Selasa, 24 November 2009

Terbentuknya Kampung, dan Modernisasi Surabaya abad 13? (bagian IV)

oleh Autar Abdillah

Aji Setiawan berpendapat bahwa ”Sejak zaman pra-Islam, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak”. Aji Setiawan selanjutnya menjelaskan bahwa:
”pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya”.
Hubungan Surabaya dengan Jawa Barat dalam perdagangan sejak abad ke 4 maupun penyebaran Islam abad 12 M hingga 16 M, juga terlihat dengan berdirinya pesantren Sidogiri di Pasuruan. Website Sidogiri.com , menjelaskan
”Adalah seorang pemuda perantau dari Cirebon, Jawa Barat yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sidogiri, ketika masih berupa hutan belantara, 1715 M. Pemuda itu bernama Sulaiman, putra pertama pasangan Sayyid Abdurrahman bin Umar ba Syaiban dan Syarifah Khadijah binti Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Konon, selama 40 hari Mbah Sayyid (nama akrab Sayyid Sulaiman) berperang melawan jin dan para dedemit. Ditemani salah seorang santrinya, Aminulloh, asal pulau Bawean, beliau akhirnya sukses mendirikan sebuah pesantren kecil yang diberi nama Sidogiri” .
Setelah abad ke 10 –seiring dengan muntahan lahar dingin gunung Kelud yang berakibat pada meluasnya daratan di Surabaya, merupakan awal terbentuknya kampung-kampung yang di huni oleh berbagai etnik yang masuk ke Surabaya. Terbentuknya kampung-kampung Surabaya ini sekaligus merupakan awal ”modernisasi” kota Surabaya. Dalam peta Gereconstueerde Schetkaart van Het Slagveld van de Opstand in Surabaja 1270, tertulis de voormalige geprojceteerd op de Kaart van Modern Surabaja. Peta ini menunjukkan bahwa pusat kota Surabaya bergeser ke Timur dan Utara, dan kampung Surabayan sekarang menjadi jangkar untuk menjadikan Tunjungan sebagai pusat kota. Daerah yang sebelumnya menjadi rawa dan persawahan, dijadikan pemukiman penduduk dan pusat pemerintahan yang baru. Namun demikian, karakter kampung Surabaya tak bisa dilepaskan dari kondisi alam dan tatanan daerah sebelumnya. Pembentukan daerah baru hanya menggeser pola kehidupan sosial yang menimbulkan eskalasi pada tingkat interaksi sosial.
Kampung Surabaya pada awalnya adalah merupakan kampung para pejuang yang terdiri dari para prajurit dan pedagang serta mereka yang tersingkir dari daerah asalnya, seperti bangsa Arab, India dan Tionghoa (Cina). Kemudian dilanjutkan dengan para pendakwah agama dan para pencari lahan untuk menyambung kehidupan. Johan Silas (”Perjalanan Panjang Perumahan Indonesia dalam dan sekitar abad XX”, 2005. Dalam Freek Colombijn, dkk (ed.), 2005: 5), mencatat bahwa ”… kota-kota yang ada kini, pada dasarnya adalah desa agraris yang mengalami aglomerasi, yaitu proses pemadatan (intensifikasi) dan perluasan (ekstensifikasi) yang menggerombol. Desa yang memadat dan hanya bisa sedikit membesar kini dikenal sebagai kampung kota”. Johan Silas juga menyebutkan bahwa terdapat tiga pola pembentukan kampung, yakni
”Ada kampung yang dibentuk secara formal untuk kelompok etnis tertentu, misalnya kampung Bali, Arab, Melayu, Pecinan dan sebagainya. Ada yang merupakan pemukiman pengrajin atau pekerja seperti pada kota Jawa, misalnya Plampitan, Pandean, Jagalan, dan sebagainya. Ada pula "kampung" yang khusus disediakan bagi pejabat kraton, seperti Tumenggungan, Mas-Pati(h), Ke-Rangga-an, Prabuan, dan sebagainya (Ini semua ada di kota Surabaya dan pernah ditulis dalam berbagai penerbitan) ”.
Surabaya sebagai salah satu kota yang berpola mandala di Jawa, maka profesi penghuninya pun diletakkan pada arah tertentu. Johan Silas menyebutkan bahwa ”Kelompok etnis yang dianggap tamu atau pendatang di utara kraton. Para pengrajin dan pekerja di timur, sedangkan para pejabat ”negara” di barat; keluarga dan para abdi kraton di sebelah selatan kraton. Kini kawasan perumahan ini menjadi kampung, dan profesi penghuni sebelum ”disimpan” pada nama kampung”
Orang kampung dalam konteks sosial kontemporer selalu berkonotasi terbelakang, ndeso, kampungan dan udik. Hal ini bertolak dari kenyataan bahwa orang kampung sering terisolasi dari perkembangan modern atau bahkan sebagian menolak atau mengisolasi diri terhadap kehadiran peradaban modern. Orang kampung juga selalu diperbandingkan dengan orang kota, atau orang yang berpendidikan lebih tinggi maupun mereka yang secara sosial dan ekonomi lebih kaya. Orang kota juga dianggap lebih maju atau memiliki peradaban yang ”lebih maju”, dan kondusif bagi kehadiran peradaban modern.
Bagi warga kampung Surabaya, diantaranya Sabrot Dodong Malioboro (62 tahun), menjadi orang kampung merupakan suatu kebanggaan. Hal yang sama juga dinyatakan Kadaruslan (76 tahun) . Kadaruslan menegaskan bahwa "saya ini berasal dari orang kampung, dan arek Suroboyo itu ya orang kampung, tapi bukan kampungan". Orang kampung bagi Sabrot berbeda dengan orang pentholan (orang kaya maupun kaum ningrat atau ndoro). Sabrot mengilustrasikan orang kampung sebagai berikut:
Orang kampung itu berpikir sederhana aja. Orang tua kami dahulu mengajarkan bagaimana supaya cepat dapat uang. Sehingga tidak perlu sekolah atau mendapatkan pekerjaan dengan harus melamar terlebih dahulu. Untuk mendapatkan keahlian, cukup dengan otodidak. Sehingga, sekolah itu tidak menjadi penting. Di samping itu, orang kampung hidupnya bersahaja, saling menolong, dan religius.
Religiusitas orang kampung ditandai oleh adanya psantren-pesantren dan yang tertua dikenal di daerah Sidosermo. Pesantren ini menjadi salah satu bagian penting bagi pendidikan dan penyebaran agama Islam. Di samping agama Islam, juga berkembang pesat agama-agama yang datang dari para pendatang Cina dengan berdirinya Klenteng. Sedangkan agama Kristen dan Protestan juga turut memberikan citra religius bagi masyarakat Surabaya. Keberadaan agama-agama di Surabaya secara relatif berlangsung damai, dan bahkan cnderung saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Masyarakat Surabaya tidak mempertentangkan keberadaan masing-masing agama.
Eddy Samson (74 tahun) menegaskan orang kampung itu terbuka atau apa adanya. ”Bila datang tamu pada jam makan, ya di ajak makan. Kalau ada tempe ya makan tempe”. Cara warga Surabaya menghormati tamunya terlihat dari keramah-tamahan, keakraban yang sangat intim, meskipun tamu yang datang baru saja dikenalnya. Tidak terdapat kekakuan maupun kebingungan sebagaimana banyak ditemukan bila seseorang menerima tamu yang baru dikenalnya. Bahkan, semangat intim atau akrab ini ditunjukkan warga Surabaya bila berada di luar Surabaya. Misalnya, bila mereka berada di Jakarta, dan salah seorang mendengar kata Surabaya atau adanya seseorang yang berasal dari Surabaya, maka akan ditanyakan, ”arek kampung endi cak? ” (anak kampung mana?). Bagi Eddy Samson , Orang kampung itu terbentuk dari pemisahan (segregasi) yang dilakukan kolonial Belanda.
Di bawah ketentuan undang-undang ”Wijkenstelsel” , pada 1843 kota lama di bagi menjadi dua wilayah: pemukiman orang Eropa di sisi Barat Jembatan Merah , dan orang Timur Asing di sisi Timur yang terdiri dari Pribumi, Arab dan Tionghoa (Cina) . Berbeda dengan Timoticin Kwanda, Khomarul Ainiyah (2005: 1) meyakini bahwa ”Pembagian kawasan pemukiman berdasarkan etnik dan ras di kota Surabaya merupakan akibat pemberlakuan Exhorbiante Rechten” . Sedangkan yang menjadi dasar bagi pembagian kota Surabaya adalah Regerings Reglement 1854, yakni peraturan tentang pelapisan sosial, membagi masyarakat Surabaya menjadi 3 lapisan. Pertama, golongan Eropa dan Belanda; Kedua, golongan Timur Asing, seperti Cina, India dan Arab; Ketiga, golongan pribumi (Khomarul Ainiyah, 2005: 1-2). Soetandyo Wignjosoebroto , menyatakan Regerings Reglement 1854 merupakan konstitusi Hindia Belanda. Berdasarkan aturan ini, raja adalah penguasa tertinggi atas seluruh daerah koloninya. Pelaksanaan pemerintahan umum ini dilakukan oleh Gubernur Jenderal. Oleh karena itu, wajib bagi semua yang berada di Hindia Belanda menghormati dan menaatinya.
Segregasi kolonial Belanda mengakibatkan terjadinya pembauran etnik –terutama di luar etnik Arab dan Cina. Etnik-etnik tersebut diantaranya berasal dari Sumatera seperti Minang, dari Jawa Tengah seperti Solo, dan juga dari Ambon, serta beberapa etnik dari Jawa Timur sendiri seperti Madura, Jombang, Malang, Sidoarjo, Blitar, Malang, Mojokerto dan Kediri. Aminuddin Kasdi justru berpandangan bahwa ”Hampir semua etnis di Indonesia bermukim di Surabaya. Jumlah yang paling besar adalah komunitas etnik Jawa, Minahasa, Madura dan Arab. Oleh karena faktor heterogenitas demografis itu, Surabaya kemudian juga dikenal sebagai mininya Indonesia atau Indonesia in small” .
Eddy Samson meyakini bahwa komunitas Arab dan Cina lebih tertutup dibandingkan dengan etnik lainnya, dan kedua etnik itu berprofesi sebagai pedagang. Orang Arab diidentifikasi sebagai pedagang minyak wangi, dan orang Cina berdagang kelontong atau kebutuhan sehari-hari hingga barang bangunan seperti tekel. Orang Cina juga dikenal memiliki sejumlah usaha besar, seperti pengusaha pabrik gula. Bagi kolonial Belanda, orang Cina di anggap lebih mampu melayani kebutuhan usaha dagang kolonial Belanda, sehingga mereka sering diberikan wilayah dan mendapat gelar ”Kapten”. Hal yang sama juga didapatkan orang Arab meskipun tidak terlalu besar. Kedua komunitas ini lebih dahulu menempati wilayah Surabaya lama atau Surabaya bawah. Sebuah wilayah baru pasca meluasnya wilayah daratan di Surabaya.
(bersambung)

Senin, 09 November 2009

Kepahlawanan dan Arek Suroboyo

Oleh Autar Abdillah

Hari pahlawan yang diperingati setiap 10 November selalu diidentikkan dengan perjuangan Arek Suroboyo. Bagaimana Arek Suroboyo begitu heorik menghadapi peperangan itu? Sudah banyak artikel yang menulis heorisme Arek Suroboyo dalam melahirkan hari pahlawan 10 November. Tulisan ini hendak menoleh ke belakang, untuk menunjukkan bahwa herorisme itu merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang atau lebih tepat disebut penderitaan yang tiada henti dari Arek Suroboyo.

Arek Suroboyo tidak berjuang mati-matian pada periode 1945. Tapi, jauh sebelum itu, arek Suroboyo telah membangun perisai dan senjata yang amat kuat dibandingkan masyarakat lainnya di Indonesia. Seperti dilukiskan Sugiyarto (”Pengaruh Alam Terhadap Kehidupan Sepanjang Sungai Brantas”, dalam Wiwik Hidayat, 1975: 43): “Letusan gunung berapi, hujan lebat dan angin besar yang seringkali memberikan tantangan kepada penghuni sepanjang kali Brantas, di jawab olehnya dengan tindakan-tindakan setimpal, dengan pikiran-pikiran yang mendalam dan matang guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh alam. Tantangan-tantangan ini merupakan gemblengan bagi nenek moyang kita, mereka tidak melarikan diri dari kesulitan-kesulitan itu, tapi berusaha keras untuk menundukkan dan mengatasinya. Maka timbullah kebudayaan yang berkembang dengan pesat akibat tantangan-tantangan ini. Mental dan fisik digembleng, menimbulkan renungan-renungan yang kemudian menjiwai tata kehidupannya, dan mendasari kehidupannya sebagai bangsa yang militant … Ujunggaluh menjadi tempat penting dan kemudian menyebabkan lahirnya Surabaya sebagai tempat yang ditakdirkan selalu harus ”Wani ing Pakewuh”, berani menghadapi kesukaran”.
Gambaran Sugiyarto ini ditambahkan oleh GH. Von Faber (1953), bahwa arek Suroboyo (sebutan dari penulis) harus mendisiplinkan diri pada kekuasaan Hindu Jawa. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran, maka ditempatkan di suatu pulau (sekarang sekitar Wonokromo dan Bungkul, bernama De Strafcolonie Domas). Pada kejahatan tingkat pertama ditempatkan di sebuah pulau kecil yang dapat tenggelam sewaktu-waktu. Secara bertahap dilakukan pendidikan yang berakhir di “Leertud-kampong”. Surabaya pada periode ini (abad 4-9 Masehi) masih terdiri dari puluhan pulau.

