Kamis, 22 Desember 2011

Pembelajaran Pantomime Anak Usia Dini dan TK

Oleh Autar Abdillah S.Sn., M.Si




I.Sekilas Sejarah Pantomime
Pantomime diperkenalkan di Inggris sebagai sebuah pertunjukan hiburan untuk bersenang-senang. Pantomime bermula dari Commedia dell’Arte atau Komedi Seni di Italia. Pada Komedi Seni ini yang tumbuh pad 1550-an ini merupakan sebuah reaksi politik yang tidak memungkinkan pertunjukan dengan menggunakan terlalu banyak kata-kata, terutama kata-kata yang bermakna politik dan yang tidak memberikan kontribusi pada syiar agama. Komedi seni ini menjadi sangat penting, karena memberikan kesempatan berimprovisasi dengan berbagai hal yang sedang actual –tentunya tidak menyinggung masalah politik dan kekuasaan.

Pada masa komedi seni ini digunakan topeng untuk menyembunyikan wajah pemain –disamping menambah kesan lucu. Sedangkan pada panto-mime, wajah tidak lagi menggunakan topeng, tapi dilukis maupun diberi aksentuasi secara langsung (atau di-make-up). Memasuki akhir abad 19 hingga saat ini, Pantomime semakin popular dan ditujukan untuk anak-anak, baik di Inggris maupun di Australia, Kanada, Amerika, Jepang (Tokyo Mime City) dan kini di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Di Indonesia, pantomime tidak terlalu berkembang, karena kurangnya pertunjukan-pertunjukan yang diselenggarakan. Di Jakarta dikenal nama-nama seperti Septian dan Didi Petet. Di Yogyakarta seorang tokoh pantomime yang masih aktif, seperti Jemek Supardi.

Performance Masks by Alyssa Ravenwood

Bagaimanapun juga, pantomime merupakan pertunjukan kreatif yang didukung oleh kemauan dan kemampuan untuk menjelmakan peran-peran tertentu tanpa harus berkata-kata. Atau, pantomime merupakan seni “bercerita” dengan menggunakan gerak dan emosi, tanpa berkata-kata. Unsur-unsur komedian sebagai peninggalan Commedia dell’arte dan tujuan-tujuan untuk memberikan hiburan, melekat dalam proses maupun pertunjukan pantomime. Namun demikian, proses-proses mendasar dalam pantomime, terutama yang berkaitan dengan persiapan tubuh dan daya imajinasi sangat diperlukan. Hal ini tentu bukan berarti bahwa pantomime sesuatu yang sulit. Pantomime dapat menjadi mudah, jika dalam prosesnya kita benar-benar menyadari proses kreatif dan langkah-langkah persiapan yang sesuai dengan kebutuhan pertunjukan pantomime itu sendiri. Berikut beberapa langkah proses kreatif yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk meulai sebuah proses pantomime.

Proses Kreativitas

Memasukkan Mengalami serangkaian Terus diperluas dan diperdalam

Data Panca Indera

Merasakan Menghayati segala Mendengarkan suara batin

Yang dirasakan tubuh dengan kepekaan yang tinggi

Membayangkan Menyadari berbagai Bayangan muncul dan

bayangan berinteraksi secara bebas

Mengejawantahan Mengejawantahkan Gerakan menuju metafora

Perasaan bayangan

Ke dalam gerak

Pembentukan Memadukan segala Pembentukan secara intuitif

Pengalaman batin dari curahan perasaan

(Hawkins, 2003: 88)

Proses kreatif Hawkins ini memang sangat umum. Untuk itu, perlu dutegaskan beberapahal. Dalam proses kreatif, seseorang didorong untuk memasukkan sejumlah data yang diperlukan dalam proses kreatif. Data tersebut diserap oleh panca indera dalam kehidupan sehari-hari maupun melalui sebuah upaya yang bersifat khusus, yakni melalui sebuah proses latihan. Semua data itu, kemudian dikembangkan dan diperdalam. Proses selanjutnya adalah merasakan, bahwa semua data yang masuk dihayati oleh seluruh tubuh. Tubuh membangun kepekaan secara menyeluruh dan semakin lama semakin tinggi. Tubuh benar-benar merasakah semua data atau sebagian data yang dianggap penting dalam keberlangsungan proses kreatif yang dijalani.

Kemudian seseorang keluar membangun bayangan maupun mengembangkan imajinasi yang dimilikinya. Dalam proses ini, kesadaran sangat penting dalam mengolah bayangan, sehingga bayangan tersebut dapat berinteraksi dengan dirinya secara bebas. Pengertian secara bebas disini adalah adanya kepedulian dan keinginan untuk menangkap semua bayangan tanpa ada yang menghalangi. Suasana batin sangat menentukan proses ini. Dalam kondisi ini dilanjutkan dengan melakukan pengejawantahan atau perwujudan. Bayangan yang sudah berproses dialirkan ke dalam berbagai kemungkinan gerak. Bergeraklah sesuai dengan kemampuan menangkap atau menghayati bayangan. Buatlah metafora-metafora yang melalui pengejawantahan yang “masuk akal”atau dapat dipahami secara umum dalam interaksi sehari-hari alias tidak “menganeh-aneh”.

Selanjutnya masuk dalam pembentukan. Pembentukan merupakan hasil seleksi dari sekian proses yang sudah berlangsung. Pengalaman batin maupun pengalaman sosial, kehidupan sehari-hari maupun konstruksi bayangan yang sudah ditemukan itu memerlukan intuisi dari seseorang dalam menemukan arena melalui media yang tersedia. Perasaan menjadi penting karena dalam pembentukan ini ada ruang-ruang, ada ide-ide hingga pengalaman hidup yang diharapkan dapat melakukan kombinasi secara dunamis.



II.Pantomime Usia Dini
Pantomime bagi anak usia dini merupakan perpanjangan tangan dari pertumbuhan ekspresi anak. Sejak lahir, anak-anak belajar berekspresi dari lingkungannya. Upaya yang dilakukan anak-anak pada usia dini, berkaitan erat dengan pertumbuhan fisik dan genetika yang dimilikinya. Secara fisik, anak-anak lebih menggunakan tangisan untuk memberitahukan pada orang lain, segala sesuatu yang dirasakannya kurang senang, rasa sakit, haus maupun lapar. Sedangkan secara genetika, anak pada usia ini mengikuti lebih besar sifat-sifat yang dimiliki kedua orangtuanya.

Pembelajaran Pantomime bagi anak usia dini sangat berkaitan dengan membangun kesadaran diri, physicalization (mengembangkan pertumbuhan fisik anak), bekerja kooperatif, dan tentu saja, akting. Untuk itu, pemusatan perhatian pada kondisi anak menjadi hal utama. Anak-anak sebaiknya mengalami proses pengkondisian, merasa senang, dan memiliki kebebasan memilih serta mampu mencerna proses yang akan dijalankan. Asosiasi- asosiasi anak atau bayangan-bayangan visual anak menjadi salah satu titik tolak untuk mendorong anak mengenal lebih jauh bentuk visual dari orang dewasa. Objektivikasi bentuk visual anak dikreasikan kembali menjadi bentuk-bentuk yang indah dan menarik. Tentunya, menarik bagi anak-anak usia dini dan indah bagi seorang guru yang melakukan kreasi. Anak-anak belum mampu mencerna keindahan dalam objek yang menarik bagi mereka.



III.Pantomime di Taman Kanak Kanak
Pada usia sekolah, misalnya dimulai pada usia playgroup atau PAUD, Pantomime dapat dibagi dalam dua bentuk, yakni pantomime yang non cerita dan pantomime yang bercerita. Pantomime yang non cerita merupakan pantomime yang hanya mempertunjukan unsure-unsur yang sederhana. Misalnya, berlari atau berkejaran, berjalan-jalan, bertepuk tangan gembira ketika membayangkan atau mengimajinasikan suatu peristiwa yang menakjubkan. Sedangkan pantomime bercerita dapat merupakan suatu permainan pantomime yang mengikuti suatu cerita tertentu. Misalnya, cerita seorang anak yang terlambat ke sekolah, bisa pula cerita rakyat, dan cerita yang popular, seperti Cinderella, Pinokio, atau Si Kancil, Si Belalang, Berkebun dan sebagainya.

Karakter di masing-masing Taman kanak-kanak jelas berbeda. Demikian pula dengan kemampuan anak didik dalam menyerap proses berpantomime ini. Namun, satu hal yang dapat ditemukan kesamaannya adalah dunia bermain anak-anak yang menginginkan dan mampu membangun empati terhadap setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Anak-anak TK justru memiliki kemampuan empati saat mereka melakukan interaksi. Mereka akan turut sedih jika temannya menangis, meskipun tangisan itu disebabkan oleh dirinya sendiri. Pola interaksi ini cukup unik pada dunia anak TK, karena mereka belum menyadari hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa. Untuk itu, dalam pantomime ini, narasi kelucuan dan hiburan sangat memungkinkan dihidupkan melalui pola interaksi yang terdapat pada anak-anak, bukan pada “pandangan” orang dewasa.



IV.Langkah-langkah Pembelajaran dan Pelatihan
a.Pemanasan dan Pelemasan
1.Berlari-lari kecil di tempat
2.Menggerakkan kepala:
- Menekan kepala ke depan dank e belakang

- Menekan kepala ke kiri dank e kanan

- Menoleh ke kiri dank e kanan

- Memutar kepala dan diulangi dengan arah sebaliknya

3.Menggerakkan bahu
- Menggerakkan bahu ke atas dank e bawah

- Menggerakkan bahu ke depan dank e belakang

- Memutar bahu

4.Menggerakkan tangan hingga jari jemari
- Menggerakkan pergelangan tangan

- Menggerakkan jari jemari

5.Menggerakkan pinggul
- Menggerakkan ke kiri dank e kanan

- Menggerakkan ke depan dank e belakang

- Memutar pinggul

6.Menggerakkan lutut
- Menggerakkan ke kiri dank e kanan

- Menggerakkan ke depan dank e belakang

- Memutar lutut

7.Senam Wajah
- Menggerakkan alis mata

- Menggerakkan pelupuk mata

- Menggerakkan kening

- Menggerakkan mulut

- Menggerakkan pipi

8.Kembali berlari-lari kecil di tempat sambil bertepuk tangan
9.Menghela napas


b.Imajinasi Benda
1.Membayangkan penggunaan benda-benda di sekitar, seperti gelas, kursi, kayu, batu, dan lain-lain
2.Menggunakan benda-benda itu dengan menyesuaikan bentuk dan berat benda serta penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari
3.Menyadari kadar tekanan, bawaan maupun interaksi benda dengan tubuh. Misalnya: interaksi bola yang melambung berbeda dengan tali yang ditarik
c.Eksplorasi Emosi dan Perilaku
1.Menentukan berbagai bentuk emosi: marah, menangis, tertawa, ngambek, terkejut, takut, ngeri dan sedih
2.Memberikan arahan tentang peristiwa emosi yang akan dilakukan
3.Melakukan dan membentuk perilaku emosi secara bergantian
4.Mempertemukan (berpasangan) bentuk-bentuk emosi
d.Mencipta Bentuk
1.Bentuk dasar (perhatikan pergerakan tubuh)
i.Berjalan
ii.Memegang benda
iii.Mengangkat benda
iv.Menarik benda
v.Menekan sesuatu (bisa dinding, tubuh temannya dan benda lainnya)
vi.Melempar
2.Bentuk imajinatif
i.Berjalan sambil melambaikan tangan
ii.Memegang sambil membayangkan benda-benda, seperti gelas, tas, bola
iii.Mengangkat sesuatu yang ada dalam bayangan anak-anak
iv.Menarikdan saling menarik satu sama lainnya
v.Menekan maupun bersandar pada suatu objek
vi.Melempar sesuatu ke arah yang diinginkan
e.Membuat Cerita/Narasi
1.Narasi dapat berupa cerita sehari-hari maupun dari legenda
2.Narasi dibuat sederhana dengan tokoh-tokoh/peran yang sederhana. Misalnya, Kancil yang licik, Anak yang rajin
3.Mulailah dengan sebuah cerita agar anak-anak dapat membangun imajinasi peristiwa maupun dapat mengembangkan dan menyesuaikannya dengan pengalaman yang ditransformasikannya.
f.Make-up dan Kostum
1.Make-up dan kostum berguna untuk mempertegas peran yang dimainkan
2.Make-up dan kostum akan lebih baik jika mampu mendorong gerak yang sesuai dengan peran
3.Kemampuan melakukan peran-peran tertentu dapat mengubah make-up dan kostum menjadi bagian yang sekunder.


V.Memulai dengan Keyakinan
Pertanyaan yang sering muncul ketika memulai sesuatu adalah bagaimana cara memulainya. Dalam proses kreatif, dikenal adanya motif. Motif akan menjadi titik tolak seseorang untuk memulai suatu proses. Motif merupakan titik sasaran seseorang dalam bertindak. Maka, mulailah denga menentukan motif Anda memulai sesuatu. Misalnya motif memberdayakan anak didik, memberdayakan diri sendiri, pergaulan, menumbuhkan rasa ingin tahu, ingin belajar dan sebagainya. Motif-motif ini akan menentukan tindakan seseorang dalam proses kreatif. Semakin baik motif yang dipilih, maka semakin tinggi pula upaya yang dilakukan dan semakin baik pencapaian dari motif tersebut.

Motif yang dimiliki, selanjutnya diikuti dengan niat dan kemauan untuk menjalankannya sebaik mungkin. Ikutilah tahap demi tahap dari proses kreatif dan ikuti pulalah kemauan keras untuk dapat menjalaninya. Bisa dilakukan dengan proses belajar dan melakukan eksplorasi terus menerus. Dalam proses kreatif, selalulah berpikir positif. Kenali dan perdalamlah semua temuan yang muncul dalam pikiran maupun perasaan. Berdiskusilah dengan setiap temuan maupun setiap upaya yang dilakukan agar temuan itu mampu menjadi sebuah hasil yang lebih baik. Sebagai sebuah pertunjukan, pantomime sangat memperhatikan aspek-aspek daya tarik, daya juang, kerjasama, sinergi, dan penyelesaian yang konstruktif-dinamis.

Lakukan, lakukan dan lakukan. Bereksplorasi dengan kebebasan penuh. Tataplah semua kemungkinan agar menjadi kenyataan. Selamat mencoba dan selamat bekerja…

Rabu, 21 Desember 2011

Kultur Arek

Autar Abdillah

Arek adalah sintesis perjuangan. Sebuah karakter yang berkodefikasi kultural. Tapi bukan etnosentristik. Terbentuk dari alam yang keras, penuh bencana dan berkontribusi pada pertumbuhan zamannya. Sebuah konsepsi seduluran massif. Hampir tak bisa ditawar-tawar. Sebuah penyatuan berbagai konsepsi seduluran, seperti Cina, Arab dan Madura. Meskipun, Madura secara intrinsik juga terbangun dalam konsepsi seduluran Cina dan Arab.
Sintesis perjuangan arek adalah perlawanan naturalistik dan komunal. Pijakan naturalistiknya sangat erat dengan kondisi alam yang penuh tantangan di masa lalu. Inilah yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara. Daya juang yang tumbuh dalam manusia Arek adalah kemampuannya menempatkan diri secara simultan. Tidak gradual seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya dan kebudayaan yang banyak dipengaruhi kebudayaan Jawa maupun Sunda dan Melayu.
Satu hal lagi, adalah militansi. Arek bukan manusia yang mudah menyerah oleh keadaan apapun. Perbedaan mendasar sesungguhnya terjadi sepanjang tahun 1037-1468 Masehi atau selama 431 tahun, terutama setelah tercatatnya aktivitas gunung Kelud yang mengalirkan lahar dinginnya melalui sungai Brantas, ”… dalam waktu mana diperkirakan telah terjadi letusan gunung Kelud 431:20=22 kali, berturut-turut telah tertutup Bengawan antara Jagir dan Waru, lalu Bengawan antara Taman dan Waru, dan Bengawan Terung antara Jeruk Legi dan Taman” (Sugiyarto; dalam Wiwik Hidayat, 1975: 60).
Memasuki abad 20 hingga abad Millenium ini, Arek mengalami tafsir yang cenderung logosentrik. Arek adalah 1945, adalah hari pahlawan, adalah Suroboyo dan seterusnya. Terjadi penyempitan ruang yang sedemikian rupa membuat Arek mengalami kontaminasi historis. Artifisialitas geneologis dari sejumlah perilaku yang disepadankan dengan masa kini. Masa kini Arek adalah masa kini kultural yang terbentuk dari persenyawaan antara berbagai kultur yang tumbuh bersamanya. Meminimalkan salah satunya, adalah menjerumuskannya pada simplifikasi peradabannya sendiri. Inilah yang sedang terjadi dan sebaiknya direkonstruksi kembali.
Rekonstruksi kultur Arek adalah membuka seluruh pintu gerbang keberadaannya. Menerima secara sadar dan terbuka terhadap unsur-unsur pembentuknya. Bukan mempertahankan diri pada situasi kekinian yang telah mengalami kontaminasi historis. Kontaminasi historis ini juga berakibat pada rendahnya pemahaman generasi masa kini terhadap konteks sosio-kultural Arek. Yakni, masyarakat kampung dengan segala pandangan keterbelakangannnya. Kekumuhan dan ketidakberdayaan disimplifikasi pada kampung.
Masyarakat kampung, bukan masyarakat yang terstratifikasi seperti sekarang ini. Tetapi adalah masyarakat baru yang terbentuk dari pembenahan moralitas dan disiplin Hindu-Jawa. Jika ingin ditarik lebih jauh, maka masyarakat kampung adalah pembentuk jiwa, ideologi dan pengetahuan yang selalu dikesampingkan dalam memahami Kultur Arek. Akibatnya, Arek menjadi ilusi masa lalu.
Arek dan kampung adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui dinamika kampung, Arek tersublimasi menjadi sebuah gerakan bersama. Pelabuhannya adalah integrasi sosial yang mampu menyederhanakan problematika berkehidupan di tengah-tengah masyarakat. Penyederhanaan ini bisa dimaknai sebagai pemberian nuansa ketenteraman, keselamatan dan keguyuban. Disinilah kebiasaan-kebiasaan dikembangkan menjadi tradisi maupun sebagai pengetahuan antar masyarakat dalam kultur Arek.

Autar Abdillah, staf pengajar jurusan Pendidikan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Sedang menulis Disertasi tentang Perbandingan Diskursus budaya Arek dan Mataraman pada Program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya

Senin, 21 November 2011

Upaya Mengembangkan Kesenian daerah dan Tantangannya

Oleh Autar Abdillah

Pengantar
Sudah lebih empat puluh tahun kita berbicara soal mengembangkan kesenian daerah. Tapi, mengapa belum selesai-selesai juga. Apa yang salah dalam hal ini? Sekedar ilustrasi dan mengingatkan kembali pada upaya mengembangkan kesenian daerah ini: Pada era 1970-an, semua kesenian daerah atau seni-seni tradisi yang ada di Indonesia, diundang ke Jakarta untuk mempresentasikan keseniannya. Disamping presentasi atau mempertunjukkan karya-karya seni daerah, juga dibuatkan buku hasil-hasil diskusi yang terjadi selama apa yang kemudian disebut “Pesta Seni” itu. Setelah sepuluh tahun, pada 1980-an, dibuatkan semacam resume yang hasilnya adalah “mempertimbangkan tradisi”. Tradisi dipandang harus diterjemahkan kembali ke dalam zamannya, tradisi harus diperbaharui, tradisi harus diisi dengan semangat baru, tradisi “bahkan’ harus “disulap”, tradisi harus dimasukkan dalam “salon-salon kecantikan’. Dengan tegas, Umar Kayam menyatakan bahwa “Seni tradisional tidak akan mampu sama sekali membuat dirinya cukup lentur dalam mengimbangi perkembangan zamannya” (1981: 63)
Tentu, para seniman tradisi sertamerta melakukan “perlawanan”. Tapi bukan pembangkangan atau mereka tetap mengikuti apa yang diinginkan pemerintah sebagai penyelenggara “pembaharuan tradisi”. Mereka yang baru saja pulang dari bersekolah di Amerika, memandang bahwa kesenian tradisi (baca juga kesenian daerah) harus mampu melakukan transaksi “jual-beli” dengan zamannya, dengan penikmatnya atau dengan –meminjam istilah almarhum Umar Kayam, para maecenas-maecenas. Tapi, disisi lain tetap membangun jargon seni adalah tontonan-tuntunan. Sebuah ambiguitas atau kemenduaan yang belum ditemukan jalan keluarnya.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kesadaran melakukan transaksi perdagangan seni sudah tak terbendung. Tidak ada lagi kesenian dan seniman yang mau tampil tanpa transaksi yang tegas dan jelas, hitam diatas putih. Di sisi lain, kita menemukan upaya melakukan berbagai komparasi atau perbandingan perkembangan kesenian dan kebudayaan –terutama Bali dan Jepang, yang dianggap berhasil mengendalikan isu-isu, tabiat dan khazanah seni daerah atau tradisi mereka. Kesenian dan kebudayaan daerah dianggap mampu memberikan kontribusi terhadap tatanan kehidupan masyarakatnya secara umum.

Konsep Dasar
Mengembangkan kesenian daerah adalah menghidupkan zaman yang sedang tumbuh, bergerak, hidup, lentur dan berkarakter secara terintegratif. Tidak ada yang mampu memisahkan dirinya dalam perjalanan zaman yang berkompetisi secara massif dengan seluruh tatanan sosial yang tersedia. Pola asah, asih dan asuh yang menjadi titik tolak pengembangan seni daerah adalah kesempatan mengasah, mempertajam segala kemampuan diri pelaku seni untuk dapat bertahan hidup, survival of fittest. Memilih kesenian daerah bukan pilihan untuk bunuh diri.
Seni daerah adalah investasi masa depan bagi seluruh hajat hidup dan kemaslahatan umat manusia. Untuk itu, seni-seni daerah digali, dieksplorasi dan diterjemahkan dalam ruang dan waktu zamannya. Seni-seni daerah bukanlah barang mati yang tidak bisa bersentuhan dengan zamannya. Seketat apapun seni-seni daerah, proses inovasi tetap terbuka. Perlu penyegaran warna, bentuk, pola ucap, kesan hingga komunikasinya denga masyarakat yang baru, dengan kebudayaan yang baru, dan tentu dengan manusia-manusia baru yang memiliki berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan.

Metode Pelatihan dan Pentahapan
Sebagaimana pendahulu kita menemukan kesenian, maka beberapa metode pelatihan sekaligus pentahapan eksploratifdalam pengembangan seni daerah adalah sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi terhadap potensi-potensi seni daerah yang ada. Apa saja yang sedang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Lakukan penyerapan dan pengeksplorasian terhadap potensi seni yang merupakan bagian dari potensi berkehidupan dalam masyarakat. Kepekaan adalah kata kunci untuk melakukan penemuan.
2. Madura adalah masyarakat lama (tua) yang memiliki khazanah kebudayaan maupun kesenian yang sangat beragam. Secara historis maupun antropologis terdapat sumber-sumber inspiratif yang belum tergali sepenuhnya. Untuk itu perlu dilakukan pemilihan prioritas eksploratif. Dapat dimulai dengan memainkan, membunyikan maupun menggerakkan aspek-aspek ketubuhan yang paling asali atau yang paling “primitif” yang merupakan akar kebudayaan manusia Madura, khususnya Sampang. Eksplorasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan media dari sumber-sumber instrumen yang ada, sumber-sumber gerak yang ada untuk menemukan kembali sumber kehidupan yang tersedia.
3. Untuk membuka proses kreatif yang spesifik, dapat dibuat kelompok-kelompok kecil yang mendiskusikan dan mengolah kembali proses kreatif yang pernah ada dan yang mungkin bisa dikembangkan. Kelompok-kelompok kecil ini sebaiknya diefektifkan agar terbuka dialog yang lebih kondusif dan menemukan kekuatan baru dalam proses kreatif.
Metode pelatihan diatas dapat dilakukan secara terencana dan mebutuhkan waktu yang cukup dan dengan ketenangan yang memadai agar seseorang dapat membuka diri terhadap proses kehidupan yang dijalaninya.

Tantangan
Upaya mengembangkan seni daerah bukan tidak memiliki tantangan yang besar. Tantangan itu bisa berasal dari birokrasi pemerintah, bisa oleh kelompok-kelompok seni, sosial maupun keagamaan hingga dunia pendidikan yang tidak kondusif. Birokrasi pemerintah terkadang kurang melakukan pendekatan yang dapat merangsang tumbuhnya seni-seni daerah, karena objek operasional birokrasi pemerintah lebih kepada pencapaian keuntungan bagi penghasilan asli daerah (PAD). Seni-seni daerah belum menjadi bagian investasi jangka panjang bagi pembangunan daerah.
Umar Kayam mengakui bahwa seni-seni tradisional atau seni-seni daerah sulit memasuki modernisasi dan proses integrasi-nasional karena posisinya yang bertolak belakang. Untuk itu, kelompok-kelompok seni, sosial maupun keagamaan harus bersatu menghadapi kekuatan- kekuatan yang merongrong instabilitas dalam kehidupan berkesenian itu sendiri. Sedangkan dunia pendidikan dapat menjadi media yang mampu melakukan kajian-kajian terhadap kemungkinan terbukanya proses berkesenian bagi seluruh pelaku seni-seni daerah.
Disamping itu, mindset dan starting point dalam membangun kesenian saat ini semakin kabur karena ambiguitas zaman maupun kebijakan-kebijakan yang tumbuh dalam memahami seni-seni daerah. Hal ini semakin mengaburkan pula penemuan output dan input pengembangan seni daerah. Terdapat tiga pola yang dapat dikembangkan secara gradual. Ketiga pola itu adalah seni daerah yang mampu didukung oleh Pemerintah, didukung oleh komunitas dan didukung oleh dunia komersial.
Ketiga pola diatas belum menjadi titik tolak dalam pengembangan seni-seni daerah karena belum terdapat pola kebijakan yang bersifat holistik dari masing-masing daerah atau lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengembangan seni-seni daerah. Masing-masing lembaga masih bekerja untuk dirinya sendiri dan belum memosisikan dir secara terintegratif sesuai kebutuhan masyarakat seni daerah yang seharusnya dikelola.

Penutup
Demikianlah gambaran singkat Saya untuk memulai diskusi atau workshop yang mungkin menjadi berarti jika kita membuka seluruh kemungkinan untuk hidup berdampingan dengan tetap memelihara kepercayaan kita terhadap apa yang kita inginkan: mengembangkan kesenian daerah yang bermanfaat bagi manusia yang hidup dalam zamannya. Skema pengembangan seni daerah kota Bandung akan menjadi sampel diskusi dan dibreakdown lebih jauh dalam diskusi ini. Selamat Berdiskusi….

Surabaya, 19 November 2011

Daftar Bacaan

Abdillah., Autar, 2007a, Budaya Arek Suroboyo, Tesis S-2, Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (belum diterbitkan)

¬____________, 2007b, ”Perjalanan Panjang Budaya Arek”, Surabaya: Jawa Pos, Selasa, 30 Oktober 2007 (Opini Metropolis) hal. 32

____________, 2009a, “Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk di wilayah Budaya Arek”, Jurnal Seni Buaya Mudra, volume 24 No. 1 Januari 2009, Denpasar: ISI Denpasar, hal. 18-28

____________, 2009b, ”Budaya Arek”, Surabaya: Kidung, 2009

____________, 2010, ”Budaya Arek Suroboyo”,Sarasehan Budaya Arek Suroboyo, 13 November 2010 di PUSURA (Putra Surabaya)

Geertz., Clifford, 1992, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius

Kayam., Umar, 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Peacock., James L., 2005, Ritus Modernisasi, Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia, (judul asli: Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, 1968, Chicago: The University of Chicago, penerjemah: Eko Prasetyo), Depok: Desantara

Senin, 11 April 2011

KAJIAN PENGEMBANGAN LEMBAGA PERTUNJUKAN RAKYAT

Oleh Autar Abdillah S.Sn., M.Si
Staf Pengajar Universitas Negeri Surabaya,
dan mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya


1

Pertunjukan rakyat memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di era Millenium Ketiga ini. Pertunjukan rakyat (Pentura) memiliki akar yang sangat kuat dalam tradisi kebudayaan yang tersedia sekaligus dalam strategi komunikasi personal. Kepala Subdit Lembaga Media Tradisional Ditjen Sarana Komunikasi dan Desiminasi (SKD1) Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), Endang Kartiwa kepada Berita Kota di Jakarta, Selasa (5/1), seperti dilansir Bataviase.co.id. menegaskan bahwa "Melalui Media Pertunjukan Rakyat (MPR), penyebaran informasi justru akan semakin mudah diterima karena bisa menjangkau berbagai lapisan masyarakat tanpa terkecuali". Untuk merealisasikannya, lanjut Endang, diperlukan Lembaga MPR sehingga dapat menyebarkan informasi seluas-luasnya dan lebih mudah. Apalagi jika melalui tiga elemen penting yakni seniman, masyarakat, dan pemerintah. Sebab, beberapa lembaga MPR. diantaranya sarana hiburan, pendidikan, kontrol sosial, pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya bangsa, pemeliharaan identitas dan orientasi budaya bangsa, serta sebagai sarana desiminasi informasi. Menurut Pakar Komunikasi UI Ibnu Hamad, tegas Endang, MPR penting bagi penyebaran informasi, lantaran mampu menyampaikan pesan dalam beberapa cara sekaligus, seperti ucapan, gerakan, gambar, dan kata-kata.
Terdapat dua tantangan besar yang terlebih dahulu harus diselesaikan, yakni ekstasi media dan hiperrealitas yang tumbuh bersamaan dalam pertunjukan rakyat. Ekstasi media merupakan gejala baru yang harusnya dilakukan antisipasi terlebih dahulu. Massa rakyat seperti sedang berada dalam pilihan-pilihan yang sulit. Begitu banyak media, begitu menggilanya media membombardir hingga memasuki ruang yang paling pribadi, yakni ruang keluarga. Ekstasi media seperti sebuah sihir global yang menyirep kebutuhan-kebutuhan massa-rakyat dalam satu kebutuhan yang seolah-olah penting, yakni gaya hidup. Ekstasi media selanjutnya menjadi ekstasi konsumtif. Massa-rakyat kehilangan penyangga, baik moralitas maupun dunia religi, ritual hingga kesadaran dalam kebersamaan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ekstasi media diiringi dengan distribusi hiperrealitas yang semakin menumbuhkan gaya hidup modernitas yang serba personal. Seperti ditegaskan Marshall Berman (1982: 99) bahwa “Lingkungan dan pengalaman modern menghapus semua batas geografis dan kesukuan, semua kelas dan kebangsaan, semua agama dan ideologi: dalam pengertian inilah modernitas menyatukan seluruh umat manusia”. Namun demikian, kesatuan itu dalam ketidaksatuan, dimana umat manusia berada dalam dunia seolah-olah yang mencoba meyakinkan adanya kebersamaan, disiplin dan kepastian relasi antar umat manusia itu sendiri.

2
Merujuk pada Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika RI Nomor : 08 /PER/ M.KOMINFO/6/2010 Tentang Pedoman Pengembangan Dan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial, Bab II, bagian kesatu, pasal 2 ayat 1, maka Prinsip Pengembangan dan Pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial –termasuk didalamnya lembaga Pertunjukan Rakyat, meliputi:
a. sinergitas, yaitu saling melengkapi antara upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota serta semua pihak yang terkait dengan pengembangan dan pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial;
b. terstruktur, yaitu secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah;
c. terukur, yaitu hasil kegiatan pengembangan dan pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial dapat diukur tingkat keberhasilannya baik secara kuantitatif maupun kualitatif;
d. terintegritasi, yaitu satu kesatuan penyelenggaraan pengembangan dan pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial secara nasional;
e. partisipatif, yaitu terdapat keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengembangan dan pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial;
f. berkelanjutan, yaitu kegiatan pengembangan dan pemberdayaan Lembaga Komunikasi Sosial dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan; dan
g. kemitraan adanya kesetaraan dalam menjalin kerjasama yang saling menguntungkan berdasarkan keterbukaan dan kepercayaan.
Prinsip-prinsip diatas dapat diturunkan dalam berbagai bentuk dan kepada stakeholder serta kelembagaan terkait. Bentuk-bentuk pengembangan lembaga pertunjukan dapat meliputi
a. Pembentukan jejaring diantara para pelaku pertunjukan rakyat. Mencermati jejaring yang ada, maka selama ini hanya bersifat spontan dan tidak terstruktur dengan jelas, sehingga tidak terjadi pertukaran informasi, pengembangan wacana maupun saling memberikan dukungan yang kondusif.
b. Pembentukan pola “pasar seni pertunjukan” yang mampu mendorong masing-masing pelaku pertunjukan rakyat untuk mencari publiknya sendiri. Publik juga dapat melakukan pembiasaan dan membangun respon yang terintegrasi. Dalam konteks ini terdapat tiga pola, yakni government supporting (GS), public supporting (PS) dan commercial supporting (CS). GS dapat berupa subsidi berjangka sambil melakukan identifikasi terhadap realitas publiknya. PS merupakan komunitas, baik yang berdasarkan hubungan emosional, hubungan budaya, hubungan kekeluargaan, profesi dan komunitas. Sedangkan CS sudah merupakan pertunjukan rakyat yang sudah memiliki tingkat kemapanan dan kematangan secara organisatoris, sehingga sudah mampu menciptakan pasar sendiri.
c. Publikasi dan penerbitan maupun pengarsipan karya-karya pertunjukan rakyat, agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati karya-karya tersebut serta dapat pula mengapresiasi diluar ruang pertunjukannya.
Stakeholder seperti kelompok-kelompok seniman maupun akademisi seni yang secara aktif atau mampu secara aktif mengembangkan pertunjukan rakyat dapat menjadi salah satu pintu masuk yang efektif dalam pengembangan kelembagaan pentura. Di Jawa Timur terdapat sejumlah kelompok seniman maupun akademisi seni serta masyarakat sekolah yang melakukan revitalisasi atau secara aktif mengembangkan pertunjukan rakyat. Namun, selama ini, aktivitas yang mereka lakukan tidak tersentuh untuk mendorong adanya desiminasi informasi secara konstruktif. Fakta menunjukkan bahwa kelompok seniman, akademisi maupun masyarakat sekolah (terutama SMP/M.Ts dan SMA/SMK/MA) bergerak hanya dalam konteks estetik serta cenderung terjebak dalam ekstasi media.
Selanjutnya adalah berfungsinya sinergitas antar lembaga terkait. Sudah saatnya untuk meninggalkan egosentritas antar lembaga pemerintahan guna membangun kekuatan yang adikuat terhadap pertunjukan rakyat. Berbagai pola serta kelompok-kelompok yang terlibat lebih mampu memberikan peluang untuk pengembangan yang lebih kondusif.

3
Lembaga pertunjukan rakyat dapat menjadi sarana penting dalam upaya pengembangan pertunjukan rakyat yang berbasis pada pasar, kebutuhan gaya hidup, modernitas serta menggali nilai-nilai budaya yang sudah terserap maupun yang sedang berproses menuju pengintegrasian secara dinamis. Kebudayaan yang dikandung dalam pertunjukan rakyat adalah nilai-nilai yang dianut bersama. Nilai-nilai yang diwariskan serta ditafsir ulang sebagai kekuatan dalam membangun kebangsaan yang dicita-citakan bersama.
Massa-rakyat maupun publik pada umumnya sedang melakukan pencarian yang amat serius dalam membagun pola-pola hubungan sosial maupun pencerapan informasi yang sejalan dengan kebutuhan hidupnya. Hubungan sosial yang mengalami keretakan maupun mengalami disintegrasi sebagian besar disebabkan oleh rendahnya sumber informasi yang mampu memberikan dukungan terhadap pemenuhan komunikasi sosial yang efektif. Pertunjukan rakyat melalui kelembagaan yang mampu menyerap aspirasi publik sangat dinantikan dan menjadi titik tolak baru dalam meningkatkan kualitas hidup warga masyarakat pada umumnya. Ketenangan, ketentraman serta kenyamanan dalam hubungan sosial, sangat ditentukan pula oleh bagaimana pertunjukan rakyat melalui lembaga yang tersedia mampu melakukan aktualiasi dan terbukanya ruang tafsir baru maupun keterbukaan membangun tafsir-tafsir terhadap kehidupan yang dijalani bersama.
Dengan demikian, lembaga pertunjukan rakyat yang dapat menciptakan jejaring yang lebih luas dan lebih mendalam, dengan sendirinya membawa publiknya pada pemahaman maupun meningkatnya kecerdasan publik dalam menerima informasi serta mengolah informasi yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Tiga pola kelembagaan seperti government supporting (GS), public supporting (PS) dan commercial supporting (CS) merupakan alternatif untuk pembentukan pasar seni pertunjukan yang terlembaga dengan semestinya.

Kamis, 24 Maret 2011

Hari Teater se dunia, 27 Maret 2011 Teater Lahir Bathin

Isu teater yang mengulingkan isu sosial politik (sejak abad 18 atau pasca humanisme abad 14 hingga permulaan abad 21) sudah berakhir. Mengapa? Karena teater tidak pernah lahir dari isu-isu besar yang membelenggu dirinya. Karya-karya besar Yunani (termasuk Mesir sebelum masehi) selalu bicara soal hubungan antar manusia, hubungan lahir bathin. Katharsis bukan sebagai penyucian jiwa sosial maupun politik, tetapi jiwa yang hilang ketika nilai-nilai kemanusiaan digebuk habis oleh kepercayaan bahwa seseorang bisa selamat lahir bathin ketika dia mampu menyadari kesalahannya, meski kesalahan itu bukan diperbuat atas kehendak dirinya, tapi kehendak takdir, kehendak “Tuhan”.
Memutar haluan teater-teater “sampah” yang hanya berkutat pada omong kosong dunia, mungkin sebuah jalan. Meski jalan terjal, tetapi mampu mengurangi noda keterbelakangan. Menghadirkan kembali isu-isu domestik menjadi sesuatu sangat imajinatif, kreatif dan “bertanggungjawab”. Ini bukan sebuah ideologi maupun kredo tetapi merupakan upaya menjawab tantangan kemanusiaan yang semakin terkontaminasi pikiran-pikiran kosong, penuh berhala.
Namun demikian, imajinasi juga bisa memerosok jiwa yang hilang, kemanusiaan yang tergadaikan dan pikiran kosong yang merajalela. Sumber insaninya adalah sophistication. Teknologi (baca teknik-teknik) dan pengetahuan yang canggih dapat menjadi racun baru. Ia mengabaikan relasi the others dalam memilih idiom-idiom maupun maupun menandai hubungan sebab akibat yang dipersonifikasikandalam teater. Relasi the others selalu dilupakan dalam teater karena sampah-sampah tekstual yang menuntut komunikasi linier dan top down.
Untuk itu, memulai teater bukan dari apa nama yang akan diberikan padanya, tapi bagaimana teater bisa membangun hubungan lahir bathin sesama pelakunya. Entah itu bentuk monolog, teater naratif, sekolah, realis, non realis… adalah teater
Selamat hari teater se dunia. Dari Dunia menuju diri kita….

Sidoarjo, Maret 2010
Autar Abdillah
Guru teater di Jurusan Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya

Selasa, 18 Januari 2011

Teater Pelajar: Pembelajaran Teater, Belajar Pada Kehidupan

Oleh Autar Abdillah

Teater dilahirkan untuk menumbuhkan, menjaga, membangun, membangkitkan dan merekonstruksi kembali suatu kehidupan. Itulah sebabnya, maka teater menjadi bagian penting dalam setiap kita berhubungan satu sama lainnya. Saking pentingnya, maka teater memenuhi perannya sebagai bagian dari suatu upacara, suatu ritual, suatu perayaan, suatu peringatan, suatu permainan, suatu sosialisasi, hingga suatu hubungan sosial dan politik.
Bagi kalangan pelajar –sebutlah kita yang sedang berusia antara 12-17 tahun, teater menjadi bagian dalam kita mengekspresikan diri secara nyata, tanpa ada batas untuk menemukan diri kita yang sesungguhnya. Apakah diri kita yang sesungguhnya itu? Dalam alam modern, diri kita sesungguhnya adalah diri kita dengan segala kelebihan sekaligus kekurangannya. Diri kita adalah bentukan segala apa yang menjadi kehendak maupun kemauan kita yang disenyawakan dengan persentuhan kita dengan segala yang mampu kita rasakan dan alami dalam kehidupan.
Dalam teater pelajar, sedikitnya terdapat tiga model yang dapat dilakukan. Pertama, teater sebagai subjek pemberdayaan diri, agar seseorang bisa memiliki konfidensi dalam menjalani kehidupannya. Kedua, teater sebagai media untuk mengadakan presentasi diri berupa pertunjukan. Ketiga teater sebagai media pengujian kemampuan melalui lomba atau kompetisi. Ketiga model ini dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Ketiga model ini dapat dilakukan untuk satu model saja, maupun ketiga-tiganya secara bersamaan.
Untuk model yang pertama, seseorang tidak perlu memikirkan terlalu jauh bagaimana teknik teater itu sendiri. Yang terpenting adalah kemauan untuk membuka diri seluas-luasnya, agar seseorang dapat menjadi dirinya sendiri dan menumbuhkan efek-efek psikologis dirinya. Segala yang tumbuh dalam kedirian –dalam efek psikologis, akan membantu seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya.
Teater semacam ini dimaknai sebagai telah “bergesernya pusat lakon dalam personifikasi pemeranan, lewat kemungkinan terjadinya interprestasi yang beragam, dan kompleks inilah suatu dunia kemungkinan dibuka selebar – lebarnya dan sebesar – besarnya. Pemeranan bukan lagi manifestasi lakon dramatik-tekstual. Tetapi merupakan suatu pembongkaran terhadap realitas yang memungkinkan kehidupan menemukan titik revelansi dan sinkronik aktualitasnya.segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan itu, sedemikian rupa merupakan subjek yang mungkin dalam kehidupan itu sendiri, pada masing – masing diri yang terlibat di dalamnya.

Demikianlah, teater ini, menyatakan dirinya dalam kehadiran atau presentasi kemungkinan hidup yang dialami oleh manusia. Hal ini bukan saja terjadi pada diri sutradara, aktor, maupun para pekerja yang memiliki tanggung jawab masing – masing dalam kerja artistik dan manajerial. Tetapi, lebih jauh memiliki konsekuensi pula pada diri penonton yang hadir bersama – sama aktor di ruang pertunjukan. Penonton bukanlah "mahluk dan keberadaan yang lain", tetapi memiliki peran juga dalam membangun teater, meskipun di dalam dirinya masing – maisng. Inilah yang dimaksud dengan berlangsungnya subjektivikasi di dalam teater, di mana masing – masing personal, terlibat dalam suatu pertemuan yang senlanjutnya dinamakan teater. (baca Autar Abdillah, Suara Karya, 6 Oktober 1996)

Model yang kedua membutuhkan teknik teater agar dapat melakukan presentasi yang lebih konkrit dalam hubungan lakon dengan pertunjukan. Sebagai suatu pertunjukan teater pada tingkat ini membutuhkan pemahaman terhadap bagaimana sesuatu dipertunjukkan atau diperagakan. Pertama-tama adalah memahami lakon. Dalam memahami lakon, seseorang harus memulai memahami kisi-kisi lakon hingga hukum dramatik yang dimilikinya. Kisi-kisi lakon mencakup setidaknya, aspek tematik, plot, perwatakan, setting hingga keberadaan pengarang. Kisi-kisi inilah yang kemudian diterjemahkan dalam hukum dramatik melalui penguatan pada tekstur dramatik yang meliputi suasana, spektakel dan dialog para tokoh cerita.
Model yang ketiga merupakan kelanjutan model ketiga dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Dalam sebuah kompetisi atau lomba, seseorang atau suatu kelompok teater diikat oleh persyaratan tertentu yang dibuat oleh penyelenggara kompetisi. Terkadang terdapat pembatasan-pembatasan yang disepakati. Pembatasan ini terkadang tidak memnuhi keinginan para creator. Namun demikian, jika sudah sepakat mengikuti kompetisi ini, maka mau tidak mau, suka tidak suka, maka persyaratan dan terkadang sangat membatasi itu harus diikuti. Teater dalam konteksi ini memiliki konsekuensi yang ketat juga, sehingga seseorang atau kelompok teater harus memiliki kemampuan lebih sebelum melakukan presentasi.
Terdapat satu lagi model yang sesungguhnya merupakan jalan tengah yang produktif, yakni “teater dalam kelas”. Teater dala kelas merupakan bentuk pembelajaran dan bentuk berteater yang sangat sederhana. Masing-masing pelaku dapat membangun kreativitasnya secara sederhana dengan memunculkan sendiri proyeksi lakon maupun penokohannya. Misalnya, mulailah dengan memahami suatu cerita yang terjadi di sekitar kita. Kelolalah cerita itu menjadi suatu percakapan yang menarik. Tentukan sendiri siapa yang akan berperan dalam cerita itu. Sesuaikan konstruksi cerita dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Tidak perlu terlalu memikirkan urusan artistik. Jika diperlukan bunyi-bunyian, lakukan dengan peralatan yang ada.
Sebagai penutup dialog pada hari ini, saya sampaikan beberapa langkah untuk memulai suatu teater.
1. Mulailah dengan niat yang tulus untuk membuka diri seluas-luasnya dalam memasuki teater
2. Tanamkanlah keberanian untuk memulai sesuatu dari diri sendiri, agar mendapatkan manfaat dari berteater
3. Lakukanlah kerjasama yang saling member dan menerima satu sama lainnya, agar setiap tindakan dalam teater tidak memenjarakan diri sendiri.
4. Jangan pernah menyerah maupun cepat berpuas diri. Lakukanlah pendalaman terus menerus, agar setiap pencapaian dalam teater adalah proses pencanggihan terhadap peristiwa yang actual dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar pencanggihan teknik
5. Nikmatilah proses hubungan sinergis antara pengetahuan dengan pengalaman yang dimiliki

SELAMAT MENGIKUTI DIKLAT DAN BERLATIH TERUS MENERUS….

Disampaikan pada Diklat Teater Pelajar 2010/2011 di SMAN 3 Sidoarjo, 16 Januari 2011