapun juga, jagad sastra itu mengalami kesulitan mendasar dalam menggali persoalan baru di tengah persaingan merebut perhatian publik yang luas. Para penerbit sastra, mulai kehilangan kesabaran untuk menempatkan sastra dalam piliha pertama.
Apa yang terjadi disini, bukan saja pada semacam pengkategorian kinerja sastra, tetapi juga pengkotak-kotakan jagad sastra, seperti yang pernah dilakukan HB Jassin pada masa lalu. Perbedaannya adalah kualitas pengkategorian yang dibuat Jassin dengan yang terjadi sekarang ini adalah apada upaya memperkenalkan pergualatan para sastrawan itu sendiri. Sementara pergulatan itu sebenarnya masih sangat rendah. Sastra kemudian di ukur dan dihitung dengan ilmu pengetahuan yang saling terkait pada masing-masing disiplin ilmu yang dijumpainya. Hal ini juga menyangkut suatu persoalan mendasar, bahwa sastra dan bersastra tidak lagi merupakan tindakan yang memiliki otonomi dan independensi. Seseorang --dengan sengaja atau tidak, menciptakan karya sastra prematur. sastra harus diciltakan, kerena telah meninggal seorang Ibu yang ketakutan, dan harus dicintai, atau sebuah kota yang harus dipuja, dan diperingati juga oleh sastra. Atau, lebih jauh, menjadi titik tolak kehadiran sastra.
Kondisi kritis kedua, bahwa udara di atas langit sastra kita sekarang, dipenuhi polusi besar-besaran. Asap tebal penghargaan-penghargaan sastra menjadi tujuan. Barangkali, sebentar lagi akan lahir "adipura" sastra. Sebentar lagi, yang disebut sastra adalah peraih "adipura" itu, dan seterusnya. Dalam kondisi demikian, sastra seperti lupa atau melupakan dirinya yang terus menguras energinya untuk menghadapi derasnya daya saing dalam mempertahankan kemungkinan hidupnya. Sastra kita dihadapkan pada semakin menipisnya energi dalam persaingan global. Ini artinya, sastra menistakan dirinya sendiri dalam kondisi mentalnya yang merendahkan dirinya sendiri. Jadi, tidak melakukan koreksi untuk selanjutnya membangun konstruksi yang lain. Kematian akan menjadi alamat yang tepat bila sastra tidak dibaca dalam akumulasi persoalan yang berada dihadapan masing-masing pelaku sastra itu. Karena, bersastra seolah-olah sudah selesai ketika pujian atau penghargaan telah berada digenggaman.
Dalam sebuah perbincangan sastrawan kampus beberapa waktu lalu di salah satu kampus di Surabaya, terlihat semakin jauhnya kita dari kemungkinan hidup sastra itu di masa-masa datang. Para sastrawan kampus itu, menyibukkan dirinya dalam memperbincangkan karya-karya besar di kalangan kampus. Sebuah karya sastra, seperti berhenti atau harus berhenti pada satu kecenderungan kebesaran yang pernah ada. Semua yang bersastra sekarang ini pun, tidak luput dari kehilangan rasa percaya diri untuk hidup bersama-sama realitas yang ditumbuhkan oleh sastra tersebut. Karena hidup telah memiliki pemaknaan yang material. Kalangan sastra kampus yang di era sebelum 90-an sebenarnya telah menjadi motor bagi berlangsung sikap kritis terhadap pertumbuhan sastra. Kita mengenal, bagaimana lahirnya "Sastra Kontekstual", dan bergumulnya wacana kritis dalam komunitas "Sastra Sawo Manila", dan beberapa aktivitas sastrawan kampus lainnya yang sangat kritis, dan memiliki kreadibilitas dalam mengkaji lebih dalam dari substansi karya sastra di dunia kampus. Namun demikian, semuanya seolah-olah emnjadi tak ada sama sekali. Kebesaran sastra dari kampus seperti terputus di era 90-an menjadi romantisme sejarah, dan munculnya keraguan dalam membangun sesuatu yang mampu menjawab persoalan masyarakat.Akhirnya, sastra kini sudah seharusnya menyadari, dan kembali pada realitas aktual yang memiliki substansi kreatif. Sastra kita tidak dapat dipisahkan dengan apa yang kini dihadapi oleh seluruh umat manusia. Memandang perspektif sastra itu, seharusnya kita memandang pada sumber-sumber energi yang melekat dalam tubuh kita sendiri untuk dilakukan penggalian atau penjelajahan yang lebih progresif. Hal inilah yang merupakan konsekuensi logis dari semakin kritisnya daya hidup dalam sastra tersebut. Meskipun harga yang harus kita beli terhadap gizi yang memungkinkan sastra itu mampu mengubah jalan hidupnya, maka yang paling tepat untuk kita katakan bahwa sastra kita adalah sastra ikan asing. Ikan asing bisa didapatkan di mana-mana. Meskipun ia akan tersingkir oleh orang yang makan keju atau daging, serta sambal botolan

Festival ("Seni") "Para Pedagang"

Autar Abdillah

Festival pada dasarnya merupakan sebuah "pesta rakyat". Disini masyarakat (baca: rakyat) meluapkan suka gembiranya, setelah berhasil melaksanakan panen. Pesta ini juga memberikan motivasi lain seperti upaya untuk menjauhkan desanya dari segala kemungkinan bencana yang datang. Jadi, tidak perlu malu untuk mengatakan, bahwa dengan mengadakan festival, kita sedang berpesta. Yakni, sebuah pesta yang kita tujukan kepada "keselamatan dan kebahagian" bersama dari seluruh anggota masyarakat.
Pada awalnya, pesta rakyat atau festival itu diorganisasikan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat memberikan sumbangan sukarela. Baik itu tenaga, uang, dan pertunjukan-pertunjukan yang mereka anggap penting bagi pembangunan masyarakatnya, dan tentu juga bagi seluruh kehidupan berkebudayaannya. Semua bergembira. Meskipun tanahnya digunakan tempat pertunjukan, dan dipenuhi oleh para pendatang dari desa-desa terdekat maupun dari berbagai penjuru desa dan kota lainnya. Bahkan, desa-desa terdekat itu memberikan sumbangan, yang serupa dengan sumbangan yang diberikan oleh masyarakat setempat.
Semua bergembira! Karena, memang itulah yang diinginkan masyarakat lewat pesta atau festival itu. Panggung didirikan. Umbul-umbul dipajang seantero desa. Pakaian baru dikeluarkan. Kesenian paling "baik", yakni kesenian yang sesuai dengan keinginan masyarakat, juga digelar. Diutamakan, kesenian yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Karena, memang kesenian itu untuk menunjukkan pada masyarakat yang lain, bahwa di desa itu terdapat kesenian yang bagus, dan harus diketahui oleh masyarakat pendatang.
Menggelar kesenian, juga menunjukkan bahwa cermin masyarakat itu terdapat pada kesenian yang mereka gelar. Kebanggaan terhadap kesenian sendiri, bukan merupakan kesombongan. Tetapi merupakan upaya merangsang tumbuhnya kesenian tersebut, dan membangun kesadaran komunitas yang mereka miliki. Kesenian dari desa yang lain terkadang juga digelar. Tetapi bukan untuk dicontoh begitu saja. Bukan pula untuk kebanggaan mampu menggelar pertunjukan kesenian dari desa lain. Semua itu, lebih merupakan upaya untuk membangun keakraban, persaudaraan, dan saling berdialog tentang kehidupan masing-masing di dalam kesenian yang mereka miliki.
Jadi, kerja interkultural di dalam kesenian di tengah-tengah masyarakat itu telah berusia cukup lama. Kesadaran untuk menjalin hubungan antar kebudayaan itu, juga merupakan upaya yang telah membentuk siklus kehidupan masyarakat kita. Setiap desa adalah pusat kebudayaan yang membangun realitas kebudayaannya sendiri. Mereka menemukan kebudayannya dari kepercayaan akan keharmonisan kehidupan yang mereka hadapi. Disinilah, mereka menancapkan dan memahami sepenuhnya nilai-nilai kebudayaan yang mereka sumbangkan kepada ketenteraman di dalam mereka menjalani kehidupan.
Melalui pesta rakyat itu, inspiratif sekali dalam penumbuhan kerja kesenian selanjutnya. Setiap desa ingin memiliki pestanya sendiri. Dicarilah waktu yang baik dan tepat. Maksudnya, tak lain adalah untuk kehidupan bersama yang lebih baik, dan membahagiakan. Berbagai macam nama dilekatkan. Berbagai macam simbol dikuatkan untuk memberikan identitas, misalnya festival Dynosius, festival Pantai, festival Jazz, dan sebagainya.
Secara politis, pesta rakyat itu merupakan pernyataan bersama seluruh masyarakat dalam memberikan dukungan terhadap kekuasaan yang ada. Mereka juga hendak menunjukkan pada para pemimpin mereka, bahwa mereka memiliki sumbangan juga pada cita-cita yang hendak dilakukan oleh para pemimpinnya dalam membangun desa. Dan semua itu, memang lebih merupakan inisiatif dan partisipasi masyarakat. Bukan kehendak para pemimpin desa itu sendiri. Meskipun pemimpin desa itu merupakan pimpinan adat juga di tengah-tengah masyarakat.


Kekuatan Ekonomi
Pesta Rakyat itu, lambat laun bukan lagi merupakan bagian yang terintegrasi dari kehidupan masyarakat. Berbagai kepentingan mulai mendekatinya. Mulai dari kepentingan pendidikan (seperti penelitian), publikasi dan dokumentasi dengan berkembangnya sejumlah media massa, dan kepentingan politik maupun ekonomi. Untuk yang terakhir ini, kita dikenal dengan istilah memantapkan karir (jabatan politis) dan mencari uang (nafkah).
Tercerabutnya realitas pesta rakyat yang kini bernama festival itu, tidak terlepas dari munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru di tengah-tengah masyarakat. Kekuatan ekonomi baru tersebut, merupakan realitas yang dibangun dalam makro politis. Sebuah kota dibangun dengan mencirikan dirinya pada identitas tertentu, yang secara ekonomis harus mendukungnya. Disinilah "kesenian" (dalam tanda petik) memasuki realitas barunya yang tidak terintegrasi dengan masyarakatnya.
Di negara-negara industri yang tingkat perekonomian atau pendapatan penduduknya sudah cukup tinggi, festival itu selain dibiayai oleh pemerintah dan swasta, juga berangkat dari kesadaran untuk merangsang pertumbuhan kesenian didaerah tersebut. Para seniman, pemikir (kritikus atau ilmuan), ekonom, dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dilibatkan. Semua menyadari, bahwa festival itu harus mampu merangsang dan membangun kesadaran masyarakat terhadap kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenian merupakan suatu kecintaan primordial terhadap kehidupan itu sendiri. Yakni kehidupan yang tumbuh dari sikap, dan perilaku masyarakat setempat. Sehingga, festival merupakan upaya menyaksikan kenyataan kultural dari masyarakat tersebut. Di samping juga, menyaksikan kenyataan kultural masyarakat pendatang dengan pendekatan yang dialogis. Saling memberikan sumbangan dalam pencitraan kebudayaan yang dikehendaki bersama.
Tetapi di negara-negara yang "masih miskin", terkandung pandangan konservatif dalam memperlakukan kekuatan ekonomi yang tumbuh. Kesenian menjadi instrumen yang indah dan mengasikkan. Hubungan kultural berlangsung diantara yang baik dan buruk. Bagus dan jelek. Untung dan rugi. Pencitraan kesenian sedemikian eksklusifnya. Sehingga, "kesenian" yang tidak laku ditolak. "Kesenian buruk" disingkirkan. "Kesenian" yang tidak berselera tinggi diklaim sebagai tak punya etos kerja, atau minder. Bahkan, masyarakat senimannya ditakut-takuti dengan istilah "primordialisme dangkal".
Inilah realitas perdagangan baru dalam "kesenian". Kesenian lain harus disingkirkan, karena dianggap sebagai produk yang tak layak dikonsumsi. Padahal, kita tidak punya cukup ukuran untuk menilai kesenian itu. Setidaknya, kesenian tidak dipandang dari pilihan senimannya dalam memandang realitas kultural dan karakteristik keseniannya sendiri.
Kita memang sedang berhadapan dengan kemiskinan secara ekonomis. Siapa penonton kesenian kita yang "sanggup" membeli karcis? Siapa penonton kesenian kita yang sudah menyadari, bahwa kesenian masih merupakan wilayah yang mampu membangun kehidupan kultural, integritas dan spirit bersama --dalam kondisi perekonomian kita sekarang ini? Inilah yang terlebih dahulu kita benahi.
Kekuatan para pedagang, atau pemodal yang membangun kesenian sekarang ini, juga didukung oleh semangat untuk segera mendapatkan hasil yang "terbaik" dalam kesenian. Dengan adanya kesenian, bukan berarti para maecenas kesenian itu harus menutup dunia usaha (perdagangan) yang dilakukannya. Maecenas kita itu, meminjam istilah Umar Kayam kecenderungannya tentang "seni" adalah kitch yang mantap, seni yang enak dilihat dan didengar.
Persoalan kita adalah juga bahwa para "penyangga" maecenas kita itu memiliki spirit yang identik dengan maecenas itu sendiri. Para "penyangga" maecenas itu, para pelaksana organisasi yang menyelenggarakan "kesenian" adalah "para pedagang yang mumpuni juga. Berbagai cara dilakukan untuk meyakinkan masyarakat, bahwa inilah "produk monumental", "produk yang akan menjadikan kota kita sebagai pusat kebudayaan", dan juga kita saksikan iklan lain, seperti "kesenian kita penuh spiritualitas", "menggairahkan kota kita", dan sebagainya.Tidak kita temukan kesenian yang akan menjadikan kita, sekuen penting dari perjalanan kesenian di dalam masyarakat kita sendiri. Kita, menjadi asing dengan kenyataan kesenian kita sendiri. Dan, media festival akan menjadi "pasar" baru bagi para pedagang yang melihat "kesenian" dari kelembutan, keindahan, dan kegagahan dalam gaya hidup yang penuh selera, tapi bukan tidak mungkin tanpa wacana kreatif.
Surabaya Post, Juni 1996, seni

Catatan Kongres Kesenian Indonesia I/1995

Autar Abdillah

Kajian terhadap kesenian (di) Indonesia, masih cukup menggantungkan diri terhadap hasil pengkajian yang dilakukan sejumlah peneliti asing --yang sebagian tidak mengalami langsung subjek pengkajian yang dilakukannya. Sebagian besar berangkat dari paradigma yang nyaris tidak mengakar pada kehidupan kesenian itu sendiri. Ini persoalan mendasar pengkajian kesenian Indonesia yang selalu dianggap sebagai persoalan yang remeh. Karena, di satu pihak kita berhadapan dengan masih rendahnya minat dan upaya ke arah penciptaan dan penemuan yang menuntut adanya kenyataan objektif dari suatu kondisi kesenian yang ditumbuhkan masyarakat, dan di dalamnya terdapat sejarah kelahiran khazanah seni tersebut, serta membawa seluruh entitas kebudayaan yang dimilikinya. Di pihak lain, logika masyarakat kita nyaris gagal dalam menangkap fenomena yang ditumbuhkan secara sistematik. Dan, sistematika itu pada selalu dipecahkan melalui logika yang sesungguhnya bukan milik masyarakat yang menghidupi kesenian dan membangun kebudayaanya secara bersamaan.
Lebih jauh, untuk mengetahui kesenian kita sendiri, kita kekurangan data tertlis --dan kita memang tak memiliki kebiasaan untuk melakukan pendataan tertulis. Sehingga, pengembangan kesenian yang kita lakukan lebih merupakan akumulasi dari ketidakberdayaan menghadapi logika yang serba terpecah. Hal ini bukan saja berakibat pada rendahnya mutu atau kualitas pengkajian, tetapi juga rendahnya penemuan atas realitas yang sesungguhnya terjadi dalam kesenian tersebut. Dan, entitas kultural tak mampu dinyatakan secara meyakinkan pada tingkat pengkajian selanjutnya.
Dari kondisi tersebut, dalam Kongres Kesenian Indonesia I/1995 mengemuka suatu upaya untuk mencari strategi pengembangan kesenian (di) Indonesia sekarang ini, dan memberikan ancangan ke depan terhadap kondisi kesenian tersebut. Di samping itu, persoalan manajemen kesenian juga merupakan hal yang krusial. Manajemen kesenian dipandang sebagai upaya untuk menempatkan kesenian "sejajar" dengan pertumbuhan kehidupan lainnya di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, perhatian pemerintah yang terkesan lebih mementingkan olahraga ketimbang kesenian. Berbagai fasilitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia di bidang olehraga, jauh lebih maju dibandingkan dengan kesenian. Didalamnya juga tersirat persoalan yang bersifat organisatoris hingga penerapan kesenian sebagai suatu produk atau komoditi, seiring dengan semakin gencarnya pengembangan sektor kepariwisataan.
Kesenian yang ditumbuhkan itu, harus sudah memulai suatu perubahan pengelolaan yang didasari atas kebutuhan-kebutuhan hidup para pelaku kesenian tersbut. Organisasi kesenian harus mampu membaca peluang, dan kesempatan yang bisa direbut dan diraihnya, agar kesenian yang dihadirkan memiliki kontinuitas dalam penyelenggaraannya. Di samping itu, organisasi tersebut harus mampu menunjukkan pada masyarakat, bahwa keseniannya memiliki peran penting dalam tatanan kehidupan, baik itu dalam pengembangan diri maupun dalam konteks meningkatkan kesejahteraan masyarakat, atau lebih konkret pada pelaku kesenian itu sendiri. Organisasi kesenian juga harus mampu menjalin komunikasi yang positif secara insitusional. Hal ini menjadi penting, karena banyak organisasi yang mengalami hambatan, karena hubungan yang tidak harmonis dengan lembaga pemerintah, misalnya. Atau, ada lembaga pemerintah yang tidak apresiatif, sehingga hanya pada kelompok atau pribadi tertentu saja lembaga itu memberikan perhatiannya.
Kecenderungan pemahaman di atas, mengisyaratkan pula bahwa dalam organisasi kesenian tersebut terdapat suatu institusi yang lebih luas dan besar. Hubungan antar organisasi itu harus dapat seharmonis mungkin. Mampu bersinergi. Dan, dalam menghadapi kenyataan seperti ini, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak semua organisasi kesenian akan mampu menghadapi rumitnya "birokrasi" yang mengurusi persoalan kesenian dalam memberikan apresiasi yang dinamis dan konstruktif. Birokrasi tersebut, bukan saja merupakan struktur yang sangat terikat pada struktur yang lebih besar, seperti lembaga sosial politik, kejaksaan, depdikbud, kepolisian, dan militer. tetapi juga, struktur yang lebih kecil, seperti hubungan antar organisasi kesenian yang ada. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, dengan setengah bercanda, dramawan Putu Wijaya mengisyaratkan untuk melakukan strategi "tipu-tipuan". Artinya, institusionalisasi, dan birokratisasi tersebut harus dihadapi dengan membangun kesan berada dalam kenyataan yang memang diinginkan oleh instutusi maupun birokrasi --meskipun seniman memiliki keinginan lain yang sesungguhnya hendak dilakukan.
Dengan demikian, kita dapat memandang bahwa sesungguhnya persoalan manajemen kesenian tersebut terletak pada bagaimana kesenian mampu membangun integrasi yang memang berangkat dari suatu realitas yang diinginkan, dan dikehendaki pelaku maupun penyaksi kesenian. Lalu, apakah semuanya akan selesai? Tentu tidak. Kita sangat menyadari, bahwa kesenian yang diperlakukan sekarang merupakan kesenian yang sangat berkaitan erat dengan struktur kehidupan yang sangat luas, dan beragam. Hal ini dimungkinkan oleh suatu pergerakan atau pertumbuhan media massa --terutama media massa cetak dan elektronik, yang semakin sangat interaktif dengan pemirsanya.
Hubungan kesenian dan media semakin menempatkan kesenian untuk harus mampu memasuki wilayah kompetitif satu sama lainnya. Sineas Garin Nugroho mengisyaratkan suatu transformasi media yang sangat mengejutkan. Media --segala media, telah mampu melakukan perubahan-perubahan besar dalam hubungan-hubungan yang berlangsung dalam masyarakat. Media, kini memasuki rumah-rumah, jalan raya, hingga tempat-tempat tersembunyi sekalipun. Manusia semakin terdesak oleh kebutuhannya sendiri, baik kebutuhan atas informasi, maupun kenikmatan-kenikmatan yang berkecenderungan hedonistik.
Apapun alasannya, semua itu merupakan kecenderungan yang terbangun dari segala aspek kehidupan yang ada. Garin menggaris-bawahi strategi untuk menghadapi kesenian-kesenian baru yang kini mulai mengidentifikasi diri. Terutama, pada upaya untuk mengantisipasi informasi dan komunikasi --dalam media, yang tidak hanya bisa dihgandakan, tetapi juga dirubah, diperbaiki hingga dimanipulasi. Di sini, kita harus menyediakan diri untuk memasuki ketidakpastian-ketidakpastian, karena semakin kompleksnya hubungan dalam interaksi bisnis, politik, maupun pendidikan. Interaksi dunia objektif pun --yang berkonsekuensi pada kesuksesan, mulai dihadapi dengan mekanisme yang cenderung berpihak pada keinginan kekuasaan. Jadi, disini kita tidak hanya membutuhkan multi-media, tetapi juga multi-visi, multi-dimensi, dan secara aktif menyadari keberadaan multikuturalitas, dan multimodernitas, seperti yang disinyalir oleh kurator dan pengamat Seni Rupa, Jim Supangkat.
Dalam menghadapi gencarnya produk media, maka industri kesenian harus segera juga menempatkan diri pada posisi yang mampu menggalang kekuatan kreativitas dengan inovasi yang dinamis. Di sini, kita tidak hanya berhadapan dengan paham-paham baru, tetapi juga mekanisme perseptif yang berlainan dengan apa yang kemudian menjadi titik tolak berkesenian. Mekanisme persepstif ini mengandaikan adanya transformasi tanda-tanda yang lebih dominan dalam mengisi ruang aktif dalam pemikiran manusia.
Selain itu, pandangan atau wawasan yang lebih luas, dan mampu menangkap dan mengungkap realitas intrinsik dalam kesenian harus mampu pula menjangkau konsekuensi logis peradaban yang berubah sedemikian cepat. Ini merupakan hal yang dapat dihindari lagi, mengingat bangsa-bangsa di luar kita telah melakukan berbagai penjelajahan yang mungkin kita tak bisa mengikutinya. Sedangkan dunia pendidikan seni, baik formal maupun informal, dituntut untuk mampu mengikutinya, sekaligus membangun dan terus menerus mendorong lahirnya kesenian. Bukan mematikan atau melakukan rekonstruksi yang justru mematahkan ruang dialoh kesenian tersebut. Sudah saatnya pendidikan kesenian, bersikap terbuka terhadap segala gejala, dan mampu hidup dalam setuap pertumbuhan kesenian yang ada.
Sastrawan dan tokoh pendidikan A.A. Navis memberikan ilustrasi tentang suatu mekanisme pemdidikan (seni) masa kolonial, dan era nasionalisme. Pendidikan kesenian sekarang ini, bagi Navis, sudah saatnya meninggalkan pola-pola feodalistik (yang menurutnya merupakan salah satu ciri pendidikan kolonial). Dan, era nasionalisme dipandang telah membuka jalan bagi kita. Mengapa? Karena pendidikan seni di sini menempatkan manusia sebagai pelaku (sunjek). Kita tidak lagi dituntut untuk hanya sekedar menghafal materi-materi yang acuannya sudah ketinggalan zaman dalam pertumbuhan masyarakat maupun kesenian itu sendiri.Singkatnya, tuntutan untuk aktif dalam kesenian, harus dimulai dari pelaku-pelaku yang menyadari bahwa kesenian merupakan bagian yang integral dalam lingkungan hidupnya yang sangat luas. Berbagai aktivitas kesenian yang diselenggarakan sekarang ini, seperti festival-festival merupakan salah satu strategi saja dalam membangun kemungkina terjadinya interaksi dalam kesenian. Akhirnya, kita dapat menarik beberapa hal yang memungkinkan kesenian dapat diterima masyarakatnya, dan memberi inspirasi bagi pembangunan kehdiupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pertama, membangun kesadaran yang konstruktif terhadap peran kesenian yang berangkat dari realitas kemanusiaan. Kedua, kesenian membangun manajemen yang memandang pasar kesenian sebagai ruang publik yang menginginkan adanya perubahan-perubahan, serta menyadari transformasi media yang juga turut membentuk struktur masyarakat, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Ketiga, pendidikan seni harus mampu memberdayakan dirinya, sejalan dengan kebutuhan masyarakat akan kesenian tersebut.
Surabaya Post, Minggu, 24 Desember 1995, seni

