Rabu, 01 Juli 2009

Teater Kampus di Jawa Timur

Autar Abdillah

Kelahiran teater kampus secara intrinsik merupakan sinergi antara teater rakyat-tradisional yang mulai memudar, dengan munculnya kaum terpelajar kota yang datang dari pedesaan. Sinergi ini menemukan format teater yang eksploratif. Di satu sisi menggunakan formasi rakyat-tradisional, seperti Ludrukan, Lenongan maupun Kethoprakan-Sampakan. Di sisi lain, memunculkan drama-drama "Barat" yang merupakan bahan studi di kampus, seperti drama-drama dari pengarang Yunani, Rusia, Inggris, Perancis dan Jerman, antara lain Sophocles, Anton Chekov, August Strinberg, Hendrik Ibsen, Tenneese William, Eugene O'nell, Johann Wolfgang von Goethe, hingga Samuel Beckett, Harold Pinter dan Eugene Ionesco. Sedangkan pengarang drama-drama Indonesia yang ambil bagian dalam permulaan teater kampus ini, diantaranya Utuy Tatang Sontani, Roestam Effendi, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, CM Naas, Kirjomulyo, Akhudiat, Iwan Simatupang, dan saduran-saduran yang luar biasa dari WS Rendra, serta drama-drama dari pengarang daerah yang berangkat dari sejarah maupun legenda.
Pertemuan kedua unsur yang relatif berlawanan ini cukup menarik dan unik. Keunikan tersebut seiring dengan masuknya paham-paham teater, antara rakyat-tradisional dengan teater "Barat" yang didominasi oleh lahirnya aliran realisme, naturalisme, romantisme hingga absurdisme. Perdebatan terhadap paham-paham ini tidak pernah selesai, bahkan hingga saat ini. Ketidakselesaian perdebatan tersebut dikarenakan oleh masuknya paham-paham baru secara hampir bersamaan, yang juga melahirkan sinergi baru, meskipun tidak terlalu kental seperti sinergi yang pertama. Itulah sebabnya, mengapa teater kampus nyaris tidak mampu melahirkan atau memunculkan ideologi-ideologi besar dalam teater. Hal ini berbeda dengan perkembangan di dunia sastra kampus. Meskipun dunia sastra kampus tidak banyak melahirkan karya sastra yang fenomenal, namun sastra kampus mampu menjadi bagian penting dalam lahirnya ideologi-ideologi sastra. Hal ini juga terjadi di dunia seni rupa. Sedangkan di dunia tari dan musik nyaris sama dengan apa yang terjadi pada teater kampus.
Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa teater kampus pada awalnya memiliki posisi yang strategis, dan bergengsi. Hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat, bahwa kampus merupakan tempat berlangsungnya proses eksplorasi intelektual yang intensif dan dinamis. Sehingga, teater-teater di luar kampus banyak yang belajar dari cara-cara berteater orang-orang kampus. Dan, orang-orang kampus pun menyambut interaksi ini dengan sangat antusias. Maka, terjadilah sinergi ketiga yang makin menarik, dan konstruktif. Tidak ada eksklusivitas. Tidak ada saling serang, dan sinisme yang berlebihan. Namun demikian, justru teater di luar kampus yang mengalami kompetisi kurang produktif, terutama dengan mulai maraknya lomba-lomba yang menguji kemampuan masing-masing teater. Persaingan internal pelaku teater yang kemudian memandang teater sebagai kekuatan massa, membuat teater di luar kampus mengalami kesulitan komunikasi yang cukup berarti.
Teater kampus memang telah menjadi cermin kekuatan kaum terpelajar di Indonesia. Mereka melakukan eksplorasi secara aktif, agresif, dan eksperimentatif. Bahkan, kalangan teater kampus menjadi motor penggerak bagi lahirnya aksi-aksi kritis. Dengan adanya aksi-aksi kritis tersebut, dan bersamaan dengan itu peta politik pun berubah menjadi sangat represif dan otoriter, maka ruang gerak teater kampus pun mengalami pergeseran. Muncul sejumlah pembatasan-pembatasan, hingga pelarangan-pelarangan. Komunikasi antara teater kampus dengan dunia luar pun mulai mengalami penurunan drastis. Kalangan kampus melakukan interaksi secara sembunyi-sembunyi hingga hilang sama sekali. Hal ini berdampak cukup besar pada kepercayaan masyarakat yang kemudian melihat kampus sebagai menara gading yang mencoba mengasingkan diri dengan masyarakat. Akhirnya, kalangan kampus tetap mencoba berbicara atau menyuarakan aspirasi masyarakat, meskipun itu hanya teriakan-teriakan, dan selanjutnya mengalami distorsi yang melebar. Pembicaraan yang sekedar basa-basi tak terhindarkan lagi.
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia kampus --sebagai akibat kebijakan politik yang otoriter dan represif, bahkan feodalistik, secara tidak langsung mempersempit ruang interaksi yang pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang kampus mulai dirasuki oleh doktrin-doktrin kebenaran palsu rezim yang berkuasa, baik melalui kurikulum pendidikannya, maupun pada kinerja organik di dalam kampus. Teater kampus tidak terkecuali, mereka mengalami pembatasan dalam menampilkan lakon-lakon tertentu. Kegiatan intelektual diseleksi sedemikian rupa. Bahkan berhubungan dengan masyarakat pun menjadi sesuatu yang muskil.
Setelah terjadi perubahan politik yang cukup mendasar, sebagaimana mulai dirasakan sekarang ini, yang terjadi justru semacam romantisme pada ritus kepahlawan. Teater kampus menempatkan dirinya sebagai media untuk melakukan pembedahan terhadap persoalan masyarakat. Di samping itu, eksperimentasi terhadap berbagai format teater pun mulai semakin bermunculan. Format-format teater tersebut, dapat kita bagi ke dalam tiga dimensi pemikiran. Pertama, terater rakyat-tradisional. Kedua, drama realisme. Ketiga, teater eksperimental. Ketiga format ini, yang paling dominan adalah format eksperimental, seperti yang terjadi pada Pekan Seni Mahasiswa Regional maupun Nasional yang berlangsung di Surabaya dua tahun silam, dan beberapa festival teater yang di gelar beberapa kampus akhir-akhir ini.
Dalam format eksperimental tersebut, terdapat beberapa persoalan yang unik karena dasar pemikiran eksperimental itu lebih merupakan perpanjangan tangan dari format teater rakyat-tradisional, dan drama realisme. Sehingga, substansi eksperimental itu sendiri tidak menyentuh sasaran yang sesungguhnya, kecuali hanya pada perbedaan format semata. Jadi, paham eksperimental itu sendiri justru tidak dimiliki oleh teater kampus di Jawa Timur. Dari sekitar 20 teater kampus --termasuk teater dari fakultas-fakultas, yang aktif di Jawa Timur, 90 % diantaranya menjalani format eksperimental tersebut. Alasan pemilihan format eksperimental ini, kelihatannya lebih disebabkan oleh anggapan adanya kemudahan dalam melakukannya. Bukan oleh kemampuan pemahamannya, atau adanya konteks-konteks sosial, antropologis maupun politik yang lebih realistik.
Format eksperimental atau yang cukup dikenal dengan format Artudian, dan beberapa penggagas lainnya, seperti Jerzy Grotowski, Eugenio Barba, Peter Brook, Meyerhold, Richard Foreman, maupun Okhlopkov, Savary, dan Vakhtangov. Sedangkan di Indonesia, pandangan tertuju pada Putu Wijaya, Boedi S Otong, Dindon, dan akhir-akhir ini Rachman Sabur. Format ini bukan saja membangun sinergi dari apa yang pernah dilahirkan sebelumnya, tetapi juga sesuatu yang belum bisa dinamakan. Dari format ini, lahir gagasan-gagasan yang mempertegas penolakan terhadap "penindasan" teks --terutama drama/lakon, yang sebelumnya menjadi titik pijakan utama dunia teater. Selanjutnya, upaya mengaktualisasikan diri manusia yang sudah terperangkap pada peniadaan esensi kehidupan yang manusiawi dari hubungan antar manusia maupun antar manusia dengan dunia kesenian.
Bisa dikatakan bahwa teater kampus di Jawa Timur yang menjalani proses eksperimental tersebut memerlukan gizi baru untuk membangun pemahamannya. Gizi baru tersebut adalah kemauan untuk menjalin kembali ikatan atau interaksi dengan publik. Karena, teater adalah hubungan aktor dan penonton. Alienasi terhadap publik hanya akan membuat teater sebagai tirani baru. Inilah yang hendak dilawan oleh para pencetus teater eksperimental. Di samping itu, konstruksi publik bukan pada pihak yang dibicarakan. Tetapi, pada pihak dan tingkat yang saling melakukan pertukaran, dan menghindarkan diri narasi besar yang menjadi salah satu kahazanah yang dibangun eksperimentasi teater.
Diantara teater kampus yang aktif melakukan eksperimentasi terhadap khazanah teater dan relasi teks (lakon/drama) adalah teater Crystal (UPN Veteran), teater Puska (Universitas Airlangga), teater Dua Puluh (IAIN Sunan Ampel), teater Institut (Universitas Negeri Surabaya), teater Universitas Brawijaya, teater Universitas Wijaya Putra,, teater Joss (Universitas Dr. Sutomo), teater Unisma, dan teater beberapa fakultas-fakultas di Universitas Muhammadiyah Malang.
-Makalah Kemah Seni (Teater) Kampus se Jawa Timur, 24 Mei 2002 di Komunitas Teater Universitas Islam Malang dan dimuat di Kompas (Jawa Timur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar