Senin, 22 Desember 2014



Seandainya “Dardanella” Masih Ada
Oleh Autar Abdillah

Dardanella adalah Toneel atau rombongan sandiwara yang pupuler pada 1926-1930-an. Sebuah kelompok teater yang lahir di Sidoarjo (21 Juni 1926) dan mampu berkeliling Asia, Eropa dan Amerika. Mungkin sulit membayangkan saat ini, bagaimana sebuah kelompok teater yang lahir di salah satu kota di Jawa Timur, mampu tampil di berbagai kota besar dunia. Untuk tampil berkeliling di kota-kota di Jawa Timur saja, bukan perkara mudah. Tapi, inilah salah satu ciri penting teater-teater yang mampu menangkap kebutuhan publik sekaligus “idealisme” senimannya. Inovasi-inovasi yang dilakukan bukan sekedar teks akademik, tetapi beroperasi di lapangan dan dirasakan langsung penikmatnya.
Piedro sang pendiri Dardanella menangani langsung persoalan-persoalan teknis pemanggungannya. Mulai penataan lampu dan panggung hingga mengelolanya menjadi pertunjukan yang menarik. Kemampuan kompleks yang saat ini justru dinilai tidak professional. Saat ini justru kemampuan yang terspesialisasi dianggap professional. Misalnya, kalau jadi sutradara ya sutradara saja, tidak usah mengurus manajemen, apalagi soal teknis, seperti lampu maupun tata artsitik. Terdapat pengecualian dengan penulis naskah. Saat ini, justru sutradara cenderung menulis naskah sendiri. Sedangkan di era Dardanella, justru dicari penulis-penulis tangguh agar dapat menjaga kesinambungan pertunjukan, mirip dengan perkembangan sinetron saat ini.
Persaingan antar kelompok dihadapi dengan berbagai cara, mulai merekrut pemain-pemain handal hingga cenderung “membajaknya”. Nama Riboet yang sudah popular pada masa itu dengan adanya kelompok Miss Riboet’s Orion, dia gunakan sebagai nama pemain. Tentu hal ini menimbulkan perselisihan, dan akhirnya nama pemain ini diganti dengan Riboet II. Ada saja akalnya untuk tetap membangun persaingan agar Dardanella sejajar dengan kelompok teater yang telah lebih dahulu populer. Hal ini bisa disebut sebagai catatan buruk pertumbuhan seni pertunjukan saat itu. Karena sudah menjadi kegiatan bisnis pertunjukan yang komersial, maka segala carapun dihalalkan oleh pemilik modal.
Perburuan pemain pun terus dilakukan Piedro yang berdarah Rusia dan lahir di Penang Malaysia ini. Piedro menemukan seorang gadis berusia 14 tahun ketika berkunjung ke Banyuwangi. Seorang penyanyi yang akhirnya menjadi primadona Dardanella dan mendunia. Gadis bernama Soetidjah inipun berganti nama Dewi Dja. Berawal dari menyanyikan lagu “Kopi Soesoe” yang terkenal pada saat itu, Dewi Dja tumbuh menjadi bintang dan dipinang oleh Piedro. Kemahirannya menyanyi juga diimbangi dengan kemampuannya menari dan berakting di panggung.

Menjaga Keseimbangan
Untuk tampil keliling dunia, mulai dari Singapura, Rangoon, India, Lebanon, Mesir, Muenchen, Amsterdam hingga kota-kota di Amerika, tentu Dardanella tidak seperti tampil di Indonesia. Dalam perjalanan kelilingnya, Dardanella mengganti namanya menjadi The Royal Bali-Jawa Dance. Artinya pertunjukan mereka lebih cenderung sebagai pertunjukan tari ketimbang teater. Ini adalah salah satu upaya menjaga kesimbangan yang dilakukan Dardanella. Tidak terspesialisasi dan mampu beadaptasi dengan ruang dan waktu pertunjukan yang dapat diterima publik.
Dalam perjalanan kelilingnya, mereka juga tidak tinggal di tempat-tempat mewah, tetapi bisa di kereta api/trem atau di rumah tokoh masyarakat yang bisa menerima mereka, seperti Mahatma Gandhi di India. Mereka mampu beradaptasi dan melakukan komunikasi yang efektif dengan publiknya. Semangat kebersamaan amatlah penting dalam membangun kekuatan kelompok dan “nafas” pertunjukan. Bersatu dengan publik agar mereka tetap menjadi bagian dari publik itu sendiri.
Di samping bermain untuk Dardanella, ternyata sebagian anggotanya juga terlibat dalam dunia film. Tidak ada batasan bahwa jika bermain untuk Dardanella, seseorang tidak bisa terlibat dalam aktivitas lainnya. Bahkan, Devi Dja juga membantu masyarakat Indonesia yang terlibat berbagai kasus dimana mereka mengadakan pertunjukan. Khususnya di Los Angeles, Devi Dja membantu pemuda-pemudi Indonesia yang terkait persoalan “budak-budak”.
Keseimbangan antara kehadiran Dardanella khususnya, pertunjukan dan atau dunia kesenian umumnya merupakan aspek penting kesenian di Indonesia hingga akhir 1990-an. Namun, memasuki era Millenium ini, nyaris tidak ada lagi keseimbangan yang mampu dijaga. Spirit Dardanella hanya terasa sebagai spirit masa lalu. Bagi kalangan remaja dan anak-anak muda malah tidak dapat merasakan bagaimana kerasnya pertarungan membangun kesenian maupun kebudayaan pada umumnya.
Jika saja Dardanella masih hidup saat ini, tentu akan sangat semakin bermakna persaingan dan perjuangan meraih kesuksesan dalam membangun kesenian. Riuh rendahnya pertarungan melahirkan karya-karya terbaik semakin kompetitif. Daya juang untuk hidup dan menghidupi berbagai bentuk seni semakin tinggi.
Dardanella adalah potret seni pertunjukan di Indonesia yang lahir dari spirit untuk membangun dunia seni pertunjukan “tanpa batas”. Terlepas dari kekurangan karena timbulnya persaingan bisnis pertunjukan yang sedemikian tinggi, upaya menciptakan persaingan itu sendiri menjadikan dunia seni pertunjukan semakin kompetitif dan berusaha untuk dekat dengan publiknya. Isu-isu seni pertunjukan yang selalu muncul hingga era 1990-an, menjadi titik tolak yang penting juga di era Dardanella. Namun kini justru melemah karena dunia seni pertunjukan lebih tertarik pada masalah-masalah teknis pemanggungan, bukan masalah yang paling serius yang sedang dihadapi publiknya.
Seni pertunjukan dan publiknya, seperti sedang bertarung untuk dirinya sendiri. Pada saat seperti ini, Dardanella kembali membawa bayang-bayang yang tak pernah hilang dalam khazanah seni pertunjukan di Indonesia umumnya, Jawa Timur khususnya.

(Autar Abdillah, staf pengajar konsentrasi Drama Jurusan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya)