Jumat, 20 Maret 2009

Sejarah Teater Jawa Timur (bagian 3)

oleh Autar Abdillah

Kelahiran teater di Ngawi, tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan M.H. Iskan. M.H. Iskan yang merupakan ”generasi kedua” setelah Alwan Tafsiri (seorang sastrawan dan mantan wartawan Pelopor Yogyakarta, dan Basuki Rachmat, tahun 50-an, paling tidak sejak 1955. Pada masa kecilnya --ketika SMP, belum ada grup atau kelompok ”teater modern. Saat itu hanya individu-individu, lalu berkumpul dan mementaskan sesuatu. Misalnya, Alwan Tafsiri mengajarkan atau menyampaikan cerita-cerita atau kisah-kisah nabi dalam pengajian di mesjid-mesjid. Lalu, Alwan dan Basuki Rachmat pun mementaskan naskah Utuy Tatang Sontani. Ada pula drama dari seorang guru SMA Katolik, namanya Darto. Dalam pertunjukan Awal dan Mira (Usmar Ismail), M.H. Iskan ikut menjadi pemukul kenthongan (peronda) --dan merupakan pengalaman pertama dalam pertunjukan drama, sebelumnya hanya berdeklamasi, sekitar 1959. Lalu 1960 ke Yogyakarta, dan mulai berkenalan dengan Putu Wijaya dan W.S. Rendra, dan menyaksikan latihan-latihan Bengkel Teater Rendra --tapi tidak ikut anggota, termasuk ketika Rendra pulang dari Amerika, yang melahirkan ”kredo” teater Mini Kata. M.H. Iskan lebih dekat dengan aktivitas teater dari Putu Wijaya yang pada waktu itu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kemudian mendirikan grup atau kelompok yang diberinama ”Lembaga Kebudayaan Nasional”. Di lembaga ini juga terlibat pelukis-pelukis. Pada saat ini mulai mementaskan drama. Pada masa ini juga pernah ke Mansur Samin di Surakarta melihat latihannya dan mengikuti perkembangan kepenulisannya. Pada waktu ini dipertunjukkan Barabah (Motinggo Busye) dan Perantauan (adaptasi Emil Sanosa).
Pada masa-masa sebelum Gestapu, di pendopo kabupaten dilaksanakan berbagai pertunjukan, diantaranya Domba-domba Revolusi (B. Sularto). Cara bermainnya masih wantah atau alami, termasuk penafsirannya, belum ada musik. Jadi, belum ada teknik tertentu. Bentuk panggung selalu arena dengan satu lampu. Penonton cukup menerima kondisi ini, yang penting main. Satu sanggar yang sangat menonjol adalah sanggar Etsa. Setiap pementasan, selalu dawali dengan baca puisi. Pada masa selanjutnya, berteater bersama Anwaruddin, Irianto W., Y. Supriyono, Abdul Wahab, Istanto dan Suwandi Black. Di Ngawi, dahulu ada tempat berkumpul yang memungkinkan kesempatan untuk bermain drama. Dan pada 1994 (29-30 Januari) mengadakan pertunjukan dengan lakon Kerontang yang ditulisnya sendiri, bersama Teater Persada Ngawi di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, di Surakarta (Jawa Tengah). Lakon ini juga dipentaskan di auditorium PPIA Surabaya, 18 Mei 1994, dan Taman Budaya Yogyakarta 14 Juli 1994. Lakon tersebut penuh dengan simbol-simbol yang menggelitik, memfokus pada kehidupan manusia sederhana yang hidup di tengah alam yang keras dan getir. Mereka, sekelompok orang itu, mencoba menyiasati alam dengan gaya sederhana, dan alat sederhana pula. Bagaimana membentuk watak-watak itu menjadi tegas dan penuh semangat tanpa harus dibebani rasa takut, kesangsian, was-was dan penuh curiga, apalagi tipu daya. Mereka mencoba bekerja mencari sesuatu yang berguna bagi daerah tandus itu. Daerah yang telah bermilyar tahun dihuninya turun temurun, menyatu dengan alam yang ganas, liar menggebu. Keadaan ini menimbulkan gairah dan semangat, bukan saja dalam tindakan tetapi juga rasa kebersamaan, bahwa mereka satu kerabat satu saudara yang masih menjunjung tinggi asas kekeluargaan dan keguyuban. Kerja adalah tiang hidup yang punya makna. Gambaran itu tersirat dalam Kerontang. Penuh celoteh, keluguan, keterbukaan, main-main, kemanjaan, sindiran, kepolosan, penuh komik, naif, seperti halnya anak-anak bermain penuh totalitas, tanpa pretensi apa-apa. Begitulah tantangan demi tantangan bergulir dan merambah menggeluti sikap mereka yang terus menempa diri, menyatukan diri meniti niat yang terus menggumpal untuk menemukan sesuatu. Dan, sang nasib, terus melulur, membelitnya tanpa henti. Barangkali harapan-harapan itu bisa terwujud atau barangkali tidak. Benturan-benturan pun terjadi saat kekompakan itu mengental. Tiba-tiba saja kepercayaan sikap mereka berubah saling curiga, saling menuduh, saling melepaskan jati diri, saling kehilangan pegangan. Campur tangan individu yang lain menimbulkan tanda tanya. Apakah alam ini akan dipaksa menuruti kehendak, ambisi dan nafsu. Disinilah harapan-harapan itu tergantung, disinilah tekad itu akan diuji (Katalog Kerontang, PPIA, 18 Mei 1994). Pertunjukan ini dimainkan oleh 8 pemain dengan durasi sekitar satu setengah jam. Setelah Kerontang, M.H. Iskan menampilkan karya lakon Gaok sekaligus menyutradarainya di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, 1 Oktober 1994 dan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, 11 Maret 1995 (pertunjukan Gaok ini, sekaligus merupakan aktivitas terakhir M.H. Iskan dalam penggarapan teater secara komprehensif). Lakon ini berkisah tentang kehidupan manusia bagaimanapun ujudnya merupakan kehidupan manusia untuk dijalani. Seolah-olah hidup itu tanpa akhir, bagai lorong-lorong yang ditembus tanpa batas. Namun nurani manusia lebih handal untuk direnungi, apalagi dicermati. Sebab, betapa nafsu manusia memiliki jalan lapang dan mulus di tengah arus yang serba membutuhkan nilai-nilai perubahan yang serba super, perlu adanya ketingkatan dan dedikasi untuk menyiasatinya. Hingga, kehidupan yang dipilihnya merupakan pilihan yang serba mapan dan paling diarungi, walaupun dengan alternatif yang bertentangan dengan martabat manusia itu sendiri. Ambisi, jalan pintas, intrik, kemudahan, tipu daya adalah getaran-getaran yang menyusup-nyusup jiwa manusia dimanfaatkan untuk mencapai tujuan. Kehilangan nurani, bagaikan raksasa-raksasa beton yang menghimpitnya, melumatnya, robot-robot yang kehilangan kontrol, saling mencakar, saling melumat bahwa harga diri dan keangkuhan adalah simpul-simpul paling tajam. Bagaimanapun ulah dan sikap manusia memiliki jati diri kebenaran yang akan selalu menuntunnya (Katalog pertunjukan Gaok).
Sebelumnya, masih bersama kelompok teaternya, Teater Persada Ngawi, pada 27 Agustus 1978 memainkan lakon Dag Dig Dug (karya Putu Wijaya), di dukung oleh M.H. Iskan, Maria Soedjono, J. Soeprijono, Amin SA, Istanto, Abdul Wahab, Irianto Widodo, dengan sutaradara M.H. Iskan. Pada saat ini, tiket pertunjukan Rp. 150,00 (seratus lima puluh rupiah). Lakon Dag Dig Dug ini pernah di mainkan dalam berbagai durasi, misalnya (secara utuh 3 jam, kemudian di Depdikbud menjadi 2 jam, lalu di Pemda Ngawi dalam rangka HUT Dharma Wanita menjadi 20 menit saja). Meskipun M.H. Iskan merasakan ketidakmentoloannya atau ketidaktegaannya terhadap penyingkatan durasi pertunjukan yang berkonsekuensi dengan lakon dan pengarangnya, namun M.H. Iskan punya prinsip pula, bahwa apa yang dilakukannya ”harus melayani yang diminta masyarakat”. Pada 1983 dengan lakon Orang-orang Terminal, Iskan meraih penghargaan sutradara terbaik ”Lomba Drama Lima Kota” di Surabaya. Kemudian menggarap lakon Dag Dig Dug yang dipentaskan di Seni Sono Yogyakarta, 25 November 1978. M.H. Iskan lahir di Ngawi 11 November 1942, pendidikan terakhirnya adalah SSRI/ASRI 1962-1965 (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia/Akademi Seni Rupa Indonesia yang sejak 1984 berubah menjadi Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Indonesia). MH. Iskan kini aktif mendorong siswa-siswa sekolah menengah melalui berbagai apresiasi teater yang dimainkannya secara tunggal. Salah satu pertunjukan tunggal atau monolog yang dipentaskannya adalah Mulut (karya Putu Wijaya). Pertunjukan ini juga dipentaskan pada ”Pekan Monolog Kaum Adam” di Galeri Surabaya, 21 Juli 2006.

Sejarah Teater Jawa Timur (bagian 2)

oleh Autar Abdillah

Sebagai sebuah pengantar, sejarah teater Jawa Timur dapat kita telusuri melalui para pelakunya. Luthfi Rachman misalnya, selain sebagai sastrawan dengan puisi-puisi religiusnya, juga seorang pelukis, seorang organisator dalam pelaksanaan berbagai kegiatan festival drama, seperti Festival Drama Lima Kota yang diarsitekinya. Pada 1951 (1952 dibuat Kartu Tanda Anggota), bersama Muhamad Ali, Fadjar Sidiq dan Farid Thamrin mendirikan GSAMI (Gabungan Sastrawan Angkatan Muda Indonesia) Surabaya. Pada masa itu GSAMI bertindak membantu penyelenggaraan siaran suntingan Sastra di Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya. Siaran ini mendapatkan sambutan yang luas di Malang, Jember, Madiun, Mojokerto maupun Madura, sekitar tahun 1952-1953. GSAMI, sebagaimana juga diakui oleh Muhammad Ali, lahir dari upaya menandingi kekuatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan PKI -yang pada waktu ini dilancarkan oleh S. Rumambi dan kawan-kawan. GSAMI ini, karena aktivitas melahirkan karya-karyanya di majalah Zenit, Gelanggang-Siasat, SENI, Kisah, Budaya, Medan Sastera, Tifa, Mimbar Indonesia, Mimbar Taruna, Unggun, dan sebagainya, sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan seniman lain di Jakarta, antara lain Trisno Sumardjo, Zaini, Asrul Sani, H.B. Jassin, Ayip Rosidi, Bahrum Rangkuti, Balfas, S.M Ardan, Ahmad M.S. Juga dengan seniman di Yogyakarta, antara lain, Kirdjomulyo, Sri Murtono, Bagong Kussudiardjo, Rulyati, Elanda Rosi Ds, Mansur Samin dan sebagainya. GSAMI ini juga pernah menerbitkan majalah stensilan bernama Tjetusan. Setelah terbitan keenam berubah menjadi Gajabaru dan Bumi. Majalah ini beredar di lingkungan seniman dan sekolah menengah. Iwan Simatupang (guru sastra SMA 1 Wijaya Kusuma) dan Karyono JS tercatat turut membantu. GSAMI sendiri juga memperluas keanggotaanya, seperti Umar Haryanto dan Fuad Hassan. Dalam sebuah pergelaran di Sidoarjo, GSAM dan Luthfi Rachman mendapatkan ”musibah”. Pihak kepolisian Sidoarjo menghentikan pertunjukannya setelah berjalan selama 45 menit. Ihwal penghentian atau pembubaran ini adalah adanya sokongan atau pungutan pada penonton sebesar Rp. 700,00 (tujuh ratus rupiah) tanpa izin dari kepolisian Sidoarjo. Meskipun penonton telah menyatakan rela dengan sokongan tersebut, namun pihak kepolisian tetap memperkarakannya. Kepiawaian --dan terkadang kontroversial, kembali ditunjukkan Luthfi Rachman dalam karya drama Takdir Suara-suara Mati yang digelar di gedung Balai Sahabat, jalan Gentengkali Surabaya, 9-10 Mei 1959 yang disutradarai Anwar Rasjid (lulusan kursus seni drama tahun 1953 yang dilaksanakan Jawatan Kebudayaan Jawa Timur, pelawak dan koreografer tari Indonesia modern) sekaligus pemeran tokoh Sarojo, Toeti Roesmiatinah (pengurus kesenian keluarga Bhakti, anggota kesenian YMCA, penari Jawa di Bali tahun 1952-1954) sebagai Tuni, dan Luthfi Rachman sebagai Karim. Dalam drama ini terdapat adegan yang menurut pandangan masyarakat pada waktu itu sebagai ”serem”, yakni adegan mencium pada bagian leher dan dahi, serta pegangan tangan dengan penuh kemesraan pada bagian pundak dan dagu. Drama ini melukiskan kembalinya seorang bekas suami pada istrinya untuk melihat anaknya, tetapi anaknya telah lama mati. Istrinya masih belum percaya bahwa yang datang secara tiba-tiba itu adalah suaminya, karena telah tersiar kabar bahwa suaminya itu telah mati karena sakit gila. Akhirnya, sang istri menyatakan hendak kembali pada suaminya itu, namun ditolak. Pada saat bersamaan muncullah suami kedua dari sang istri dan terjadi percekcokan. Drama empat babak Tiga Puluh Keping Perak merupakan karya Luthfi Rachman selanjutnya sekaligus sebagai sutradara dan pemain dengan peran sebagai tokoh Judas, yang dipentaskan di gedung Taman Yayasan Kebudayaan Surabaya, 5 Juni 1959 yang di dukung pula oleh Sarjadi Hs sebagai Barabas, dan Toeti Roesmiatinah sebagai Mariam.
Pada 11 Pebruari 1961, sebuah rombongan serampang dua belas dari Jakarta yang baru saja mengikuti kejuaraan di Surabaya memainkan sandiwara dengan lakon Si Mersing (Hamidi T. Djamil) dengan sutradara Abdulmutholib (RRI Jakarta) atas permintaan ALRI untuk menghibur perwira Angkatan Laut, bertempat di ruang rekreasi Perwira Ujung Surabaya. Lakon ini berkisah tentang lingkungan keluarga yang bertitik pusat pada sifat kesatriaan nelayan-nelayan di Bawean pulau Kampal. Sebagai pendukung pertunjukan dari Jakarta, antara lain bintang film Aju Nysmah dan Lucia Harahap, dan dibantu oleh dramawan dan aktor Surabaya, antara lain Luthfi Rachman dan Umar Barabah.
Dalam rangkaian dakwah Islamiah, Drama Bilal Muadzinur Rasul (Luthfi Rachman) dipentaskan oleh pemuda Muhammadiyah cabang Surabaya, 30 Juni-1 Juli 1962 bertempat di gedung Yayasan Taman Kebudayaan Surabaya. Dalam aktivitas bersama pemuda Muhammadiyah, banyak kegiatan kesenian baik berbentuk halal bil halal maupun malam kesenian, misalnya ”Malam Gembira dan Halal bil Halal pemuda Muhammadiyah pada 25 Pebruari 1966, menampilkan drama satu babak, Njonja dan Njonja di Balai Pemuda Surabaya. Setelah sekian lama bergiat dalam dunia teater, Luthfi Rachman tiba-tiba menghilang. Sejak 1969 mulai berkecimpung dalam dunia film. Hal ini disebabkan oleh situasi ekonomi yang memang belum dapat memberikan jaminan hidup sehari-hari. ”Saya sempat menjual sepeda pancal dan dimarahi oleh Bapak saya”, kenang Luthfi Rachman. Atas dorongan Kandar Sinyo, Ratno Timur dan Pitrajaya Burnama, maka jadilah Luthfi Rachman menyiapkan naskah-naskah atau skenario film dan ikut terlibat dalam produksi, misalnya Misteri Borobudur, Pendekar Bambu Kuning, Dendam si Anak Haram, Lima Jahanam, Manusia Terakhir, Raja Pungli, Tante Soendari dan sebagainya. Namun demikian, pada 1976 kalangan sastrawan dan dramawan Jawa Timur, misalnya Djati Kawijanto dan Muhammad Ali, mendadak dikagetkan oleh ide mengadakan Lomba Drama Lima Kota (eks karesidenan Surabaya, yakni Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya) yang diikuti 32 kelompok teater di tambah dengan pertunjukan eksibisi dari Teater Alam Lamongan. Kegiatan ini tak lepas pula dari dorongan Cholik Dimyati dan Drs. Soetrisno R yang pada waktu itu mengepalai Pusat Kebudayaan, atau Taman Budaya Jawa Timur sekarang di jalan Gentengkali 85 Surabaya.
Pada tahun 1977 terlihat kecenderungan menyajikan legenda-legenda. Misalnya, Teater Bicara menampilkan Balada Roro Mendut, Teater Paplus menampilkan Balada Aria Panangsang, April 1979 karya Luthfi Rachman, dan karya drama lainnya Maulana Raja, Calonarang, Panembahan Senapati, Angling Darma, Damarwulan, Roro Hoyi, Balada Raden Wijaya, Roro Jonggrang, Jaka Tingkir, Jaka Tarub, Sumpah Gajahmada, Ande-ande Lumut, Panji Semirang, Bandung Bondowoso, Jayaprana, Lutung Kasarung, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Firma “Warga”. Tersirat maksud untuk mengingatkan generasi pada saat itu tentang perbendaharaan sastera yang ada, agar tidak hilang. Dalam bentuk skenario film, antara lain Sawunggaling, Berdirinya Kerajaan Demak, Trunojoyo, Pak Sakerah, Jaka Sambang, dan Warok Suryomenggolo. Dan dalam bentuk film studi, antara lain skenario Siapa Ayahku dan Babat Alas Bedol Desa.

Sejarah Teater Jawa Timur (bagian 1)

oleh Autar Abdillah

Barangkali hanya sebuah tipu muslihat bila dalam tulisan singkat ini anda memiliki harapan besar untuk mengetahui sejarah teater (di) Jawa Timur. Tulisan ini hanya mencoba untuk membuka sedikit atau sekitar 0,000001 % dari sejarah panjang teater Jawa Timur.
Dimanapun di Indonesia ini, sejarah teaternya diturunkan dari tiga sumber utama. Yaitu, Istana, Rakyat, dan modifikasi maupun turunan langsung dari teater Barat (Eropa dan Amerika) maupun para penjajah dan para musafir dari tanah Arab maupun Turki. Awal pertumbuhannya pun diperkirakan pada awal abad 19. Masa keemasan pertumbuhannya diperkirakan antara 1880 hingga 1930 (salah satunya dengan lahirnya Komedi Stamboel 1891), selanjutnya diikuti oleh pasang surut teater modern.
Pertumbuhan teater di Jawa Timur memang memiliki spesifikasi tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga titik awal dalam pertumbuhan teater di Jawa Timur. Pertama, Pertumbuhan ekonomi yang mendorong tumbuhnya kota. Begitu juga dengan meningkatnya produksi hasil pertanian, perkebunan, peternakan hingga insdustri. Kedua, Teater Jawa Timur lahir dari suatu pergaulan antar daerah atau wilayah kultural maupun politik, terutama hubungan para seniman dengan daerah-daerah, seperti Jakarta sebagai pusat ibukota negara, dan Yogyakarta sebagai pusat berlangsungnya kehidupan kebudayaan yang sangat besar dan dinamis. Hubungan itu juga berlangsung secara gradual dengan Jawa Tengah, khususnya kota Surakarta, dan dengan Tegal, Pekalongan, Semarang maupun Salatiga hanya secara insidentil, lalu di Timur dengan Denpasar (Bali). Akhir-akhir ini --paling tidak dalam satu dasa warsa ini, hubungan dengan Makasar (Sulawesi Selatan) juga mulai muncul dan semakin dekat. Di samping itu, hubungan antar daerah tingkat dua yang saling berdekatan, misalnya antara daerah Surabaya dan Sidoarjo, Mojokerto maupun Gresik dan Jombang. Begitu pula antara daerah Ngawi, Madiun, Ponorogo dan Pacitan. Juga, antara Blitar dengan Kediri dan Tulungagung maupun antara Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep. Ketiga, Teater lahir dari hubungan aktivitas para sastrawan yang menginginkan adanya suatu penampilan yang bersifat dramatis atau sesuatu pertunjukan yang berangkat dari karya sastra. Karena, bagaimanapun juga, salah satu komponen teater itu, yakni Drama, merupakan genre sastra yang cukup penting, di samping puisi maupun cerita pendek. Lalu, peran radio dan televisi, memberikan energi yang dapat mengikat hubungan kerja teater, terutama melalui sandiwara-sandiwara radio (terutama di era 50-an hingga 80-an, dan drama-drama televisi (terutama di akhir era 70-an hingga 80-an, bahkan untuk teater yang dikategorikan sebagai teater tradisional, radio (khususnya RRI), dan televisi masih memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan dukungan terjadinya peristiwa pertunjukan yang berangkat dari karya-karya lakon. Namun demikian, tidak ditemukan lagi peran radio dan televisi (khususnya TVRI, karena TVRI pernah menyediakan waktu siar) yang memberikan semacam ”pendidikan” dalam bentuk penjelasan-penjelasan yang membangkitkan apresiasi terhadap teater.
Di samping itu, dukungan media massa lain (terutama koran atau surat kabar) turut membantu penyebarluasan aktivitas para dramawan dan teaterawan di Jawa Timur, sebut saja misalnya Harian Umum dan Suara Rakjat (era 50-an hingga awal 60-an), Arena (era 50-an hingga 60-an), Jawa Pos (dahulu Java Post (Djawa Post), era 50-an hingga kini), Harian Surabaja Post (kini Surabaya Post terbit sore hari, era 50-an hingga kini), Harian Mertju Suar (era 60-an), Berita Yudha (era 60-an hingga 70-an), Memorandum (era 90-an), Karya Darma (era 90-an), Kedaulatan Rakyat (era 70-an hingga 90-an), Kompas (era 80-an hingga 90-an), Bernas (era 90-an), Surya (era 90-an), dan beberapa harian lain yang memuat profil seniman Jawa Timur seperti Harian Pikiran Rakyat, Liberty, Surabaya Post, Kompas, Jawa Pos, Aneka, Media, dll). Untuk mengetahui sejarah teater Jawa Timur selanjutnya, dapat ditelusuri melalui aktivitas para tokoh-tokohnya, fungsinya dalam masyarakat, gaya dan bentuk bentuk pertunjukannya hingga konsepsi maupun titik tolak pemikiran berteater dari para pelakunya. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat, dan bila memungkinkan dapat di muat secara berseri, sebagai gambaran sejarah teater Jawa Timur.