Memilih Kesenian Unggulan

Autar Abdillah

Kesenian, tak dapat dipungkiri, juga telah memasuki pemahaman sebagai seauatu produk. Barangkali, tidak identik dengan sesuatu barang. Tetapi, ia sebagai produk yang secara pragmatis digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan aktivitas kehidupannya. Dalam konteks ini, jelas dan tegas membawa pula sejumlah kepentingan-kepentingan yang barangkali tak terkait langsung dengan pencapaian kreatif terhadap kesenian. Atau, sebagai suatu pemenuhan nafsu institusional ketimbang nafsu estetik. Konsekuensinya, kesenian bisa dilombakan untuk mengetahui siapa yang terbaik diantara mereka. Sebuah produk yang kemudian terbaik, menjalin identifikasi "berkualitas". Sebuah "karya seni" unggulan. Hal semacam ini tidak terlalu sulit untuk kita temukan. Para penyelenggara pemilihan kesenian unggulan ini pun dari berbagai kecenderungan sesuai dengan kepentingan yang hendak diambilnya. Pola ini sedemikian maraknya, sehingga tak jarang menimbulkan sejumlah perdebatan.
Memang, tidak semua pemilihan seni unggulan itu berarti diadakannya sebuah perlombaan. Ada yang hanya berupa pekan seni atau festival non lomba. Persoalan kita adalah bagaimana kesenian yang dipahami sedemikian itu, dipilih untuk dihadirkan. Apakah yang melatarbelakanginya? Dan, mengapa pilihan tersebut menjadi kenyataan kehidupan kultural kita sekarang ini?
Pilihan penyelenggaraan kesenian dalam sebuah festival, pesta atau parade merupakan sebuah salah satu cara untuk mengetahui sejauhman suatu kesenian telah mencapai tingkat kreativitasnya, dan juga merupakan sebuah gejala seni yang dipaketkan. Hal ini dilakukan, di samping untuk melakukan penghematan berbagai persoalan teknis penyelenggaraan, juga guna memenuhi kompleksditas dan keragaman publiknya. Sedangkan waktu penyelenggaraan dikaitkan dengan berbagai momentum yang ada. Misalnya, pada bulan Mei hingga Juli, dipahami sebagai "musim berlibur" wisatawan mancanegara (wisman). Festivak Kesenian Yogyakarta (FKY) dan Pekan Kesenian Bali (PKB) merupakan contoh hal ini. Pola ini pernah pula dilakukan oleh Jawa Timur dengan menggelar Pekan Budaya Jawa Timur (PKBJ) yang sempat berganti-ganti nama karena ketidakkonsistenan dalam menemukan arah penyelenggaranya, dan karena terdapat bukti bahwa penyelenggaraan itu tidak berhasil memancing kehadiran wisman. Sedang FKY dan PKB relatif berhasil, karena didukung oleh kesan yang kuat dalam konteks budaya yang dimilikinya. FKY dan PKB ini lebih menitikberatkan sosialisasi seni dan menempatkan secara jitu kesenian sebagai produk pariwisata. Hal ini terlepas dari kepentingan seniman yang memiliki sejumlah konsep ideal kesenian yang mereka geluti. Para seniman di Yogyakarta dan Bali, barangkali lebih menyadari penyelenggaraan ini bukan merupakan wilayah khusus bagi mereka. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada gejolak yang menginginkan adanya konsepsi ideal tersebut.
Kesenian-kesenian yang bertendensi kepariwisataan ini merupakan kebijakan yang dibangun oleh pemerintah (di) pusat maupun (di) daerah. Terdapat semacam target pemasukan bagi pendapatan asli daerah, sebagai modal pembangunan yang lebih luas. Secara nasional, target ini harus mampu dicapai masing-masing daerah. Pemerintah daerah (Pemda) berlomba-lomba untuk mencapainya. Hingga sekarang, pendapatan sektor pariwisata, baik itu melalui kesenian maupun sumberdaya alam dan manusianya mencapai 3,6 triliyun rupiah, dari 6 hingga 6,5 triliyun rupiah yang ditargetkan (1995). Hasil ini didapat dari kunjungan wisman di sektor pariwisata.
Selain itu, satu hal yang juga tak bisa dipungkiri, bahwa penyelenggaraan-penyelenggaran tersebut mampu membangun spirit dialogis untuk melahirkan dan menemukan kesenian-kesenian yang bisa memenuhi keinginan publiknya. Meskipun hal itu tidak serta merta terjadi, dan masih kecil dampaknya. Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) VII misalnya, memfokuskan pergelaran kesenian yang merupakan puncak prestasi seniman di Yogyakarta. Hal ini kemudian menjadi beban tersendiri, sekaligus beresiko dalam perspektif kreativitas seni. Karena, dalam kesenian ada pemahaman, bahwa "puncak dari kesenian adalah kematian". Kesenian memasuki pilihan yang serta merta "membunuh" kemungkinan melakukan "perburuan".
Tetapi, perlu digarisbawahi, bahwa apa yang terjadi di Yogyakarta --dan sering terjadi dalam pemahaman birokrasi seni, kelompok kesenian dan figur seniman merupakan titik tolak dari pemilihan seni yang "unggul". Bukan pada konsepsi, kinerja, atau ideologi seni yang lahir dari kesenian tersebut. Kita seharusnya memandang dari perjalanan, dan seberapa besar pengaruh kesenian yang lahir itu pada pertumbuhan kesenian yang ada. Semacam "munumentasi" kreativitas yang lahir dari karya seni. Penilaian dan pemahaman seperti ini menghindari sikap yang gegabah, terburu-buru, dan akhirnya artifisial. Karena, retorika untuk membangkitkan kesenian tidak bisa diselesaikan hanya dengan penampakan bagian luarnya saja. Kita harus menghindari ekslusivitas dalam arti menutup peluang kreativitas karena kesenian itu tak mampu memasuki pasar secara ekonomis. Hal ini mengingat bahwa kesenian bukan hanya lahir untuk masa yang pendek, tetapi harus mampu menjadi bagian dalam memahami masa depan masyarakatnya.
Kesenian-kesenian yang kita saksikan dari pandangan birokrasi seni yang sempit, berangkat dari tidak adanya kemauan, sekaligus kemungkinan bagi kita untuk membangun suatu pergaualan dan pergulatan yang intensif dari karya seni. Para birokrat seni selalu berpikir bahwa ia harus mampu menyajikan kesenian yang mudah dipahami, bisa tertawa terbahak-bahak, dan gemerlap seperti berada di surga yang ketujuh, dan ujung-ujungnya membahagiakan pimpinan yang tidak memiliki perspektif dalam memahami kesenian yang mampu membawa masyarakat dalam perubahan yang besar, semacam dunia baru yang harus dilewati dengan pemikiran-pemikiran besar, bukan dengan bersenang senang duluan, bersusah-susah ke tepian. Inilah fenomena yang kini kita saksikan.
Lebih jauh, kita --mungkin juga secara politis dan menjadi perilaku dalam strategi kebudayaan yang kita kembangkan di Republik ini, mempersempit ruang gerak, serta terbatas pula peluang yang diberikan, bahkan dibatasi segala kehendak dan keinginan untuk membebaskan diri dari kekakuan memandang kebudayaan kita. Salah satu implementasinya, adalah munculnya legitimasi lembaga-lembaga perizinan, dan sensor. Bagaimana mungkin kita bisa mengembangkan karakter kesenian yang kita inginkan, dan kita kehendaki, sementara kita masih mengalami kesulitan untuk saling berhubungan satu sama lain, melakukan dialog dengan peradaban yang tumbuh diantara kita.Kita, sudah harus memulai untuk menampatkan kesenian dari suatu pergaulan dan pergulatan dengan publiknya yang membawa kemungkinan pada lahirnya kreativitas yang membangun kesenian yang berangkat dari pertumbuhan diri publiknya. Tidak bisa tidak, kita harus bisa berhadap-hadapan langsung untuk menempatkan publik sebagai relasi yang membangun kekuatan dan kepercayaan dirinya. Kesenian unggulan yang telah menjadi pilihan bagi sementara birokrasi seni, mudah-mudahan bukan sebagai harga mati dari suatu kerja kesenian.
Surabaya Post, Minggu, 9 Juli 1995

Jumat, 19 Juni 2009

Out of Mainstream

Autar Abdillah

Runtuhnya dianasti TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta), diiringi oleh meningkatnya mobilitas kreatif di perbagai pelosok "daerah". Mulai di kampung-kampung yang dipenuhi sawah, dikelilingi pegunungan hingga ruang-ruang sempit penuh sesak di kampus-kampus, dan rumah-rumah tinggal. Tidak ada yang bisa membangun prediksi secara akurat, bahwa fenomena ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Tetapi, sangat jelas bahwa fenomena ini merupakan suatu bukti, dan suatu pertanda pula dari suatu transisi era yang sedang akan bertemu dengan atmosfirnya yang baru.
Lembaga-lembaga maupun individu yang memberikan untuk mengesahkan sesuatu seni atau seniman itu memiliki nilai dan kapasitas dalam menghadirkan diri, ditonjok habis-habisan. Tapi, tidak sampai babak belur juga, karena masih ada sebgaian lembaga maupun seniman yang ditokohkan merasa dirinya masih layak melakukan hal itu. Semua itu, tentunya akan mengokohkan keyakinan terhadap satu hal. Yakni, setiap kehadiran sesuatu seni dan seniman itu, membutuhkan ruang yang mampu melakukan penjelasan-penjelasan terhadap keberadaan setiap kreativitas seni yang melibatkan diri setiap orang didalamnya. Ini artinya, "kedaulatan perseptif" berada pada diri masing-masing orang yang mempresentasikan kesenian tersebut.
Hal inilah yang beroposisi bagi kecenderungan yang telah menempatkan kesenian itu berada dalam satu arus utama --dan tunggal. Dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang tak perlu terorganisasi secara kaku. Lebih jauh, merupakan "pintu terbuka" bagi datangnya makhluk baru yang "out of mainstream", dan tersamarnya relasi interaktif. Tepatnya, sebuah kelahiran dari asumsi estetika yang hendak disodorkan lewat praktek-praktek konkret dari kehendak dan kebebasan setiap orang.
Situasi ini dipertegas dengan penolakan mentah-mentah terhadap penguasaan yang dilakukan modernisme. Dengan mengklaim --yang modernism itu tak punya malu mendorong lahirnya kesenian-kesenian yang (harus) konsisten, tidak boleh berbeda pendapat, dan otonomisasi, serta menutup jalan bagi perbuatan yang tidak berada dalam arus penguasaan yang dibuatnya (justru) untuk melegitimasi dirinya sendiri. Kekuasaan yang dibangunnya untuk kepentingan sendiri. Dan, juga, suatu upaya untuk membangun ketergantungan yang semakin bear dan luas setiap kecenderungan yang mungkin bisa dilahirkan. Melalui penutupan untuk melakukan inisiatif, dan juga partsisipasi.
Dengan demikian, out of mainstream itu membangun pengertiannya atas usaha-usaha untuk menemukan kembali kenyataan-kenyataan yang seharusnya terjadi. Kenyataan tersebut adalah kesediaan untuk menerima berbagai kenyataan yang bisa dihadirkan. Di sini, juga tidak ada lagi kekuasaan mutlak yang hendak meyakinkan dirinya, bahwa estetika yang dimilikinya, bahwa kesenian dirinya, dan kelompok yang dibangunnya merupakan the best one dari semua peradaban, bahkan dari peradaban yang sekarang sekalipun.
Meyakinkan diri sendiri untuk masuk pada kehidupan dan kebudayaan diri orang lain adalah keniscayaan yang begitu mudah untuk digugat. Karena semua tindakan kesenian, kebudayaan, estetika, agama, politik maupun filosofi moral adalah keberadaan masing-masing yang percaya bahwa dirinya memiliki peluang, dan kesempatan yang sama dalam berbuat atau bertindak secara praktis.
Masih tumbuhnya kepercayaan terhadap kebesaran-kebesaran mutlak, kepada empu, kepada tokoh panutan, kepada pembesar-pembesar kebudayaan, politik maupun kesenian, bukan saja serta merta mementahkan kenyataan antropologis seseorang, tetapi juga mementahkan keterlibatannya dalam membangun subsidi konkret atas keberadaan manusia lainnya. Imbasan materialisme, sepertinya telah membentuk makhluk baru yang bermental menundukkan diri pada idealisasi kehidupan yang dihadapi, diinginkan, dan dikehendakinya. Hal ini juga merupakan realitas yang dapat mementahkan khazanah budayanya sendiri.
Serbuan televisi. "Ancaman" internet. Gelagat teknologi supercanggih, seperti hendak meruntuhkan hubungan yang kaku dari manusia dalam memandang kebudayaan yang diwarisinya. Manusia seperti hendak juga menipu dirinya sendiri, ketika ia dihadapkan dengan kebudayaan-kebudayaan baru yang dikenalnya secara samar-samar. Penipuan diri ini akan semakin nyata, ketika manusia kehilangan daya tangkap, pencerapan dan kepekaannya terhadap keberadaan dirinya sendiri. Manusia seperti tidak percaya lagi, bahwa di tubuhnya menempel kebudayaan yang ditolaknya, ketika kebudayaan itu mencoba merebut kehendak-kehendak dirinya yang paling ia ketahui, "asli".
Kehendak diri manusia itu, yang hendak dimanipulasi tersebut merupakan bawah sadar biologis manusia yang hidup, ketika pergerakan kontraksi otot menemukan gerak reflektifnya. manusia memiliki kecenderungan yang terkadang terlupakan untuk disadari kembali, bahwa aspek biologis --sekaligus alamiah dalam dirinya, akan selalu berimprovisasi dalam menanggulangi tindakan apresiatif. Tindakan inilah yang secara improvisatoris melakukan negosiasi logis saat dalam proses kreativitas dalam kesenian.
Di dalam pergaulan kesenian, tidak jarang pula muncul upaya mempertahankan diri untuk memanipulasi kenyataan laten yang bersembunyi di balik realitas bawah sadar biologis yang henak menutup diri dari pergerakan improvisatoris yang hendak menegasikan kesenian yang dihadirkannya. Kesenian semacam ini merupakan kesenian yang tidak mungkin mampu memasuki realitas industri global. Sebagai jalan keluar, pergaulan kesenian itu harus mampu mengoreksi kembali, arah yang bergerak sebagaimana dia memperlakukan kesenian tersebu, dan juga harus segera menyadari pergerakan yang tumbuh di sekitanya. Singkatnya, dibutuhkan suatu keterbukaan idealiasi. Dibutuhkan, kesadaran baru akan pertahanan diri yang berada dalam pluralitas pergaulan yang kompleks dan multidimensional.
Satu hal lagi, bahwa segala arus kesenian yang kini tumbuh harus menempatkan dirinya sederajat dengan yang lain. Ini juga berarti bahwa semua kenyataan kesenian harus mampu berada dalam upaya mendapatkan peluang yang sama ketiak melahirkan kreativitas, seperti apapun bentuknya. Kreativitas itu merupakan realitas kehadiran yang menempatkan manusia tidak berjarak dengan kehidupan nyata sehari-hari yang ditemukan di tengah-tengah hidup bermasyarakat. Dan, dengan demikian pula, kesenia menjadi realitas relasional yang meniadakan penggolongan dan pemihakan yang tidak disadari atas realitas entitas kultual yang tumbuh dan berada bersama-sama di tengah-tengah kesenian yang ditumbuhkan. Kebersamaan dan kesederajatan di sini merupakan suatu komitmen yang dibangun dari upaya menimang kembali martabat yang disediakan dalam pergaulan kemanusiaan. Di sini, kesenian menemukan realitas konkritnya bersama kehendak-kehendak pelaku kesenian tersebut. Akhirnya, kita kini semakin membuka diri terhadap segala kecenderungan yang menjadi simptom kultural yang tak hendak mempercayai hegemoni maniak kepribadian --jati diri, yang tdaik mampu berbicara atas nama kemauan ataupun kehendak "orang banyak". Orang banyak menjadi simbolisasi baru dari suatu mobilisasi, dan demokratisasi dalam menerima setiap perubahan. Kesenian, kini juga hendak kembali pada rumah-rumah baru yang bukan ditentukan oleh bentuk-bentuk legitimasi. Tetapi, lebih pada kepercayaan untuk menempatkan diri berada di luar wilayah yang "biasa-biasa saja". Berada di luar itu adalah berada di luar arus utama yang ada.
Jawa Pos, 1 Desember 1996, budaya

Seni Eksperimen(tal)

Autar Abdillah

Gagasan kesenian kita sekarang semakin kompleks. Hal ini di dukung oleh berbagai kemungkinan yang memberikan peluang pada senimannya maupun pada kemungkinan penyebarluasan informasi dari perkembangan kesenian yang dapat dimanfaatkan publik kesenian. Di samping itu, tumbuhnya upaya "membuka diri" dalam konsteasi kreativitas seni terhadap kemungkinan untuk menemukan realitas kesenian yang "baru" akan pula membuka wacana seni yang lebih luas dan konstruktif.
Hal di atas memberikan arti pula, bahwa dunia kesenian itu menghadapi tantangan yang semakin besar untuk menangkap atau mencerap, serta memberikan penjelasan terhadap pertumbuhan kehidupan yang sedang berlangsung. Dan, dengan demikian, kita dihadapkan pada usaha untuk mencari relasi yang terbangun dalam tubuh kesenian tersebut, beserta lingkungan yang meberikan energi bagi kelahiran kesenian. Relasi itu bisa berasal dari karakter antar bangsa, antar disiplin seni, dan antar wacana kreativitas. Energi kesenian ini turut memberikan dukungan keberartian dari kesenian. Juga, bagi peradaban maupun zaman yang dipercayai sebagai sekuen penting dalam membangun realitas kesenian.
Kesenian kita juga dihadapkan pada munculnya berbagai persentuhan atau pergesekan, baik dalam penggunaan bahasa seni maupun bahasa dalam kajian akademik, seperti lahirnya terminologi-terminologi baru dari pencerapan aktivitas kesenian oleh para pelaku seni, serta konsepsi-konsepsi baru yang didalamnya terdapat keharusan untuk melakukan berbagai pembenahan maupun mereposisi diri untuk menempatkan kesenian dalam lingkup yang lebih tegas. Para seniman, pemerhati, kritikus, peneliti maupun wartawan, harus bersama-sama meletakkan kesenian dalam "jalur" yang dapat menunjang kreativitas, bukan justru melemahkan daya juang kreatif itu sendiri. Hal ini bukan tidak sering terjadi, karena ketidaksamaan dalam menempatkan diri dan memposisikan dirinya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, dan barangkali juga akan masih terus menjadi persoalan penting kita, persoalan yang nyaris tak habis-habisnya untuk kita bicarakan, salah satunya adalah persoalan refleksi dan kreativitas. Kedua hal ini, menjadi pembicaraan yang menghangat, dan menjadi krusial ketika kita menyadari betapa kedua persoalan tersebut tumbuh dalam kesenian di saat kita menghadapi sedemikian banyaknya, dan sedemikian kompleksnya wilayah jelajah dunia kesenian dan pandangan publik yang mulai merasakan, bahwa kesenian telah melahirkan banyak bentuk-bentuk yang kemudian terkadang tidak mampu tercerap oleh publik.
Sebelum kita lebih jauh bicara tentang seni eksperimental, ada baiknya kita mencoba untuk membuka suatu persoalan yang turut memberikan konstribusi lahirnya persepsi seni eksperimental tersebut. Pertama, adalah persoalan refleksi atau reflektere yang mengandaikan bahwa "manusia itu melihat dan menganggap dirinya sebagai suatu makhluk yang berpikir dan berkehendak". Menurut Louis Leahy (1993:227), bahwa refleksi menunjukkan keunggulannya terhadap materi. Ia, sebagai energi dari pikiran. Ia, juga berangkat dari pandangan filsafat dan menempatkan manusia yang memiliki roh yang bersifat imaterial. Dalam kesenian, perannya menjadi penting, ketika kesenian dihadapkan pada semacam penguasaan dari verbalisasi pencitraan pandangan yang hanya mendorong lahirnya perujudan fisik, bentuk, dan keindahan-keindahan yang menyertai pencitraannya.
Sedangkan kedua, adalah kreativitas yang memiliki dimensi historis dan sangat dekat dengan hidup manusia. Ia bersifat dinamis dengan segala kapasitas yang dimungkinkan oleh keberadaan manusia. Ia dapat terjelma secara konkrit lewat kerja yang memerdekakan, kemajuan ilmu-ilmu, penggunaan alat-alat, seni lukis, kesusasteraan, musik, teater, tari, dunia etika, adat istiadat, cinta, pergaulan, tanggungjawab, persahabatan, arsitektur, kedokteran, dan seterusnya. Ia terus berubah, berkembang, dan nyaris tak ada yang bisa menghentikannya. dari sudut pandang yang historis tersebut, manusia terkait langsung dengan pengalaman dirinya secara langsung. Baik dari fenomena-fenoma hidup yang disadarinya maupun tidak disadarinya
Ada tiga hal yang terkandung dalam perspektif di atas, seperti ditegaskan oleh Louis Leahy (1993:203). Yakni, pertama, roh manusia itu terjelma. Roh manusia tidak bereksistensi sebagai suatu roh murni. Kedua, secara hakiki manusia adalah makhluk intersubjektif. Manusia tidak sebatang kara di dunia. Karya manusia memungkinkan intersubjektif, karena karya itu adalah garis penghubung antara kebebasan orang yang satu dengan orang yang lainnya, dan karena itu juga merupakan penghubung antara masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang. Ketiga, manusia adalah makhluk yang terkait dengan waktu. Manusia bukan hidup dalam kepenuhan "nunc" yang kekal.
Dengan demikian pula, kreativitas melewati prosedur yang tidak bisa tidak menjadi suatu kenyataan untuk membangkitkan dirinya di dalam dunia orang lain yang juga berada dalam kenyataan bangunan diri yang saling menampakkan dirinya. Tiga hal penting disini adalah intelegensi, imajinasi, dan ingatan. Hal ini bisa dijelaskan bahwa intelegensi merupakan sekuen yang membuka deskripsi ide dan pikiran dalam pengejaran-pengejaran terhadap ruang eksistensial pengalaman dari berbagai kemungkina yang telah, sedang dan akan ditimbulkannya. Sedangkan imajinasi merupakan sekuen pengkayaan terhadap meluasnya pengejaran-pengejaran yang terkadang menemukan ruang kedalinya. Artinya, imajinasi tak pernah bisa menemukan begitu saja kemungkinan yang disadari atas berlangsungnya "pengalaman langsung" yang berbasis pula pada peristiwa hidup sehari-hari. Dan, disini pulalah peran ingatan membangun atau menjalin terjadinya atau terbentuknya ruang pengalaman langsung tersebut bagi pencitraan diri yang hadir di dalam kesenian.
Di sini kita dapat mengatakan bahwa potensi yang terdapat dalam kelahiran kesenian tersebut, juga berangkat dari bagaimana kita bisa memecahkan hubungan yang terdapat dalam kita memahami persoalan refleksi dan kreativitas, yang kita percayai sebagai upaya dalam membuka kemungkinan kita "bersetubuh" dengan kesenian, dalam memandang kemungkinan hadirnya diri kita dalam kesenian, yang boleh dikatakan sebagai basis seni eksperimental. Baiklah, selanjutnya kita mencoba mengamati bagaimana seni eksperimental itu tumbuh dan berkembang di dalam dirinya, beserta berbagai implikasi yang terdapat dalam perjalanannya.

Seni Eksperimental: dalam perjalanan
Pada 1960-an hingga 1970-an, dunia seni di seluruh dunia seperti sepakat untuk melakukan pemberontakan terhadap hal-hal yang paling esensia, terutama dalam hubungan seni dengan manusia. Mengenali kembali segala apa yang telah, sedang, dan mungkin akan terjadi. Banyak hal mulai terlihat berubah secara drastis. Banyak penemuan, dan lahirnya ekspresi yang bertolak dari kenyataan yang manusiawi. Ada dadaisme-surealisme Perancis, ada futurisme Italia --keduanya merupakan salah satu karya besar modernisme, yang menurut Henry M Sayre (1992:2) mengorientasi pada satu pandangan. lalu, kita diperkenalkan dengan simbolisme Rusia, muncul "Mini Kata" WS Rendra yang bersamaan dengan maraknya dan populernya Ontological Hysteric Theatre dari Richard Foreman di Amerika Serikat, ada musik Underground, ada Jazz Dance yang ingin merefleksikan identitas Negro di Amerika, ada musik New Wave, ada tari "non cerita" Isadora Duncan, ada teater teror Putu Wijaya, ada teater Kacau Antonin Artaud, ada teater Miskin Jerzy Grotowski, ada teater Ketiga Eugenio Barba, ada Meta-Ekologi Sardono W Kusumo, ada sajak Mantra Sutardjo Calzoum Bachri, dan ada pula Happening Art, ada pabrik, bekas gereja, rumah tinggal, halte bis dan puncak pegunungan yang jadi tempat pertunjukan. Ada sajak pamflet, ada sastra kontekstual, ada gerakan seni rupa baru dan seterusnya.
Di Indonesia, semua eksperimen yang dilakukan, pada awalnya merupakan suatu pemberontakan, penolakan, perlawanan, kemuakan, bukan semacam kebencian terhadap hadirnya seni politik partai-partai. Terdapat kesan dogma-dogma, doktrin maupun klaim-klaim sosial, terutama politik. Sehingga, seni tidak lagi mampu untuk membebaskan diri dari personalitas maupun kecenderungan untuk menemukan realitas estetika, tematikalitas, skenografis, hingga concern terhadap hidup manusia dan masyarakat yang berada di dalamnya. Dan, semacam kebijakan yang lahir dari Gubernur DKI Jakarta pada awal 1970-an, Ali Sadikin, yang membuka Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, kemudian menjadi media untuk mengakomodasi daya ekspresi yang terasa mulai "tak keruan". Memang, di sini terjadi semacam pelembagaan. Disengaja atau tidak, di sini mulai terjadi pemusatan atau sentralisasi. Semboyan yang diteriakkan pada waktu itu adalah Kebebasan Kreatif dan Otonomisasi Seni --(hal ini barangkali masih menjadi titik persoalan kesenian dan seniman hingga saat ini). namun demikian, apakah yang terjadi? Kesenian maupun seniman dan publiknya, ternyata masih mengalami kendala aktualitas yang maha pelik. Ada etika-moral-normatif, ada kebiasaan-kebiasaan, ada adat istiadat, ada kebijakan-kebijakan politik yang tak bisa digoyahkan begitu saja.
Kembali pada persoalan seni eksperimental. Secara intrinsik, eksperimen itu dalam perspektif seni, seperti dikemukakan oleh James Roose-Evans dalam bukunya yang cukup populer, Experiemental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook (1989), menyebutkan bahwa eksperimental itu lebih berarti sebagai "sesuatu seni yang belum dinamakan". Mengapa? Karena seniman masih sedang melakukan eksplorasi, penjelajahan, penelitian hingga membutuhkan waktu untuk dapat menemukan apa yang sedang dan telah ia kerjakan. Dalam bukunya, Roose-Evans membuat beberapa tinjauan terhadap para seniman yang melakukan pencarian hingga mereka menjadi bagian dari proses eksperimentasi, atau penemuan-penemuan tanpa henti untuk mendapatkan realitas baru dalam berkesenian. Di sini, juga berlangsung pengandaian bahwa kesenian harus ditemukan dan dilahirkan melalui upaya-upaya pencarian, penggalian, penelitian maupun penjelajahan yang terus menerus, dan semua itu dilakukan dengan mengacu pada tindakan seni dari pelaku sebelumnya. Hal ini sangat menarik bagi dunia kesenian di Indonesia, karena selama ini kita nyaris tidak melakukan tinjauan terhadap pelaku seni terdahulu dalam melahirkan suatu kesenian. Sehingga, epigonitas atau bahkan peniruan buta menjadi sesuatu yang dihalalkan.
Dalam sebuah diskusi --dalam rangka ulang tahun ke 25 teater Populer, Oktober 1993, Nirwan Dewanto menyikapi seni eksperimental sebagai upaya untuk mengatasi keterbatasan. Persepsi ini terlihat kurang memahami sikap kreatif itu sendiri. Keterbatasan dimanapun dalam proses kesenian tentu ada, tetapi eksperimentasi seni tidak bertitik tolak dari perlawanan seperti ini. Namun demikian, bisa disadari bahwa di Indonesia, proses kreatif seni memang jarang sekali menjadi upaya untuk menggali kaidah maupun khazanah terdahulu. Para pelaku seni lebih suka menggampangka diri dalam melakukan eksplorasi. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak adanya media penghubung antara satu disiplin seni dengan disiplin seni lainnya. Juga, oleh ketiadaan informasi yang memadai untuk melakukan pertentangan ide yang satu dengan yang lain. Sehingga, eksperimentasi seni bukan suatu keharusan, tetapi lebih merupakan ketidakmampuan untuk memasuki wilayah kreatif yang ada. Karena disiplin kreatif yang tersedia dirasakan sulit untuk diantisipasi.
Tindakan eksperimentasi itu terus berlanjut. Putu Wijaya misalnya, meskipun tidak mengatakan sesuatu eksperimentasi terhadap keseniannya, khususnya dalam teater, tapi ia telah melakukan berbagai upaya interaktif terhadap sesuatu yang bisa disebutkan sebagai penggalian maupun penjelajahan yang baru. Melalui akar budaya Bali yang dimilikinya, Putu lebih kreatif memasuki wilayah yang baru itu. Bagi Putu Wijaya, teater eksperimental itu adalah berlawanan dengan kehendak pasar, bermusuhan dengan orang banyak, bertentangan dengan kebahagiaan, dan berontak pada dirinya sendiri, terhadap kemapanan (terutama bahasa). Juga, menolak untuk tahu, anti status-quo: tak pernah diam, yakni dalam keadaan bergerak, bimbang ragu, mencari sesuatu yang belum ada, tak ada atau mungkin tak pernah ada. Ia juga tak ingin mengada.
Lalu --lanjut Putu Wijaya, teater eksperimental merupakan teater nihil, yang zero: namun amat penuh, ambisius, prestisius --langkah ke zona terapung, yakni ruang berlapis-lapis dengan dimensi tak terjangkau, mendekati "misteri". Membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdya, mengingatkan manusia pada diri sendiri yang noktah, tak punya hak, tak kekal, dan yang pasti akan musnah. Ia sebuah ideologi, ritus, dan ajaran kebaikan. Sebuah teror mental juga. Sedangkan bagi Nirwan Dewanto, seni eksperimental juga merupakan sebuah "metoda". Lain halnya, dengan seorang sutradara teater SAE Jakarta, yang justru menolak keseniannya sebagai eksperimental, karena menurutnya eksperimental lebih sebagai sebuah percobaan. Dan, teater yang dilakukannya bukan sebuah percobaan. Memang, sejumlah seniman yang kemudian menyebut dirinya melakukan eksperimental, hanya merupakan sebuah percobaan.
Perspektif di Indonesia, memang berbeda di Eropa dan Amerika. Karena, mereka memiliki basis yang kuat terhadap berbagai konsepsi maupun ideologi kesenian yang berdasar pada pemikiran filsafat. Sehingga mereka lebih mampu menjelaskan posisi seni eksperimental tersebut hingga ke dataran yang paling esensial dari setiap orang yang memasukinya. Yakni kemampuan manusia dalam membangun reseptivitas terhadap realitas (terutama empirik, maupun imajinatif-fiktif-fantasi-mitologis), ke dalam stimulasi kesekarangan dari seseorang (individu, seniman hingga masyarakatnya). Kita ambil contoh Martha Graham, seorang koreografer Amerika Serikat. Ketika ditanya tentang bagaimana ia melahirkan tarinya, dan mengapa karya tarinya tersebut diturunkan dari mitologi Yunani, ia menjawab, "I am a thief" (aku adalah pencuri). Artinya, ia menyaksikan dirinya dengan memahami situasi dirinya lewat mitologi Yunani, kemudian melakukan korespondensi dengan kehidupannya yang sekarang, yang ada dalam dirinya. Lalu, ia membawa semua perbendaharaan pertemuannya itu ke studio. Ia melakukan eksplorasi dari bagaimana dirinya yang sekarang dengan mitologi Yunani itu sendiri. Sesuatu yang terbangun lewat stimulasi pertemuan tersebutlah, kemudian melahirkan karya tari. Terjadi semacam mistifikasi juga terhadap mitologi dari dunia sehari-hari yang hidup, dan dunia yang telah berlangsung di luar dirinya (mitologi Yunani), untuk dimasuki kembali, dikenali, dan dialami.
Seorang koreografer kontemporer dari Thailand, Naraphong Charassri juga melakukan hal yang nyaris sama. Koreografer yang pernah belajar pada Martha Graham ini, dan melakukan kolaborasi dengan sejumlah seniman, seperti dengan Keiko Takeya dan Makoto Sato (Jepang), dan I Wayan Sadra (Indonesia), dalam sebuah percakapan di Surakarta (November 1994), menyebutkan bahwa apa yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari secara sadar, dapat melahirkan rangsangan terhadap penemuan-penemuan dalam dunia tari. Ketika ditanya, bagaimana ia melakukan proses kreatif, ia mengatakan bahwa segala yang dilihatnya, termasuk duduk di warung kopi, melihat kucing berjalan, buruh yang sedang bekerja maupun perilaku kekuasaan merupakan inspirasi positif untuk menumbuhkan proses kreatif. Naraphong banyak menemukan rangsangan dari proses kehidupan sehari-hari menjadi proses kreatif yang mampu membangkitkan hubungan dirinya (internal) dengan yang berada di luar dirinya (eksternal).
Jadi, ada "dunia bersama" yang lahir dari kesadaran, dan membangun rangsangan terhadap situasi kesekarangan. Pemahaman seperti inilah yang juga memasuki dunia pemahaman kita terhadap seni eksperimental. Kita bisa melihat bagaimana koreografer seperti Gusmiati Suid yang muali menyadari pentingnya realitas didalam diri dalam dunia tari. Dunia tari tak semata-mata melakukan pengejaran terhadap kesempurnaan teknik gerak semata. Tetapi, lebih pada fenomena-fenomena yang hidup, dan dihidupkan dalam setiap kesaksian pada hidup itu sendiri. Dalam gerakan musik New Wave 1970-an misalnya, mereka membangun prinsip dasarnya pada pengandaian bahwa "apa yang didengar, dengar, dengar. Itulah yang dirasakan".
Bila kita ingin lebih jauh bergerak, terutama ke dalam khazanah seni dunia --Indonesia, tentu bagian di dalamnya, merupakan kerja besar "proyek" modernisme. Modernisme seni mengandaikan bahwa "pemberontakan dari subjek yang merasa utuh-lengkap terhadap kenyataan yang ditata, namun direduksi pula oleh hukum-hukum rasional". Di sini, eksperimen terlihat kehilangan maknanya hingga lahirnya modernisme tinggi.



Sebuah Perspektif: Dunia Kemungkinan
Lalu, bagaimana perspektifnya? Apakah kita tengah menemukan jalan buntu? Apakah kita harus menyerahkan diri pada perubahan tanpa arah? Apakah eksperimen itu masih memiliki maknanya dalam kehidupan kita?
Perspektif seni eksperimen itu dapat kita bagi menjadi tiga. Pertama, bahwa ia merupakan seni yang belum dinamakan. Sejalan dengan munculnya pemahaman tentang "kematian seni", maka seni eksperimen itu sudah melewati berbagai paham besar seni yang pernah ada. Kita dapat melewatinya dengan satu keyakinan melalui upaya penjelajahan, penelitian, dan pencarian serta latihan-latihan yang menmpatkan pemberian makna terhadap kehidupan yang lebih manusiawi, hidup bersama dalam alam semesta. Di sini, kepercayaan kita semakin dipertebal dengan meyakini adanya kemungkinan-kemungkina yang bisa lahir dari sebuah refleksi dan proses kreatif. Penawaran-penawaran mutakhir dunia filsafat, seperti yang dikemukakan oleh Edmund Husserl, yakni fenomenologi. Artinya, perbuatan kesenian bisa lahir dari apa yang ada di sekitar kita. Yang paling dekat dengan hidup kita. tidak lagi berada dalam narasi-narasi besar yang membuat diri kita hanya menjadi budak dari permainan bahasa, dan keagungan masa lalu. Dan, saatnya kita menempatkan dunia kodrati berada tidak dari satu tangan. tapi, kita manusia adalah bagian yang integral dengan kemungkinan hidup yang ditemukan.
Hal yang kedua, bahwa kita dihadapkan pada realitas di sini dan sekarang. Artinya, kita, seniman, kreativitas seni, masyarakat, negara, suku bangsa, hukum, pikiran, tubuh, teknologi, adalah sekuen yang integral. Di sini, berarti berada didalam diri kita (biografis-histroris) dengan konsekuensi ruang, tempat, keadaan atau situasi yang membangun realitas kehadiran. Sedangkan sekarang memiliki dimensi waktu yang didalamnya kita berada, saling berhadap-hadapan, bertemu, berkenalan, aktual dan memperkuat lapisan-lapisan hidup yang kita temukan.
Ketiga, adalah perspektif kesedarajatan. Tidak ada eksklusivitas. Tidak ada hubungan guru-murid yang memisahkan manusia satu dengan yang lainnya, sehingga masing-masing manusia mengalami hambatan psikis dalam membangun hubungan kreatif. Kesederajatan merupakan upaya untuk menghilangkan kesan keterpisahan satu sama lainnya. Di sini, juga terkandung realitas bahwa suatu karya seni akan merupakan suatu "kepengarangan bersama" antara publik dan kreatornya.

Menuju Perubahan
Akhirnya, saya membayangkan suatu perubahan. Sekarang, saya semakin sadar pula bahwa perubahan itu membawa konsekuensi yang tidak sedikit pada situasi mental yang macet. Ikatan-ikatan yang membuat manusia memasuki dunianya sendiri lewat prosedur yang retorik. Dalam kondisi inipun, say tak bermaksud untuk membuat suatu penggolongan maupun batasan-batasan, kelas-kelas baru yang mencoba untuk melakukan pengabsahan terhadap "seni eksperimen". Juga, tanpa maksud pula membangun legitimasi baru untuk perspektif yang memungkinkan seni eksperimen itu dipercayai sebagai gerakan pembaruan dalam kesenian. Bukan. Semoga penafsiran yang terlintas dalam diri kita masing-masing adalah sebuah upaya penjelasan. Kesenian yang kita tumbuh kembangkan disini-sekarang itu adalah wacana kontingensi untuk melihat hidup kita diantara hidup yang lain. Kita sendiri bisa menemukan wilayah yang ingin kita capai dalam sebuah kebersamaan yang tidak harus dalam langkah yang sama. Kita tidak harus saling bersetuju pada perbuatan kesenian yang kita jalani masing-masing. Tetapi, kita bersama-sama di sini, adalah untuk "membaca" kehidupan yang kita lalui, bukan saja sekedar berangkat dari daya tarik, tetapi lebih jauh melewati juga pemeriksaan, pertimbangan, dan persetujuan pada dunia kemungkinan yang setiap saat bisa mnyergap kehadiran diri kita masing-masing.
Dengan demikian pula, pemberontakan, kritik, dan perlawanan dalam tubuh modernisme, telah gagal dalam menjawab tantangan peradaban sekarang. Di sini, ada baiknya kita mengutip pernyataan Octavio Paz, bahwa "pemberontakan (telah) jadi prosedur, kritik jadi retorik, dan perlawanan jadi upacara". Kita memang berhadapan dengan variabel-variabel semu. Disinilah mistifikasi menjadi jalan dari pusat-pusat kesenian yang kemudian melahirkan relativitas yang harus dipahami bersama. Berbagai kegiatan eksperimentasi seni yang diselenggarakan oleh sejumlah pihak, sebut saja misalnya Taman Budaya Jawa Timur (11-16 September 1995), di Medan juga melakukan hal sama, begitu pula di Bandung (Forum Oktober 1994, "Dago Bengkok"), "Binal" di Yogyakarta, "Nur Gora Rupa" di Surakarta, "Seni anti-konsep" di Semarang, dan seni eksperimental di Denpasar (1994), menjadi salah satu bahan acuan yang memungkinkan kita pula untuk mengetahui sejauhmana kita mengetahui kerja seni yang kita percayai hidup bersamaan dengan pergolakan kehidupan yang terjadi di mana-mana. Kita, tentu tak pernah berniat untuk berhenti, hanya pada satu proyeksi yang kita sebut seni eksperimen(tal) itu.
Sekali lagi, hidup yang kita lewati dalam kesenian adalah perbuatan membaca segala yang kita hadapi, sambil mempercayai kehidupan yang lain juga. Kita, membangun keseimbangan dimensi manusiawi, maupun pemberdayaan diri kita terhadap signifikansi kemanusiaan kita, sekaligus menyadari kekayaan dan kemiskinan kita. Bukan saja dalam ketidakberdayaan yang menumpuk. Lebih jauh, keadaran pada kemampuan menstimulasi secara multidimensional terhadap setiap fenomena kehidupan yang kita hadapi masing. Kita berniat untuk melakukan perubahan, paling tidak dimuali dari diri kita sendiri.(Catatan: tulisan ini merupakan perluasan tulisan di Surabaya Post (Minggu, 17 September 1995, seni), dan makalah untuk yang disampaikan dalam "Pekan Seni Eksperimen 1995" di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, 11-16 September 1995)

Kamis, 18 Juni 2009

Radikalitas Seni

Autar Abdillah

Dalam sebuah surat pembaca di surat kabar harian terbitan ibukota, sepasang penari (couple dancers) dari Sukabumi, membantah sejumlah surat kabar di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, yang menyebut tariannya sebagai tarian bugil, dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai tarian porno. Sejumlah tokoh masyarakat pun menganggapnya sebagai kesenian yang merusak budaya bangsa, dan Yogyakarta sebagai kota pelajar dan budaya, telah "diselewengkan", karena tarian yang mereka lakukan berlangsung di salah satu hotel berbintang di Yogyakarta. Mereka --sepasang penari itu, menyebut tariannya sebagai magic dance. Dan, warna-warni di tubuh mereka yang terbuka itu, mereka namakan sebagai body painting.
Banyak teknik-teknik manipulasi, dan stilisasi untuk menggiring penonton dalam gairah erotis yang terjadi pada tarian itu. Hal ini mengingatkan kita pula pada penyanyi dangdut yang selalu hadir dalam acara tahunan selama satu bulan, yakni sekaten di alun-alun utara keraton Yogyakarta. Para penyanyi dangdut itu, bukan saja menyanyikan lagu yang penuh rangsangan penghambaan percintaan, tetapi juga meliuk-liukkan tubuhnya hingga samar-samar terlihat pakaian dalamnya. Begitu pula dengan gerak-gerak tubuh, dan pakaian menor yang mengundang birahi yang kita temukan dalam film-film Indonesia yang digandrungi masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah. Kita lihat saja dari judul-judulnya, seperti Gairah Malam, Tabu, dan sebagainya. Dan, karya fotografi dalam buku Syuga Dewi Soekarno yang ditolak pihak berwajib untuk diedarkan di Indonesia.
Untuk karya fotografi Syuga Dewi Soekarno, dan "magic dance" dari Sukabumi, penontonnya adalah masyarakat kalangan menengah atas, atau sebut saja kalangan berduit. tetapi, untuk film nasional dan penyanyi dangdut yang mengumbar nafsu seksual, sebaliknya. Cukup dengan uang recehan seribu lima ratus hingga lima ribu rupiah. Ujung-ujungnya, dari kehadiran seni yang dianggap di luar tata krama sosial itu adalah pelarangan, kecuali untuk film nasional.
Dalam pelanggaran "tata krama politik", pelarangan juga terjadi. Sebut saja misalnya, Drama Pak kanjeng Emha Ainun Nadjib, dan pameran instalasi untuk Marsinah di Surabaya. Dan, beberapa karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membicarakan semua pelarangan yang telah menjadi batu karang yang menjengkelkan. Tetapi, lebih jauh untuk melihat betapa semakin derasnya arus gerakan seni kita, sehingga menjadi begitu radikal, dan memiliki yang semakin abstrak. Tetapi, kehadirannya sangat nyata di tengah-tengah masyarakat, dan institusi resmi negara.

Gerakan Seni Kita
Gerakan seni di Indonesia, secara intrinsik didorong oleh kehendak untuk sejajar dengan seluruh aktivitas hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Lebih jauh, pada seluruh aktivitas kebudayaan yang membangun kesadaran penuh manusia. Upaya itu tidak sepenuhnya dapat berlangsung dengan wajar. Terutama, disebabkan oleh beban sosial maupun politis yang selalu mengiringi kehadiran seni dan senimannya. Di sini, terjadi perlawanan terus menerus. Sehingga, tak jarang kesenian lahir dari sejumlah bentuk perlawanan.
Perlawanan yang dilakukan oleh seni itu sendiri, membangun kesan bahwa kesenian merupakan wacana berpikir. Dan, untuk itu kesenian tidak hanya ditempatkan sebagai forum diskusi, tetapi juga sebagai peluang lahirnya manusia-manusia baru. Hal ini merupakan sisi penting bagi kesenian, karena tak begitu mudah menembus barikade kesimpangsiuran manusia yang memiliki beraneka ragam keinginan maupun sasaran hidup dalam kesenian yang ingin dicapainya. Yakni, pemikiran seni dari kehendak lahirnya manusia-manusia baru tersebut.
Dalam gerakan seni itu, sudah seharusnyalah bisa dilepaskan dari ikatan politis maupun sosialnya, agar otoritas yang lahir dari kesenian tersebut mampu memasuki wilayah interpretasi yang konstruktif dari masyarakatnya. Bila masih menguatnya ikatan atau beban yang diberikan pada muatan politis dan sosialnya, maka bukan tidak mungkin, kesenian itu hanya akan menjadi pemakluman yang menjemukan. Di sini, kita akan melihat peran yang ditumbuhkan kesenian itu masyarakatnya. Bukan dari institusi resmi negara yang dibangun untuk mewaspadai atau memata-matai gerak-gerik atau aktivitas, serta pemikiran masyarakat. Dan, bentuk perlawanan yang terjadi dalam kesenian pun dipandang dalam wilayah masyarakat yang menghidupkannya. Ia tidak serta merta diasumsikan sebagai destroyer. Apalagi dikhawatirkan sebagai pembawa nilai-nilai dan norma-norma negatif. Kita dapat melihat, betapa menguatnya arus kesadaran masyarakat untuk mampu memberikan pernyataan atas nama dirinya sendiri. Dan, hal ini akan berarti pula bahwa masyarakat dalam kesenian akan menolak atau menerima kehadiran kesenian itu sebagai bagian dalam aktivitas sehari-harinya.
Lebih jauh, kesenian dalam gerakan yang tumbuh dari evolusi yang wajar adalah terjadinya pembebasan pada masyarakat untuk membuat pilihan-pilihan yang mungkin bagi hidupnya sekarang dan di masa depan. Di sini pulalah tumbuh kewajaran radikalitas seni, tanpa harus dipaksakan menjadi kesenian yang bergerak dalam sejarah hidup manusia --yang sedang dan telah tumbuh dengan kewajaran pula. Betapapun kontradiktifnya kesenian tersebut di mata masyarakat kontemporernya, ia akan menjadi ritus yang tidak bisa tidak merupakan pengamalan masyarakat dari situasi kontemporernya.

Seni Ritual-Kontemporer
Satu kenyataan lagi dalam pertumbuhan ataupun sejumlah gerakan dalam seni kita adalah modernitas. Artinya, kesenian kita sekarang sedang menghadapi guncangan modernisasi. Di sini, juga terjadai pertentangan antara kalangan perguruan tinggi, dan seniman otodidak. Hal ini bukan hanya merupakan gejala klasik. Tetapi juga merupakan sebuah situasi yang membuat radikalitas seni dapat dibaca menjadi upaya penemuan yang sedang berlangsung tanpa henti.
Modernitas yang terjadi dalam kesenian, seiring dengan upaya melepaskan diri dari kekakuan-kekakuan yang ditimbulkan oleh peradabannya. Sehingga, tak jarang terjadi sikap primitif dianggap sebagai sudah melalui proses wajar dari upaya modernitas tersebut. Hal ini artinya bahwa seni lahir dari sejumlah kerancuan tolok ukur maupun akan aktualitas yang diinginkan oleh seniman dan masyarakatnya. Banyak upaya pencarian kita sekarang ini, ditujukan untuk melepaskan sakraliasi kehidupan dan seni, sering disebut sebagai desakraliasi seni. hal ini lebih merupakan upaya penemuan yang azasi dari seni tersebut ketimbang penemuan manusia yang memiliki kesadaran penuh berada dalam alam yang nyata bagi sikap dan perilakunya di dunia.
Seni, ketika menjadi bagian dari ritualitas hidup, maka ia akan menempatkan manusia berada dalam struktur hidup tersebut. Manusia tak akan dibebaskan untuk memasuki wilayah haram bagi sikap maupun ritus ritualnya. Namun demikian, bila ia dihadapkan pada situasi kontemporernya, maka di sini manusia diupayakan sebagai baru dan lahir. Artinya, manusia ditempatkan dalam wilayah yang gelisah, unik, dan eksotik, kognitif, dan penuh dengan keingintahuan.
Maka, seni ritual-kontemporer adalah pemaknaan, dan sublimasi dari suatu kepercayaan manusia akan keberadaan dirinya. Setuju atau tidak, dalam hal ini manusia dibawa ke alam bawah sadar yang terkadang membuat indeks pemikiran tak mampu menjawab, dan membahasakan kehadiran manusia beserta perangkat sikap dan lakunya.
Lalu, bagaimana dengan Seni Ritual-Kontemporer (Internasional) yang diselenggarakan di Taman Budaya Surakarta, 9-15 April 1994? Acara yang diberinama Nur Gora Rupa itu merupakan salah satu dari aktivitas seni kita yang berkecenderungan radikal dalam konteks penemuan-penemuan seni yang dilakukan. Setahun sebelumnya, penyelenggara kegiatan ini juga telah membuktikannya. Beberapa seniman dari dari sejumlah negara seperti Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea, dan beberapa seniman Indonesia, seperti Ray Sahetapi, Slamet Abdul Sjukur, Yasudah, Yoseph Praba, Sutanto, Edi Hara, Bonyong, turut melibatkan sejumlah karyanya.
Surabaya Post, Minggu, 16 April 1994, seni