Sabtu, 24 Maret 2012

MASA DEPAN DEWAN KESENIAN

Oleh Autar Abdillah

Pertanyaan mendasar ketika seseorang memasuki arena Dewan Kesenian adalah Mengapa Dewan Kesenian (harus) ada? Untuk menjawabnya, seseorang dapat (selalu) menggunakan sejumlah kategori, terutama kategori historis, filosofis maupun sosial.
Secara historis, Dewan Kesenian lahir pertamakali di ibukota Negara, Jakarta (17 Juni 1969) sebagai bentuk kepedulian seniman dalam menuntaskan keberadaan karya-karya seni yang dihasilkan. Ketuntasan disini membawa makna khusus bahwa setiap karya seni tidak hanya dinikmati oleh seniman semata, tetapi ada publik yang juga layak melakukan apresiasi. Dalam konteks seperti ini, melahirkan suatu karya seni bukanlah perkara mudah, butuh proses. Seniman harus melakukan dan menempatkan posisinya pada kedudukan yang khusus. Artinya, karya seni lahir dari seniman yang telah melewati berbagai batu ujian penting dalam proses berkaryanya. Pada era ini, perjuangan dan militansi berkarya menjadi penting, sehingga seniman disejajarkan dengan aktivitas intelektual lainnya.
Pada tingkat kedua (era 1980-an atau era Umar Kayam), Dewan Kesenian lahir sebagai manifestasi diperlukannya penghubung antara karya seni dan senimannya dengan para maecenas kesenian. Pada awalnya, pembicaraan tentang maecenas ini ditabukan oleh sejumlah seniman. Karena, karya seni dipandang sesuatu yang sangat sakral: dari proses yang panjang dan “berdarah-darah” (sebuah istilah yang selalu digunakan untuk menunjukkan bahwa karya seni lahir dari perjuangan yang sangat gigih dan keras). Pada tingkat ketiga, Dewan Kesenian menjadi mitra pemerintah dalam menumbuhkan dan memajukan kesenian di suatu daerah.
Jawaban yang sangat filosofis juga cukup menarik, bahwa Dewan Kesenian dapat turut serta memajukan pertumbuhan kesenian di suatu daerah. Sedemikian mulianya, dan pada posisi inipun menjadi sangat strategis, sehingga Dewan Kesenian menjadi penentu penting suatu kebijakan kesenian di suatu daerah. Dewan Kesenian membangun pemaknaan sekaligus pencitraan bagi kesenian yang dilahirkan para seniman, agar mampu diapresiasi secara utuh dan berdayaguna. Di samping itu, Dewan Kesenian juga harus mampu meningkatkan posisi tawar kesenian dengan seluruh komponen yang tumbuh dilingkungan kesenian tersebut.
Yang terakhir adalah kategori sosial, yakni Dewan Kesenian benar-benar menjadi bagian yang integral dengan masyarakatnya, bukan saja masyarakat kesenian, tapi seluruh komponen masyarakat yang mungkin terlibat dalam kesenian. Dewan Kesenian bukan saja melakukan sosialisasi kesenian, tapi juga membangun interaksi yang dinamis dengan masyarakatnya. Di samping itu, juga melakukan interaksi dengan institusi-institusi sosial maupun politik secara intensif.
Strategi Baru
Dewan Kesenian sebagai produk Orde Baru (ORBA) adalah sebuah kenyataan sejarah. Sebagai produk ORBA, tentu Dewan Kesenian membawa dengan sendirinya seluruh atau sebagian pola yang dibangun dalam pentas politik ORBA untuk memosisikan kesenian. Artinya, Dewan Kesenian belum benar-benar memiliki posisi tawar yang memadai jika berhadapan dengan strategi pembangun maupun pola kebijakan yang dibangun oleh suatu daerah. Akibatnya, dibutuhkan “the second hand” untuk menentukan pola kebijakan kesenian yang diinginkan atau dikehendaki komunitas kesenian. Menuju langkah ke depan dalam memandang masa depan Dewan Kesenian perlu dirumuskan kembali secara menyeluruh, baik melalui pemetaan yang faktual maupun melalui komunikasi langsung dengan publik kesenian itu sendiri.
Transformasi strategis dalam Dewan Kesenian perlu dipetakan kembali. Beberapa point pentingnya adalah 1) mengubah mindset teknokratis dan birokratis menuju mekanisme demokratis dalam penentuan hajat berkesenian, sehingga melahirkan pola yang lebih partisipatoris. Pola ini memungkinkan semua komponen kesenian melibatkan diri secara sukarela dalam berkesenian. 2) meminimalkan makna tunggal berkesenian yang tumbuh melalui pemusatan aktivitas kesenian yang dimungkinkan oleh adanya Dewan Kesenian. Dimanapun keberadaan Dewan Kesenian, lembaga ini tiba-tiba menjadi satu-satunya lembaga yang bisa melakukan komunikasi vertikal maupun horizontal dengan pemerintah daerah, sekaligus dengan publik keseniannya. 3) mereposisi struktur organik yang cenderung melemahkan posisi seniman dan aktivitas kesenian.
Ketiga transformasi strategis diatas merupakan starting point untuk memulai langkah ke depan Dewan Kesenian yang memungkinnnya bias berkomunikasi dengan nyaman dengan publik kesenian. Masa depan Dewan Kesenian ditentukan oleh bagaimana Dewan Kesenian mampu meluruskan jalan bagi terbangunnya komunikasi yang dinamis dan konstruktif bagi publik kesenian. Publik kesenian merupakan mata air yang sebaiknya selalu diberikan jalan menuju muara yang sejalan dengan seluruh kemungkinan aktivitas kesenian itu tumbuh dan berkembang.
Masa depan Dewan Kesenian adalah masa depan Kesenian dan Publiknya. Masa depan Dewan Kesenian adalah masa depan kebudayaan yang lahir dari tangan-tangan bersahaja menuju pembentukan makna kemanusiaan yang diharapkan bersama. Akhirnya, masa depan Dewan Kesenian adalah membangun makna relasional seluruh kebudayaan yang dilahirkan masyarakatnya. Selamat beraktivitas di Dewan Kesenian kabupaten Sidoarjo.

Selasa, 03 Januari 2012

Kultur Arek

Oleh Autar Abdillah

Arek adalah sintesis perjuangan. Sebuah karakter yang berkodefikasi kultural. Tapi bukan etnosentristik. Terbentuk dari alam yang keras, penuh bencana dan berkontribusi pada pertumbuhan zamannya. Sebuah konsepsi seduluran massif. Hampir tak bisa ditawar-tawar. Sebuah penyatuan berbagai konsepsi seduluran, seperti Cina, Arab dan Madura. Meskipun, Madura secara intrinsik juga terbangun dalam konsepsi seduluran Cina dan Arab.
Sintesis perjuangan arek adalah perlawanan naturalistik dan komunal. Pijakan naturalistiknya sangat erat dengan kondisi alam yang penuh tantangan di masa lalu. Inilah yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara. Daya juang yang tumbuh dalam manusia Arek adalah kemampuannya menempatkan diri secara simultan. Tidak gradual seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya dan kebudayaan yang banyak dipengaruhi kebudayaan Jawa maupun Sunda dan Melayu.
Satu hal lagi, adalah militansi. Arek bukan manusia yang mudah menyerah oleh keadaan apapun. Perbedaan mendasar sesungguhnya terjadi sepanjang tahun 1037-1468 Masehi atau selama 431 tahun, terutama setelah tercatatnya aktivitas gunung Kelud yang mengalirkan lahar dinginnya melalui sungai Brantas, ”… dalam waktu mana diperkirakan telah terjadi letusan gunung Kelud 431:20=22 kali, berturut-turut telah tertutup Bengawan antara Jagir dan Waru, lalu Bengawan antara Taman dan Waru, dan Bengawan Terung antara Jeruk Legi dan Taman” (Sugiyarto; dalam Wiwik Hidayat, 1975: 60).
Memasuki abad 20 hingga abad Millenium ini, Arek mengalami tafsir yang cenderung logosentrik. Arek adalah 1945, adalah hari pahlawan, adalah Suroboyo dan seterusnya. Terjadi penyempitan ruang yang sedemikian rupa membuat Arek mengalami kontaminasi historis. Artifisialitas geneologis dari sejumlah perilaku yang disepadankan dengan masa kini. Masa kini Arek adalah masa kini kultural yang terbentuk dari persenyawaan antara berbagai kultur yang tumbuh bersamanya. Meminimalkan salah satunya, adalah menjerumuskannya pada simplifikasi peradabannya sendiri. Inilah yang sedang terjadi dan sebaiknya direkonstruksi kembali.
Rekonstruksi kultur Arek adalah membuka seluruh pintu gerbang keberadaannya. Menerima secara sadar dan terbuka terhadap unsur-unsur pembentuknya. Bukan mempertahankan diri pada situasi kekinian yang telah mengalami kontaminasi historis. Kontaminasi historis ini juga berakibat pada rendahnya pemahaman generasi masa kini terhadap konteks sosio-kultural Arek. Yakni, masyarakat kampung dengan segala pandangan keterbelakangannnya. Kekumuhan dan ketidakberdayaan disimplifikasi pada kampung.
Masyarakat kampung, bukan masyarakat yang terstratifikasi seperti sekarang ini. Tetapi adalah masyarakat baru yang terbentuk dari pembenahan moralitas dan disiplin Hindu-Jawa. Jika ingin ditarik lebih jauh, maka masyarakat kampung adalah pembentuk jiwa, ideologi dan pengetahuan yang selalu dikesampingkan dalam memahami Kultur Arek. Akibatnya, Arek menjadi ilusi masa lalu.
Arek dan kampung adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui dinamika kampung, Arek tersublimasi menjadi sebuah gerakan bersama. Pelabuhannya adalah integrasi sosial yang mampu menyederhanakan problematika berkehidupan di tengah-tengah masyarakat. Penyederhanaan ini bisa dimaknai sebagai pemberian nuansa ketenteraman, keselamatan dan keguyuban. Disinilah kebiasaan-kebiasaan dikembangkan menjadi tradisi maupun sebagai pengetahuan antar masyarakat dalam kultur Arek.

Autar Abdillah, staf pengajar jurusan Pendidikan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Sedang menulis Disertasi tentang Perbandingan Diskursus budaya Arek dan Mataraman pada Program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya
Dimuat di majalah Seni dan Budaya "ALUR" Dewan Kesenian Surabaya
Edisi 001/Januari 2012