Invasi Mataram
Kerajaan Mataram melakukan penyerangan terhadap Surabaya pada 1625 M. Raja Mataram bernama Sultan Agung pernah bertahun-tahun mencoba menundukkan Surabaya, agar dengan demikian dapat mengklaim dirinya sebagai raja untuk seluruh Jawa (Wiwik Hidayat, 1975: 87). Wiwik Hidayat menyatakan bahwa ”memang Surabaya dan muara Brantas itu mempunyai kedudukan kunci, dan telah menjadi demikian karena kondisi geografis, karena Brantas, karena musim dan iklim...”. Wiwik Hidayat memberikan ilustrasi pertempuran dalam upaya kerajaan Mataram untuk menguasai Surabaya melalui pengamatan seorang Eropa (tidak disebutkan namanya) pada 1622 M, yakni ”Saya berada di Surabaya. Dari tempat ini 30.000 orang-orang bersenjata berangkat untuk menghadapi serangan Kaisar Jawa dari Mataram, yang mengepung kota tersebut. Demikian pun kita tidak melihat bahwa penduduk Surabaya berkurang, kecuali bahwa tampaknya lebih banyak wanita yang kelihatan” (Wiwik Hidayat, 1975: 87).
Wiwik Hidayat (1975: 87) mengatakan bahwa ”laporan lain menyatakan tentang peristiwa yang sama bahwa 30.000 orang Surabaya yang dihadapkan kepada 70.000 tentara Mataram telah berhasil mencegah penyerbuan-penyerbuan itu untuk melintasi sebuah kali. Sekalipun akhirnya di tahun 1625 Surabaya jatuh, tetapi perlawanannya gagah perkasa”. Penyerangan Mataram ini memiliki arti penting dan memiliki dampak yang sangat luas.
Arti penting penyerangan Mataram dapat dibagi dalam tiga aspek. Pertama, Mataram ingin mengukuhkan dirinya sebagai penguasa tanah Jawa. Kedua, Mataram ingin menyebarkan pengaruh kerajaannya pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Ketiga, Mataram ingin membangun dinasti yang besar agar dapat meraup berbagai keuntungan dari segi ekonomi, politik dan kebudayaan. Ketiga aspek ini berdampak sangat luas dan mendapat tantangan serta melalui pertarungan yang sangat kuat. Di satu sisi, Mataram sudah menjadi kerajaan yang mapan dengan pasukan yang sudah terlatih, di sisi lain wilayah yang hendak dikuasainya merupakan daerah-daerah bentukan berbagai kelompok kekuasaan.

Titik Kulminasi
Perebutan wilayah Surabaya oleh banyak pihak bukan tanpa alasan. Surabaya memiliki potensi jaringan transportasi yang sangat strategis dengan didukung oleh unsur-unsur sarana dan hembusan angin, turut membantu kapal-kapal layar untuk berlabuh. Dengan demikian, sumber-sumber alam di wilayah sekitarnya dapat didistribusikan dengan cepat dan mudah. Moordati menyatakan bahwa ”... Surabaya memiliki keistimewaan tersendiri sebagai sebuah kota pelabuhan modern, perdagangan maupun industri terbesar sepanjang abad XIX” (2005: 302). Surabaya tidak tertandingi oleh kota-kota pelabuhan manapun seperti Calcutta, Rangoon, Singapore, Bangkok, Hongkong dan Shanghai (Howard Dick, 2000: xvii; Moordiati, 2005: 302).
Moordati (2005: 302) juga menyatakan bahwa ”Kelangkaan akan bahan pangan semakin mulai terlihat saat pendudukan Jepang. Di Surabaya, terhitung mulai 3 Mei 1942, kehidupan yang semula normal mulai terhenti, termasuk bahan makanan pokok dan uang” (Frederick, 1988: 124-125; Zoetmulder, 1942). Situasi sulit ini ikut memicu kekacauan dan mendorong arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan terhadap Jepang dan sisa kolonial Belanda yang masih memiliki keinginan untuk menguasai daerah jajahannya. Perlawanan Arek Suroboyo tumbuh secara gradual dan menemukan titik kulminasinya pada 10 November.

Kepahlawanan Arek
Namun demikian, komunitas dan orang kampung Surabaya tidak bisa dilepaskan dari kondisi ketertindasan yang berlangsung berabad-abad (Autar Abdillah, 115: 2007). Politik diskriminasi rasial (apartheid) Hindia Belanda maupun kekejaman Jepang merupakan bukti nyata ketertindasan yang dialami komunitas dan orang kampung Surabaya. Ketegaran komunitas dan orang kampung Surabaya melahirkan semangat kebersamaan. Kata arek-arek merupakan idiom pemersatu dalam membangun semangat kebersamaan, terutama secara sosial.
Makanya, tidak mengherankan jika warga Surabaya lebih memosisikan Arek Suroboyo sebagai pahlawan, ketimbang orang per orang. Karena, Arek Suroboyo mewujud dalam kebersamaan dan menjadi satu kesatuan dalam menjalani proses perjuangan melawan seluruh kekuatan dan tantangan hidup yang terjadi.

(Autar Abdillah, staf pengajar jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, mahasiswa program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya)

Rabu, 01 Juli 2009

Pemetaan Kehidupan Teater di Indonesia

Autar Abdillah

Ada tiga hal yang pertama – tama harus kita pertanyakan, ketika kita hendak mencoba untuk melakukan pemetaan terhadap kehidupan teater di Indonesia. Pertama apakah yang hendak kita petakan dalam sesuatu teater di Indonesia tersebut? Apakah aktivitas teaternya, pandangan – pandangan teater yang muncul dari berbagai aktivitas tersebut, ataukah tokoh – tokoh penggerak teater yang harus kita tempatkan sebagai suatu momen kemunculan dari sesuatu teater tersebut.
Kedua, dengan pendekatan apakah, kita mencoba memandang sesuatu teater tersebut, tumbuh di antara berbagai pertumbuhan aktivitas di dalam kesneian. Pendekatan sejarah, seperti yang dilakukan oleh Jacob Sumardjo misalnya, meskipun sangat representatif dalam mengetahui perkembangan teater di Indonesia, namun kita sangat sulit untuk mengetahui, apakah teater itu benar – benar hidup dalam konsekuensi zaman, yang menunjukan zaman, di mana masyarakat Indonesia – baik secara sosiologis maupun antropologis, misalnya – berada dalam yang sebenarnya, karena, kesejarahan yang digunakan Jacob, tidak menunjukan suatu realitas sosio – historis yang ditempuh masyarakat, maupun kebudayaannya di dalam aktivitas teater di Indonesia. Hal ini cukup penting, karena aktivitas teater di Indonesia pada "masa lalu" di masa kini, sangat berkaitan dengan berbagai konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi masyarakatnya.
Ketiga, bagaimanakah konsekuensi pemetaan tersebut, terhadap cara memandang teater dari masyarakat teater itu sendiri, terutama dalam merangsang pertumbuhan serta pengembangan teater, yang mampu meningkatkan upaya – upaya penjelajahan, penelitian, serta pencarian – pencarian yang dibutuhkan teater dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Tantangan yang dihadapi teater itu, tidaklah semakin kecil dengan "presentasi massal" teater, seperti sebuah festival, atau berbagai diskusi yang membicarakan teater itu sendiri.
Ketiga pertanyaan diatas, berguna bagi kita untuk menjelaskan, apakah Festival Teater Nasional yang berlangsung di Bandung, 3 – 7 Oktober 1996 memiliki dampak terhadap kehidupan teater itu sendiri, diseluruh pelosok tanah air. Melalui tema festival, "peta khidupan teater Indonesia masa kini" kita dapat menangkap, ada upaya untuk mencoba menelusuri pertumbuhan dan pengembangan teater itu sendiri, yang terus menerus mengalami gempuran terhadap kemungkinan presentasinya.
Satu kerumitan yang kita temukan dalam memahami tema festival itu, adalah karena kita belum memiliki (1) satu lembaga. Apalagi sejumlah lembaga yang terus menerus melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan kehidupan teater kita, menyangkut pendataan – pendataan dan analisis objektif dari kehidupan teater, (2) tingkat rasionalisasi kita dalam menempuh cara pandang teater yang mengarah pada penemuan kinerja teater yang sejalan dengan pikiran – pikiran yang terdapat di dalam kerja teater itu sendiri, zaman, kebudayaan, masyarakat, serta (3) kerja keras dan satu kejujuran dalam menempatkan teater sebagai kerja profesional dan dapat menjadi "jalan hidup", yang mampu membuka berbagai kemungkinan kehidupan itu sendiri.
Sesungguhnya, apa pun yang menghadang aktivitas teater di Indonesia itu, teater tetap ada. Teater terus bergulir dari satu panggung pertunjukan ke panggung pertunjukan yang lain. Para pekerja teater terus melakukan upaya – upaya kongkret dalam mempresentasikan gagasan – gagasan, mimpi – mimpi, khayalan dan harapan akan adanya perubahan di dalam menjalani kehidupan berteater itu sendiri. Nyaris pekerja teater kita itu, tidak mengenal lelah untuk menyatakan dirinya, bahwa teater tetap ada, dan teater tetap mendapat dukungan oleh masyarakat pendukungnya masing – masing.
Hanya saja, dalam mengejar dan memicu diri, menuju suatu kerja teater yang benar – benar komprehensif dan "paripurna", teater mulai berhadapan dengan persoalan – persoalan yang prinsipal, substansial, atau mungkin sangat esensial dalam menempatkan diri, di tengah – tengah realitas kehidupannya yang terguncang sedemikian rupa serta terhimpit tak berdaya berhadapan dengan pergolakan dan mobilisasi kehidupan kemanusiaan yang begitu menyesakkan.
Lebih jauh, kita hendak mengingatkan beberapa hal dari upaya yang tidak kalah gigihnya, dalam upaya membuat suatu peta bagi kehidupan teater itu sendiri.
Di sini, kita harus secara jernih melihat, bahwa tater bukan sesuatu yang hanya merupakan proses berlangsungnya pemikiran di dalam kehidupan. Tetapi adalah menyaksikan kehidupan itu di dalam proses perjalanan hidup manusia dalam mengola dirinya. Meminjam istilah Yeats – seperti dikutip oleh Steven Connor dalam bukunya Post modernist Culture, an Intropuduction to Theories of the Contemporary- bahwa theatre bussines, management of man.
Teater– bagaimanapun juga- merupakan suatu proses pengolahan diri manusia. Dengan demikian, indikasi – indikasi teater, adalah sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Variabelnya adalah pernyataan manusia dalam presentasi dirinya di hadapan hubungan antar manusis yang terjadi. Jadi, bukan teater siapa yang sedang berlangsung. Bukan pula siapa yang mempresentasikan dirinya kepada siapa yang lain. Tetapi, apa yang mempresentasikan apa di dalam diri kita masing – masing. Dan, memiliki konsekuensi apa keberadaan dan kemakhlukan di dalam teater itu, memasuki konsekuensi keberadaan dan kemahklukan yang lain.
Mengelola diri manusia, tidak hanya berlangsung di dalam presentasi itu sendiri. Tetapi jauh sebelum presentasi itu, ketika proses teater berlangsung di dalam "laboratorium", pengelolahan diri manusia itu sudah berlangsung secara intensif. Proses pengelolahan diri itu, berlangsung secara alamiah di dalam diri masing – masing pelakunya, dan semua yang terlibat di dalamnya. Tidak ada yang bisa menolak, kecuali bila dirinya ingin mencampakkan kediriannya di dalam energi teater itu sendiri.
Jadi, tidak dipandang pada tokoh pelakunya, tetapi apa yang terjadi pada teater itu membawa konsekuensi kemanusiaan; bagaimana manusia mengelola dirinya. Dan pendekatan yang dilakukan, tentulah berhubungan dengan hidup kemanusiaan itu sendiri, secara substansial. Maka, bila suatu pemetaan tidak berangkat dari mekanisme seperti ini, kita semua, kehidupan teater itu, tidak akan kita temukan.
Pemetaan kehidupan teater, dalam kajian kemanusiaan – misalnya, salah satunya lewat disiplin humaniora – dan yang banyak kita lakukan sekarang ini, masih tidak lebih dari "wewangian" yang merangsang teater, untuk menggambarkan jejak yang menapak, tanpa bisa ditemukan perspektif kehidupan teater itu sendiri, di dalam ruang – ruang kerja para pelaku teater yang dengan persoalannya masing – masing harus berperang sampai titik darah penghabisan.
Surabaya Post, Minggu, 6 Oktober 1996, seni

Teater Kampus di Jawa Timur

Autar Abdillah

Kelahiran teater kampus secara intrinsik merupakan sinergi antara teater rakyat-tradisional yang mulai memudar, dengan munculnya kaum terpelajar kota yang datang dari pedesaan. Sinergi ini menemukan format teater yang eksploratif. Di satu sisi menggunakan formasi rakyat-tradisional, seperti Ludrukan, Lenongan maupun Kethoprakan-Sampakan. Di sisi lain, memunculkan drama-drama "Barat" yang merupakan bahan studi di kampus, seperti drama-drama dari pengarang Yunani, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman, antara lain Sophocles, Anton Chekov, August Strinberg, Hendrik Ibsen, Tenneese William, Eugene O'nell, Johann Wolfgang von Goethe, hingga Samuel Beckett, Harold Pinter dan Eugene Ionesco. Sedangkan pengarang drama-drama Indonesia yang ambil bagian dalam permulaan teater kampus ini, diantaranya Utuy Tatang Sontani, Roestam Effendi, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, CM Naas, Kirjomulyo, Akhudiat, Iwan Simatupang, dan saduran-saduran yang luar biasa dari WS Rendra, serta drama-drama dari pengarang daerah yang berangkat dari sejarah maupun legenda.
Pertemuan kedua unsur yang relatif berlawanan ini cukup menarik dan unik. Keunikan tersebut seiring dengan masuknya paham-paham teater, antara rakyat-tradisional dengan teater "Barat" yang didominasi oleh lahirnya aliran realisme, naturalisme, romantisme hingga absurdisme. Perdebatan terhadap paham-paham ini tidak pernah selesai, bahkan hingga saat ini. Ketidakselesaian perdebatan tersebut dikarenakan oleh masuknya paham-paham baru secara hampir bersamaan, yang juga melahirkan sinergi baru, meskipun tidak terlalu kental seperti sinergi yang pertama. Itulah sebabnya, mengapa teater kampus nyaris tidak mampu melahirkan atau memunculkan ideologi-ideologi besar dalam teater. Hal ini berbeda dengan perkembangan di dunia sastra kampus. Meskipun dunia sastra kampus tidak banyak melahirkan karya sastra yang fenomenal, namun sastra kampus mampu menjadi bagian penting dalam lahirnya ideologi-ideologi sastra. Hal ini juga terjadi di dunia seni rupa. Sedangkan di dunia tari dan musik nyaris sama dengan apa yang terjadi pada teater kampus.
Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa teater kampus pada awalnya memiliki posisi yang strategis, dan bergengsi. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat, bahwa kampus merupakan tempat berlangsungnya proses eksplorasi intelektual yang intensif dan dinamis. Sehingga, teater-teater di luar kampus banyak yang belajar dari cara-cara berteater orang-orang kampus. Dan, orang-orang kampus pun menyambut interaksi ini dengan sangat antusias. Maka, terjadilah sinergi ketiga yang makin menarik, dan konstruktif. Tidak ada eksklusivitas. Tidak ada saling serang, dan sinisme yang berlebihan. Namun demikian, justru teater di luar kampus yang mengalami kompetisi kurang produktif, terutama dengan mulai maraknya lomba-lomba yang menguji kemampuan masing-masing teater. Persaingan internal pelaku teater yang kemudian memandang teater sebagai kekuatan massa, membuat teater di luar kampus mengalami kesulitan komunikasi yang cukup berarti.
Teater kampus memang telah menjadi cermin kekuatan kaum terpelajar di Indonesia. Mereka melakukan eksplorasi secara aktif, agresif, dan eksperimentatif. Bahkan, kalangan teater kampus menjadi motor penggerak bagi lahirnya aksi-aksi kritis. Dengan adanya aksi-aksi kritis tersebut, dan bersamaan dengan itu peta politik pun berubah menjadi sangat represif dan otoriter, maka ruang gerak teater kampus pun mengalami pergeseran. Muncul sejumlah pembatasan-pembatasan, hingga pelarangan-pelarangan. Komunikasi antara teater kampus dengan dunia luar pun mulai mengalami penurunan drastis. Kalangan kampus melakukan interaksi secara sembunyi-sembunyi hingga hilang sama sekali. Hal ini berdampak cukup besar pada kepercayaan masyarakat yang kemudian melihat kampus sebagai menara gading yang mencoba mengasingkan diri dengan masyarakat. Akhirnya, kalangan kampus tetap mencoba berbicara atau menyuarakan aspirasi masyarakat, meskipun itu hanya teriakan-teriakan, dan selanjutnya mengalami distorsi yang melebar. Pembicaraan yang sekedar basa-basi tak terhindarkan lagi.
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia kampus --sebagai akibat kebijakan politik yang otoriter dan represif, bahkan feodalistik, secara tidak langsung mempersempit ruang interaksi yang pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang kampus mulai dirasuki oleh doktrin-doktrin kebenaran palsu rezim yang berkuasa, baik melalui kurikulum pendidikannya, maupun pada kinerja organik di dalam kampus. Teater kampus tidak terkecuali, mereka mengalami pembatasan dalam menampilkan lakon-lakon tertentu. Kegiatan intelektual diseleksi sedemikian rupa. Bahkan berhubungan dengan masyarakat pun menjadi sesuatu yang muskil.
Setelah terjadi perubahan politik yang cukup mendasar, sebagaimana mulai dirasakan sekarang ini, yang terjadi justru semacam romantisme pada ritus kepahlawan. Teater kampus menempatkan dirinya sebagai media untuk melakukan pembedahan terhadap persoalan masyarakat. Di samping itu, eksperimentasi terhadap berbagai format teater pun mulai semakin bermunculan. Format-format teater tersebut, dapat kita bagi ke dalam tiga dimensi pemikiran. Pertama, terater rakyat-tradisional. Kedua, drama realisme. Ketiga, teater eksperimental. Ketiga format ini, yang paling dominan adalah format eksperimental, seperti yang terjadi pada Pekan Seni Mahasiswa Regional maupun Nasional yang berlangsung di Surabaya dua tahun silam, dan beberapa festival teater yang di gelar beberapa kampus akhir-akhir ini.
Dalam format eksperimental tersebut, terdapat beberapa persoalan yang unik karena dasar pemikiran eksperimental itu lebih merupakan perpanjangan tangan dari format teater rakyat-tradisional, dan drama realisme. Sehingga, substansi eksperimental itu sendiri tidak menyentuh sasaran yang sesungguhnya, kecuali hanya pada perbedaan format semata. Jadi, paham eksperimental itu sendiri justru tidak dimiliki oleh teater kampus di Jawa Timur. Dari sekitar 20 teater kampus --termasuk teater dari fakultas-fakultas, yang aktif di Jawa Timur, 90 % diantaranya menjalani format eksperimental tersebut. Alasan pemilihan format eksperimental ini, kelihatannya lebih disebabkan oleh anggapan adanya kemudahan dalam melakukannya. Bukan oleh kemampuan pemahamannya, atau adanya konteks-konteks sosial, antropologis maupun politik yang lebih realistik.
Format eksperimental atau yang cukup dikenal dengan format Artudian, dan beberapa penggagas lainnya, seperti Jerzy Grotowski, Eugenio Barba, Peter Brook, Meyerhold, Richard Foreman, maupun Okhlopkov, Savary, dan Vakhtangov. Sedangkan di Indonesia, pandangan tertuju pada Putu Wijaya, Boedi S Otong, Dindon, dan akhir-akhir ini Rachman Sabur. Format ini bukan saja membangun sinergi dari apa yang pernah dilahirkan sebelumnya, tetapi juga sesuatu yang belum bisa dinamakan. Dari format ini, lahir gagasan-gagasan yang mempertegas penolakan terhadap "penindasan" teks --terutama drama/lakon, yang sebelumnya menjadi titik pijakan utama dunia teater. Selanjutnya, upaya mengaktualisasikan diri manusia yang sudah terperangkap pada peniadaan esensi kehidupan yang manusiawi dari hubungan antar manusia maupun antar manusia dengan dunia kesenian.
Bisa dikatakan bahwa teater kampus di Jawa Timur yang menjalani proses eksperimental tersebut memerlukan gizi baru untuk membangun pemahamannya. Gizi baru tersebut adalah kemauan untuk menjalin kembali ikatan atau interaksi dengan publik. Karena, teater adalah hubungan aktor dan penonton. Alienasi terhadap publik hanya akan membuat teater sebagai tirani baru. Inilah yang hendak dilawan oleh para pencetus teater eksperimental. Di samping itu, konstruksi publik bukan pada pihak yang dibicarakan. Tetapi, pada pihak dan tingkat yang saling melakukan pertukaran, dan menghindarkan diri narasi besar yang menjadi salah satu kahazanah yang dibangun eksperimentasi teater.
Diantara teater kampus yang aktif melakukan eksperimentasi terhadap khazanah teater dan relasi teks (lakon/drama) adalah teater Crystal (UPN Veteran), teater Puska (Universitas Airlangga), teater Dua Puluh (IAIN Sunan Ampel), teater Institut (Universitas Negeri Surabaya), teater Universitas Brawijaya, teater Universitas Wijaya Putra,, teater Joss (Universitas Dr. Sutomo), teater Unisma, dan teater beberapa fakultas-fakultas di Universitas Muhammadiyah Malang.
-Makalah Kemah Seni (Teater) Kampus se Jawa Timur, 24 Mei 2002 di Komunitas Teater Universitas Islam Malang dan dimuat di Kompas (Jawa Timur)

Jumat, 26 Juni 2009

Hidup Teater

Autar Abdillah

Pada sebuah pertemuan di Malang, seorang peserta pertemuan bertanya, "manakah yang harus didahulukan, teater atau masyarakat?". Pertanyaan semacam ini juga sering muncul dalam pertemuan-pertemuan lain. Begitu pula, ketika kita membaca tulisan-tulisan maupun pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan upaya membangun relasi teater dengan kekuasaan, politik, ekonomi, hingga sampah. Di sini, kita selalu kehilangan posisi untuk melihat hidup teater itu sendiri dengan hidup diri kita yang ada di dalamnya.
Terlebih dahulu, marilah kita pahami, mengapa muncul pertanyaan pertama dari seseorang tadi. Teater yang dipahami adalah cara-cara. Artinya, untuk berhadapan dan hadir bersama teater, terlebih dahulu muncul tuntutan untuk memeriksa struktur dramatik (tema --juga amanat, alur, penokohan, dan latar). Juga, persoalan artistik seperti tata lampu, panggung, rias maupun busana. Ditambah lagi dengan pikiran-pikiran maupun pengetahuan tentang pemeranan, penyutradaraan, dan mengelola (sesuatu) pertunjukan, serta penonton.
Pertanyaan kedua, adalah masyarakat. Masyarakat, bagi kita sekarang dipahami sebagai orang – orang yang telah mengalami penguasaan oleh dunia di luar dirinya. Sehingga, mereka kehilangan kedaulatan di atas keberadaan yang tumbuh disekitarnya. Masyarakat dikenali dari penindasan, penggusuran dan represifitas tindakan yang terjadi. Lebih jauh, masyarakat adalah ,akhluk yang "direndahkan" mastabatnya.
Permasalahan tersebut, bukan berarti tidak penting dalam teater. Tetapi justru merupakan realsi yang membangun hidup teater. Namun, antara teater dan masyarakat bukanlah sekuen yang dipandang secara dikotomis. Sehingga, muncul pemahaman, "mana yang harus didahulukan". Pemahaman ini, telah melahirkan teater yang disadari atau tidak, kehilangan hidup teater itu sendiri. Dan, akhirnya "ditinggalkan" oleh publiknya.
Hidup teater yang harus dipahami dalam hidup yang ada dalam "dunia sekitarnya". Terutama dari hidup makhluk yang juga hidup bersamanya. Jadi, teater berawal dari setiap orang yang sedang terlibat di dalamnya. Tidak bisa tidak, keterlibatan itu merupakan persentuhan yang berlangsung terus menerus dari hidup yang sedang berlangsung. Hidups ekarang itu, bukan berarti membutakan dirinya atas hidup di belakang dan didepannya.
Ketika "seseorang" (penonton publik) hidup bersama teater, selalu terjadi dua hal yang dilematik. Pertama, apakah seseorang harus menyaksikan segala sesuatu yang hidup di dalam (realitas) dirinya bersama – sama (realitas) teater. Kedua, apakah seseorang yang harus menyaksikan teater dengan segala pergumulan yang memasuki dirinya dengan menempatkan sebagai dunia lain yang mensubsidi pengalaman baru dalam diri sesorang tersebut. Sehingga, seseorang mendapatkan segala yang diinginkannya pula.
Kejadian pertama, menempatkan seseorang pada penemuan kembali realitas yang ada dalam dirinya. Misalnya, bagaimana seseorang memahami kembali hubungan (relasi) kenyataan hidup sehari – harinya, sehingga terbangun isnpirasi yang baru dalam ia memahami kenyataan hidup yang sedang berlangsung. Nah, di sinilah terjadi semacam kebangkitan atas peran – peran seseorang di dalam memposisikan dirinya, dan akhirnya memiliki dorongan untuk mempercayai antisipasi yang harus dilakukannya dalam hidup sehari – hari.
Sedangkan kejadian kedua, seseorang tetap mengalami pengasingan atas dirinya. Mengapa? Karena, pada saat hidup teater sedang berlangsung, ia membangun klaim – klaim (tuntutan) atas hidup teater itu sendiri. Bukan pada hidup yang dijalaninya sendiri. Seseorang, tiba – tiba mengklaim bahwa teater yang disaksikannya tidak ada emosi, tidak realistik, mengganggu perhatian dan sebagainya. Klaim – klaim tersebut hanya mungkin terjadi melalui satu penyidikan ataupun penelitian dengan terlebihd ahulu mencari variabel yang dapat dijadikan imbangan bagi persepsi – persepsi yang telah dilahirkan. Baik melalui pendekatan semiologi, sosiologi, antropologi, atau kebudayaan.
Surabaya Post, Minggu, 11 Juni 1995, seni

Teater, Presentasi Kemungkinan Hidup

Autar Abdillah

Ketika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) menancapkan kakinya dalam realitas pertumbuhan teater di Indonesia, bersamaan dengan situasi kemasyarakatan dan kebudayaan yang penuh gejolak pada masa itu, maka bolehlah, setiap "ajaran" teater ala ATNI ini menjadi salah satu --atau mungkin satu-satunya, sikap berteater kita. Meskipun WS Rendra sempat menggegerkan situasi pada awal kedatangannya dari Amerika, sikap teater ala ATNI, tetap kokoh tak tergoyahkan. Bahkan, WS Rendra pun hanya membuat sensasi berkesenian saja. Karena, sikap selanjutnya tidak menunjukkan suatu pertentangan yang mencolok dari sikap realisme dramatiknya ATNI. Seluruh pelosok tanah air, menularkan bibit-bibit teater yang berada dalam tradisi ATNI. Tidak kalah menariknya, sejumlah lembaga pendidikan --termasuk lembaga pendidikan tinggi, menjalani tradisi ATNI yang bila dipandang dalam kehidupan sekarang, tentulah sudah tidak memadai lagi.

Akademi Seni Drama dan Filem Indonesia (Asdrafi) Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI dahulu bernama ASTI) Bandung, serta Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan contoh kongkret, bagaimana tradisi ATNI ini dipelihara sedemikian rupa, sehingga melahirkan manusia – manusia tangguh dalam memahami apa yang kemudian kita kenal dengan drama realisme dari "Teater Barat", atau yang sebagian besar berkembang di dataran Eropa. Hanya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang tidak terlalu kuat, dalam mempersepsi teater ini, karena tenaga pengajarnya yang memang hanya sedikit, yang secara instensif memberikan arahan yang mendalam terhadap tradisi teater "ATNI" itu.

Tradisi berteater yang bersifat tradisional, atau teater rakyat, lambat laun, mulai ikut mencampuri tradisi teater ATNI tersebut. Sehingga, tidak mengherankan, bila pada tubuh "teater rakyat" tersebut, terbenamnya tradisi yang sudah mereka miliki sendiri, yakni improvisasi, spontanitas dan guyonan saling bersahut – sahutan, serta keintiman yang menjadikan "teater rakyat" tersebut, sangat dekat dengan segala persoalan dan peristiwa – peristiwa sosial, yang menjadi bahan pembicaraan dari masyarakat pendukungnya.

Ketika Putu Wijaya kemudian hadir di pentas teater di Indonesia, sejumlah orang memang agak terkejut, terpesona dan merasakan suatu keasyikan tersendiri. Begitu pula dengan kehadiran Arifin C Noor (Almarhum), N Riantiarno, Wahyu Sihombing (Almarhum) -- semuanya di Jakarta, maupun Suyatna Anirun di Bandung dan Wisran Hadi di Padang. Tetapi kemudian pentas teater Indonesia sedikit mengalami "keretakan" ketika Boedi S Otong dan Afrizal Malna menggoyahkan paradigma yang selama ini menjadi "kitab suci" dalam tradisi teater ATNI.

Di manakah letak keretakan dan suatu pertentangan yang sedemikian lebar, pada tata kehidupan teater di Indonesia itu? Dan bagaimanakah konsekuensinya dengan tatanan kehidupan teater Indonesia, secara keseluruhan? Dua pertanyaan mendasar ini untuk mencoba mendampingi, apa yang kini sedang dihadapi oleh penyelenggara Festival Teater Nasional 1996 di Bandung, 3 – 7 Oktober ini, yang mencoba mengangkat suatu tema, yang berangkali tak memiliki urgensi dalam pentas teater itu sendiri. Tetapi tidak ada salahnya, bila kita mencoba membicarakan sesuatu, yang mungkin menjadi titik pemikiran yang penting bagi sejumlah pelaku teater kita.

Artikel ini, tentulah tidak menelusuri tema yang hendak dibicarakan dalam Festival Teater nasional 1996, yang mengambil tema Peta Kehidupan Teater Indonesia Masa Kini tersebut, karena memang sudah ada sesi yang membicarakannya dalam acara tersebut. Sebagai catatan pendamping artikel ini hendak menggarisbawahi dua persoalan mendasar yang telah disebutkan di atas.

Dalam tradisi teater ATNI dan tradisi teater di Indonesia secara keseluruhan, naskah drama merupakan titik pusat untuk memasuki apa yang kemudian disebut teater. Melalui seorang sutradara naskah ini diinterprestasikan lebih awal dan diakomodasikan kepada seluruh komponen yang terlibat di dalam teater. Interprestasi menyeluruh, kemudian disepakati, sambil berlangsung proses berlatih. Sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan Putu Wijaya dari sisi naskah lakon ini. Karena, Putu Wijaya melahirkan naskah pada diri aktor masing – masing dengan mencatat semua pembicaraaan yang berlangsung pada diri aktor, untuk dipersiapkan pada pertunjukan teater sendiri.

Pusat pertunjukan pada naskah drama atau lakon itu, dimana pusat pertunjukan ini harus dipatuhi sedemikian rupa oleh masing – masing pemainnya, kemudian bergeser pada pemeranan. Pergeseran pada pemeranan (akting), ini secara total berlangsung dalam sikap berteater Boedi S Otong yang didukung oleh Afrizal Malna yang melahirkan kerja intertekstual, dan inter-relasional di dalam memperlakukan teks yang tidak lagi memutlakkan interprestasi pada diri sutradara. Semua komponen mulai terlibat dalam membangun interprestasi naskah atau lakon atau teks sedemikian rupa. Sehingga membangun suatu pemeranan yang tidak "mutlak" sebagai sesuatu yang berpegang pada satu persepsi atau interprestasi tunggal.

Bergesernya pusat lakon dalam personifikasi pemeranan, lewat kemungkinan terjadinya interprestasi yang beragam, dan kompleks inilah suatu dunia kemungkinan dibuka selebar – lebarnya dan sebesar – besarnya. Pemeranan bukan lagi manifestasi lakon dramatik-tekstual. Tetapi merupakan suatu pembongkaran terhadap realitas yang memungkinkan kehidupan menemukan titik revelansi dan sinkronik aktualitasnya.segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan itu, sedemikian rupa merupakan subjek yang mungkin dalam kehidupan itu sendiri, pada masing – masing diri yang terlibat di dalamnya.

Demikianlah, teater ini, menyatakan dirinya dalam kehadiran atau presentasi kemungkinan hidup yang dialami oleh manusia. Hal ini bukan saja terjadi pada diri sutradara, aktor, maupun para pekerja yang memiliki tanggung jawab masing – masing dalam kerja artistik dan manajerial. Tetapi, lebih jauh memiliki konsekuensi pula pada diri penonton yang hadir bersama – sama aktor di ruang pertunjukan. Penonton bukanlah "mahluk dan keberadaan yang lain", tetapi memiliki peran juga dalam membangun teater, meskipun di dalam dirinya masing – maisng. Inilah yang dimaksud dengan berlangsungnya subjektivikasi di dalam teater, di mana masing – masing personal, terlibat dalam suatu pertemuan yang senlanjutnya dinamakan teater.

Keretakan atau pertentangan yang terjadi dalam tatanan kehidupan teater kita -- dari sesuatu yang dimutlakkan diri melalui "ajaran hidup" yang diinterprestasikan lewat naskah atau lakon, bergeser pada segenap kemungkinan hidup yang dipersepsesikan lewat kehidupan masing – masing komponen yang terlibat dalam pertemuan ruang pertunjukan --, menjadi suatu identitas yang unik dan spesifik dalam perkembangan paradigma teater itu sendiri di Indonesia.

Konsekuensi logis dari kenyataan di atas adalah pada munculnya berbagai manifestasi berteater yang terkadang mengandung indikasi janggal, aneh – aneh, tidak asyik dan tidak membahagiakan. Muncul juga semacam kekacauan paradigma dalam wacana kontekstual kehidupan sehingga membawa kesan pada pemerasan terhadap kehidupan itu sendiri.

Akhirnya, konsekuensi yang menyeluruh adalah pada upaya membawa kembali persepsi teater itu, pada kemungkinan hidup, yang memang merupakan realitas aktual dari kehidupan masing – masing kita. Teater bagaimanapun juga harus mampu menjadi sekuen kehidupan yang penting bagi setiap orang yang melibatkan dirinya. Teater tetap membawa manfaat bagi umat manusia dalam memahami setiap momen kehidupan yang memang memiliki kandungan kemungkinan yang sedemikian besar. Di sinilah peta kehidupan teater Indonesia masa kini, kita awali pelacakannya tanpa membawa korban pada generasi baru teater, yang terus tumbuh dan mencatatkan dirinya sebagai generasi teater, yang menuntut suatu perubahan besar dalam hidup dan kehidupan teater tersebut.
Suara Karya, Minggu, 6 Oktober 1996, seni

Minggu, 21 Juni 2009

Teater adalah "Keringat"

Autar Abdillah

Apakah teater itu? Siapakah yang mengusik setiap orang untuk menyaksikannya? Bagaimana hidup dan matinya? Mengapa dia tidak boleh disaksikan, bila ada kata-katanya atau prosedur penampilannya tidak memenuhi "persyaratan" tertentu? Apakah persyaratan itu? Siapa itu aktor, sutradara, artistik, penonton, skenografi, (penulis) naskah, dan karcis, dan...?
Konon, teater itu, ya, tempat nonton. Gedung tontonan. Dan, yang ditonton itu disebut "teater". Dulunya lagi, yang ditonton itu namanya bukan teater, tetapi bisa Ludruk, Kethoprak, Lenong, Wayang Bangsawan, Sandiwara, Tonil, Drama, Dulmuluk, Makyong, Mendu, Randai, Wayang Wong, dan tempat nonton itu pun bisa di tanah lapang, dan ada yang dipagari ("ditembok" pakai jerami, daun kelapa, tikar, bambu maupun kain, dan seng).
Lebih jauh lagi, "orang" mulai menarik substansi dan merasionalisasikan hubungan yang terjadi, antara yang ditonton, dan penonton. Apa itu yang ditonton. Siapa yang ditonton. Mengapa ditonton. Bagaimana cara menonton tontonan itu. Mengapa menonton harus pakai ini, dan pakai itu, misalnya mengapa menonton harus pakai karcis, pakai sepatu, harus diam, dan tenang, atau tak boleh ikut teriak-teriak, dan menyahut apa yang dibicarakan oleh tontonan. Tak boleh menyalakan blitz bila hendak memotret, dan terkadang juga tak boleh merokok.
Dari hubungan yang terjadi antara tontonan dan penonton, teater itu pun mulai di-wong-ke, dimanusiakan. Teater itu merupakan makhluk (hidup). Teater itu memiliki eksistensi. Teater itu ajaran (filsafat), pendidikan, forum, kebudayaan, peradaban, kesenian, (untuk cari) nafkah, (untuk) sosialisasi, mengangkat martabat dan kebebasan, kebersamaan, kerukunan, tukar menukar informasi, visi, keluhan, kebahagiaan, hiburan, "ideologi", dan bisa juga teror. Dan, disinilah --salah satunya, pilihan orang terusik untuk menyaksikannya.
Lalu, bagaimana hidup dan matinya teater itu? Hidup dan matinya teater di Indonesia --dalam beberapa pembicaraan, selalu dilihat secara "tak lazim". Pertama, dilihat dari bertambah dan berkurangnya jumlah kelompok teater yang pernah ada. Meskipun, perhitungan tersebut tidak dilakukan melalui pencatatan yang intensif. Bubarnya sebuah kelompok teater dianggap sebagai suatu kemunduran --sekaligus sebagai kematian teater. Kedua, dilihat dari kemunculan "tokoh handal". Dalam artikel Tommy F. Awuy, "Teater Sudah Mati" (Kompas, 10/12) yang lalu, semakin mempertegas kenyataan tersebut, dan bahwa teater tidak dipahami lewat disiplin teater yang sesungguhnya dikerjakan, dan dipahami lewat kerja keras teaterawan itu sendiri. Betapa sederhananya, pertumbuhan media sinetron yang menghasilkan nilai uang (ekonomis), kemudian dimasuki oleh seseorang (yang kemudian disebut tokoh handal dalam teater), seperti Putu Wijaya, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, dan (alm) Arifin C Noor, dianggap sebagai kematian teater!
Labih jauh, Tommy melihat bahwa sinetron sebagai pusat baru dari dunia akting --(untuk diketahui saja, bahwa dalam sinetron itu, dan juga film), (padahal) yang akting adalah kamera, bukan manusia atau orang-orang seperti layaknya teater. Maka, tidak bisa dikomparasikan, apalagi dijustifikasi sebagai perubahan seni peran (akting) yang akan mempengaruhi hidup teater. Tetapi, bisa benar bila kehidupan teater mendapat inspirasi dari kehidupan sinetron --juga film, dan juga mode, atau perangkat-perangkat teknologi, dan gerak manusia.
Semakin tidak bisa diterima lagi, ketika Tommy mulai mengidentifikasi teater secara tidak berdasar. Misalnya, (1) teater tinggal mampu mewarisi sisa romantisme maknanya, (2) Utopi, jika ada penerobosan baru yang paradigmatik, (3) secara epistemologis, pemeranan tidak subjek, namun agen mensuplay pemain, (4) teater --media dalam pengertian klasik, merupakan alat, bukan tujuan untuk sinetron dan film, (5) teater kehilangan bahasa tunggal, dan murni, (6) siapakah lagi teaterawan yang berjuang demi teater itu sendiri dalam kondisi globalisme?

***
Pernyataan Suyatna Anirun yang selalu menjadi ingatan saya, terutama dalam menghadapi aktor-aktor, adalah bahwa teater adalah "keringat". Singkatnya, teater tidak bisa lahir begitu saja. Ada kerja-kerja kreatif, dan disiplin yang terjadi di dalam teater yang hanya bisa dilakukan dengan kerja keras. Berlatih intensif. Menggali, menjelajahi, dan meneliti berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan. Dan, peristiwa teater tidak merupakan hasil ciptaan semata. Tetapi, ia merupakan temuan-temuan dari penggalian, penjelajahan, serta penelitian, oleh segenap unsur yang terdapat didalamnya.
Ketika konsep waktu mengalami polarisasi, maka waktu berlatih tidak dipahami lagi berdasarkan perhitungan hari. Misalnya, berlatih teater harus satu tahun, atau sekian bulan. Tetapi, ia sekarang dilihat dari bagaimana intensitas yang bisa dilakukan selama latihan teater tersebut dilakukan. Meskipun banyak kerja teater yang mulai melakukan simplifikasi dalam mempersiapkan kehadiran dirinya. Masih cukup banyak pula yang memang bekerja secara intensif, dan melakukan upaya-upaya yang sangat keras untuk menggali segala potensi diri yang dimilikinya. Kerja keras teater yang dilakukan oleh para teaterawan kita sekarang ini, sesungguhnya juga telah melahirkan banyak paradigma teater yang belum sempat tercatat. Atau, barangkali kita memang membutuhkan seorang pencatat yang memiliki kemampuan menganalisa sekaligus, serta mengakomodasikannya secara luas.
Jadi, kerja keras teater tersebut, tidak semata-mata merupakan kerja dari teaterawan itu sendiri. Tetapi, lebih jauh merupakan kerja dari berbagai pihak yang memiliki minat dan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap berbagai pertumbuhan sektor kehidupan kita. Tulisan ini tidak mungkin menghitung kedala dan peluang yang sedemikian besar terbentang di hadapan kita. Namun, saya dapat menyebutkan bahwa setiap tahun, ratusan teater lahir dari berbagai festival, pertunjukan keliling, dan inisiatif sendiri dari para pelaku teater di berbagai pelosok di Indonesia. Semua itu, tentulah tidak mudah dibaca hanya lewat media cetak kita. Semua itu, hanya mungkin bila kita mau menyadari, bahwa teater itu merupakan kerja yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kebutuhan yang melekat di dalam dirinya masing-masing.
Barangkali, tidak ada, dan kecil kemungkinannya, bila kita berharap bahwa seorang teaterawan harus berjuang demi teater itu sendiri. Seorang teaterawan itu juga berjuang untuk anak, istri, kerabat, tetangga, tubuhnya, dan mungkin juga bagi bangsa dan negaranya. Semua itu merupakan titik kewajaran yang bisa kita pandang sebagai realitas hidup, dan menghidupkan teater. Bila seorang politikus berpuisi, bukanlah berarti politik sudah mati. Analog dengan bila seorang teaterawan "bersinetron", bukan serta merta teater sudah mati.

***
Satu hal lagi yang harus dihadapi oleh teater adalah hilangnya kesempatan untuk hadir, karena beberapa prosedur kehadiran teater yang dihubungkan dengan kenyataan politik dan sosial. Kenyataan ini dihubungkan dengan bahasa teater yang berkaitan erat dengan bahasa publik teater. Pengaruh bahasa teater yang diasumsikan memiliki daya gerak politik dan sosial itu, justru menunjukkan bahwa sikap politik dan sosial itu mengalami kekacauan dan keguncangan. Paling tidak, persepsi politik, dan sosial itu tak sepenuhnya dimengerti sebagai suatu disiplin sendiri. Karena teater memiliki disiplinnya sendiri dalam "mengelola" dirinya.
Lebih jauh, Persyaratan teater itu atau subjek komunikasi teater itu dapat kita pandang sebagai rangsangan menghidupkan kenyataan dari diri masing-masing. Meminjam pernyataan Victor Turner dalam Anthropology of Performance (1988), seperti dikutip Tommy F. Awuy dalam kalimat terakhir tulisannya, merupakan "...daya ekspresi bahasa masing-masing diri kita". Teater hidup dalam pengalaman yang kita sadari, atau disimpan dalam kesadaran yang kita alami.
"Elemen-elemen" teater seperti aktor, sutradara, penonton, skenografi, "naskah lakon" maupun artistik, dan beberapa lagi yang lainnya, bisa ada bisa tidak --seperti karcis, tata rias, dan bahkan gedung pertunjukan sekalipun (ingat perspesi "teater Miskin" Jerzy Grotowski), merupakan jaringan tubuh teater yang tak kalah pentingnya untuk dipahami lewat tradisi kerja teater itu sendiri.Akhirnya, saya ingin mempertegas kembali bahwa kita memerlukan pembicaraan teater yang secara mendasar memandang basis kerja teater tersebut dengan memandangnya sebagai makhluk hidup. Dengan demikian, ia terus berubah. Sebuah disiplin. Kerja Keras. Bangunan kesadaran diri untuk menggali potensi diri yang tidak disadari bersembunyi dibalik "kemalasan", ketakutan, kekhawatiran untuk mengenali diri sendiri, kenyataan diri kita yang sesungguhnya. Bau kita. Bohong kita.
Kompas, Minggu, 31 Desember 1995, seni

Menjelang Festival Teater Nasional 1996

Pada Apa Teater Harus Percaya?
Autar Abdillah

Ada apakah gerangan, sebuah festival teater nasional digelar di Bandung, 3-7 Oktober? Dua puluh tujuh peserta utusan dari 27 propinsi di Indonesia, hampir dapat dipastikan akan berbondong-bondong menghadiri pertemuan ini. Apa tolok ukur bagi upaya penegmbangan dan pembinaan teater secara nasional, bagi teater itu sendiri. Dan, dengan tema Peta kehidupan teater Indonesia masa kini, apakah urgensinya bagi jagad teater di Indonesia? Barngkali, agak jelas adalah harapan masyarakat luas, agar pertemuan tersebut mampu membangun titik tolak baru dalam memahami tantangan ke depan dari kerja teater itu sediri.
Tulisan ini mencoba secara ringkas memberikan gambaran persoalan teater di Indonesia dengan penekanan pada substansi persoalan teater, dan upaya memahami kembali persoalan mendasar yang dihadapi teater (di) Indonesia. Bila berbicara teater, secara intrinsik, sesungguhnya yang dibicarakan adalah sutradara, aktor, dan penonton. Kita sedang melacak, mengapa sutradara "menulis di kanvas pertunjukan" dengan sikap, perilaku, gerak isyarat, warna, bunyi, kesakitan, kebahagiaan, mobilisasi makhluk-makhluk, dan keberadaan --seperti yang ditunjukkan aktor, properti, lampu, kostum, dan mungkin juga musik, dan tata rias.
Kita juga sedang mencari tahu, mengapa aktor berkata tentang sesuatu yang harus dipersepsi oleh orang lain, yakni penontonnya, masyarakatnya. Dan, bahwa dirinya yang bukan dokter, atau seorang ayah, seorang ibu, atau seorang pembantu rumah tangga yang teraniaya majikannya sendiri, dinyatakan kepada orang lain dengan penuh kepercayaan, dan kepastian. Atau, mengapa si anu menyatakan dirinya tanpa malu, ia pernah mencuri, mempermalukan dunia sosialnya, bahkan "membunuh" kehidupan sehari-harinya.
Apa yang dibicarakan aktor tentang dirinya, dan apa yang dihadapi penonton ketika bertemua aktor, bertemu dengan seluruh penampakan yang dilakukan dalam sesuatu pertunjukan itulah, kita membicarakan teater dalam arti sesungguhnya. Maka, segala yang melekat pada teater, adalah segala yang melekat dalam diri sutradara, aktor, dan penontonnya. Bila ada teater nasional, teater modern, atau teater Indonesia --atau mungkin realisme, dan absurditas, perlu disadari disini, bahwa kita tidak serta merta sedang membicarakan teater. Di sini, berarti sedang membicarakan teater dalam prediksinya bernama nasional, modern, dan Indonesia. Juga realisme, dan absurditas dalam drama.
Kesalahkaprahan selama ini adalah semacam kecerobohan dalam memandang teater dalam generalisasi yang justru menjauhkan pemahaman, sekaligus pengkajian terhadap kehidupan teater tersebut. Pembicaraan tentang teater, memang sering tidak menyediakan diri untuk melihat lebih dekat hal-hal semacam ini. Pembicaraan tentang teater, selalu menuju pada persoalan yang jauh berada di luar wilayah kerja teater sendiri. Misalnya, membicarakan teater hanya pada kemungkinan dan gejala lakon, atau pada teks semata. Upaya semacam ini, sering menjauhkan publik dari kemungkinan untuk memahami pembicaraan teater yang hendak dikenalinya.

***

Teater di Indonesia, boleh dikatakan "dijaga ketat" oleh penyelenggara negara. hal ini untuk mengatakan, bahwa di dalam teater sesuatu yang berbicara memiliki konsekuensi dengan penyelenggara negara. Tetapi, teater semacam ini nyaris tak mampu berkembang, karena yang mereka hadapi adalah perubahan yang sedemikian besar di luar kebijaksanaan penyelenggara negara. Dalam situasi semacam ini, teater selalu melakukan resistensi yang ujung-ujungnya adalah kehilangan peluang dalam manifestasi presentasinya.
Satu hal di sini, adalah rendahnya pengembangan yang terjadi dalam teater. Teater memasuki wilayah pembinaan yang hanya dapat ditelusuri lewat kebijakan penyelenggara negara. Teater tidak berpeluang berbicara pada zamannya. Hal ini pulalah yang menyebabkannya, ditinggalkan masyarakat. Kalaupun peluang itu ada, ia tetap terkonsentrasi pada upaya resistensi. Dengan asumsi demikian, maka ada dua sisi teater yang hidup di sini. Pertama, di bawah lindungan, dan ketaatan kepada penyelenggara negara. Kedua, yang melakukan resistensi. Keduanya selalu bertolak belakang. Negara terlalu kuat dalam memberikan, dan menentukan tolok ukur suatu teater. Disinilah pemetaan teater turut menemukan kerumitan.
Pemetaan kehdiupan teater di Indonesia hampir selalu didekati dengan kajian sejarah, sosiologis, dan ekonomi. Dan, secara kultural, pemetaan itu hanya berlangsung di permukaan. Pertemuan di Bandung, seperti hendak menjelaskan kondisi ini. Di sini, justru tak ditemukan teater yang mampu hidup dalam zamannya. Dalam artian, teater hanya melakukan reduplikasi terhadap pikiran masyarakat sendiri tanpa menyediakan diri memberikan "santunan" pikiran kepada masyarakat maupun kebudayaannya.
Pemetaan teater Indonesia masa kini tidak memiliki urgensi dalam jagad teater sendiri, karena kita tidak pernah mau memasuki persoalan yang memiliki relevansi kuat pada kerja masing-masing teater. Kita tidak bekerja dengan segenap data presentasi teater. Kita tidak bekerja dengan ketelitian penuh terhadap disiplin yang sedang berlangsung dalam teater. Kita lebih mau mengulangi kembali semangat "masa lalu" yang pernah ada dalam "teater".
Akhirnya, kita serempak bertanya, pada apa teater harus percaya? Dalam menghadapi tantangan besar kemanusiaan sekarang ini, teater tidak bisa tidak harus dipercayai lewat aktualitas diri kemanusiaan yang memungkinkan manusia dapat membangun dunia bersama yang ditemukannya, atau tidak ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Teater harus sedemikian rupa untuk memiliki "kerajinan" dalam memeriksa kehidupan yang berlangsung di sekitarnya.Sesuatu teater yang hanya percaya pada "drama-drama", sesuatu yang "dibuat-buat", sesuatu yang palsu, sesuatu yang mengasingkan kemanusiaan kini dengan realitas kemanusiaan itu sediri --seperti yang sangat kita pelihara dalam "teater" Indonesia masa ini, sudah tidak bisa dipercayai lagi dalam sesuatu teater masa kini. Teater bukan kemalasan primordial yang melekat pada kemapanan struktural kehidupan itu sendiri.
Kompas, Minggu, 29 September 1996, seni

Sabtu, 20 Juni 2009

Sastra "Ikan Asin"

Autar Abdillah

Ibarat manusia, jagad sastra juga membutuhkan gizi yang cukup memadai untuk dapat terus tumbuh dan berkembang. Sastra dalam perkembangannya sekarang ini, berhadapan dengan segala macam pergesekan yang sedemikian kompleks. Semua itu, membutuhkan energi yang mampu membuatnya untuk tetap sehat walafiat. Di samping itu, sastra juga harus bisa menjaga kesehatannya, agar segala tantangan yang dihadapinya dapat membuatnya tetap tegar, dan bukan malah lesu dan melarikan maupun mengasingkan diri pada hal-hal yang justru menghancurkan "kepribadiannya" yang hakiki sebagai mata pisau perambah jalan bagi masyarakat. Untuk itu, perlu perbaikan kadar gizi maupun menghindarkan diri dari polusi udara yang merusak tubuhnya.
Jagad sastra boleh dikatakan sedang memasuki masa-masa yang kritis. Mengapa? Pertama, pengenalan kita terhadap sastra, tidak lagi sesederhana kita memahami sesuatu sastra yang indah --estetik, dan enak untuk dinikmati. Tidak pula dari sesuatu yang lahir dalam dunia yang komtemplatif. Karena, ruang-ruang kontemplatif itu sudah direbut sedemikian rupa oleh verbalisasi objek-objek audio-visual, pengetahuan dan teknologi yang kini justru sangat digandrungi masyarakat, menjadi kebutuhan manusia yang utama. Kehadirannya nyaris tak dapat ditolak, dan ditawar-tawar lagi.
Bila suatu masa kita mengenal sastra dari manisfestasi bersastra itu sendiri, dan secara langsung dapat menemukan realitasnya yang konkrit, yakni hubungan persaudaraan yang akrab, kedamaian batin yang menyejukkan, dan menjadai identitas bagi suatu bangsa, serta berlangsung dalam suatu perjumpaan yang cenderung kolektif. Maka, sekarang ini justru sebalikya. Sastra kita temukan di ruang seminar-seminar, buku-buku, koran, radio, dan televisi, sebagai wacana publik yang menyesakkan. Wacana sastra juga berlangsung lewat pembicaraan di warung-warung kopi. Dan, disinilah sastra itu berjumpa secara fragmentaris, dan terkotak-kotak, tanpa disadari oleh pelakunya sendiri. Akhirnya, bersastra pun menjadi sedemikian subjektif dalam ruang kolektifnya.
Kondisi demikian tidak terhindarkan lagi --dan tak perlu dihindari, terutama lahirnya eufemisme yang cenderung apologis. Hal seperti ini seperti sebuah eufemisme para politikus di dalam megapolitik, dan sosial kita. Seorang sastrawan bisa saja mengatakan, bahwa kita harus mengapresiasi suatu sastra "A", karena sastra itulah yang "baik" --yang notabene memiliki gizi yang tinggi. Tetapi di sisi lain, sang sastrawan tidak sepenuhnya memiliki perhatian pada khazanah sastra yang dinyatakannya sendiri. Karena ia harus mempresentasikan aspresiasi yang lain terhadap suatu sastra "orang lain". Hal ini akan semakin luas, dalam kenyataan, dan dalam pola pengapresiasian sastra kita dikemudian hari. Karena, bagaimanapun juga, jagad sastra itu mengalami kesulitan mendasar dalam menggali persoalan baru di tengah persaingan merebut perhatian publik yang luas. Para penerbit sastra, mulai kehilangan kesabaran untuk menempatkan sastra dalam piliha pertama.
Apa yang terjadi disini, bukan saja pada semacam pengkategorian kinerja sastra, tetapi juga pengkotak-kotakan jagad sastra, seperti yang pernah dilakukan HB Jassin pada masa lalu. Perbedaannya adalah kualitas pengkategorian yang dibuat Jassin dengan yang terjadi sekarang ini adalah apada upaya memperkenalkan pergualatan para sastrawan itu sendiri. Sementara pergulatan itu sebenarnya masih sangat rendah. Sastra kemudian di ukur dan dihitung dengan ilmu pengetahuan yang saling terkait pada masing-masing disiplin ilmu yang dijumpainya. Hal ini juga menyangkut suatu persoalan mendasar, bahwa sastra dan bersastra tidak lagi merupakan tindakan yang memiliki otonomi dan independensi. Seseorang --dengan sengaja atau tidak, menciptakan karya sastra prematur. sastra harus diciltakan, kerena telah meninggal seorang Ibu yang ketakutan, dan harus dicintai, atau sebuah kota yang harus dipuja, dan diperingati juga oleh sastra. Atau, lebih jauh, menjadi titik tolak kehadiran sastra.
Kondisi kritis kedua, bahwa udara di atas langit sastra kita sekarang, dipenuhi polusi besar-besaran. Asap tebal penghargaan-penghargaan sastra menjadi tujuan. Barangkali, sebentar lagi akan lahir "adipura" sastra. Sebentar lagi, yang disebut sastra adalah peraih "adipura" itu, dan seterusnya. Dalam kondisi demikian, sastra seperti lupa atau melupakan dirinya yang terus menguras energinya untuk menghadapi derasnya daya saing dalam mempertahankan kemungkinan hidupnya. Sastra kita dihadapkan pada semakin menipisnya energi dalam persaingan global. Ini artinya, sastra menistakan dirinya sendiri dalam kondisi mentalnya yang merendahkan dirinya sendiri. Jadi, tidak melakukan koreksi untuk selanjutnya membangun konstruksi yang lain. Kematian akan menjadi alamat yang tepat bila sastra tidak dibaca dalam akumulasi persoalan yang berada dihadapan masing-masing pelaku sastra itu. Karena, bersastra seolah-olah sudah selesai ketika pujian atau penghargaan telah berada digenggaman.
Dalam sebuah perbincangan sastrawan kampus beberapa waktu lalu di salah satu kampus di Surabaya, terlihat semakin jauhnya kita dari kemungkinan hidup sastra itu di masa-masa datang. Para sastrawan kampus itu, menyibukkan dirinya dalam memperbincangkan karya-karya besar di kalangan kampus. Sebuah karya sastra, seperti berhenti atau harus berhenti pada satu kecenderungan kebesaran yang pernah ada. Semua yang bersastra sekarang ini pun, tidak luput dari kehilangan rasa percaya diri untuk hidup bersama-sama realitas yang ditumbuhkan oleh sastra tersebut. Karena hidup telah memiliki pemaknaan yang material. Kalangan sastra kampus yang di era sebelum 90-an sebenarnya telah menjadi motor bagi berlangsung sikap kritis terhadap pertumbuhan sastra. Kita mengenal, bagaimana lahirnya "Sastra Kontekstual", dan bergumulnya wacana kritis dalam komunitas "Sastra Sawo Manila", dan beberapa aktivitas sastrawan kampus lainnya yang sangat kritis, dan memiliki kreadibilitas dalam mengkaji lebih dalam dari substansi karya sastra di dunia kampus. Namun demikian, semuanya seolah-olah emnjadi tak ada sama sekali. Kebesaran sastra dari kampus seperti terputus di era 90-an menjadi romantisme sejarah, dan munculnya keraguan dalam membangun sesuatu yang mampu menjawab persoalan masyarakat.Akhirnya, sastra kini sudah seharusnya menyadari, dan kembali pada realitas aktual yang memiliki substansi kreatif. Sastra kita tidak dapat dipisahkan dengan apa yang kini dihadapi oleh seluruh umat manusia. Memandang perspektif sastra itu, seharusnya kita memandang pada sumber-sumber energi yang melekat dalam tubuh kita sendiri untuk dilakukan penggalian atau penjelajahan yang lebih progresif. Hal inilah yang merupakan konsekuensi logis dari semakin kritisnya daya hidup dalam sastra tersebut. Meskipun harga yang harus kita beli terhadap gizi yang memungkinkan sastra itu mampu mengubah jalan hidupnya, maka yang paling tepat untuk kita katakan bahwa sastra kita adalah sastra ikan asing. Ikan asing bisa didapatkan di mana-mana. Meskipun ia akan tersingkir oleh orang yang makan keju atau daging, serta sambal botolan

Festival ("Seni") "Para Pedagang"

Autar Abdillah

Festival pada dasarnya merupakan sebuah "pesta rakyat". Disini masyarakat (baca: rakyat) meluapkan suka gembiranya, setelah berhasil melaksanakan panen. Pesta ini juga memberikan motivasi lain seperti upaya untuk menjauhkan desanya dari segala kemungkinan bencana yang datang. Jadi, tidak perlu malu untuk mengatakan, bahwa dengan mengadakan festival, kita sedang berpesta. Yakni, sebuah pesta yang kita tujukan kepada "keselamatan dan kebahagian" bersama dari seluruh anggota masyarakat.
Pada awalnya, pesta rakyat atau festival itu diorganisasikan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat memberikan sumbangan sukarela. Baik itu tenaga, uang, dan pertunjukan-pertunjukan yang mereka anggap penting bagi pembangunan masyarakatnya, dan tentu juga bagi seluruh kehidupan berkebudayaannya. Semua bergembira. Meskipun tanahnya digunakan tempat pertunjukan, dan dipenuhi oleh para pendatang dari desa-desa terdekat maupun dari berbagai penjuru desa dan kota lainnya. Bahkan, desa-desa terdekat itu memberikan sumbangan, yang serupa dengan sumbangan yang diberikan oleh masyarakat setempat.
Semua bergembira! Karena, memang itulah yang diinginkan masyarakat lewat pesta atau festival itu. Panggung didirikan. Umbul-umbul dipajang seantero desa. Pakaian baru dikeluarkan. Kesenian paling "baik", yakni kesenian yang sesuai dengan keinginan masyarakat, juga digelar. Diutamakan, kesenian yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Karena, memang kesenian itu untuk menunjukkan pada masyarakat yang lain, bahwa di desa itu terdapat kesenian yang bagus, dan harus diketahui oleh masyarakat pendatang.
Menggelar kesenian, juga menunjukkan bahwa cermin masyarakat itu terdapat pada kesenian yang mereka gelar. Kebanggaan terhadap kesenian sendiri, bukan merupakan kesombongan. Tetapi merupakan upaya merangsang tumbuhnya kesenian tersebut, dan membangun kesadaran komunitas yang mereka miliki. Kesenian dari desa yang lain terkadang juga digelar. Tetapi bukan untuk dicontoh begitu saja. Bukan pula untuk kebanggaan mampu menggelar pertunjukan kesenian dari desa lain. Semua itu, lebih merupakan upaya untuk membangun keakraban, persaudaraan, dan saling berdialog tentang kehidupan masing-masing di dalam kesenian yang mereka miliki.
Jadi, kerja interkultural di dalam kesenian di tengah-tengah masyarakat itu telah berusia cukup lama. Kesadaran untuk menjalin hubungan antar kebudayaan itu, juga merupakan upaya yang telah membentuk siklus kehidupan masyarakat kita. Setiap desa adalah pusat kebudayaan yang membangun realitas kebudayaannya sendiri. Mereka menemukan kebudayannya dari kepercayaan akan keharmonisan kehidupan yang mereka hadapi. Disinilah, mereka menancapkan dan memahami sepenuhnya nilai-nilai kebudayaan yang mereka sumbangkan kepada ketenteraman di dalam mereka menjalani kehidupan.
Melalui pesta rakyat itu, inspiratif sekali dalam penumbuhan kerja kesenian selanjutnya. Setiap desa ingin memiliki pestanya sendiri. Dicarilah waktu yang baik dan tepat. Maksudnya, tak lain adalah untuk kehidupan bersama yang lebih baik, dan membahagiakan. Berbagai macam nama dilekatkan. Berbagai macam simbol dikuatkan untuk memberikan identitas, misalnya festival Dynosius, festival Pantai, festival Jazz, dan sebagainya.
Secara politis, pesta rakyat itu merupakan pernyataan bersama seluruh masyarakat dalam memberikan dukungan terhadap kekuasaan yang ada. Mereka juga hendak menunjukkan pada para pemimpin mereka, bahwa mereka memiliki sumbangan juga pada cita-cita yang hendak dilakukan oleh para pemimpinnya dalam membangun desa. Dan semua itu, memang lebih merupakan inisiatif dan partisipasi masyarakat. Bukan kehendak para pemimpin desa itu sendiri. Meskipun pemimpin desa itu merupakan pimpinan adat juga di tengah-tengah masyarakat.


Kekuatan Ekonomi
Pesta Rakyat itu, lambat laun bukan lagi merupakan bagian yang terintegrasi dari kehidupan masyarakat. Berbagai kepentingan mulai mendekatinya. Mulai dari kepentingan pendidikan (seperti penelitian), publikasi dan dokumentasi dengan berkembangnya sejumlah media massa, dan kepentingan politik maupun ekonomi. Untuk yang terakhir ini, kita dikenal dengan istilah memantapkan karir (jabatan politis) dan mencari uang (nafkah).
Tercerabutnya realitas pesta rakyat yang kini bernama festival itu, tidak terlepas dari munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru di tengah-tengah masyarakat. Kekuatan ekonomi baru tersebut, merupakan realitas yang dibangun dalam makro politis. Sebuah kota dibangun dengan mencirikan dirinya pada identitas tertentu, yang secara ekonomis harus mendukungnya. Disinilah "kesenian" (dalam tanda petik) memasuki realitas barunya yang tidak terintegrasi dengan masyarakatnya.
Di negara-negara industri yang tingkat perekonomian atau pendapatan penduduknya sudah cukup tinggi, festival itu selain dibiayai oleh pemerintah dan swasta, juga berangkat dari kesadaran untuk merangsang pertumbuhan kesenian didaerah tersebut. Para seniman, pemikir (kritikus atau ilmuan), ekonom, dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dilibatkan. Semua menyadari, bahwa festival itu harus mampu merangsang dan membangun kesadaran masyarakat terhadap kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenian merupakan suatu kecintaan primordial terhadap kehidupan itu sendiri. Yakni kehidupan yang tumbuh dari sikap, dan perilaku masyarakat setempat. Sehingga, festival merupakan upaya menyaksikan kenyataan kultural dari masyarakat tersebut. Di samping juga, menyaksikan kenyataan kultural masyarakat pendatang dengan pendekatan yang dialogis. Saling memberikan sumbangan dalam pencitraan kebudayaan yang dikehendaki bersama.
Tetapi di negara-negara yang "masih miskin", terkandung pandangan konservatif dalam memperlakukan kekuatan ekonomi yang tumbuh. Kesenian menjadi instrumen yang indah dan mengasikkan. Hubungan kultural berlangsung diantara yang baik dan buruk. Bagus dan jelek. Untung dan rugi. Pencitraan kesenian sedemikian eksklusifnya. Sehingga, "kesenian" yang tidak laku ditolak. "Kesenian buruk" disingkirkan. "Kesenian" yang tidak berselera tinggi diklaim sebagai tak punya etos kerja, atau minder. Bahkan, masyarakat senimannya ditakut-takuti dengan istilah "primordialisme dangkal".
Inilah realitas perdagangan baru dalam "kesenian". Kesenian lain harus disingkirkan, karena dianggap sebagai produk yang tak layak dikonsumsi. Padahal, kita tidak punya cukup ukuran untuk menilai kesenian itu. Setidaknya, kesenian tidak dipandang dari pilihan senimannya dalam memandang realitas kultural dan karakteristik keseniannya sendiri.
Kita memang sedang berhadapan dengan kemiskinan secara ekonomis. Siapa penonton kesenian kita yang "sanggup" membeli karcis? Siapa penonton kesenian kita yang sudah menyadari, bahwa kesenian masih merupakan wilayah yang mampu membangun kehidupan kultural, integritas dan spirit bersama --dalam kondisi perekonomian kita sekarang ini? Inilah yang terlebih dahulu kita benahi.
Kekuatan para pedagang, atau pemodal yang membangun kesenian sekarang ini, juga didukung oleh semangat untuk segera mendapatkan hasil yang "terbaik" dalam kesenian. Dengan adanya kesenian, bukan berarti para maecenas kesenian itu harus menutup dunia usaha (perdagangan) yang dilakukannya. Maecenas kita itu, meminjam istilah Umar Kayam kecenderungannya tentang "seni" adalah kitch yang mantap, seni yang enak dilihat dan didengar.
Persoalan kita adalah juga bahwa para "penyangga" maecenas kita itu memiliki spirit yang identik dengan maecenas itu sendiri. Para "penyangga" maecenas itu, para pelaksana organisasi yang menyelenggarakan "kesenian" adalah "para pedagang yang mumpuni juga. Berbagai cara dilakukan untuk meyakinkan masyarakat, bahwa inilah "produk monumental", "produk yang akan menjadikan kota kita sebagai pusat kebudayaan", dan juga kita saksikan iklan lain, seperti "kesenian kita penuh spiritualitas", "menggairahkan kota kita", dan sebagainya.Tidak kita temukan kesenian yang akan menjadikan kita, sekuen penting dari perjalanan kesenian di dalam masyarakat kita sendiri. Kita, menjadi asing dengan kenyataan kesenian kita sendiri. Dan, media festival akan menjadi "pasar" baru bagi para pedagang yang melihat "kesenian" dari kelembutan, keindahan, dan kegagahan dalam gaya hidup yang penuh selera, tapi bukan tidak mungkin tanpa wacana kreatif.
Surabaya Post, Juni 1996, seni

Catatan Kongres Kesenian Indonesia I/1995

Autar Abdillah

Kajian terhadap kesenian (di) Indonesia, masih cukup menggantungkan diri terhadap hasil pengkajian yang dilakukan sejumlah peneliti asing --yang sebagian tidak mengalami langsung subjek pengkajian yang dilakukannya. Sebagian besar berangkat dari paradigma yang nyaris tidak mengakar pada kehidupan kesenian itu sendiri. Ini persoalan mendasar pengkajian kesenian Indonesia yang selalu dianggap sebagai persoalan yang remeh. Karena, di satu pihak kita berhadapan dengan masih rendahnya minat dan upaya ke arah penciptaan dan penemuan yang menuntut adanya kenyataan objektif dari suatu kondisi kesenian yang ditumbuhkan masyarakat, dan di dalamnya terdapat sejarah kelahiran khazanah seni tersebut, serta membawa seluruh entitas kebudayaan yang dimilikinya. Di pihak lain, logika masyarakat kita nyaris gagal dalam menangkap fenomena yang ditumbuhkan secara sistematik. Dan, sistematika itu pada selalu dipecahkan melalui logika yang sesungguhnya bukan milik masyarakat yang menghidupi kesenian dan membangun kebudayaanya secara bersamaan.
Lebih jauh, untuk mengetahui kesenian kita sendiri, kita kekurangan data tertlis --dan kita memang tak memiliki kebiasaan untuk melakukan pendataan tertulis. Sehingga, pengembangan kesenian yang kita lakukan lebih merupakan akumulasi dari ketidakberdayaan menghadapi logika yang serba terpecah. Hal ini bukan saja berakibat pada rendahnya mutu atau kualitas pengkajian, tetapi juga rendahnya penemuan atas realitas yang sesungguhnya terjadi dalam kesenian tersebut. Dan, entitas kultural tak mampu dinyatakan secara meyakinkan pada tingkat pengkajian selanjutnya.
Dari kondisi tersebut, dalam Kongres Kesenian Indonesia I/1995 mengemuka suatu upaya untuk mencari strategi pengembangan kesenian (di) Indonesia sekarang ini, dan memberikan ancangan ke depan terhadap kondisi kesenian tersebut. Di samping itu, persoalan manajemen kesenian juga merupakan hal yang krusial. Manajemen kesenian dipandang sebagai upaya untuk menempatkan kesenian "sejajar" dengan pertumbuhan kehidupan lainnya di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, perhatian pemerintah yang terkesan lebih mementingkan olahraga ketimbang kesenian. Berbagai fasilitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia di bidang olehraga, jauh lebih maju dibandingkan dengan kesenian. Didalamnya juga tersirat persoalan yang bersifat organisatoris hingga penerapan kesenian sebagai suatu produk atau komoditi, seiring dengan semakin gencarnya pengembangan sektor kepariwisataan.
Kesenian yang ditumbuhkan itu, harus sudah memulai suatu perubahan pengelolaan yang didasari atas kebutuhan-kebutuhan hidup para pelaku kesenian tersbut. Organisasi kesenian harus mampu membaca peluang, dan kesempatan yang bisa direbut dan diraihnya, agar kesenian yang dihadirkan memiliki kontinuitas dalam penyelenggaraannya. Di samping itu, organisasi tersebut harus mampu menunjukkan pada masyarakat, bahwa keseniannya memiliki peran penting dalam tatanan kehidupan, baik itu dalam pengembangan diri maupun dalam konteks meningkatkan kesejahteraan masyarakat, atau lebih konkret pada pelaku kesenian itu sendiri. Organisasi kesenian juga harus mampu menjalin komunikasi yang positif secara insitusional. Hal ini menjadi penting, karena banyak organisasi yang mengalami hambatan, karena hubungan yang tidak harmonis dengan lembaga pemerintah, misalnya. Atau, ada lembaga pemerintah yang tidak apresiatif, sehingga hanya pada kelompok atau pribadi tertentu saja lembaga itu memberikan perhatiannya.
Kecenderungan pemahaman di atas, mengisyaratkan pula bahwa dalam organisasi kesenian tersebut terdapat suatu institusi yang lebih luas dan besar. Hubungan antar organisasi itu harus dapat seharmonis mungkin. Mampu bersinergi. Dan, dalam menghadapi kenyataan seperti ini, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak semua organisasi kesenian akan mampu menghadapi rumitnya "birokrasi" yang mengurusi persoalan kesenian dalam memberikan apresiasi yang dinamis dan konstruktif. Birokrasi tersebut, bukan saja merupakan struktur yang sangat terikat pada struktur yang lebih besar, seperti lembaga sosial politik, kejaksaan, depdikbud, kepolisian, dan militer. tetapi juga, struktur yang lebih kecil, seperti hubungan antar organisasi kesenian yang ada. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, dengan setengah bercanda, dramawan Putu Wijaya mengisyaratkan untuk melakukan strategi "tipu-tipuan". Artinya, institusionalisasi, dan birokratisasi tersebut harus dihadapi dengan membangun kesan berada dalam kenyataan yang memang diinginkan oleh instutusi maupun birokrasi --meskipun seniman memiliki keinginan lain yang sesungguhnya hendak dilakukan.
Dengan demikian, kita dapat memandang bahwa sesungguhnya persoalan manajemen kesenian tersebut terletak pada bagaimana kesenian mampu membangun integrasi yang memang berangkat dari suatu realitas yang diinginkan, dan dikehendaki pelaku maupun penyaksi kesenian. Lalu, apakah semuanya akan selesai? Tentu tidak. Kita sangat menyadari, bahwa kesenian yang diperlakukan sekarang merupakan kesenian yang sangat berkaitan erat dengan struktur kehidupan yang sangat luas, dan beragam. Hal ini dimungkinkan oleh suatu pergerakan atau pertumbuhan media massa --terutama media massa cetak dan elektronik, yang semakin sangat interaktif dengan pemirsanya.
Hubungan kesenian dan media semakin menempatkan kesenian untuk harus mampu memasuki wilayah kompetitif satu sama lainnya. Sineas Garin Nugroho mengisyaratkan suatu transformasi media yang sangat mengejutkan. Media --segala media, telah mampu melakukan perubahan-perubahan besar dalam hubungan-hubungan yang berlangsung dalam masyarakat. Media, kini memasuki rumah-rumah, jalan raya, hingga tempat-tempat tersembunyi sekalipun. Manusia semakin terdesak oleh kebutuhannya sendiri, baik kebutuhan atas informasi, maupun kenikmatan-kenikmatan yang berkecenderungan hedonistik.
Apapun alasannya, semua itu merupakan kecenderungan yang terbangun dari segala aspek kehidupan yang ada. Garin menggaris-bawahi strategi untuk menghadapi kesenian-kesenian baru yang kini mulai mengidentifikasi diri. Terutama, pada upaya untuk mengantisipasi informasi dan komunikasi --dalam media, yang tidak hanya bisa dihgandakan, tetapi juga dirubah, diperbaiki hingga dimanipulasi. Di sini, kita harus menyediakan diri untuk memasuki ketidakpastian-ketidakpastian, karena semakin kompleksnya hubungan dalam interaksi bisnis, politik, maupun pendidikan. Interaksi dunia objektif pun --yang berkonsekuensi pada kesuksesan, mulai dihadapi dengan mekanisme yang cenderung berpihak pada keinginan kekuasaan. Jadi, disini kita tidak hanya membutuhkan multi-media, tetapi juga multi-visi, multi-dimensi, dan secara aktif menyadari keberadaan multikuturalitas, dan multimodernitas, seperti yang disinyalir oleh kurator dan pengamat Seni Rupa, Jim Supangkat.
Dalam menghadapi gencarnya produk media, maka industri kesenian harus segera juga menempatkan diri pada posisi yang mampu menggalang kekuatan kreativitas dengan inovasi yang dinamis. Di sini, kita tidak hanya berhadapan dengan paham-paham baru, tetapi juga mekanisme perseptif yang berlainan dengan apa yang kemudian menjadi titik tolak berkesenian. Mekanisme persepstif ini mengandaikan adanya transformasi tanda-tanda yang lebih dominan dalam mengisi ruang aktif dalam pemikiran manusia.
Selain itu, pandangan atau wawasan yang lebih luas, dan mampu menangkap dan mengungkap realitas intrinsik dalam kesenian harus mampu pula menjangkau konsekuensi logis peradaban yang berubah sedemikian cepat. Ini merupakan hal yang dapat dihindari lagi, mengingat bangsa-bangsa di luar kita telah melakukan berbagai penjelajahan yang mungkin kita tak bisa mengikutinya. Sedangkan dunia pendidikan seni, baik formal maupun informal, dituntut untuk mampu mengikutinya, sekaligus membangun dan terus menerus mendorong lahirnya kesenian. Bukan mematikan atau melakukan rekonstruksi yang justru mematahkan ruang dialoh kesenian tersebut. Sudah saatnya pendidikan kesenian, bersikap terbuka terhadap segala gejala, dan mampu hidup dalam setuap pertumbuhan kesenian yang ada.
Sastrawan dan tokoh pendidikan A.A. Navis memberikan ilustrasi tentang suatu mekanisme pemdidikan (seni) masa kolonial, dan era nasionalisme. Pendidikan kesenian sekarang ini, bagi Navis, sudah saatnya meninggalkan pola-pola feodalistik (yang menurutnya merupakan salah satu ciri pendidikan kolonial). Dan, era nasionalisme dipandang telah membuka jalan bagi kita. Mengapa? Karena pendidikan seni di sini menempatkan manusia sebagai pelaku (sunjek). Kita tidak lagi dituntut untuk hanya sekedar menghafal materi-materi yang acuannya sudah ketinggalan zaman dalam pertumbuhan masyarakat maupun kesenian itu sendiri.Singkatnya, tuntutan untuk aktif dalam kesenian, harus dimulai dari pelaku-pelaku yang menyadari bahwa kesenian merupakan bagian yang integral dalam lingkungan hidupnya yang sangat luas. Berbagai aktivitas kesenian yang diselenggarakan sekarang ini, seperti festival-festival merupakan salah satu strategi saja dalam membangun kemungkina terjadinya interaksi dalam kesenian. Akhirnya, kita dapat menarik beberapa hal yang memungkinkan kesenian dapat diterima masyarakatnya, dan memberi inspirasi bagi pembangunan kehdiupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pertama, membangun kesadaran yang konstruktif terhadap peran kesenian yang berangkat dari realitas kemanusiaan. Kedua, kesenian membangun manajemen yang memandang pasar kesenian sebagai ruang publik yang menginginkan adanya perubahan-perubahan, serta menyadari transformasi media yang juga turut membentuk struktur masyarakat, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Ketiga, pendidikan seni harus mampu memberdayakan dirinya, sejalan dengan kebutuhan masyarakat akan kesenian tersebut.
Surabaya Post, Minggu, 24 Desember 1995, seni

Memilih Kesenian Unggulan

Autar Abdillah

Kesenian, tak dapat dipungkiri, juga telah memasuki pemahaman sebagai seauatu produk. Barangkali, tidak identik dengan sesuatu barang. Tetapi, ia sebagai produk yang secara pragmatis digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan aktivitas kehidupannya. Dalam konteks ini, jelas dan tegas membawa pula sejumlah kepentingan-kepentingan yang barangkali tak terkait langsung dengan pencapaian kreatif terhadap kesenian. Atau, sebagai suatu pemenuhan nafsu institusional ketimbang nafsu estetik. Konsekuensinya, kesenian bisa dilombakan untuk mengetahui siapa yang terbaik diantara mereka. Sebuah produk yang kemudian terbaik, menjalin identifikasi "berkualitas". Sebuah "karya seni" unggulan. Hal semacam ini tidak terlalu sulit untuk kita temukan. Para penyelenggara pemilihan kesenian unggulan ini pun dari berbagai kecenderungan sesuai dengan kepentingan yang hendak diambilnya. Pola ini sedemikian maraknya, sehingga tak jarang menimbulkan sejumlah perdebatan.
Memang, tidak semua pemilihan seni unggulan itu berarti diadakannya sebuah perlombaan. Ada yang hanya berupa pekan seni atau festival non lomba. Persoalan kita adalah bagaimana kesenian yang dipahami sedemikian itu, dipilih untuk dihadirkan. Apakah yang melatarbelakanginya? Dan, mengapa pilihan tersebut menjadi kenyataan kehidupan kultural kita sekarang ini?
Pilihan penyelenggaraan kesenian dalam sebuah festival, pesta atau parade merupakan sebuah salah satu cara untuk mengetahui sejauhman suatu kesenian telah mencapai tingkat kreativitasnya, dan juga merupakan sebuah gejala seni yang dipaketkan. Hal ini dilakukan, di samping untuk melakukan penghematan berbagai persoalan teknis penyelenggaraan, juga guna memenuhi kompleksditas dan keragaman publiknya. Sedangkan waktu penyelenggaraan dikaitkan dengan berbagai momentum yang ada. Misalnya, pada bulan Mei hingga Juli, dipahami sebagai "musim berlibur" wisatawan mancanegara (wisman). Festivak Kesenian Yogyakarta (FKY) dan Pekan Kesenian Bali (PKB) merupakan contoh hal ini. Pola ini pernah pula dilakukan oleh Jawa Timur dengan menggelar Pekan Budaya Jawa Timur (PKBJ) yang sempat berganti-ganti nama karena ketidakkonsistenan dalam menemukan arah penyelenggaranya, dan karena terdapat bukti bahwa penyelenggaraan itu tidak berhasil memancing kehadiran wisman. Sedang FKY dan PKB relatif berhasil, karena didukung oleh kesan yang kuat dalam konteks budaya yang dimilikinya. FKY dan PKB ini lebih menitikberatkan sosialisasi seni dan menempatkan secara jitu kesenian sebagai produk pariwisata. Hal ini terlepas dari kepentingan seniman yang memiliki sejumlah konsep ideal kesenian yang mereka geluti. Para seniman di Yogyakarta dan Bali, barangkali lebih menyadari penyelenggaraan ini bukan merupakan wilayah khusus bagi mereka. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada gejolak yang menginginkan adanya konsepsi ideal tersebut.
Kesenian-kesenian yang bertendensi kepariwisataan ini merupakan kebijakan yang dibangun oleh pemerintah (di) pusat maupun (di) daerah. Terdapat semacam target pemasukan bagi pendapatan asli daerah, sebagai modal pembangunan yang lebih luas. Secara nasional, target ini harus mampu dicapai masing-masing daerah. Pemerintah daerah (Pemda) berlomba-lomba untuk mencapainya. Hingga sekarang, pendapatan sektor pariwisata, baik itu melalui kesenian maupun sumberdaya alam dan manusianya mencapai 3,6 triliyun rupiah, dari 6 hingga 6,5 triliyun rupiah yang ditargetkan (1995). Hasil ini didapat dari kunjungan wisman di sektor pariwisata.
Selain itu, satu hal yang juga tak bisa dipungkiri, bahwa penyelenggaraan-penyelenggaran tersebut mampu membangun spirit dialogis untuk melahirkan dan menemukan kesenian-kesenian yang bisa memenuhi keinginan publiknya. Meskipun hal itu tidak serta merta terjadi, dan masih kecil dampaknya. Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) VII misalnya, memfokuskan pergelaran kesenian yang merupakan puncak prestasi seniman di Yogyakarta. Hal ini kemudian menjadi beban tersendiri, sekaligus beresiko dalam perspektif kreativitas seni. Karena, dalam kesenian ada pemahaman, bahwa "puncak dari kesenian adalah kematian". Kesenian memasuki pilihan yang serta merta "membunuh" kemungkinan melakukan "perburuan".
Tetapi, perlu digarisbawahi, bahwa apa yang terjadi di Yogyakarta --dan sering terjadi dalam pemahaman birokrasi seni, kelompok kesenian dan figur seniman merupakan titik tolak dari pemilihan seni yang "unggul". Bukan pada konsepsi, kinerja, atau ideologi seni yang lahir dari kesenian tersebut. Kita seharusnya memandang dari perjalanan, dan seberapa besar pengaruh kesenian yang lahir itu pada pertumbuhan kesenian yang ada. Semacam "munumentasi" kreativitas yang lahir dari karya seni. Penilaian dan pemahaman seperti ini menghindari sikap yang gegabah, terburu-buru, dan akhirnya artifisial. Karena, retorika untuk membangkitkan kesenian tidak bisa diselesaikan hanya dengan penampakan bagian luarnya saja. Kita harus menghindari ekslusivitas dalam arti menutup peluang kreativitas karena kesenian itu tak mampu memasuki pasar secara ekonomis. Hal ini mengingat bahwa kesenian bukan hanya lahir untuk masa yang pendek, tetapi harus mampu menjadi bagian dalam memahami masa depan masyarakatnya.
Kesenian-kesenian yang kita saksikan dari pandangan birokrasi seni yang sempit, berangkat dari tidak adanya kemauan, sekaligus kemungkinan bagi kita untuk membangun suatu pergaualan dan pergulatan yang intensif dari karya seni. Para birokrat seni selalu berpikir bahwa ia harus mampu menyajikan kesenian yang mudah dipahami, bisa tertawa terbahak-bahak, dan gemerlap seperti berada di surga yang ketujuh, dan ujung-ujungnya membahagiakan pimpinan yang tidak memiliki perspektif dalam memahami kesenian yang mampu membawa masyarakat dalam perubahan yang besar, semacam dunia baru yang harus dilewati dengan pemikiran-pemikiran besar, bukan dengan bersenang senang duluan, bersusah-susah ke tepian. Inilah fenomena yang kini kita saksikan.
Lebih jauh, kita --mungkin juga secara politis dan menjadi perilaku dalam strategi kebudayaan yang kita kembangkan di Republik ini, mempersempit ruang gerak, serta terbatas pula peluang yang diberikan, bahkan dibatasi segala kehendak dan keinginan untuk membebaskan diri dari kekakuan memandang kebudayaan kita. Salah satu implementasinya, adalah munculnya legitimasi lembaga-lembaga perizinan, dan sensor. Bagaimana mungkin kita bisa mengembangkan karakter kesenian yang kita inginkan, dan kita kehendaki, sementara kita masih mengalami kesulitan untuk saling berhubungan satu sama lain, melakukan dialog dengan peradaban yang tumbuh diantara kita.Kita, sudah harus memulai untuk menampatkan kesenian dari suatu pergaulan dan pergulatan dengan publiknya yang membawa kemungkinan pada lahirnya kreativitas yang membangun kesenian yang berangkat dari pertumbuhan diri publiknya. Tidak bisa tidak, kita harus bisa berhadap-hadapan langsung untuk menempatkan publik sebagai relasi yang membangun kekuatan dan kepercayaan dirinya. Kesenian unggulan yang telah menjadi pilihan bagi sementara birokrasi seni, mudah-mudahan bukan sebagai harga mati dari suatu kerja kesenian.
Surabaya Post, Minggu, 9 Juli 1995