Senin, 09 November 2009

Kepahlawanan dan Arek Suroboyo

Oleh Autar Abdillah

Hari pahlawan yang diperingati setiap 10 November selalu diidentikkan dengan perjuangan Arek Suroboyo. Bagaimana Arek Suroboyo begitu heorik menghadapi peperangan itu? Sudah banyak artikel yang menulis heorisme Arek Suroboyo dalam melahirkan hari pahlawan 10 November. Tulisan ini hendak menoleh ke belakang, untuk menunjukkan bahwa herorisme itu merupakan titik kulminasi dari perjuangan panjang atau lebih tepat disebut penderitaan yang tiada henti dari Arek Suroboyo.

Arek Suroboyo tidak berjuang mati-matian pada periode 1945. Tapi, jauh sebelum itu, arek Suroboyo telah membangun perisai dan senjata yang amat kuat dibandingkan masyarakat lainnya di Indonesia. Seperti dilukiskan Sugiyarto (”Pengaruh Alam Terhadap Kehidupan Sepanjang Sungai Brantas”, dalam Wiwik Hidayat, 1975: 43): “Letusan gunung berapi, hujan lebat dan angin besar yang seringkali memberikan tantangan kepada penghuni sepanjang kali Brantas, di jawab olehnya dengan tindakan-tindakan setimpal, dengan pikiran-pikiran yang mendalam dan matang guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh alam. Tantangan-tantangan ini merupakan gemblengan bagi nenek moyang kita, mereka tidak melarikan diri dari kesulitan-kesulitan itu, tapi berusaha keras untuk menundukkan dan mengatasinya. Maka timbullah kebudayaan yang berkembang dengan pesat akibat tantangan-tantangan ini. Mental dan fisik digembleng, menimbulkan renungan-renungan yang kemudian menjiwai tata kehidupannya, dan mendasari kehidupannya sebagai bangsa yang militant … Ujunggaluh menjadi tempat penting dan kemudian menyebabkan lahirnya Surabaya sebagai tempat yang ditakdirkan selalu harus ”Wani ing Pakewuh”, berani menghadapi kesukaran”.
Gambaran Sugiyarto ini ditambahkan oleh GH. Von Faber (1953), bahwa arek Suroboyo (sebutan dari penulis) harus mendisiplinkan diri pada kekuasaan Hindu Jawa. Barangsiapa yang melakukan pelanggaran, maka ditempatkan di suatu pulau (sekarang sekitar Wonokromo dan Bungkul, bernama De Strafcolonie Domas). Pada kejahatan tingkat pertama ditempatkan di sebuah pulau kecil yang dapat tenggelam sewaktu-waktu. Secara bertahap dilakukan pendidikan yang berakhir di “Leertud-kampong”. Surabaya pada periode ini (abad 4-9 Masehi) masih terdiri dari puluhan pulau.

Invasi Mataram
Kerajaan Mataram melakukan penyerangan terhadap Surabaya pada 1625 M. Raja Mataram bernama Sultan Agung pernah bertahun-tahun mencoba menundukkan Surabaya, agar dengan demikian dapat mengklaim dirinya sebagai raja untuk seluruh Jawa (Wiwik Hidayat, 1975: 87). Wiwik Hidayat menyatakan bahwa ”memang Surabaya dan muara Brantas itu mempunyai kedudukan kunci, dan telah menjadi demikian karena kondisi geografis, karena Brantas, karena musim dan iklim...”. Wiwik Hidayat memberikan ilustrasi pertempuran dalam upaya kerajaan Mataram untuk menguasai Surabaya melalui pengamatan seorang Eropa (tidak disebutkan namanya) pada 1622 M, yakni ”Saya berada di Surabaya. Dari tempat ini 30.000 orang-orang bersenjata berangkat untuk menghadapi serangan Kaisar Jawa dari Mataram, yang mengepung kota tersebut. Demikian pun kita tidak melihat bahwa penduduk Surabaya berkurang, kecuali bahwa tampaknya lebih banyak wanita yang kelihatan” (Wiwik Hidayat, 1975: 87).
Wiwik Hidayat (1975: 87) mengatakan bahwa ”laporan lain menyatakan tentang peristiwa yang sama bahwa 30.000 orang Surabaya yang dihadapkan kepada 70.000 tentara Mataram telah berhasil mencegah penyerbuan-penyerbuan itu untuk melintasi sebuah kali. Sekalipun akhirnya di tahun 1625 Surabaya jatuh, tetapi perlawanannya gagah perkasa”. Penyerangan Mataram ini memiliki arti penting dan memiliki dampak yang sangat luas.
Arti penting penyerangan Mataram dapat dibagi dalam tiga aspek. Pertama, Mataram ingin mengukuhkan dirinya sebagai penguasa tanah Jawa. Kedua, Mataram ingin menyebarkan pengaruh kerajaannya pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Ketiga, Mataram ingin membangun dinasti yang besar agar dapat meraup berbagai keuntungan dari segi ekonomi, politik dan kebudayaan. Ketiga aspek ini berdampak sangat luas dan mendapat tantangan serta melalui pertarungan yang sangat kuat. Di satu sisi, Mataram sudah menjadi kerajaan yang mapan dengan pasukan yang sudah terlatih, di sisi lain wilayah yang hendak dikuasainya merupakan daerah-daerah bentukan berbagai kelompok kekuasaan.

Titik Kulminasi
Perebutan wilayah Surabaya oleh banyak pihak bukan tanpa alasan. Surabaya memiliki potensi jaringan transportasi yang sangat strategis dengan didukung oleh unsur-unsur sarana dan hembusan angin, turut membantu kapal-kapal layar untuk berlabuh. Dengan demikian, sumber-sumber alam di wilayah sekitarnya dapat didistribusikan dengan cepat dan mudah. Moordati menyatakan bahwa ”... Surabaya memiliki keistimewaan tersendiri sebagai sebuah kota pelabuhan modern, perdagangan maupun industri terbesar sepanjang abad XIX” (2005: 302). Surabaya tidak tertandingi oleh kota-kota pelabuhan manapun seperti Calcutta, Rangoon, Singapore, Bangkok, Hongkong dan Shanghai (Howard Dick, 2000: xvii; Moordiati, 2005: 302).
Moordati (2005: 302) juga menyatakan bahwa ”Kelangkaan akan bahan pangan semakin mulai terlihat saat pendudukan Jepang. Di Surabaya, terhitung mulai 3 Mei 1942, kehidupan yang semula normal mulai terhenti, termasuk bahan makanan pokok dan uang” (Frederick, 1988: 124-125; Zoetmulder, 1942). Situasi sulit ini ikut memicu kekacauan dan mendorong arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan terhadap Jepang dan sisa kolonial Belanda yang masih memiliki keinginan untuk menguasai daerah jajahannya. Perlawanan Arek Suroboyo tumbuh secara gradual dan menemukan titik kulminasinya pada 10 November.

Kepahlawanan Arek
Namun demikian, komunitas dan orang kampung Surabaya tidak bisa dilepaskan dari kondisi ketertindasan yang berlangsung berabad-abad (Autar Abdillah, 115: 2007). Politik diskriminasi rasial (apartheid) Hindia Belanda maupun kekejaman Jepang merupakan bukti nyata ketertindasan yang dialami komunitas dan orang kampung Surabaya. Ketegaran komunitas dan orang kampung Surabaya melahirkan semangat kebersamaan. Kata arek-arek merupakan idiom pemersatu dalam membangun semangat kebersamaan, terutama secara sosial.
Makanya, tidak mengherankan jika warga Surabaya lebih memosisikan Arek Suroboyo sebagai pahlawan, ketimbang orang per orang. Karena, Arek Suroboyo mewujud dalam kebersamaan dan menjadi satu kesatuan dalam menjalani proses perjuangan melawan seluruh kekuatan dan tantangan hidup yang terjadi.

(Autar Abdillah, staf pengajar jurusan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, mahasiswa program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar