Rabu, 01 Juli 2009

Pemetaan Kehidupan Teater di Indonesia

Autar Abdillah

Ada tiga hal yang pertama – tama harus kita pertanyakan, ketika kita hendak mencoba untuk melakukan pemetaan terhadap kehidupan teater di Indonesia. Pertama apakah yang hendak kita petakan dalam sesuatu teater di Indonesia tersebut? Apakah aktivitas teaternya, pandangan – pandangan teater yang muncul dari berbagai aktivitas tersebut, ataukah tokoh – tokoh penggerak teater yang harus kita tempatkan sebagai suatu momen kemunculan dari sesuatu teater tersebut.
Kedua, dengan pendekatan apakah, kita mencoba memandang sesuatu teater tersebut, tumbuh di antara berbagai pertumbuhan aktivitas di dalam kesneian. Pendekatan sejarah, seperti yang dilakukan oleh Jacob Sumardjo misalnya, meskipun sangat representatif dalam mengetahui perkembangan teater di Indonesia, namun kita sangat sulit untuk mengetahui, apakah teater itu benar – benar hidup dalam konsekuensi zaman, yang menunjukan zaman, di mana masyarakat Indonesia – baik secara sosiologis maupun antropologis, misalnya – berada dalam yang sebenarnya, karena, kesejarahan yang digunakan Jacob, tidak menunjukan suatu realitas sosio – historis yang ditempuh masyarakat, maupun kebudayaannya di dalam aktivitas teater di Indonesia. Hal ini cukup penting, karena aktivitas teater di Indonesia pada "masa lalu" di masa kini, sangat berkaitan dengan berbagai konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi masyarakatnya.
Ketiga, bagaimanakah konsekuensi pemetaan tersebut, terhadap cara memandang teater dari masyarakat teater itu sendiri, terutama dalam merangsang pertumbuhan serta pengembangan teater, yang mampu meningkatkan upaya – upaya penjelajahan, penelitian, serta pencarian – pencarian yang dibutuhkan teater dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Tantangan yang dihadapi teater itu, tidaklah semakin kecil dengan "presentasi massal" teater, seperti sebuah festival, atau berbagai diskusi yang membicarakan teater itu sendiri.
Ketiga pertanyaan diatas, berguna bagi kita untuk menjelaskan, apakah Festival Teater Nasional yang berlangsung di Bandung, 3 – 7 Oktober 1996 memiliki dampak terhadap kehidupan teater itu sendiri, diseluruh pelosok tanah air. Melalui tema festival, "peta khidupan teater Indonesia masa kini" kita dapat menangkap, ada upaya untuk mencoba menelusuri pertumbuhan dan pengembangan teater itu sendiri, yang terus menerus mengalami gempuran terhadap kemungkinan presentasinya.
Satu kerumitan yang kita temukan dalam memahami tema festival itu, adalah karena kita belum memiliki (1) satu lembaga. Apalagi sejumlah lembaga yang terus menerus melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan kehidupan teater kita, menyangkut pendataan – pendataan dan analisis objektif dari kehidupan teater, (2) tingkat rasionalisasi kita dalam menempuh cara pandang teater yang mengarah pada penemuan kinerja teater yang sejalan dengan pikiran – pikiran yang terdapat di dalam kerja teater itu sendiri, zaman, kebudayaan, masyarakat, serta (3) kerja keras dan satu kejujuran dalam menempatkan teater sebagai kerja profesional dan dapat menjadi "jalan hidup", yang mampu membuka berbagai kemungkinan kehidupan itu sendiri.
Sesungguhnya, apa pun yang menghadang aktivitas teater di Indonesia itu, teater tetap ada. Teater terus bergulir dari satu panggung pertunjukan ke panggung pertunjukan yang lain. Para pekerja teater terus melakukan upaya – upaya kongkret dalam mempresentasikan gagasan – gagasan, mimpi – mimpi, khayalan dan harapan akan adanya perubahan di dalam menjalani kehidupan berteater itu sendiri. Nyaris pekerja teater kita itu, tidak mengenal lelah untuk menyatakan dirinya, bahwa teater tetap ada, dan teater tetap mendapat dukungan oleh masyarakat pendukungnya masing – masing.
Hanya saja, dalam mengejar dan memicu diri, menuju suatu kerja teater yang benar – benar komprehensif dan "paripurna", teater mulai berhadapan dengan persoalan – persoalan yang prinsipal, substansial, atau mungkin sangat esensial dalam menempatkan diri, di tengah – tengah realitas kehidupannya yang terguncang sedemikian rupa serta terhimpit tak berdaya berhadapan dengan pergolakan dan mobilisasi kehidupan kemanusiaan yang begitu menyesakkan.
Lebih jauh, kita hendak mengingatkan beberapa hal dari upaya yang tidak kalah gigihnya, dalam upaya membuat suatu peta bagi kehidupan teater itu sendiri.
Di sini, kita harus secara jernih melihat, bahwa tater bukan sesuatu yang hanya merupakan proses berlangsungnya pemikiran di dalam kehidupan. Tetapi adalah menyaksikan kehidupan itu di dalam proses perjalanan hidup manusia dalam mengola dirinya. Meminjam istilah Yeats – seperti dikutip oleh Steven Connor dalam bukunya Post modernist Culture, an Intropuduction to Theories of the Contemporary- bahwa theatre bussines, management of man.
Teater– bagaimanapun juga- merupakan suatu proses pengolahan diri manusia. Dengan demikian, indikasi – indikasi teater, adalah sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan manusia. Variabelnya adalah pernyataan manusia dalam presentasi dirinya di hadapan hubungan antar manusis yang terjadi. Jadi, bukan teater siapa yang sedang berlangsung. Bukan pula siapa yang mempresentasikan dirinya kepada siapa yang lain. Tetapi, apa yang mempresentasikan apa di dalam diri kita masing – masing. Dan, memiliki konsekuensi apa keberadaan dan kemakhlukan di dalam teater itu, memasuki konsekuensi keberadaan dan kemahklukan yang lain.
Mengelola diri manusia, tidak hanya berlangsung di dalam presentasi itu sendiri. Tetapi jauh sebelum presentasi itu, ketika proses teater berlangsung di dalam "laboratorium", pengelolahan diri manusia itu sudah berlangsung secara intensif. Proses pengelolahan diri itu, berlangsung secara alamiah di dalam diri masing – masing pelakunya, dan semua yang terlibat di dalamnya. Tidak ada yang bisa menolak, kecuali bila dirinya ingin mencampakkan kediriannya di dalam energi teater itu sendiri.
Jadi, tidak dipandang pada tokoh pelakunya, tetapi apa yang terjadi pada teater itu membawa konsekuensi kemanusiaan; bagaimana manusia mengelola dirinya. Dan pendekatan yang dilakukan, tentulah berhubungan dengan hidup kemanusiaan itu sendiri, secara substansial. Maka, bila suatu pemetaan tidak berangkat dari mekanisme seperti ini, kita semua, kehidupan teater itu, tidak akan kita temukan.
Pemetaan kehidupan teater, dalam kajian kemanusiaan – misalnya, salah satunya lewat disiplin humaniora – dan yang banyak kita lakukan sekarang ini, masih tidak lebih dari "wewangian" yang merangsang teater, untuk menggambarkan jejak yang menapak, tanpa bisa ditemukan perspektif kehidupan teater itu sendiri, di dalam ruang – ruang kerja para pelaku teater yang dengan persoalannya masing – masing harus berperang sampai titik darah penghabisan.
Surabaya Post, Minggu, 6 Oktober 1996, seni

Teater Kampus di Jawa Timur

Autar Abdillah

Kelahiran teater kampus secara intrinsik merupakan sinergi antara teater rakyat-tradisional yang mulai memudar, dengan munculnya kaum terpelajar kota yang datang dari pedesaan. Sinergi ini menemukan format teater yang eksploratif. Di satu sisi menggunakan formasi rakyat-tradisional, seperti Ludrukan, Lenongan maupun Kethoprakan-Sampakan. Di sisi lain, memunculkan drama-drama "Barat" yang merupakan bahan studi di kampus, seperti drama-drama dari pengarang Yunani, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman, antara lain Sophocles, Anton Chekov, August Strinberg, Hendrik Ibsen, Tenneese William, Eugene O'nell, Johann Wolfgang von Goethe, hingga Samuel Beckett, Harold Pinter dan Eugene Ionesco. Sedangkan pengarang drama-drama Indonesia yang ambil bagian dalam permulaan teater kampus ini, diantaranya Utuy Tatang Sontani, Roestam Effendi, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, CM Naas, Kirjomulyo, Akhudiat, Iwan Simatupang, dan saduran-saduran yang luar biasa dari WS Rendra, serta drama-drama dari pengarang daerah yang berangkat dari sejarah maupun legenda.
Pertemuan kedua unsur yang relatif berlawanan ini cukup menarik dan unik. Keunikan tersebut seiring dengan masuknya paham-paham teater, antara rakyat-tradisional dengan teater "Barat" yang didominasi oleh lahirnya aliran realisme, naturalisme, romantisme hingga absurdisme. Perdebatan terhadap paham-paham ini tidak pernah selesai, bahkan hingga saat ini. Ketidakselesaian perdebatan tersebut dikarenakan oleh masuknya paham-paham baru secara hampir bersamaan, yang juga melahirkan sinergi baru, meskipun tidak terlalu kental seperti sinergi yang pertama. Itulah sebabnya, mengapa teater kampus nyaris tidak mampu melahirkan atau memunculkan ideologi-ideologi besar dalam teater. Hal ini berbeda dengan perkembangan di dunia sastra kampus. Meskipun dunia sastra kampus tidak banyak melahirkan karya sastra yang fenomenal, namun sastra kampus mampu menjadi bagian penting dalam lahirnya ideologi-ideologi sastra. Hal ini juga terjadi di dunia seni rupa. Sedangkan di dunia tari dan musik nyaris sama dengan apa yang terjadi pada teater kampus.
Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa teater kampus pada awalnya memiliki posisi yang strategis, dan bergengsi. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat, bahwa kampus merupakan tempat berlangsungnya proses eksplorasi intelektual yang intensif dan dinamis. Sehingga, teater-teater di luar kampus banyak yang belajar dari cara-cara berteater orang-orang kampus. Dan, orang-orang kampus pun menyambut interaksi ini dengan sangat antusias. Maka, terjadilah sinergi ketiga yang makin menarik, dan konstruktif. Tidak ada eksklusivitas. Tidak ada saling serang, dan sinisme yang berlebihan. Namun demikian, justru teater di luar kampus yang mengalami kompetisi kurang produktif, terutama dengan mulai maraknya lomba-lomba yang menguji kemampuan masing-masing teater. Persaingan internal pelaku teater yang kemudian memandang teater sebagai kekuatan massa, membuat teater di luar kampus mengalami kesulitan komunikasi yang cukup berarti.
Teater kampus memang telah menjadi cermin kekuatan kaum terpelajar di Indonesia. Mereka melakukan eksplorasi secara aktif, agresif, dan eksperimentatif. Bahkan, kalangan teater kampus menjadi motor penggerak bagi lahirnya aksi-aksi kritis. Dengan adanya aksi-aksi kritis tersebut, dan bersamaan dengan itu peta politik pun berubah menjadi sangat represif dan otoriter, maka ruang gerak teater kampus pun mengalami pergeseran. Muncul sejumlah pembatasan-pembatasan, hingga pelarangan-pelarangan. Komunikasi antara teater kampus dengan dunia luar pun mulai mengalami penurunan drastis. Kalangan kampus melakukan interaksi secara sembunyi-sembunyi hingga hilang sama sekali. Hal ini berdampak cukup besar pada kepercayaan masyarakat yang kemudian melihat kampus sebagai menara gading yang mencoba mengasingkan diri dengan masyarakat. Akhirnya, kalangan kampus tetap mencoba berbicara atau menyuarakan aspirasi masyarakat, meskipun itu hanya teriakan-teriakan, dan selanjutnya mengalami distorsi yang melebar. Pembicaraan yang sekedar basa-basi tak terhindarkan lagi.
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia kampus --sebagai akibat kebijakan politik yang otoriter dan represif, bahkan feodalistik, secara tidak langsung mempersempit ruang interaksi yang pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang kampus mulai dirasuki oleh doktrin-doktrin kebenaran palsu rezim yang berkuasa, baik melalui kurikulum pendidikannya, maupun pada kinerja organik di dalam kampus. Teater kampus tidak terkecuali, mereka mengalami pembatasan dalam menampilkan lakon-lakon tertentu. Kegiatan intelektual diseleksi sedemikian rupa. Bahkan berhubungan dengan masyarakat pun menjadi sesuatu yang muskil.
Setelah terjadi perubahan politik yang cukup mendasar, sebagaimana mulai dirasakan sekarang ini, yang terjadi justru semacam romantisme pada ritus kepahlawan. Teater kampus menempatkan dirinya sebagai media untuk melakukan pembedahan terhadap persoalan masyarakat. Di samping itu, eksperimentasi terhadap berbagai format teater pun mulai semakin bermunculan. Format-format teater tersebut, dapat kita bagi ke dalam tiga dimensi pemikiran. Pertama, terater rakyat-tradisional. Kedua, drama realisme. Ketiga, teater eksperimental. Ketiga format ini, yang paling dominan adalah format eksperimental, seperti yang terjadi pada Pekan Seni Mahasiswa Regional maupun Nasional yang berlangsung di Surabaya dua tahun silam, dan beberapa festival teater yang di gelar beberapa kampus akhir-akhir ini.
Dalam format eksperimental tersebut, terdapat beberapa persoalan yang unik karena dasar pemikiran eksperimental itu lebih merupakan perpanjangan tangan dari format teater rakyat-tradisional, dan drama realisme. Sehingga, substansi eksperimental itu sendiri tidak menyentuh sasaran yang sesungguhnya, kecuali hanya pada perbedaan format semata. Jadi, paham eksperimental itu sendiri justru tidak dimiliki oleh teater kampus di Jawa Timur. Dari sekitar 20 teater kampus --termasuk teater dari fakultas-fakultas, yang aktif di Jawa Timur, 90 % diantaranya menjalani format eksperimental tersebut. Alasan pemilihan format eksperimental ini, kelihatannya lebih disebabkan oleh anggapan adanya kemudahan dalam melakukannya. Bukan oleh kemampuan pemahamannya, atau adanya konteks-konteks sosial, antropologis maupun politik yang lebih realistik.
Format eksperimental atau yang cukup dikenal dengan format Artudian, dan beberapa penggagas lainnya, seperti Jerzy Grotowski, Eugenio Barba, Peter Brook, Meyerhold, Richard Foreman, maupun Okhlopkov, Savary, dan Vakhtangov. Sedangkan di Indonesia, pandangan tertuju pada Putu Wijaya, Boedi S Otong, Dindon, dan akhir-akhir ini Rachman Sabur. Format ini bukan saja membangun sinergi dari apa yang pernah dilahirkan sebelumnya, tetapi juga sesuatu yang belum bisa dinamakan. Dari format ini, lahir gagasan-gagasan yang mempertegas penolakan terhadap "penindasan" teks --terutama drama/lakon, yang sebelumnya menjadi titik pijakan utama dunia teater. Selanjutnya, upaya mengaktualisasikan diri manusia yang sudah terperangkap pada peniadaan esensi kehidupan yang manusiawi dari hubungan antar manusia maupun antar manusia dengan dunia kesenian.
Bisa dikatakan bahwa teater kampus di Jawa Timur yang menjalani proses eksperimental tersebut memerlukan gizi baru untuk membangun pemahamannya. Gizi baru tersebut adalah kemauan untuk menjalin kembali ikatan atau interaksi dengan publik. Karena, teater adalah hubungan aktor dan penonton. Alienasi terhadap publik hanya akan membuat teater sebagai tirani baru. Inilah yang hendak dilawan oleh para pencetus teater eksperimental. Di samping itu, konstruksi publik bukan pada pihak yang dibicarakan. Tetapi, pada pihak dan tingkat yang saling melakukan pertukaran, dan menghindarkan diri narasi besar yang menjadi salah satu kahazanah yang dibangun eksperimentasi teater.
Diantara teater kampus yang aktif melakukan eksperimentasi terhadap khazanah teater dan relasi teks (lakon/drama) adalah teater Crystal (UPN Veteran), teater Puska (Universitas Airlangga), teater Dua Puluh (IAIN Sunan Ampel), teater Institut (Universitas Negeri Surabaya), teater Universitas Brawijaya, teater Universitas Wijaya Putra,, teater Joss (Universitas Dr. Sutomo), teater Unisma, dan teater beberapa fakultas-fakultas di Universitas Muhammadiyah Malang.
-Makalah Kemah Seni (Teater) Kampus se Jawa Timur, 24 Mei 2002 di Komunitas Teater Universitas Islam Malang dan dimuat di Kompas (Jawa Timur)