Rabu, 15 September 2010

Pergi BersamaMu

Buat Muh Ali

sesak di hati
tak lepas menanti
gema takbir suara ilahi
kunanti kunanti

...meski tak ada daya
tetap ada rindu di dada
membawa asma Mu ya Allah
pintu terbuka bersama sajadah

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar

Autar Abdillah
Sept 2010
Sajak Hati
Untuk Harris Priadi

Tak ada yang salah dari jalan yang telah bertepi.
bukan profesi mengumbar janji, tapi hati telah terbagi.
tarik nadi sampai sunyi, raih kembali yang dicari.

buka hati yang berlari,
sambut hari dengan jemari,
berdiamlah dalam rumah sanubari

Autar Abdillah
Sidoarjo, 15/7/2009

Jalan Terus

Puisi

JALAN TERUS
/kepada kawan

Kepakkan sayapmu, kawan
Biarkan orang melawan
Asal tanpa senapan

Lompat le awan
Biarkan bimbang
Asal tak menyerang

Ambil sebilah pisau
tancapkan saja
dimana kau suka

Sampaikan salam
pada dunia
bahwa kau masih disana

sept 2010

Senin, 02 Agustus 2010

Manusia dan Benda-benda ”Manusiawi” dalam Teater Kontemporer Indonesia

oleh Autar Abdillah

(catatan: artikel ini dimuat pada "Jurnal Sastra dan Seni FBS UNESA, Vol. 1, No. 1, Januari 2009")

Abstrak
Indonesian contemporary theater has developed a-historically. Since the era of puppetry, folk and traditional theater, up to modern theater, Indonesian contemporary theater grew by transplantation strategy rather than elaborating the theateral potentials. However, the transplantation strategy can be said to have been capable of strengthening human relations, so that Indonesian contemporary theater is almost inseparable from the development of the society. Yet it is realized that Indonesian contemporary theater has also created some 'particular' society, i.e. society living in the context of nowness. The emphasis of human relations in Indonesian contemporary theater is part of the efforts to humanize important elements in its shows. The inter-related elements include: idea, character, background, artistics, and property. The five elements position human beings in Indonesian contemporary theater, eventually leading to the effort to humanize the existence of goods through body and goods themselves. "Human beings pay attention to the relations on "their own self" --auto kath'hauto, as stated by Plato (Ernest Cassier, 1987: 58). The relations in human beings interact and, at the same time, integrate altogether to build up some humane interpretation/understanding
Keyword: human beings, humane goods, and Indonesian contemporary theater

(Teater kontemporer Indonesia berkembang secara ahistoris. Sejak era pewayangan, teater rakyat dan tradisional hingga teater modern, teater kontemporer Indonesia lahir melalui media pencangkokan-pencangkokan ketimbang mengelaborasi potensi teateral yang dimilikinya. Namun demikian, cara-cara pencangkokan yang terjadi bisa dikatakan mampu mensenyawakan relasi-relasi manusia, sehingga teater kontemporer Indonesia tidak terlalu berjarak dengan perkembangan masyarakatnya. Meskipun disadari pula bahwa teater kontemporer Indonesia menciptakan masyarakat yang bersifat khusus, yakni masyarakat yang berada dalam konteks kehidupan kontemporer (kekinian).
Relasi-relasi manusia dalam teater kontemporer Indonesia merupakan upaya untuk memanusiakan unsur-unsur penting dalam konteks pertunjukannya. Unsur-unsur yang berelasi adalah ide, penokohan, latar, artistik, dan peralatan pertunjukan (property). Kelima unsur tersebut memosisikan manusia dalam teater kontemporer Indonesia, pada akhirnya mengarahkan upaya memanusiakan eksistensi benda-benda melalui media tubuh dan benda-benda itu sendiri. ”Manusia memperhatikan relasi-relasi itu pada ”dirinya sendiri”—(auto kath’hauto), sebagaimana dikatakan oleh Plato (Ernest Cassirer, 1987:58). Relasi pada diri manusia berinteraksi sekaligus berintegrasi membentuk pemaknaan yang manusiawi.

Kata Kunci: Manusia, Benda-benda Manusiawi dan Teater Kontemporer Indonesia)

I. Konsep Teater di Indonesia
Teater di Indonesia berawal dari teater ritual. Ritual dalam teater di Indonesia merupakan manifestasi yang bersifat religi dan sosial. Manifestasi religi dan sosial ini berkembang menjadi bermanifestasi politik dan ekonomi sejalan dengan diaspora kekuasaan yang cenderung melakukan penaklukkan terhadap wilayah religi dan sosial, sehingga terbentuklah kebudayaan dalam bentuknya yang baru. Bentuk-bentuk baru kebudayaan di Indonesia pada akhirnya adalah sebuah persekutuan antara dimensi religi, sosial, politik hingga ekonomi –berkembang di era kolonialisasi.
Teater di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan bentuk baru kebudayaan di Indonesia yang merupakan persekutuan antara dimensi religi, sosial, politik hingga ekonomi. Dimensi yang membentuk persekutuan ini ada yang berdiri sendiri, dan ada pula yang bersekutu dalam keadaan tertentu saja. Persekutuan yang berdiri sendiri atau dapat disebut sebagai persekutuan tunggal adalah menjadikan dimensi religi sebagai wadah tunggal eksplorasi teater, misalnya teater-teater yang menyebut dirinya sebagai ”teater Islami” maupun ”teater Rohani” dan ”teater Gereja”. Sedangkan persekutuan lain adalah menyatukan berbagai dimensi seperti antara dimensi sosial dan politik. Teater-teater rakyat maupun teater tradisional lebih memiliki kecenderungan berada dalam posisi membangun persekutuan diantara semua dimensi yang membentuk kebudayaan di Indonesia. Sedangkan teater modern maupun teater kontemporer dan eksperimental di Indonesia membangun keterlibatan yang lebih spesifik terhadap dimensi religi, sosial dan politik. Namun ada pula yang justru bernegasi dengan semua dimensi tersebut, meski merupakan semacam kelompok minoritas –paling tidak untuk saat ini.
Seiring dengan terbentuknya kebudayaan baru, teater modern –khususnya kontemporer di Indonesia, lebih bersifat sekular. Sekularitas dalam teater Indonesia tidak berkembang secara linier. Pada masa-masa tertentu, teater modern Indonesia sangat bersifat religius, dan kebutuhan religiusitas itu didorong oleh dimensi lainnya dalam pembentukan kebudayaan, seperti sosial, politik dan ekonomi. Relasi saling berkait teater dengan berbagai dimensi pembentuk kebudayaan, dijelaskan Autar Abdillah bahwa
… beberapa prosedur kehadiran teater dihubungkan dengan kenyataan politik dan sosial. Kenyataan ini dihubungkan dengan bahasa teater yang berkaitan erat dengan bahasa publik teater. Pengaruh bahasa teater yang diasumsikan memiliki daya gerak politik dan sosial itu, justru menunjukkan bahwa sikap politik dan sosial itu mengalami kekacauan dan keguncangan. Paling tidak, persepsi politik, dan sosial itu tak sepenuhnya dimengerti sebagai suatu disiplin sendiri. Karena teater memiliki disiplinnya sendiri dalam ”mengelola” dirinya (Kompas, Minggu, 31 Desember 1995).
Meskipun cengkeraman religi, sosial dan politik sedemikian besar, teater di Indonesia tetap memegang teguh konsepsi teater yang berelasi secara manusiawi. Relasi manusiawi tersebut ditunjukkan melalui berbagai pilihan konstruktif terhadap konsep teater yang diturunkan melalui pemaknaan manusia (bersifat antropologis). Salah seorang tokoh teater di Indonesia yang banyak bekerja dalam wilayah yang bersifat antropologis (sebagai sebuah pendekatan) adalah Boedi S. Otong. Boedi yang bekerja untuk teater SAE Jakarta menegaskan bahwa teater merupakan ”peristiwa manusia dalam memperjuangkan martabatnya sebagai manusia” (Radhar Panca Dahana, 2001: 38).
Pemaknaan seperti yang ditunjukkan Boedi S. Otong merupakan konsepsi yang tumbuh dalam teater kontemporer –sebagai perpanjangan tangan dari teater modern atau ranting modern dalam teater. Teater Kontemporer merupakan salah satu pintu gerbang dalam teater yang membuka celah bagi pemenjaraan –atau bahkan perbudakan manusia. Dalam teater tradisional dan modern awal, manusia cenderung hanya sebagai objek, baik objek cerita maupun objek-objek peniruan buta yang meniadakan relasi manusia dengan dunia di sekitarnya. Pertumbuhan teater kontemporer di Indonesia secara relatif dapat bersanding dengan teater kontemporer di belahan dunia lain.

II. Teater Kontemporer Indonesia
Teater kontemporer Indonesia (TKI) lahir pasca kemerdekaan. Teater pasca kemerdekaan di Indonesia telah melalui berbagai terpaan yang bersifat ”ideologis”. Pertarungan ideologis dalam TKI membentuk dinamika yang tidak lahir dari konsepsi teater itu sendiri. Dinamika teater dalam konteks ideologis adalah pertarungan massa-publik dari kekuatan sosial dan politik yang sedang bertarung merebut kekuasaan. Dengan demikian, tidak mengherankan bila teater kontemporer Indonesia diidentikkan dengan perlawanan terhadap kekuasaan. Radhar Panca Dahana (2001: 133) mengungkapkan
Pada teater SAE penyingkapan terhadap (pengaruh) lingkungan atau ideologi politik dilakukan dengan melakukan distrosi yang cukup kuat terhadap lambang atau kode yang didistribusikan penguasa. Kemudian muncul kode dan simbol-simbol lain yang baik bentuk dan pemaknaannya sudah bergeser jauh, bahkan cenderung ganjil dan surealistik, namun tetap dalam basis makna politis yang sama: ideologi politik ... telah menghancurkan keberadaan manusia, bahkan sebagai pribadi.
Lebih jauh, teater kontemporer Indonesia menempatkan teater sebagai suatu jagad (dunia) kecil yang membangun kehidupan jagad besar. Jagad kecil mampu menciptakan keterlibatan yang lebih besar dari jagad kecil, karena jagad kecil (seperti manusia sebagai ”diri”) harus dipahami dalam hidup yang ada dalam ”dunia sekitarnya”. Begitu pula dengan kehidupan makhluk yang juga hidup manusia bersamanya (teater). Jadi, teater berawal dari setiap orang yang sedang terlibat di dalamnya. Keterlibatan itu merupakan persentuhan yang berlangsung terus menerus dari hidup yang sedang berlangsung. Hidup yang sekarang tidak berarti membutakan dirinya (teater) atas hidup di belakang dan didepannya.
Relasi hidup manusia dengan teater dijelaskan Autar Abdillah bahwa
Ketika”seseorang” (penonton publik) hidup bersama teater, selalu terjadi dua hal yang dilematik. Pertama, apakah seseorang harus menyaksikan segala sesuatu yang hidup di dalam (realitas) dirinya bersama – sama (realitas) teater. Kedua, apakah seseorang yang harus menyaksikan teater dengan segala pergumulan yang memasuki dirinya dengan menempatkan sebagai dunia lain yang mensubsidi pengalaman baru dalam diri sesorang tersebut. Dengan demikian seseorang mendapatkan segala yang diinginkannya pula (Surabaya Post, Minggu, 11 Juni 1995).
Kejadian pertama, menempatkan seseorang pada penemuan kembali realitas yang ada dalam dirinya. Sebagai contoh bagaimana seseorang memahami kembali hubungan (relasi) kenyataan hidup sehari – harinya, sehingga terbangun inspirasi yang baru dalam ia memahami kenyataan hidup yang sedang berlangsung. Proses semacam ini mendorong kebangkitan peran – peran seseorang di dalam memosisikan dirinya, dan akhirnya memiliki dorongan untuk mempercayai antisipasi yang harus dilakukannya dalam hidup sehari – hari.
Sedangkan kejadian kedua, seseorang tetap mengalami pengasingan atas dirinya. Pada saat hidup teater sedang berlangsung, seseorang selalu menghadapi godaan-godaan untuk membangun klaim – klaim (tuntutan) atas hidup teater itu sendiri. Klaim tersebut selalu menjauh pada hidup yang dijalaninya sendiri. Seseorang tiba – tiba mengklaim bahwa teater yang disaksikannya tidak ada emosi, tidak realistik, mengganggu perhatian dan sebagainya. Klaim – klaim tersebut hanya mungkin terjadi melalui satu penyidikan ataupun penelitian dengan terlebih dahulu mencari variabel yang dapat dijadikan imbangan bagi persepsi – persepsi yang telah dilahirkan. Baik melalui pendekatan semiologi, sosiologi, antropologi, atau kebudayaan (Autar Abdillah, Surabaya Post, Minggu, 11 Juni 1995). Namun demikian harus diakui bahwa dalam teater kontemporer Indonesia belum memiliki tradisi ilmiah yang memadai, meskipun dalam proses praksisnya teater Indonesia dapat dikatakan mampu berkompetisi dengan teater dari belahan dunia manapun.


III. Relasi Manusia dan Benda-benda
Gambar 1: Teater Pelajar: Interrelasi benda dengan manusia (dok. DKS)
Relasi teater dan manusia melahir-kan interrelasi baru dengan benda-benda. Benda-benda dalam teater yang berelasi dengan manusia adalah melalui personi-fikasi pemanusiaan benda-benda tersebut. Benda bukan lagi sebatas barang-barang mati (lihat Gambar 1). Benda (seperti sebuah kurungan ayam jago) memiliki dunia yang hidup bersama teater dan manusia, yang dalam pertumbuhannya di teater memiliki titik legitimasi yang sama dengan manusia. Autar Abdillah menjelaskan bahwa
Teater– bagaimanapun juga- merupakan suatu proses pengolahan diri manusia. Dengan demikian, indikasi – indikasi teater, adalah sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Variabelnya adalah pernyataan manusia dalam presentasi dirinya di hadapan hubungan antar manusia yang terjadi. Jadi, bukan teater siapa yang sedang berlangsung. Bukan pula siapa yang mempresentasikan dirinya kepada siapa yang lain. Tetapi, apa yang mempresentasikan apa di dalam diri kita masing – masing. Dan, memiliki konsekuensi apa keberadaan dan kemakhlukan di dalam teater itu, memasuki konsekuensi keberadaan dan kemakhlukan yang lain. (Surabaya Post, Minggu, 6 Oktober 1996)
Dengan demikian dalam teater terjadi proses penemuan-penemuan baru sebagai akibat dari eksplorasi nilai-nilai kemanusiaan yang terus menerus. Eksplorasi kemanusiaan, terutama sekali dijalin melalui subjektivikasi pengalaman hidup manusia. Autar Abdillah menegaskan bahwa “Teater hidup dalam pengalaman yang kita sadari, atau disimpan dalam kesadaran yang kita alami” (Kompas, Minggu, 31 Desember 1995).
Lebih jauh Cassirer memandang adanya ”ketergantungan pemikiran relasional kepada pemikiran simbolis. Tanpa sistem simbol yang rumit, pemikiran relasional tak mungkin tumbuh apalagi berkembang secara penuh” (1987: 57). Pada posisi inilah kesadaran manusia dipertaruhkan. Pengalaman hidup manusia adalah rentetan relasi-relasi yang mengalami pengendapan dan tersimpan melalui peritiwa-peristiwa yang sesungguhnya dialaminya. Dalam konteks yang berbeda, Cassirer menegaskan bahwa ”Pada manusia, berkembang kemampuan untuk mengisolasi relasi-relasi –untuk memperhatikan makna-maknanya yang abstrak. Untuk menangkap makna itu, manusia tidak lagi tergantung pada data inderawi yang konkrit, pada data-data penglihatan, pendengaran, perabaan, kinestetik. Manusia memperhatikan relasi-relasi itu pada ”dirinya sendiri”—(auto kath’hauto), sebagaimana dikatakan oleh Plato (1987: 58).
Dalam kodrat bahasa, Herder menegaskan bahwa ”Refleksi atau pemikiran reflektif adalah kemampuan manusia untuk memilih beberapa unsur tertentu dari keseluruhan arus gejala inderawi yang belum dibeda-bedakan; unsur-unsur itu diisolasi dan dijadikan pusat perhatian (Cassirer, 1987: 60). Newton menegaskan bahwa ”orang biasa, berpikir tentang ruang, waktu, dan gerak hanya atas prinsip-prinsip relasi-relasi konsep-konsep dengan objek-objek yang terindra (Cassirer, 1987: 66). Ruang abstrak tidak berurusan dengan benda-benda melainkan dengan kebenaran pernyataan-pernyataan, dan putusan-putusan” (Cassirer, 1987: 67).
Gambar 2: Ndindy (memainkan peran dalam aspek pertama) (dok: DKS)
Manusia dalam teater kontem-porer Indonesia diposisikan dalam 3 (tiga) aspek. Pertama, manusia adalah tokoh yang menghidupkan laku. Ia berasal dari suatu peran yang harus dimainkan dan menyampaikan pesan bagi manusia (orang) lain. Laku yang diperankan merupakan pengejawatahan dari tokoh cerita (lihat contoh gambar 2). Kedua, manusia adalah makhluk yang dihidupkan. Ketiga, manusia adalah benda-benda yang memainkan objek-objek tertentu.
Manusia dalam aspek yang pertama tidak lebih sebagai ”mesin” drama. Drama –melalui tangan penulisnya, mengkoordinasikan peran-peran. Peran-peran tersebut bukanlah manusia sebagai individu yang sesungguhnya, tetapi individu yang melakukan peniruan terhadap individu lain. Cassirer menegaskan bahwa ”manusia memiliki hidup yang manusiawi, sejenis keabadian yang melestarikan eksistensi yang individual dan fana. Dalam semua kegiatan manusia, kita temukan polaritas dasariah, yang bisa kita lukiskan dengan berbagai cara. Kita bisa berbicara mengenai stabilitas dan evolusi, antara kecenderungan ke arah bentuk-bentuk yang tetap dan stabil dengan kecenderungan untuk mendobrak pola yang ketat” (1987: 339). Aspek yang pertama ini dengan jelas meniadakan manusia dan segala kemungkinan relasinya.
Manusia dalam aspek kedua adalah instrumen sebuah peragaan, seperti sebuah fashion show dengan pola dan motif bergerak yang sama, tetapi melalui media pembungkus yang berbeda. Merepresentasikan suatu benda tidaklah sekedar mampu memperlakukannya dengan cara yang tepat, dan demi penggunaan-penggunaan praktis. Cassirer menegaskan bahwa ”Kita harus memiliki konsepsi menyeluruh mengenainya dan mengkajinya dari berbagai sudut agar hubungannya dengan objek-objek lain dapat terlihat. Kita harus menempatkannya dan menentukan kedudukannya dalam keseluruhan sistem” (1987: 69).
Benda dalam teater kontemporer Indonesia dapat dipahami melalui 3 (tiga) aspek. Pertama, benda adalah peralatan yang digunakan manusia. Peralatan yang digunakan manusia bisa bersifat fungsional, bisa pula bersifat simbolik. Namun demikian pada tahap ini benda tidak mengalami personifikasi, tetapi lebih merupakan barang peragaan yang fungsional. Kedua, benda adalah suatu proses ”objekifikasi”. Benda membangun evolusi spiritnya melalui ”proyek” aktualisasi, bukan penciptaan seperti pada aspek pertama. Ketiga, benda adalah media perantara untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu dari manusia (bisa seorang pemeran dalam teater). Posisi benda yang menjadi media perantara menempatkan benda-benda bukan semata-mata bersifat fungsional, tetapi bersifat dialogis. Benda dapat membangun relasi yang independen dengan apa saja yang dihadapinya –termasuk manusia. Benda melakukan personifikasi ”diri”.

Unsur-unsur Relasional
Unsur-unsur yang berelasi –benda dan manusia, adalah ide, penokohan, latar, artistik, dan peralatan pertunjukan (property). Unsur ide merupakan unsur awal yang melatarbelakangi unsur-unsur lainnya. Ide lahir dari berbagai aspek yang tak terpisahkan dengan kebutuhan sekaligus selera yang berkaitan dengan human trend. Kebutuhan menyangkut sekuen aspirasi, daya beli dan peluang hidup. Sedangkan human trend menyangkut inspirasi, harga diri dan gaya hidup.
Unsur ide yang abstrak diwujudkan dalam unsur penokohan, latar, artistik maupun peralatan pertunjukan. Penokohan merupakan titik awal penampakan dari unsur ide. Penokohan dalam konteks (teater) yang modern adalah pengejawantahan tokoh lakon. Sedangkan dalam konteks (teater) yang kontemporer adalah pengejawantahan ”diri” atau personifikasi manusia dan benda sebagai wujud pemanusiaan ”diri” manusia dan benda-benda. Memang konsep tokoh lakon (modern) tidak serta merta digantikan oleh konsep ”diri” atau personifikasi (kontemporer) manusia dan benda. Konsep ”diri” atau personifikasi manusia dan benda merupakan arah ideologis baru yang lebih holistik dan memberikan kontribusi terhadap relasi teoritik dan praksis.
Unsur yang paling gamblang disaksikan adalah para pemegang peran atau disebut pemeran yang merepresentasikan penokohan tertentu. Penokohan dalam teater kontemporer yang bersifat personifikasi diri, di satu sisi merelatifkan penokohan tunggal dan di sisi lain menjadikan penokohan sebagai objek simbolik. Penokohan hadir sebagai suatu keberadaan bersama dengan yang lain. Hal ini membuat kekuatan relasional penokohan sebagai manusia dan benda-benda, memiliki makna subjek penokohan yang sama. Manusia dan benda-benda adalah ”tokoh-tokoh” atau pemeran-pemeran yang menggiring pemaknaan pada subjek tertentu secara mandiri sekaligus kolektif.
Pemaknaan unsur-unsur relasional pada artistik dan peralatan panggung dalam teater kontemporer (Indonesia) pada akhirnya merupakan pelayan subjektifikasi penokohan. Pelayanan subjektifikasi penokohan bermula dari ide yang abstrak. Penurunan abstraksi ide-ide inilah yang menentukan dalam kekuatan teater kontemporer Indonesia. Teater kontemporer Indonesia telah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mengaktualisasikan peran-peran manusia yang telah mengalami ”penistaan” dalam teater tradisional dan modern. Penistaan dimaknai sebagai penurunan martabat. Martabat manusia yang dikolonisasi oleh mesin-mesin drama modern.

Epilog
Manusia dan benda-benda dalam teater kontemporer Indonesia adalah upaya memanusiakan teater dalam unsur-unsur yang berelasional. Teater kontemporer Indonesia yang secara kuantitatif masih menjadi minoritas, namun memiliki kemungkinan berkembang jika para pelaku teaternya mampu menyadari proses-proses yang lebih bersifat antropologis ketimbang sosiologis.
Meskipun belum banyak pelaku teater kontemporer Indonesia yang memiliki kesadaran antropologis, namun demikian peluang untuk membangun teater kontemporer yang memiliki kekuatan memanusiakan manusia dan benda yang berelasional masih terbuka lebar. Beberapa pertunjukan teater kontemporer Indonesia masih disalahtafsirkan, sehingga upaya-upaya memanusiakan manusia dalam teater terpenjara oleh simplifikasi pandangan terhadap pertumbuhan teater kontemporer itu sendiri. Hal ini berakibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap pendekatan-pendekatan mutakhir teater, khususnya menuju pada pendekatan antropologis.
Teater kontemporer Indonesia menjadi ahistoris karena teater Indonesia sudah terlanjur masuk dalam perangkap-perangkap warisan teater ”Barat” yang tradisional. Namun demikian, teater ”Barat” yang tradisional tersebut di Indonesia justru merupakan awal dari teater Modern di Indonesia. Akhirnya, Teater kontemporer menjadi makhluk asing dalam masyarakat Indonesia yang modern.

(Autar Abdillah, staf pengajar Teater/Drama pada prodi Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya)

Daftar Pustaka
Abdillah., Autar, 2002, Independensi Seni dalam Konstelasi Kebudayaan, Surabaya: Unesa Press
____________, 1995, “Teater adalah “Keringat””, Kompas, Minggu, 31 Desember 1995
____________, 1996, “Pemetaan Teater di Indonesia”, Surabaya Post, Minggu, 6 Oktober 1996

Cassirer., Ernst, 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai Tentang Manusia. Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: PT. Gramedia

Radhar Panca Dahana, 2001, Ideologi Politik dan Teater Indonesia, Magelang: Yayasan Indonesiatera bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation

Jumat, 16 Juli 2010

Teater Monolog Indonesia, dan Monolog Para Aktor

Catatan ”Pesta Monolog 2005, Panggung Para Aktor Bicara”
Oleh Autar Abdillah
(catatan: tulisan ini merupakan catatan saya sebagai Pengamat pada Pesta Monolog 2005 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005, dan pernah dimuat dalam majalah CIPTA DKJ, 2006; karena seorang mahasiswi IKJ membutuhkan tulisan ini, maka ada baiknya saya terbitkan kembali, semoga bermanfaat)

Empat belas aktor pilihan yang telah diseleksi melalui lomba di 13 wilayah di Indonesia, ditambah dengan dua bintang tamu (Ken Zuraida dan Wawan Sofwan) memperagakan kapasitas mereka sebagai aktor teater monolog Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005. Penampilan mereka tidak berlebihan untuk disebut sebagai presentasi aktor-aktor teater yang kini kita miliki. Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimana kita melihat monolog ala Indonesia itu, dan bagaimana kapasitas keaktoran teater di Indonesia saat ini?

Monolog dalam khazanah perteateran di Indonesia, dibahasakan melalui pemahaman teater modern. Monolog sebagai percakapan seorang diri (seseorang) yang disampaikan kepada pihak lain, sesungguhnya sudah dimiliki Indonesia sejak awal keberadaan teater di Indonesia. Di Sumatera Barat kita mengenal Bakaba dimana seorang pencerita menggunakan media saluang sebagai pengiring, menyampaikan cerita yang disaksikan penonton sambil mengitarinya. Di Surabaya terdapat tokoh paling populer bernama Markeso yang bercerita sendiri dalam bentuk yang disebut dengan Ludruk Garingan. Di Banten kita mengenal Wayang Garingan. Di Bali kita mengenal pula Pacegan. Di Aceh terdapat Kekeberen (dalam komunitas budaya Gayo), Adnan PMTOH, dan Bercerita Tunggal. Sedangkan di Makassar terdapat Kondobulong, Sindrilli yang diiringi instrumen keso-keso atau rebab, dan Massure (Bugis). Bila kita telusuri, masih banyak lagi bentuk-bentuk monolog ini dalam khazanah teater di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai pemahaman teater tutur yang diklasifikasikan dalam teater tradisional Indonesia.
Secara umum, semua teater tradisional kita merupakan perpanjangan bentuk dari sastra lisan hingga melahirkan teater tutur atau secara berseloroh seorang peserta ”Bincang-bincang” dalam Pesta Monolog 2005 lalu, menyebutnya sebagai ”teater” nyerocos. Selain dimainkan oleh satu orang pencerita, juga diiringi oleh berbagai alat musik lokal yang berperan membangkitkan suasana, dan memperkuat karakter tokoh-tokoh yang diceritakan. Hingga saat ini, bentuk teater tutur atau teater nyerocos ini, nyaris sudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya dengan berbagai alasan. Diantaranya, karena cerita yang dimainkan tidak berkembang, dan lemahnya unsur teateral yang dimiliki teater tutur tersebut.
Dalam khazanah teater modern, Monolog dapat kita rujuk pada pengucapan salah satu tokoh atau pemeran pada sebuah drama yang menyampaikan rangkaian dialognya seorang diri. Dialog yang relatif panjang ini berbentuk Soliloquy atau ada juga yang menyebut Aside yang secara harfiah berarti percakapan seorang diri dan berbicara ”kesamping” atau bisikan, dan menjadi satu kesatuan dengan seluruh pertunjukan. Meskipun menjadi satu kesatuan dalam pertunjukan, Soliloquy maupun Aside ini, merupakan percakapan seorang diri yang memiliki konteks khusus, yakni pernyataan tokoh cerita secara personal terhadap situasi yang sedang dihadapinya.
Memang, sejarah teater belum menempatkan monolog sebagai sebuah genre yang dikhususkan dalam teater. Juga, tidak merupakan sebuah gerakan yang mengubah jalannya perkembangan teater. Namun demikian, kalangan teater tetap memandang monolog sebagai sesuatu yang penting sebagai media berlatih seorang aktor. Media berlatih ini pun menjadi salah satu alasan untuk terus mengembangkan teater monolog. Alasan lain, karena sulitnya mengumpulkan para aktor dalam suatu kelompok, dan perbedaan kemampuan yang sulit disatukan diantara para aktor dalam suatu kelompok. Sebagai media berlatih, monolog memang dapat dipandang cukup efektif, karena seorang aktor mendapat tantangan yang lebih besar dalam menghidupkan perannya atau tokoh-tokoh yang diperankannya, karena seluruh artikulasi penokohan harus mampu diperagakannya dengan segala kapasitas yang dimilikinya.
Dalam ”Pesta Monolog 2005, Panggung Para Aktor Bicara” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki yang berkapasitas kecil atau sekitar 200-an penonton, 11-19 Mei lalu, kita dapat melihat bagaimana perbedaan kemampuan masing-masing aktor teater di Indonesia. Kalau tidak disebut kelemahan, kita bisa menyebutnya beberapa aspek pencapaian yang telah dilakukan para aktor tersebut. Pencapaian tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa aspek.
Pertama, penguasaan elemen keaktoran. Elemen keaktoran sedikitnya mencakup beberapa hal, diantaranya kemampuan vokal (baik volume maupun artikulasi, diksi, ketepatan dan kejernihan produksi suara), penggunaan peralatan tubuh (gestur, mimik, kelincahan dan kelenturan pergerakan tubuh), pemanfaatan ruang pertunjukan (eksterior dan interior), kemampuan menggunakan peralatan di luar tubuh (hand property, perabotan –jika ada), penyatuan dan harmonisasi dengan seluruh komponen artistik (baik musik, pencahayaan, kostum maupun make up –bila digunakan), dan kemampuan mengkomunikasikan dirinya dengan penonton.
Pada aspek yang pertama ini, hampir semua aktor mengalami persoalan yang signifikan. Persoalan tersebut bisa dipahami melalui beberapa hal. Yakni, ketidaksiapan aktor menghadapi pertunjukannya (bisa karena gugup yang disebabkan oleh arsitektur ruang yang relatif tidak begitu akrab dengan dirinya, bisa pula karena kondisi fisik yang kelelahan, karena harus menangani hampir seluruh kebutuhan pertunjukan), hingga kekurangmampuan aktor tersebut menggali potensi dirinya. Selain itu, besar kemungkinan para aktor memang tidak menjalani latihan-latihan yang intensif. Keikutsertaan mereka hanya untuk mengisi kesempatan yang ada. Bukan karena monolog menjadi pilihan penting dalam ekspresi berteaternya.
Satu hal yang sangat disayangkan juga adalah adanya aktor yang mengubah naskah pertunjukannya hanya dua minggu menjelang penampilannya. Disamping itu, ada pula yang mengalami pembatasan waktu penampilan ketika mereka mengikuti lomba di wilayahnya, sehingga diambillah jalan pintas dengan mengubah struktur lakon, dan melahirkan struktur lakon dan pertunjukan yang baru tanpa memperhatikan atau membuat pertimbangan yang memadai terhadap kapasitas lakon yang dimainkannya. Celakanya lagi, ada yang menampilkan tokoh imajiner menjadi tokoh yang benar-benar hadir di atas panggung dan melakukan dialog dengan sang aktor. Apapun alasannya, cara semacam ini justru menunjukkan kelemahan mendasar sang aktor pada aspek interpretasi teks dramatiknya.
Kedua, interpretasi dan pengejawantahan lakon atau teks dramatik dan teateral. Meskipun interpretasi awal lakon harus dilakukan oleh sutradara, seorang aktor yang juga menempatkan dirinya sebagai sutradara mencoba melakukan interpretasi sebagai aktor sekaligus sutradara, bahkan ada yang juga memasuki wilayah artistik. Interpretasi teks dramatik dan teateral secara sederhana terlihat amat mudah. Namun akan amat dirasakan akibatnya, ketika teks dramatik dan teateral tersebut memasuki atau ditransformasikan ke dalam teks pertunjukan.
Seorang aktor –bagaimanapun ahlinya, tidak memiliki kesempatan atau peluang melakukan interpretasi terhadap apa yang sedang dilakukannya. Misalnya, bagaimana ia telah mencapai tingkat pemahaman terhadap isi teks tanpa mengetahui output isi teks tersebut, ketika disaksikan oleh orang lain atau penontonnya. Demikian pula dengan transformasi isi teks tersebut menjadi bentuk pertunjukan, penempatan ruang, interaksi dan dinamika teks hingga keterbacaan teks dramatik dan teateral tersebut. Agaknya, terlalu gegabah bila seorang aktor memiliki kepercayaan diri yang terlalu besar, bahwa semua teks dramatik dan teateral bisa diinterpretasi tanpa pembanding yang dapat mendorong bekerjanya teks tersebut.
Pembanding yang tidak diposisikan secara khusus, memiliki akibat tidak adanya pedoman yang memadai dalam mendorong bekerjanya teks secara efektif dan produktif. Terdapat beberapa istilah yang digunakan para aktor untuk melengkapi pembanding atau pihak yang mencoba mendorong bekerjanya teks pertunjukan, seperti Ken Zuraida bintang tamu dari Jakarta yang membawa teks Tanpa Batas, dan Joind Bayuwinanda (Jakarta) melalui teks Nol karya Putu Wijaya menyebutnya Skenografi, Mami Sri Maryani (Bandung) melalui teks Masmirah karya Arthur S. Nalan menyebutnya Dramaturg, Etenk Irsyad (Palu) melalui teks Aut karya Putu Wijaya menyebutnya sebagai Konsultan Garapan. Barangkali dalam istilah lain ada peserta yang menggunakan istilah supervisor untuk tujuan yang sama.
Ketiga, ketiadaan seorang sutradara dalam melakukan proses penyutradaraan. Selain melakukan interpretasi, sutradara sangat berarti dalam membangun struktur pertunjukan. Sutradara akan sangat membantu dalam membangun mise en scene, variasi dan dinamika komposisi, hingga keberartian pengucapan yang dilakukan aktor. Selain peserta yang telah disebutkan diatas, selebihnya tidak menggunakan ”jasa” khusus seorang sutradara. Akibatnya, banyak kemungkinan pengucapan, tidak mampu terbangun dalam struktur pertunjukannya.
Bahkan, aktor-aktor yang menulis sendiri teks dramatik maupun teks teateralnya mengalami kebuntuan yang berdampak pada ketersumbatan aliran tekstualnya. Hal ini sangat mencolok terjadi pada Sendri Yakti (Kendari) dengan lakon Bulan. Sedangkan Aishah Basar (Medan) dengan lakon Perempuan, terbawa terlalu jauh pada penafsirannya sendiri, sehingga sutradara yang dimilikinya (Idris Pasaribu) tidak bekerja terlalu banyak untuk mengalirkan teks dramatiknya ke teks pertunjukan.

Konsepsi Sinergis
Bila memang monolog itu merupakan khazanah pemahaman teater Modern, maka konsepsi sinergis menjadi pilihan yang paling kecil resikonya bagi seorang aktor. Konsepsi sinergis ini mengandaikan adanya berbagai komponen yang bisa disatukan untuk menjadikan kerja aktor lebih efektif dan produktif serta melahirkan wacana ke-Indonesiaan yang menarik sebagai referensi perkembangan teater di Indonesia umumnya, teater monolog khususnya. Komponen yang terlibat dalam konsepsi sinergis ini bisa merupakan pola teater tutur yang berkembang di pelosok Indonesia, bisa pula tema lokal yang aktual, kebahasaan, perilaku, dan asumsi kultural.
Dalam Pesta Monolog 2005, konsepsi sinergis ini paling tidak dapat kita temukan pada pertunjukan bintang tamu dari Bandung yang dipercayai tampil dalam acara penutupan, yakni Wawan Sofwan yang membawa teks Dam karya Putu Wijaya, maupun bintang tamu yang dipercaya membuka rangkaian Pesta Monolog 2005, Ken Zuraida (Jakarta) melalui teks Tanpa Batas karya Ken Zuraida. Disamping itu dapat pula kita temukan pada Luna Vidia melalui teks Balada Sumarah karya T. Lestari, Elan Windalian (Aceh) melalui teks Wih karya Salman Yoga S, Mami Sri Maryani (Bandung) melalui teks Masmirah karya Arthur S. Nalan, dan Sukamto (Surabaya) melalui teks Damar Kurung karya Sukamto.
Wawan Sofwan membangun konsepsi sinergis melalui transformasi model teater tutur (topeng) Pacegan yang ada di Bali untuk menghidupkan lakon yang kebetulan di tulis oleh pengarang yang memang berlatarbelakang budaya Bali. Berdasarkan pengakuan Wawan, teks yang telah dimainkan beberapa kali ini juga pernah dicoba menggunakan berbagai latar kultural terhadap tokoh-tokoh yang diperankannya. Kepiawaian Wawan tidak hanya sampai disitu. Ia juga memiliki kapasitas yang lebih dibandingkan para aktor lainnya dalam mengkombinasikan bahasa tubuhnya dengan bahasa verbal melalui berbagai variasi. Dalam konteks konsepsi sinergis bahasa tubuh dan bahasa verbal ini, juga dapat kita temukan pada penampilan Luna Vidia dan Mami Sri Maryani.
Berbeda dengan Elan Windalian, konsepsi sinergis dibangunnya lewat pengungkapan fakta sosio-kultural yang dialaminya di tanah kelahirannya. Melalui media tikar pandan, Elan membuka tabir delinkwenisasi sosial yang merobek pencitraan masa lalu yang menjunjung tinggi adat istiadat. Elan berujar, ”ini saatnya katak memecah tempurung/meretas nurani/meruntuhkan kebungkaman sopan santun adat”. Melalui teknik non verbal, Elan benar-benar memfungsikan seluruh penginderaannya terhadap peristiwa yang seolah-olah terjadi di depan mata.
Dalam konteks yang hampir sama, melalui teknik verbalnya Ken Zuraida menggambarkan tokoh utamanya yang menuntut hak yang sama dirinya sebagai manusia. Teknik verbal yang dibangun Ken Zuraida menggiringnya pada situasi bercerita atau terkesan mendongeng. Kesan semacam ini dimungkinkan pula oleh perbedaan usia tokoh dengan dirinya yang teramat jauh, serta gambaran peristiwa aktualnya tidak secara langsung dihadapi Ken Zuraida. Namun semua itu mampu terabaikan oleh kapasitas keaktoran Ken Zuraida yang dapat menguasai alur penceritaan dan bahasa tubuh dan verbalnya yang amat kuat.
Sedangkan Sukamto mencoba membahasakan pertunjukannya dari khazanah filosofis masyarakat Jawa untuk membaca persoalan masa kini. Teknik non verbal yang digunakan Sukamto cukup efektif, tetapi kurang produktif, karena Sukamto berlari terlalu jauh dari substansi kultural yang hendak dibangunnya. Di samping itu, Sukamto juga mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari kondisi fisikalnya. Hal ini berdampak pada lemahnya produksi suara yang menjadi tuntutan tekstualnya.
Mami Sri Maryani bak penari yang menggunakan sehelai kain untuk membantu pembentukan tokoh-tokoh ceritanya –disamping menggunakan differensiasi suara. Cara ini sangat efektif dan produktif. Personifikasi tokoh-tokoh cerita yang sedemikian gamblang ditampilkan Mami SM, didukung pula oleh penguasaan ruang interior dan eksterior yang memadai. Meskipun membawa warna kultural yang kental seperti yang diupayakan Sukamto, Mami SM lebih mampu membangun kekuatan kulturalnya, karena didukung oleh penataan artistik yang signifikan.
Monda D. Gianes (Riau) dengan lakon Aut (Putu Wijaya) sebenarnya ingin pula membawa nuansa kultural ke dalam nafas pertunjukannya. Tetapi, Monda hanya ”bermain” sebatas instrumen musiknya. Pengucapan dan perilakunya dikembalikan pada ”teks aslinya”. Monda seperti kurang peka akan adanya kemungkinan transformasi kultural seperti yang dilakukan Luna Vidia yang menyelipkan pola ucap orang Makassar, meskipun agak janggal dengan ritme tekstual yang sesungguhnya. Namun, Luna berhasil membentuk suatu iklim rekreatif kulturalnya. Sebagai proses peragaan teks, Monda cukup mampu menggerakkan penceritaanya.

Kerancuan Tekstual
Kerancuan tekstual merupakan pemberian kadar tekstual yang kurang tepat atau berlebihan. Hal ini terlihat pada pertunjukan Hendra Utay (Bali) melalui teks Bahaya Racun Tembakau karya Anton Pavlovich Chekov, dan Pandu Birowo (Padang) melalui teks Apologia karya Plato. Sebagai sebuah pertunjukan, Hendra Utay boleh dibilang cukup berhasil. Namun demikian, jalan pintas yang diambil Utay untuk memecahkan persoalan waktu atau durasi penampilan, sepertinya agak sulit untuk melupakan begitu saja khazanah tekstual yang digunakannya.
Tidak ada larangan untuk melakukan pembongkaran habis-habisan teks yang sudah dilahirkan oleh seorang dramawan atau seorang penulis naskah (playwright). Tetapi setiap teks membawa dengan sendirinya berbagai kaidah yang membawa denyut jantung kehidupan pengarangnya. Bila denyut jantung pengarangnya sudah dicabut dari saluran urat-urat syarafnya, maka teks yang kita gunakan memiliki hak untuk bermigrasi. Migrasi teks tersebut dapat mengalihkan identitas maupun entitas pengarang atau penulis teks tersebut. Meskipun tidak membunuh atau mematikan pengarangnya, migrasi teks harus disertai dengan penjelasan terhadap ”penistaan” atau peleburan dengan nama dan kontekstualisasi teks yang baru.
Utay masih menggunakan nama Bahaya Racun Tembakau dengan pengarang Anton P. Chekov. Kerancuan pada Utay justru memberi kesan, bahwa Utay gagal memahami teks yang digunakannya. Disamping itu, Utay juga terkesan gagal menjadi aktor karena tokoh imajiner yang seharusnya mampu dihidupkannya lewat kemampuan keaktorannya, justru tereliminasi oleh kehadiran tokoh imajiner tersebut. Lebih rumit lagi, Utay justru telah membentuk pertunjukan teater dengan dua aktor yang tentu bukan lagi monolog atau percakapan yang personal dan seorang diri.
Sedangkan Pandu Birowo belum memiliki kesempatan yang cukup untuk memasuki teks yang digunakan. Ia justru menjelmakan diri menjadi seorang filsuf yang diidentikkannya dengan kesopanan, kelembutan, berpikir keras, dan seolah-olah tidak peduli dengan orang lain. Hal ini berakibat pada pelarian teks dari publiknya. Pelarian teks ini bergerak terus hingga pelarian ketubuhan Pandu Birowo kepada penontonnya. Penonton tidak tahu kepada siapa sang aktor hendak bicara. Lebih tepat bila disebut sang aktor hanya ingin bicara pada dirinya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh rendahnya volume dan dinamika pertunjukan yang digiring sang aktor.
Apa yang dialami Pandu nyaris mirip dengan Dedi Apriansyah (Lampung) yang membawakan teks Hamlet dan Sedikit Perkiraan Tentangnya karya Ari P. Hutabarat. Teks dramatik maupun teateral kehilangan tubuhnya. Sepertinya, tidak ada perkiraan yang bisa ditransformasikan dalam idiom yang baru. Terdapat kesan, sang aktor hendak membuat suatu konsep kontras atau ambiguitas dalam berbagai relasi, tetapi justru menimbulkan kelucuan yang tidak lucu. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak ikut bermainnya gestur dan tubuh Dedi dalam menopang konsepsi yang dibangunnya, dan kerancuan tekstual terjadi pada titik tafsir membangun struktur pertunjukan.
Sedangkan Hapsah (Jambi) yang membawakan teks dramatik Prita Istri Kita (Arifin C. Noer) terjebak pada pengejaran kalimat pada saat dia tidak menyentuh benda atau peralatan yang ada. Teks mengalami pengurangan fungsinya secara signifikan. Hal ini dipersulit lagi dengan dinamika emosi dan tubuh Hapsah yang tidak terbangun sebagai akibat pemenggalan kalimat dan jedah yang kurang tepat. Penonton mengalami kesulitan yang berarti mengikuti jalannya penceritaan sang aktor. Hal yang hampir sama terjadi pada Aishah Basar (Medan) dengan lakon Perempuan (Aishah Basar).

Epilog
Apapun yang telah dilakukan para aktor teater monolog di teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta beberapa waktu lalu itu, satu hal yang tak bisa kita pisahkan adalah warna kultural yang kita miliki dan pemahaman modern yang telah merasuk dalam diri kita menjadi idiom keberadaan teater monolog di masa mendatang. Disamping itu, kepada para aktor, banyak harapan yang bisa kita tumpahkan. Harapan tersebut bukan saja pada masa depan mereka, tetapi juga harapan untuk lebih menempatkan monolog sebagai pilihan berteater yang dapat berkembang menjadi salah satu kekuatan berteater kita. Untuk itu, upaya keras para aktor dalam menangani persoalan-persoalan keaktorannya akan sangat menentukan.
Disamping itu, keseriusan untuk menjadikan monolog sebagai salah satu genre teater harus ditopang oleh berbagai penelitian yang dapat menemukan aspek-aspek logis pengembangan monolog tersebut. Jadi, monolog bukan saja sebagai media berlatih dan pengujian kemampuan aktor, tetapi menjadi kekuatan pengucapan teater dalam menggalikemungkinan idiom maupun ideologi berteater di Indonesia. Tidaklah berlebihan, bila khazanah berteater kita, dapat menemukan pilihan baru dari situasi yang sulit bagi suatu kelompok teater dalam membangun komunitas yang dapat terus menerus atau secara periodik mengadakan pertunjukan.
Bila pantomime sebagai satu genre teater yang juga dimainkan secara perseorangan telah mengalami ketersingkiran oleh dunia sulap semacam Doddy Corbuser atau reality show di layar televisi yang penuh kejutan, maka monolog sangat mungkin menjadi bagian yang terpisahkan dari spirit ”one man show” di era sekarang ini. Selamat bertemu di arena pertunjukan yang lain. Dan, selamat berproses menemukan monolog ala Indonesia, yang mungkin bisa menjadi teater nyerocos atau teater tutur atau juga teater tunggal sebagaimana telah dikenal dalam pertunjukan tari. Apapun monolog itu, kita bisa mencoba monolog menurut perkiraan kita masing-masing.

Autar Abdillah
Staf pengajar Drama dan Teater pada program studi Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, Pengamat pada Pesta Monolog 2005 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005

Sabtu, 10 Juli 2010

Membaca Peta Teater Katimuri

oleh Autar Abdillah
(Catatan: tulisan ini dibuat 2 Oktober 2002)

Selama satu minggu, 22-29 September 2002, sebagian warga Surabaya menikmati tontonan teater dari para pekerja teater di kawasan timur Indonesia (Katimuri), yang bertajuk “Temu Teater Katimuri III”. Meskipun hawa panas gedung pertunjukan di gedung Gema Universitas Negeri Surabaya, maupun auditorium IAIN Sunan Ampel Surabaya begitu menyengat, namun tidak mengendurkan niat ratusan penonton untuk berdiam menikmati hampir semua pertunjukan. Hal ini tentu merupakan perjuangan yang tak kalah beratnya dengan yang dilakukan oleh para pekerja teater itu sendiri.
Para pengunjung teater ini sebagian besar adalah para peserta Katimuri yang ikut ambil bagian dalam berbagai acara yang digelar, dan mahasiswa di Surabaya. Tidak banyak terlihat para penonton yang berasal dari kalangan teater non kampus maupun pelajar. Begitu pula pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan teater, baik itu Depdiknas, Taman Budaya, maupun lembaga yang dipercaya memiliki peran memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang suatu kesenian yang sebaiknya dikembangkan di Jawa Timur maupun di Surabaya. Kalangan masyarakat umum pun nyaris tidak menempatkan dirinya dalam peristiwa ini. Pendeknya, telah terjadi semacam “pengisolasian diri” atau terisolasinya kegiatan ini dari berbagai kalangan di Surabaya maupun di Jawa Timur. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena peristiwa semacam ini seharusnya menjadi bagian dari semua pihak yang turut serta menghidupkan atau mengembangkan teater maupun kesenian di Jawa Timur.
Terdapat kesan bahwa “Temu Teater Katimuri III” ini hanya merupakan “kenduri” dari sebuah kelompok teater saja, dan ditujukan kepada saudara-saudara dekatnya. Jadi, bukan sebuah peristiwa teater di kawasan Timur Indonesia. Hal ini dirasakan oleh sejumlah kelompok teater “tamu”, dan mereka ekspresikan dalam sebuah pertunjukan kecil hasil sebuah kolaborasi. Dalam pertunjukan tersebut diperlihatkan bagaimana para peserta Katimuri hanya datang untuk memperebutkan kaos yang menggambarkan kegiatan Katimuri. Disini diperlihatkan pula bagaimana mereka menerima nasi bungkus, dan setelah itu ditinggalkan begitu saja oleh “si pemberi nasi bungkus”. Dan, ironisnya nasi itu digambarkan sebagai nasi yang telah basi.
Kisah ironis lain terlihat dari tidak siapnya tuan rumah kenduri ini dalam menyusun jadwal acara. Sejumlah acara yang telah tertulis dalam buku agenda acara, sebagian tidak terselenggara. Bahkan, sebuah tempat yang disiapkan untuk pertunjukan ditiadakan begitu saja tanpa pemberitahuan. Tidak ada permintaan maaf apapun, karena penonton yang datang --masyarakat umum di Surabaya, memang bukanlah “tamu yang diundang”. Cara-cara semacam ini, sekali lagi sangat disayangkan. Ini merupakan tindakan tidak terpuji yang patut dihindari oleh siapapun dalam penyelenggaraan pertunjukan, termasuk teater. Hubungan penyelenggara teater dengan penonton --siapapun mereka, harus benar-benar merupakan hubungan yang akrab, kondusif dan mampu menjalin komunikasi yang erat dan bersahabat

***
Satu hal lagi yang cukup ironis adalah tidak ada satu pun teater dari Jawa Timur yang ikut berpartisipasi menggelar karyanya. Hal ini berbeda dengan Katimuri I dan II yang menampilkan “teater tuan rumah”. Bahkan, Katimuri II di Mataram memunculkan 10 teater dari Nusa Tenggara Barat. Apakah teater di Jawa Timur itu tidak memenuhi standard yang telah ditetapkan? Apapun alasannya, dan standardisasi apapun yang hendak diterapkan, kelompok teater yang datang ke Surabaya itu, paling tidak ingin mengetahui bagaimana pekerja teater di Surabaya dalam memperlakukan teater. Jadi, kesan yang muncul adalah tidak adanya teater dari Jawa Timur maupun Surabaya yang layak untuk berbagi pengalaman dengan teater di kawasan Timur Indonesia. Kesan ini lebih menunjukkan arogansi dan semakin memperkokoh ketidakharmonisan komunikasi diantara pekerja teater itu sendiri. Disamping itu, juga semakin memperkuat kesan “raja-raja kecil” atau tiran-tiran kecil yang bermunculan di tengah-tengah kompetisi global sekarang ini, termasuk kompetisi kreatif yang memungkinkan teater membangun penemuan-penemuan baru..
Rendahnya ruang kompetisi itu, juga tercermin dari teater-teater yang lahir dari Katimuri III ini. Nyaris tidak ditemukan gagasan-gagasan besar yang mampu mengubah jalan hidup teater. Tidak terlihat sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam Katimuri ini. Selain hanya sebuah pertunjukan demi pertunjukan itu sendiri. Salah seorang pelaksana kegiatan ini sempat mengatakan bahwa kegiatan ini untuk menghadapi adanya superioritas “wilayah Barat” dalam berteater. Semangat atau cita-cita semacam ini semakin tidak mudah untuk dimengerti, karena teater sama sekali tidak mengenal rezim teritorial. Bila hal ini yang menjadi titik tolak keberadaan teater “Katimuri”, maka nasibnya akan sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh gerakan “sastra pedalaman”, yang akhirnya hilang tanpa jejak. Sebelum sejarah “sastra pedalaman” itu berulang kembali, ada baiknya para penggagas teater “Katimuri” ini menancapkan gagasan-gagasan ideal bagi suatu teater yang hidup di kawasan Timur Indonesia.

***
Banyak pertunjukan dari Katimuri III di Surabaya ini, nyaris tanpa eksplorasi data dan semakin mengukuhkan telah terjadinya dehumanisasi dalam teater. Kedua cara penemuan teater ini bukan saja berdampak pada kedangkalan penerimaan dan interaksi antara para aktornya dengan penonton, tetapi juga akan membawa teater pada sesuatu yang tak bermartabat. Pada pertunjukan monolog Marsinah Menggugat dari Teater Sendiri (Kendari) misalnya, mengesankan bahwa tokoh buruh Marsinah adalah seorang wanita yang tidak berdaya sama sekali menghadapi kezaliman yang terjadi. Hampir di semua adegan, Marsinah digambarkan penuh dengan kesedihan. Selain tidak ada data baru dari penampilan ini, sangat sulit untuk dibayangkan bagaimana Marsinah berada dalam kesedihan. Sudah banyak data yang diperlihatkan sebelumnya, bahwa Marsinah sudah tidak punya air mata lagi. Marsinah bukan sekedar buruh pabrik arloji PT CPS Porong, Sidoarjo yang memberikan dukungan terhadap tuntutan rekan-rekannya, tetapi Marsinah adalah seorang guru yang baik bagi anak ibu kostnya di Porong, serta membantu perekonomian keluarganya yang relatif miskin.
Hal yang sama terjadi pada teater Yupa (Samarinda) dengan “skenografi” Kanvas Tak Bertepi, teater Madaduli Kempo melalui Berita Hari Ini, teater Sendiri (Kendari) melalui Lilit Melilit Dililit, dan teater Betang (Sampit) melalui Dikejar Bayangan. Ketiga teater ini nyaris tak memiliki arah yang jelas. Sedangkan teater Kamar Indonesia (Lombok) melalui adaptasi cerpen Sentimentalisme Calon Mayat karya Soni Karsono, terlihat sangat verbal. Mayat-mayat diperlihatkan tergeletak di tengah-tengah panggung yang dibuat berbentuk arena. Sedangkan “Mayat yang sentimentalistik” itu bermain diantara “mayat-mayat” yang tak lain adalah manusia-manusia hidup yang digeletakkan. Entah apa yang membuat sutradara teater ini memiliki kerelaan membiarkan manusia-manusia atau orang-orang yang masih bernyawa itu mempersonifikasikan mayat, terinjak-injak, dan terkena semburat nasi yang keluar dari tokoh utama pertunjukan ini. Dan, entah apa yang dirasakan para pemain yang memerankan mayat-mayat itu, kalau bukan rasa jijik, sakit dan tercerabutnya martabat kemanusiaan yang tentunya merupakan dasar ketika mereka memasuki teater.
Satu pertunjukan yang banyak menarik perhatian penonton adalah dari Sanggar Budaya (Banjarmasin) yang membawa lakon komedi realis Perkawinan dari Nikolai Gogol. Namun demikian, sang sutradara teater ini mengalami sedikit keraguan dalam mentransformasi dialektika bahasa lakon pada masyarakat penontonnya. Di satu sisi ingin membawa lakon ini pada atmosfir masyarakat Surabaya dengan menggunakan sejumlah ikon masyarakat kota Surabaya, di sisi lain terdapat dialektika yang masih berakar pada kultur Yogyakarta, seperti penamaan daerah Bantul dan beberapa pola pengucapannya. Sedangkan teater Srikandi yang membawa lakon Payung Kematian, terkesan terlalu mendramatisir dialog yang berpola mirip dengan lakon-lakon Putu Wijaya. Upaya untuk menggiring komunikasi dengan penonton melalui pemberian duplikasi payung, ternyata tak memberi dampak apapun. Sehingga, payung yang berada di tangan penonton justru memberikan beban tersendiri pada pertunjukan tersebut.
Berbagai kendala yang bersifat teknis dari pertunjukan-pertunjukan teater “Katimuri” lebih disebabkan oleh masih rendahnya pergesekan informasi perkembangan mutakhir dunia teater. Namun demikian, bukan berarti teater bertolak dari informasi semacam ini. Yang jauh lebih penting tentunya adalah pergesekan kalangan teater tersebut dalam kehidupan. Teater tidak harus menjadi cermin dari kehidupan, tetapi teater adalah kehidupan itu sendiri. Ini artinya, eksplorasi didalam teater, memiliki kaitan yang sangat kuat dengan kehidupan. Anehnya, benang merah dengan kehidupan itu sendiri masih sangat terbatas pada isu-isu sosial dan politik semata. Dan, isu yang paling mendalam, yakni bagaimana manusia menghadapi keidiriannya, tubuhnya, dan relasi hidupnya dengan realitas disekitarnya, masih jauh dari harapan. Pada titik ini, teater “Katimuri” tidak memiliki perbedaan mendasar dengan teater-teater lainnya di Indonesia, termasuk yang ada di Jawa Timur.
Untuk penyelenggaraan teater “Katimuri” IV (bila masih ada), sebaiknya teater-teater yang akan tampil sudah melakukan eksplorasi sejak dini, jadi bukan beberapa bulan atau beberapa minggu setelah berakhirnya Katimuri III ini. Kedua, ada baiknya setelah pertunjukan teater berlangsung, pada hari berikutnya diselenggarakan dialog atau pemecahan persoalan-persoalan teater yang didasari atas pertunjukan tersebut. Hal ini lebih efektif ketimbang melakukan pelatihan secara terpisah atau mempersoalkan yang bukan menjadi pusat perhatian dari masing-masing teater. Ketiga, ada baiknya membuat garis yang tegas terhadap apa yang hendak diperjuangkan oleh teater “Katimuri” di masa depan. Dan, lebih jauh, teater “Katimuri” itu dapat membangun suatu gerakan yang dinamis dalam membongkar dan membuat sejarah baru bagi dunia teater.

(Autar Abdillah, staf pengajar prodi Sendratasik FBS-Universitas Negeri Surabaya)

Tentang Teater Modern Indonesia

oleh Autar Abdillah
(catatan: tulisan ini dibuat 4 Juli 2002)

Membaca tulisan “Qua Vadis Teater Modern Indonesia, benarkah?, Perlu Penyegaran, bukan Penyeragaman” (Jawa Pos, 30/6), terdapat sejumlah kerancuan yang berakibat pada penyesatan pandangan tentang teater Modern di Indonesia. Hal ini lebih diperparah oleh asumsi-asumsi yang tidak berdasar tentang teater SAE yang melahirkan “sejumlah pengekor”. Padahal, sangat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh teater SAE sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan oleh teater-teater lainnya, termasuk oleh teater Kubur dan Payung Hitam. Meskipun Dindon dan Andi Bersama di teater Kubur pernah bergabung dengan teater SAE, tetapi mereka memiliki pandangan yang sangat berbeda. Begitu pula dengan aktor yang sangat penting dalam teater SAE dan kini membintangi sejumlah sinetron serta menjadi presenter acara flora dan fauna di sebuah stasiun TV swasta , yakni Zainal Abidin Domba, memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang diinginkan oleh Boedi S. Otong selaku penggagas maupun pelopor penting “teater anthropologis” di Indonesia.
Teater Modern di Indonesia hingga saat ini dipahami sebagai teater yang menggunakan naskah tertulis untuk membedakannya dengan teater tradisional yang menggunakan naskah lisan secara turun temurun. Itu pulalah sebabnya, mengapa Bakdi Sumanto menyebut teater Gandrik sebagai teater “post-tradisi”. Pengertian ini menjadi sangat tidak memadai lagi, karena teater tradisional sejak dilaksanakan berbagai festival teater rakyat-tradisional pertengahan tahun tujuh puluhan --memuncak di tahun delapan puluhan, dan berkembangnya media televisi, mulai memberlakukan naskah-naskah yang bukan berasal dari sastra lisan, tetapi mengembangkan naskah-naskah yang aktual dari persoalan-persoalan sosial ada. Untuk itu, tidak pada tempatnya lagi untuk memandang konsepsi teater dari bagaimana teks lakon dipergunakan.
Maka, teater modern di Indonesia dapat ditelusuri dari bagaimana aktor dan sutradara memposisikan dirinya dalam teater. Teater modern di Indonesia adalah teater dengan posisi aktor dan sutradara tidak lagi memiliki penafsir tunggal. Hal ini telah dimulai oleh Putu Wijaya yang membangun kepengarangan bersama dalam melahirkan teaternya. Hal ini tidak terdapat pada Rendra (Bengkel Teater), Arifin C Noer (Teater Kecil), Teguh Karya (Teater Populer), Nano Riantiarno (Teater Koma) maupun Suyatna Anirun (Studiklub Teater Bandung). James Roose-Evans, menyebut Jacques Copeau sebagai bapak teater modern. Copeau dalam manifesto terakhirnya (1913), mengatakan “Pour l’oeuvre nouvelle qu’on laisse un treteau nu!”. Sebuah panggung yang terang, sebuah ruang kosong. Lima puluh tahun kemudian diikuti oleh Peter Brook. Apakah telah terjadi penyeragaman?
Istilah penyeragaman dengan munculnya teater-teater yang tidak lagi memperlakukan tubuh seperti apa adanya, tubuh yang distilisasi, non verbal dan seterusnya, bukanlah bentuk penyeragaman. Semua itu proses yang lazim, yakni sebuah penguatan atas suatu mainstream dalam pertumbuhan teater. Pekerja teater mencoba untuk merebut hati publiknya dengan cara yang hampir sama dengan apa yang dilakukan teater pendahulunya. Atau, melakukan semacam percobaan untuk sesuatu yang dipandang dapat dieksplorasi lebih jauh. Tapi, semua itu tidak akan berlangsung lama. Karena setiap esensi bentuk yang dilakukan memiliki dasar historisnya sendiri. Tidak semua orang bisa melakukannya. Memang, di sebuah festival teater SMU di Yogyakarta pernah terjadi bentuk penyampaian yang nyaris seperti Gandrik, (saya sendiri sempat menyaksikannya) tapi semua orang tahu, bahwa itu bukan Gandrik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pola pertumbuhan semacam ini.
Khusus mengenai teater SAE yang dianggap melahirkan sejumlah “pengekor”, saya sangat tidak sepakat dengan asumsi ini. Teater SAE yang lebih dari sepuluh tahun membangun teater, dan lahir dari Festival Teater Remaja, lalu tidak berproduksi lagi harus dilihat sebagai suatu persoalan alami dalam suatu gagasan teater. Saya kebetulan berada di tengah-tengah teater ini ketika mengalami krisis “ideologis” yang menajam. Pada waktu itu sedang berlangsung penggarapan teater dengan judul Ayah Telah Berwarna Hijau. Beberapa tahun kemudian, sejumlah penggiat teater inipun sempat memainkan satu lakon yang dipimpin oleh Bustro Q. Yoga, dipentaskan di Jakarta, Bandung dan Surakarta. Pertanyaannya, apakah suatu teater harus berproduksi setiap hari, setiap bulan atau setiap tahun untuk mengatakan bahwa teater tidak mengalami stagnasi estetik atau artistik? Disnilah persoalan mendasar dari kekeliruan berpikir dalam teater.
Di Indonesia, boleh dikatakan ratusan teater lahir setiap tahun. Kelahiran artistik dan estetik juga sangat luar biasa. Ada teater dari Kalimantan dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional dua tahun lalu, bermain dari tali ke tali, bergelantungan untuk mengatakan bahwa tidak ada lagi tanah yang bisa mereka pijak, karena seluruh hutan di Kalimantan telah dirampas oleh para pemegang HPH. Saya menyarankan sdr. Indra Tranggono menyaksikan teater-teater di luar Yogyakarta. Di Yogyakarta itu, teater memang sangat sulit berkembang disebabkan oleh kuatnya pengaruh paham sastra dalam memandang teater. Teater dilihat dari kaca mata sastra, bukan kaca mata teater itu sendiri. Sejarah teater di Indonesia telah berubah jauh dari apa yang kini ditulis di buku-buku berbahasa Indonesia. Sedangkan sejumlah buku terjemahan yang ada, mengalami kesulitan interpretasi karena bukan merupakan bagian dari eksplorasi teater kebayakan para pekerja teater di Indonesia. Memang sulit bagi seorang sastrawan untuk membaca teater pada saat sekarang ini, termasuk sdr. Shoim Anwar. Bahkan, masyarakat secara umum pun merasa ditinggalkan oleh gagasan teater satu dasawarsa terakhir. Kita memang membutuhkan para kritikus teater yang mampu menjembatani jurang yang semakin lebar tersebut.
Mengenai akar teater di Indonesia, Akhudiat mungkin benar. Tapi, teater Indonesia tetap memiliki akar. Sedikitnya ada tiga akar yang menjalar dalam tubuh teater modern di Indonesia. Pertama, akar “stambulan” yang membangun teater tradisional. Kedua, akar teater “Barat” yang membangun prinsip teater ATNI, Asdrafi dan teater-teater yang bercorak realisme, naturalisme, dan romantisme. Ketiga, akar eksperimental yang melawan prinsip legitimasi teks lakon. Ketiga akar ini bisa tumbuh secara sepihak, tetapi dapat pula merupakan gabungan dari dua akar, bahkan ketiga akar itu dapat berjalan beriringan. Inilah keunikan teater modern Indonesia bila dibandingkan dengan teater di Eropa dan Amerika, maupun teater di Asia, Afrika, dan Australia. Khusus teater di Eropa, mereka memiliki akar historis yang lebih jelas, terutama dengan kuatnya hubungan mereka dengan perjalanan teater sejak era klasik (Yunani Kuno). Diaspora teater modern Indonesia pun juga unik, karena kebudayaan itu memang berdiri bebas tanpa ada yang bisa menguntitnya --termasuk rezim otoriter Orde Baru sekalipun, sampai ke akar-akarnya. Lalu, siapa bilang terjadi “pembusukan sejarah” atau pelapukan?
Indra Tranggono mengatakan, "artinya, ide-ide estetik maupun ide-ide sosial yang terkemas dalam kreativitas teater, akhirnya gagal menjawab tantangan zaman, sehingga tak terhindar untuk menjadi usang, lapuk dan busuk". Sungguh ironis bila teater dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman melalui ide-ide estetik maupun ide-ide sosial. Ini merupakan pemikiran yang mengada-ada. Teater tidak lahir untuk mengubah masyarakat. Di Jerman, para salesman, tukang parkir, pegawai percetakan, politikus mengikuti latihan teater tidak untuk mengubah masyarakat Jerman. Mereka masuk ke teater untuk mengubah diri mereka sendiri, agar mereka mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Teater yang membesar-besarkan dirinya untuk dapat melakukan revolusi sosial atau mengubah keadaan masyarakat adalah teater-teater omong kosong. Sama omong kosongnya dengan teater-teater yang menyibukkan diri dengan drama-drama yang bukan presentasi dirinya. Peter Brook mengatakan teater dengan drama-drama semacam itu sebagai “teater sampah”. Karena perbudakan teks lakon itu juga melahirkan diktatoritas sutradara, dan hilangnya otoritas aktor sebagai manusia juga dalam teater. Seni teater adalah seni peran, pertama, terakhir dan selamanya, jelas Granville-Barker. Atau, Jerzy Grotowski menegaskan teater adalah pertemuan aktor dan penonton, tidak perlu ada tata rias bahkan panggung sekalipun.
Modal dasar teater adalah manusia yang memandang dan menjalani kehidupannya. Bukan yang lain. Kalau modal manajemen teater itu soal lain. Selama ini memang terjadi juga kerancuan dalam membedakan mana yang teater, dan mana yang manajemen teater. Karena pekerja teaternya merangkap untuk mencari uang, mencari penonton, mencari sponsor, dan mencari penulis untuk membicarakan teaternya. Sehingga, teater tidak dilihat dari kemungkinan eksploratif yang terjadi, tetapi bagaimana perburuan untuk menghidupi para pekerja teater tersebut. Hal ini memang tidak terpisahkan dengan kebijakan besar negara dalam memandang kesenian, termasuk teater. Pemerintah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membangun kehidupan teater.
Akhirnya, memang cukup menarik bila memandang gejala yang baru saja tumbuh di Indonesia dengan ikut sertanya sejumlah artis menjadi aktor dalam teater. Rendra pernah melakukannya di tahun 1987, ketika menampilkan Zoraya Perucha dalam lakon Oidipus Rex karya Sophocles di Balai Sidang Senayan Jakarta. Namun demikian, gejala yang baru saja muncul di Jakarta itu, lebih merupakan suatu tarik menarik dan upaya menghilangkan kesan, bahwa artis yang bermain di sinetron itu hanya jual tampang. Mereka ingin mengatakan, bahwa gue juga bisa akting lho. Dan, itu belum merupakan tradisi baru, atau pengaruh teater instan. Bila Royal Theatre Shakespeare London di pertengahan tahun delapan puluhan juga memainkan para artis dalam pertunjukannya, barangkali seperti yang dikatakan Akhudiat, yakni adanya kejenuhan dari penonton. Tapi, di Indonesia, penonton tidak mengalami kejenuhan. Yang terjadi adalah ketidaktahuan. Begitu pula dalam memandang teater modern di Indonesia yang penuh ketidaktahuan. Dan, itulah teater modern Indonesia. Apa mau dikata?

(Autar Abdillah, staf pengajar drama pada prodi Seni Drama, tari dan Musik (Sendratasik) FBS Unesa)