Selasa, 03 Januari 2012

Kultur Arek

Oleh Autar Abdillah

Arek adalah sintesis perjuangan. Sebuah karakter yang berkodefikasi kultural. Tapi bukan etnosentristik. Terbentuk dari alam yang keras, penuh bencana dan berkontribusi pada pertumbuhan zamannya. Sebuah konsepsi seduluran massif. Hampir tak bisa ditawar-tawar. Sebuah penyatuan berbagai konsepsi seduluran, seperti Cina, Arab dan Madura. Meskipun, Madura secara intrinsik juga terbangun dalam konsepsi seduluran Cina dan Arab.
Sintesis perjuangan arek adalah perlawanan naturalistik dan komunal. Pijakan naturalistiknya sangat erat dengan kondisi alam yang penuh tantangan di masa lalu. Inilah yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara. Daya juang yang tumbuh dalam manusia Arek adalah kemampuannya menempatkan diri secara simultan. Tidak gradual seperti dalam masyarakat Jawa pada umumnya dan kebudayaan yang banyak dipengaruhi kebudayaan Jawa maupun Sunda dan Melayu.
Satu hal lagi, adalah militansi. Arek bukan manusia yang mudah menyerah oleh keadaan apapun. Perbedaan mendasar sesungguhnya terjadi sepanjang tahun 1037-1468 Masehi atau selama 431 tahun, terutama setelah tercatatnya aktivitas gunung Kelud yang mengalirkan lahar dinginnya melalui sungai Brantas, ”… dalam waktu mana diperkirakan telah terjadi letusan gunung Kelud 431:20=22 kali, berturut-turut telah tertutup Bengawan antara Jagir dan Waru, lalu Bengawan antara Taman dan Waru, dan Bengawan Terung antara Jeruk Legi dan Taman” (Sugiyarto; dalam Wiwik Hidayat, 1975: 60).
Memasuki abad 20 hingga abad Millenium ini, Arek mengalami tafsir yang cenderung logosentrik. Arek adalah 1945, adalah hari pahlawan, adalah Suroboyo dan seterusnya. Terjadi penyempitan ruang yang sedemikian rupa membuat Arek mengalami kontaminasi historis. Artifisialitas geneologis dari sejumlah perilaku yang disepadankan dengan masa kini. Masa kini Arek adalah masa kini kultural yang terbentuk dari persenyawaan antara berbagai kultur yang tumbuh bersamanya. Meminimalkan salah satunya, adalah menjerumuskannya pada simplifikasi peradabannya sendiri. Inilah yang sedang terjadi dan sebaiknya direkonstruksi kembali.
Rekonstruksi kultur Arek adalah membuka seluruh pintu gerbang keberadaannya. Menerima secara sadar dan terbuka terhadap unsur-unsur pembentuknya. Bukan mempertahankan diri pada situasi kekinian yang telah mengalami kontaminasi historis. Kontaminasi historis ini juga berakibat pada rendahnya pemahaman generasi masa kini terhadap konteks sosio-kultural Arek. Yakni, masyarakat kampung dengan segala pandangan keterbelakangannnya. Kekumuhan dan ketidakberdayaan disimplifikasi pada kampung.
Masyarakat kampung, bukan masyarakat yang terstratifikasi seperti sekarang ini. Tetapi adalah masyarakat baru yang terbentuk dari pembenahan moralitas dan disiplin Hindu-Jawa. Jika ingin ditarik lebih jauh, maka masyarakat kampung adalah pembentuk jiwa, ideologi dan pengetahuan yang selalu dikesampingkan dalam memahami Kultur Arek. Akibatnya, Arek menjadi ilusi masa lalu.
Arek dan kampung adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Melalui dinamika kampung, Arek tersublimasi menjadi sebuah gerakan bersama. Pelabuhannya adalah integrasi sosial yang mampu menyederhanakan problematika berkehidupan di tengah-tengah masyarakat. Penyederhanaan ini bisa dimaknai sebagai pemberian nuansa ketenteraman, keselamatan dan keguyuban. Disinilah kebiasaan-kebiasaan dikembangkan menjadi tradisi maupun sebagai pengetahuan antar masyarakat dalam kultur Arek.

Autar Abdillah, staf pengajar jurusan Pendidikan Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Sedang menulis Disertasi tentang Perbandingan Diskursus budaya Arek dan Mataraman pada Program Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya
Dimuat di majalah Seni dan Budaya "ALUR" Dewan Kesenian Surabaya
Edisi 001/Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar