Senin, 21 November 2011

Upaya Mengembangkan Kesenian daerah dan Tantangannya

Oleh Autar Abdillah

Pengantar
Sudah lebih empat puluh tahun kita berbicara soal mengembangkan kesenian daerah. Tapi, mengapa belum selesai-selesai juga. Apa yang salah dalam hal ini? Sekedar ilustrasi dan mengingatkan kembali pada upaya mengembangkan kesenian daerah ini: Pada era 1970-an, semua kesenian daerah atau seni-seni tradisi yang ada di Indonesia, diundang ke Jakarta untuk mempresentasikan keseniannya. Disamping presentasi atau mempertunjukkan karya-karya seni daerah, juga dibuatkan buku hasil-hasil diskusi yang terjadi selama apa yang kemudian disebut “Pesta Seni” itu. Setelah sepuluh tahun, pada 1980-an, dibuatkan semacam resume yang hasilnya adalah “mempertimbangkan tradisi”. Tradisi dipandang harus diterjemahkan kembali ke dalam zamannya, tradisi harus diperbaharui, tradisi harus diisi dengan semangat baru, tradisi “bahkan’ harus “disulap”, tradisi harus dimasukkan dalam “salon-salon kecantikan’. Dengan tegas, Umar Kayam menyatakan bahwa “Seni tradisional tidak akan mampu sama sekali membuat dirinya cukup lentur dalam mengimbangi perkembangan zamannya” (1981: 63)
Tentu, para seniman tradisi sertamerta melakukan “perlawanan”. Tapi bukan pembangkangan atau mereka tetap mengikuti apa yang diinginkan pemerintah sebagai penyelenggara “pembaharuan tradisi”. Mereka yang baru saja pulang dari bersekolah di Amerika, memandang bahwa kesenian tradisi (baca juga kesenian daerah) harus mampu melakukan transaksi “jual-beli” dengan zamannya, dengan penikmatnya atau dengan –meminjam istilah almarhum Umar Kayam, para maecenas-maecenas. Tapi, disisi lain tetap membangun jargon seni adalah tontonan-tuntunan. Sebuah ambiguitas atau kemenduaan yang belum ditemukan jalan keluarnya.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kesadaran melakukan transaksi perdagangan seni sudah tak terbendung. Tidak ada lagi kesenian dan seniman yang mau tampil tanpa transaksi yang tegas dan jelas, hitam diatas putih. Di sisi lain, kita menemukan upaya melakukan berbagai komparasi atau perbandingan perkembangan kesenian dan kebudayaan –terutama Bali dan Jepang, yang dianggap berhasil mengendalikan isu-isu, tabiat dan khazanah seni daerah atau tradisi mereka. Kesenian dan kebudayaan daerah dianggap mampu memberikan kontribusi terhadap tatanan kehidupan masyarakatnya secara umum.

Konsep Dasar
Mengembangkan kesenian daerah adalah menghidupkan zaman yang sedang tumbuh, bergerak, hidup, lentur dan berkarakter secara terintegratif. Tidak ada yang mampu memisahkan dirinya dalam perjalanan zaman yang berkompetisi secara massif dengan seluruh tatanan sosial yang tersedia. Pola asah, asih dan asuh yang menjadi titik tolak pengembangan seni daerah adalah kesempatan mengasah, mempertajam segala kemampuan diri pelaku seni untuk dapat bertahan hidup, survival of fittest. Memilih kesenian daerah bukan pilihan untuk bunuh diri.
Seni daerah adalah investasi masa depan bagi seluruh hajat hidup dan kemaslahatan umat manusia. Untuk itu, seni-seni daerah digali, dieksplorasi dan diterjemahkan dalam ruang dan waktu zamannya. Seni-seni daerah bukanlah barang mati yang tidak bisa bersentuhan dengan zamannya. Seketat apapun seni-seni daerah, proses inovasi tetap terbuka. Perlu penyegaran warna, bentuk, pola ucap, kesan hingga komunikasinya denga masyarakat yang baru, dengan kebudayaan yang baru, dan tentu dengan manusia-manusia baru yang memiliki berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan.

Metode Pelatihan dan Pentahapan
Sebagaimana pendahulu kita menemukan kesenian, maka beberapa metode pelatihan sekaligus pentahapan eksploratifdalam pengembangan seni daerah adalah sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi terhadap potensi-potensi seni daerah yang ada. Apa saja yang sedang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Lakukan penyerapan dan pengeksplorasian terhadap potensi seni yang merupakan bagian dari potensi berkehidupan dalam masyarakat. Kepekaan adalah kata kunci untuk melakukan penemuan.
2. Madura adalah masyarakat lama (tua) yang memiliki khazanah kebudayaan maupun kesenian yang sangat beragam. Secara historis maupun antropologis terdapat sumber-sumber inspiratif yang belum tergali sepenuhnya. Untuk itu perlu dilakukan pemilihan prioritas eksploratif. Dapat dimulai dengan memainkan, membunyikan maupun menggerakkan aspek-aspek ketubuhan yang paling asali atau yang paling “primitif” yang merupakan akar kebudayaan manusia Madura, khususnya Sampang. Eksplorasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan media dari sumber-sumber instrumen yang ada, sumber-sumber gerak yang ada untuk menemukan kembali sumber kehidupan yang tersedia.
3. Untuk membuka proses kreatif yang spesifik, dapat dibuat kelompok-kelompok kecil yang mendiskusikan dan mengolah kembali proses kreatif yang pernah ada dan yang mungkin bisa dikembangkan. Kelompok-kelompok kecil ini sebaiknya diefektifkan agar terbuka dialog yang lebih kondusif dan menemukan kekuatan baru dalam proses kreatif.
Metode pelatihan diatas dapat dilakukan secara terencana dan mebutuhkan waktu yang cukup dan dengan ketenangan yang memadai agar seseorang dapat membuka diri terhadap proses kehidupan yang dijalaninya.

Tantangan
Upaya mengembangkan seni daerah bukan tidak memiliki tantangan yang besar. Tantangan itu bisa berasal dari birokrasi pemerintah, bisa oleh kelompok-kelompok seni, sosial maupun keagamaan hingga dunia pendidikan yang tidak kondusif. Birokrasi pemerintah terkadang kurang melakukan pendekatan yang dapat merangsang tumbuhnya seni-seni daerah, karena objek operasional birokrasi pemerintah lebih kepada pencapaian keuntungan bagi penghasilan asli daerah (PAD). Seni-seni daerah belum menjadi bagian investasi jangka panjang bagi pembangunan daerah.
Umar Kayam mengakui bahwa seni-seni tradisional atau seni-seni daerah sulit memasuki modernisasi dan proses integrasi-nasional karena posisinya yang bertolak belakang. Untuk itu, kelompok-kelompok seni, sosial maupun keagamaan harus bersatu menghadapi kekuatan- kekuatan yang merongrong instabilitas dalam kehidupan berkesenian itu sendiri. Sedangkan dunia pendidikan dapat menjadi media yang mampu melakukan kajian-kajian terhadap kemungkinan terbukanya proses berkesenian bagi seluruh pelaku seni-seni daerah.
Disamping itu, mindset dan starting point dalam membangun kesenian saat ini semakin kabur karena ambiguitas zaman maupun kebijakan-kebijakan yang tumbuh dalam memahami seni-seni daerah. Hal ini semakin mengaburkan pula penemuan output dan input pengembangan seni daerah. Terdapat tiga pola yang dapat dikembangkan secara gradual. Ketiga pola itu adalah seni daerah yang mampu didukung oleh Pemerintah, didukung oleh komunitas dan didukung oleh dunia komersial.
Ketiga pola diatas belum menjadi titik tolak dalam pengembangan seni-seni daerah karena belum terdapat pola kebijakan yang bersifat holistik dari masing-masing daerah atau lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengembangan seni-seni daerah. Masing-masing lembaga masih bekerja untuk dirinya sendiri dan belum memosisikan dir secara terintegratif sesuai kebutuhan masyarakat seni daerah yang seharusnya dikelola.

Penutup
Demikianlah gambaran singkat Saya untuk memulai diskusi atau workshop yang mungkin menjadi berarti jika kita membuka seluruh kemungkinan untuk hidup berdampingan dengan tetap memelihara kepercayaan kita terhadap apa yang kita inginkan: mengembangkan kesenian daerah yang bermanfaat bagi manusia yang hidup dalam zamannya. Skema pengembangan seni daerah kota Bandung akan menjadi sampel diskusi dan dibreakdown lebih jauh dalam diskusi ini. Selamat Berdiskusi….

Surabaya, 19 November 2011

Daftar Bacaan

Abdillah., Autar, 2007a, Budaya Arek Suroboyo, Tesis S-2, Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (belum diterbitkan)

¬____________, 2007b, ”Perjalanan Panjang Budaya Arek”, Surabaya: Jawa Pos, Selasa, 30 Oktober 2007 (Opini Metropolis) hal. 32

____________, 2009a, “Inovasi Pertunjukan Teater Tradisional Ludruk di wilayah Budaya Arek”, Jurnal Seni Buaya Mudra, volume 24 No. 1 Januari 2009, Denpasar: ISI Denpasar, hal. 18-28

____________, 2009b, ”Budaya Arek”, Surabaya: Kidung, 2009

____________, 2010, ”Budaya Arek Suroboyo”,Sarasehan Budaya Arek Suroboyo, 13 November 2010 di PUSURA (Putra Surabaya)

Geertz., Clifford, 1992, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius

Kayam., Umar, 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Peacock., James L., 2005, Ritus Modernisasi, Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia, (judul asli: Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, 1968, Chicago: The University of Chicago, penerjemah: Eko Prasetyo), Depok: Desantara