Kamis, 22 Desember 2011

Pembelajaran Pantomime Anak Usia Dini dan TK

Oleh Autar Abdillah S.Sn., M.Si




I.Sekilas Sejarah Pantomime
Pantomime diperkenalkan di Inggris sebagai sebuah pertunjukan hiburan untuk bersenang-senang. Pantomime bermula dari Commedia dell’Arte atau Komedi Seni di Italia. Pada Komedi Seni ini yang tumbuh pad 1550-an ini merupakan sebuah reaksi politik yang tidak memungkinkan pertunjukan dengan menggunakan terlalu banyak kata-kata, terutama kata-kata yang bermakna politik dan yang tidak memberikan kontribusi pada syiar agama. Komedi seni ini menjadi sangat penting, karena memberikan kesempatan berimprovisasi dengan berbagai hal yang sedang actual –tentunya tidak menyinggung masalah politik dan kekuasaan.

Pada masa komedi seni ini digunakan topeng untuk menyembunyikan wajah pemain –disamping menambah kesan lucu. Sedangkan pada panto-mime, wajah tidak lagi menggunakan topeng, tapi dilukis maupun diberi aksentuasi secara langsung (atau di-make-up). Memasuki akhir abad 19 hingga saat ini, Pantomime semakin popular dan ditujukan untuk anak-anak, baik di Inggris maupun di Australia, Kanada, Amerika, Jepang (Tokyo Mime City) dan kini di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Di Indonesia, pantomime tidak terlalu berkembang, karena kurangnya pertunjukan-pertunjukan yang diselenggarakan. Di Jakarta dikenal nama-nama seperti Septian dan Didi Petet. Di Yogyakarta seorang tokoh pantomime yang masih aktif, seperti Jemek Supardi.

Performance Masks by Alyssa Ravenwood

Bagaimanapun juga, pantomime merupakan pertunjukan kreatif yang didukung oleh kemauan dan kemampuan untuk menjelmakan peran-peran tertentu tanpa harus berkata-kata. Atau, pantomime merupakan seni “bercerita” dengan menggunakan gerak dan emosi, tanpa berkata-kata. Unsur-unsur komedian sebagai peninggalan Commedia dell’arte dan tujuan-tujuan untuk memberikan hiburan, melekat dalam proses maupun pertunjukan pantomime. Namun demikian, proses-proses mendasar dalam pantomime, terutama yang berkaitan dengan persiapan tubuh dan daya imajinasi sangat diperlukan. Hal ini tentu bukan berarti bahwa pantomime sesuatu yang sulit. Pantomime dapat menjadi mudah, jika dalam prosesnya kita benar-benar menyadari proses kreatif dan langkah-langkah persiapan yang sesuai dengan kebutuhan pertunjukan pantomime itu sendiri. Berikut beberapa langkah proses kreatif yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk meulai sebuah proses pantomime.

Proses Kreativitas

Memasukkan Mengalami serangkaian Terus diperluas dan diperdalam

Data Panca Indera

Merasakan Menghayati segala Mendengarkan suara batin

Yang dirasakan tubuh dengan kepekaan yang tinggi

Membayangkan Menyadari berbagai Bayangan muncul dan

bayangan berinteraksi secara bebas

Mengejawantahan Mengejawantahkan Gerakan menuju metafora

Perasaan bayangan

Ke dalam gerak

Pembentukan Memadukan segala Pembentukan secara intuitif

Pengalaman batin dari curahan perasaan

(Hawkins, 2003: 88)

Proses kreatif Hawkins ini memang sangat umum. Untuk itu, perlu dutegaskan beberapahal. Dalam proses kreatif, seseorang didorong untuk memasukkan sejumlah data yang diperlukan dalam proses kreatif. Data tersebut diserap oleh panca indera dalam kehidupan sehari-hari maupun melalui sebuah upaya yang bersifat khusus, yakni melalui sebuah proses latihan. Semua data itu, kemudian dikembangkan dan diperdalam. Proses selanjutnya adalah merasakan, bahwa semua data yang masuk dihayati oleh seluruh tubuh. Tubuh membangun kepekaan secara menyeluruh dan semakin lama semakin tinggi. Tubuh benar-benar merasakah semua data atau sebagian data yang dianggap penting dalam keberlangsungan proses kreatif yang dijalani.

Kemudian seseorang keluar membangun bayangan maupun mengembangkan imajinasi yang dimilikinya. Dalam proses ini, kesadaran sangat penting dalam mengolah bayangan, sehingga bayangan tersebut dapat berinteraksi dengan dirinya secara bebas. Pengertian secara bebas disini adalah adanya kepedulian dan keinginan untuk menangkap semua bayangan tanpa ada yang menghalangi. Suasana batin sangat menentukan proses ini. Dalam kondisi ini dilanjutkan dengan melakukan pengejawantahan atau perwujudan. Bayangan yang sudah berproses dialirkan ke dalam berbagai kemungkinan gerak. Bergeraklah sesuai dengan kemampuan menangkap atau menghayati bayangan. Buatlah metafora-metafora yang melalui pengejawantahan yang “masuk akal”atau dapat dipahami secara umum dalam interaksi sehari-hari alias tidak “menganeh-aneh”.

Selanjutnya masuk dalam pembentukan. Pembentukan merupakan hasil seleksi dari sekian proses yang sudah berlangsung. Pengalaman batin maupun pengalaman sosial, kehidupan sehari-hari maupun konstruksi bayangan yang sudah ditemukan itu memerlukan intuisi dari seseorang dalam menemukan arena melalui media yang tersedia. Perasaan menjadi penting karena dalam pembentukan ini ada ruang-ruang, ada ide-ide hingga pengalaman hidup yang diharapkan dapat melakukan kombinasi secara dunamis.



II.Pantomime Usia Dini
Pantomime bagi anak usia dini merupakan perpanjangan tangan dari pertumbuhan ekspresi anak. Sejak lahir, anak-anak belajar berekspresi dari lingkungannya. Upaya yang dilakukan anak-anak pada usia dini, berkaitan erat dengan pertumbuhan fisik dan genetika yang dimilikinya. Secara fisik, anak-anak lebih menggunakan tangisan untuk memberitahukan pada orang lain, segala sesuatu yang dirasakannya kurang senang, rasa sakit, haus maupun lapar. Sedangkan secara genetika, anak pada usia ini mengikuti lebih besar sifat-sifat yang dimiliki kedua orangtuanya.

Pembelajaran Pantomime bagi anak usia dini sangat berkaitan dengan membangun kesadaran diri, physicalization (mengembangkan pertumbuhan fisik anak), bekerja kooperatif, dan tentu saja, akting. Untuk itu, pemusatan perhatian pada kondisi anak menjadi hal utama. Anak-anak sebaiknya mengalami proses pengkondisian, merasa senang, dan memiliki kebebasan memilih serta mampu mencerna proses yang akan dijalankan. Asosiasi- asosiasi anak atau bayangan-bayangan visual anak menjadi salah satu titik tolak untuk mendorong anak mengenal lebih jauh bentuk visual dari orang dewasa. Objektivikasi bentuk visual anak dikreasikan kembali menjadi bentuk-bentuk yang indah dan menarik. Tentunya, menarik bagi anak-anak usia dini dan indah bagi seorang guru yang melakukan kreasi. Anak-anak belum mampu mencerna keindahan dalam objek yang menarik bagi mereka.



III.Pantomime di Taman Kanak Kanak
Pada usia sekolah, misalnya dimulai pada usia playgroup atau PAUD, Pantomime dapat dibagi dalam dua bentuk, yakni pantomime yang non cerita dan pantomime yang bercerita. Pantomime yang non cerita merupakan pantomime yang hanya mempertunjukan unsure-unsur yang sederhana. Misalnya, berlari atau berkejaran, berjalan-jalan, bertepuk tangan gembira ketika membayangkan atau mengimajinasikan suatu peristiwa yang menakjubkan. Sedangkan pantomime bercerita dapat merupakan suatu permainan pantomime yang mengikuti suatu cerita tertentu. Misalnya, cerita seorang anak yang terlambat ke sekolah, bisa pula cerita rakyat, dan cerita yang popular, seperti Cinderella, Pinokio, atau Si Kancil, Si Belalang, Berkebun dan sebagainya.

Karakter di masing-masing Taman kanak-kanak jelas berbeda. Demikian pula dengan kemampuan anak didik dalam menyerap proses berpantomime ini. Namun, satu hal yang dapat ditemukan kesamaannya adalah dunia bermain anak-anak yang menginginkan dan mampu membangun empati terhadap setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak TK justru memiliki kemampuan empati saat mereka melakukan interaksi. Mereka akan turut sedih jika temannya menangis, meskipun tangisan itu disebabkan oleh dirinya sendiri. Pola interaksi ini cukup unik pada dunia anak TK, karena mereka belum menyadari hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa. Untuk itu, dalam pantomime ini, narasi kelucuan dan hiburan sangat memungkinkan dihidupkan melalui pola interaksi yang terdapat pada anak-anak, bukan pada “pandangan” orang dewasa.



IV.Langkah-langkah Pembelajaran dan Pelatihan
a.Pemanasan dan Pelemasan
1.Berlari-lari kecil di tempat
2.Menggerakkan kepala:
- Menekan kepala ke depan dank e belakang

- Menekan kepala ke kiri dank e kanan

- Menoleh ke kiri dank e kanan

- Memutar kepala dan diulangi dengan arah sebaliknya

3.Menggerakkan bahu
- Menggerakkan bahu ke atas dank e bawah

- Menggerakkan bahu ke depan dank e belakang

- Memutar bahu

4.Menggerakkan tangan hingga jari jemari
- Menggerakkan pergelangan tangan

- Menggerakkan jari jemari

5.Menggerakkan pinggul
- Menggerakkan ke kiri dank e kanan

- Menggerakkan ke depan dank e belakang

- Memutar pinggul

6.Menggerakkan lutut
- Menggerakkan ke kiri dank e kanan

- Menggerakkan ke depan dank e belakang

- Memutar lutut

7.Senam Wajah
- Menggerakkan alis mata

- Menggerakkan pelupuk mata

- Menggerakkan kening

- Menggerakkan mulut

- Menggerakkan pipi

8.Kembali berlari-lari kecil di tempat sambil bertepuk tangan
9.Menghela napas


b.Imajinasi Benda
1.Membayangkan penggunaan benda-benda di sekitar, seperti gelas, kursi, kayu, batu, dan lain-lain
2.Menggunakan benda-benda itu dengan menyesuaikan bentuk dan berat benda serta penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari
3.Menyadari kadar tekanan, bawaan maupun interaksi benda dengan tubuh. Misalnya: interaksi bola yang melambung berbeda dengan tali yang ditarik
c.Eksplorasi Emosi dan Perilaku
1.Menentukan berbagai bentuk emosi: marah, menangis, tertawa, ngambek, terkejut, takut, ngeri dan sedih
2.Memberikan arahan tentang peristiwa emosi yang akan dilakukan
3.Melakukan dan membentuk perilaku emosi secara bergantian
4.Mempertemukan (berpasangan) bentuk-bentuk emosi
d.Mencipta Bentuk
1.Bentuk dasar (perhatikan pergerakan tubuh)
i.Berjalan
ii.Memegang benda
iii.Mengangkat benda
iv.Menarik benda
v.Menekan sesuatu (bisa dinding, tubuh temannya dan benda lainnya)
vi.Melempar
2.Bentuk imajinatif
i.Berjalan sambil melambaikan tangan
ii.Memegang sambil membayangkan benda-benda, seperti gelas, tas, bola
iii.Mengangkat sesuatu yang ada dalam bayangan anak-anak
iv.Menarikdan saling menarik satu sama lainnya
v.Menekan maupun bersandar pada suatu objek
vi.Melempar sesuatu ke arah yang diinginkan
e.Membuat Cerita/Narasi
1.Narasi dapat berupa cerita sehari-hari maupun dari legenda
2.Narasi dibuat sederhana dengan tokoh-tokoh/peran yang sederhana. Misalnya, Kancil yang licik, Anak yang rajin
3.Mulailah dengan sebuah cerita agar anak-anak dapat membangun imajinasi peristiwa maupun dapat mengembangkan dan menyesuaikannya dengan pengalaman yang ditransformasikannya.
f.Make-up dan Kostum
1.Make-up dan kostum berguna untuk mempertegas peran yang dimainkan
2.Make-up dan kostum akan lebih baik jika mampu mendorong gerak yang sesuai dengan peran
3.Kemampuan melakukan peran-peran tertentu dapat mengubah make-up dan kostum menjadi bagian yang sekunder.


V.Memulai dengan Keyakinan
Pertanyaan yang sering muncul ketika memulai sesuatu adalah bagaimana cara memulainya. Dalam proses kreatif, dikenal adanya motif. Motif akan menjadi titik tolak seseorang untuk memulai suatu proses. Motif merupakan titik sasaran seseorang dalam bertindak. Maka, mulailah denga menentukan motif Anda memulai sesuatu. Misalnya motif memberdayakan anak didik, memberdayakan diri sendiri, pergaulan, menumbuhkan rasa ingin tahu, ingin belajar dan sebagainya. Motif-motif ini akan menentukan tindakan seseorang dalam proses kreatif. Semakin baik motif yang dipilih, maka semakin tinggi pula upaya yang dilakukan dan semakin baik pencapaian dari motif tersebut.

Motif yang dimiliki, selanjutnya diikuti dengan niat dan kemauan untuk menjalankannya sebaik mungkin. Ikutilah tahap demi tahap dari proses kreatif dan ikuti pulalah kemauan keras untuk dapat menjalaninya. Bisa dilakukan dengan proses belajar dan melakukan eksplorasi terus menerus. Dalam proses kreatif, selalulah berpikir positif. Kenali dan perdalamlah semua temuan yang muncul dalam pikiran maupun perasaan. Berdiskusilah dengan setiap temuan maupun setiap upaya yang dilakukan agar temuan itu mampu menjadi sebuah hasil yang lebih baik. Sebagai sebuah pertunjukan, pantomime sangat memperhatikan aspek-aspek daya tarik, daya juang, kerjasama, sinergi, dan penyelesaian yang konstruktif-dinamis.

Lakukan, lakukan dan lakukan. Bereksplorasi dengan kebebasan penuh. Tataplah semua kemungkinan agar menjadi kenyataan. Selamat mencoba dan selamat bekerja…

Rabu, 21 Desember 2011

Kultur Arek

Autar Abdillah

Arek adalah sintesis perjuangan. Sebuah karakter yang berkodefikasi kultural. Tapi bukan etnosentristik. Terbentuk dari alam yang keras, penuh bencana dan berkontribusi pada pertumbuhan zamannya. Sebuah konsepsi seduluran massif. Hampir tak bisa ditawar-tawar. Sebuah penyatuan berbagai konsepsi seduluran, seperti Cina, Arab dan Madura. Meskipun, Madura secara intrinsik juga terbangun dalam konsepsi seduluran Cina dan Arab.
Sintesis perjuangan arek adalah perlawanan naturalistik dan komunal. Pijakan naturalistiknya sangat erat dengan kondisi alam yang penuh tantangan di masa lalu. Inilah yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara. Daya juang yang tumbuh dalam manusia Arek adalah kemampuannya menempatkan diri secara simultan. Tidak gradual seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya dan kebudayaan yang banyak dipengaruhi kebudayaan Jawa maupun Sunda dan Melayu.
Satu hal lagi, adalah militansi. Arek bukan manusia yang mudah menyerah oleh keadaan apapun. Perbedaan mendasar sesungguhnya terjadi sepanjang tahun 1037-1468 Masehi atau selama 431 tahun, terutama setelah tercatatnya aktivitas gunung Kelud yang mengalirkan lahar dinginnya melalui sungai Brantas, ”… dalam waktu mana diperkirakan telah terjadi letusan gunung Kelud 431:20=22 kali, berturut-turut telah tertutup Bengawan antara Jagir dan Waru, lalu Bengawan antara Taman dan Waru, dan Bengawan Terung antara Jeruk Legi dan Taman” (Sugiyarto; dalam Wiwik Hidayat, 1975: 60).
Memasuki abad 20 hingga abad Millenium ini, Arek mengalami tafsir yang cenderung logosentrik. Arek adalah 1945, adalah hari pahlawan, adalah Suroboyo dan seterusnya. Terjadi penyempitan ruang yang sedemikian rupa membuat Arek mengalami kontaminasi historis. Artifisialitas geneologis dari sejumlah perilaku yang disepadankan dengan masa kini. Masa kini Arek adalah masa kini kultural yang terbentuk dari persenyawaan antara berbagai kultur yang tumbuh bersamanya. Meminimalkan salah satunya, adalah menjerumuskannya pada simplifikasi peradabannya sendiri. Inilah yang sedang terjadi dan sebaiknya direkonstruksi kembali.
Rekonstruksi kultur Arek adalah membuka seluruh pintu gerbang keberadaannya. Menerima secara sadar dan terbuka terhadap unsur-unsur pembentuknya. Bukan mempertahankan diri pada situasi kekinian yang telah mengalami kontaminasi historis. Kontaminasi historis ini juga berakibat pada rendahnya pemahaman generasi masa kini terhadap konteks sosio-kultural Arek. Yakni, masyarakat kampung dengan segala pandangan keterbelakangannnya. Kekumuhan dan ketidakberdayaan disimplifikasi pada kampung.
Masyarakat kampung, bukan masyarakat yang terstratifikasi seperti sekarang ini. Tetapi adalah masyarakat baru yang terbentuk dari pembenahan moralitas dan disiplin Hindu-Jawa. Jika ingin ditarik lebih jauh, maka masyarakat kampung adalah pembentuk jiwa, ideologi dan pengetahuan yang selalu dikesampingkan dalam memahami Kultur Arek. Akibatnya, Arek menjadi ilusi masa lalu.
Arek dan kampung adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui dinamika kampung, Arek tersublimasi menjadi sebuah gerakan bersama. Pelabuhannya adalah integrasi sosial yang mampu menyederhanakan problematika berkehidupan di tengah-tengah masyarakat. Penyederhanaan ini bisa dimaknai sebagai pemberian nuansa ketenteraman, keselamatan dan keguyuban. Disinilah kebiasaan-kebiasaan dikembangkan menjadi tradisi maupun sebagai pengetahuan antar masyarakat dalam kultur Arek.

Autar Abdillah, staf pengajar jurusan Pendidikan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Sedang menulis Disertasi tentang Perbandingan Diskursus budaya Arek dan Mataraman pada Program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya