oleh Autar Abdillah
Kelahiran teater di Ngawi, tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan M.H. Iskan. M.H. Iskan yang merupakan ”generasi kedua” setelah Alwan Tafsiri (seorang sastrawan dan mantan wartawan Pelopor Yogyakarta, dan Basuki Rachmat, tahun 50-an, paling tidak sejak 1955. Pada masa kecilnya --ketika SMP, belum ada grup atau kelompok ”teater modern. Saat itu hanya individu-individu, lalu berkumpul dan mementaskan sesuatu. Misalnya, Alwan Tafsiri mengajarkan atau menyampaikan cerita-cerita atau kisah-kisah nabi dalam pengajian di mesjid-mesjid. Lalu, Alwan dan Basuki Rachmat pun mementaskan naskah Utuy Tatang Sontani. Ada pula drama dari seorang guru SMA Katolik, namanya Darto. Dalam pertunjukan Awal dan Mira (Usmar Ismail), M.H. Iskan ikut menjadi pemukul kenthongan (peronda) --dan merupakan pengalaman pertama dalam pertunjukan drama, sebelumnya hanya berdeklamasi, sekitar 1959. Lalu 1960 ke Yogyakarta, dan mulai berkenalan dengan Putu Wijaya dan W.S. Rendra, dan menyaksikan latihan-latihan Bengkel Teater Rendra --tapi tidak ikut anggota, termasuk ketika Rendra pulang dari Amerika, yang melahirkan ”kredo” teater Mini Kata. M.H. Iskan lebih dekat dengan aktivitas teater dari Putu Wijaya yang pada waktu itu kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Kemudian mendirikan grup atau kelompok yang diberinama ”Lembaga Kebudayaan Nasional”. Di lembaga ini juga terlibat pelukis-pelukis. Pada saat ini mulai mementaskan drama. Pada masa ini juga pernah ke Mansur Samin di Surakarta melihat latihannya dan mengikuti perkembangan kepenulisannya. Pada waktu ini dipertunjukkan Barabah (Motinggo Busye) dan Perantauan (adaptasi Emil Sanosa).
Pada masa-masa sebelum Gestapu, di pendopo kabupaten dilaksanakan berbagai pertunjukan, diantaranya Domba-domba Revolusi (B. Sularto). Cara bermainnya masih wantah atau alami, termasuk penafsirannya, belum ada musik. Jadi, belum ada teknik tertentu. Bentuk panggung selalu arena dengan satu lampu. Penonton cukup menerima kondisi ini, yang penting main. Satu sanggar yang sangat menonjol adalah sanggar Etsa. Setiap pementasan, selalu dawali dengan baca puisi. Pada masa selanjutnya, berteater bersama Anwaruddin, Irianto W., Y. Supriyono, Abdul Wahab, Istanto dan Suwandi Black. Di Ngawi, dahulu ada tempat berkumpul yang memungkinkan kesempatan untuk bermain drama. Dan pada 1994 (29-30 Januari) mengadakan pertunjukan dengan lakon Kerontang yang ditulisnya sendiri, bersama Teater Persada Ngawi di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, di Surakarta (Jawa Tengah). Lakon ini juga dipentaskan di auditorium PPIA Surabaya, 18 Mei 1994, dan Taman Budaya Yogyakarta 14 Juli 1994. Lakon tersebut penuh dengan simbol-simbol yang menggelitik, memfokus pada kehidupan manusia sederhana yang hidup di tengah alam yang keras dan getir. Mereka, sekelompok orang itu, mencoba menyiasati alam dengan gaya sederhana, dan alat sederhana pula. Bagaimana membentuk watak-watak itu menjadi tegas dan penuh semangat tanpa harus dibebani rasa takut, kesangsian, was-was dan penuh curiga, apalagi tipu daya. Mereka mencoba bekerja mencari sesuatu yang berguna bagi daerah tandus itu. Daerah yang telah bermilyar tahun dihuninya turun temurun, menyatu dengan alam yang ganas, liar menggebu. Keadaan ini menimbulkan gairah dan semangat, bukan saja dalam tindakan tetapi juga rasa kebersamaan, bahwa mereka satu kerabat satu saudara yang masih menjunjung tinggi asas kekeluargaan dan keguyuban. Kerja adalah tiang hidup yang punya makna. Gambaran itu tersirat dalam Kerontang. Penuh celoteh, keluguan, keterbukaan, main-main, kemanjaan, sindiran, kepolosan, penuh komik, naif, seperti halnya anak-anak bermain penuh totalitas, tanpa pretensi apa-apa. Begitulah tantangan demi tantangan bergulir dan merambah menggeluti sikap mereka yang terus menempa diri, menyatukan diri meniti niat yang terus menggumpal untuk menemukan sesuatu. Dan, sang nasib, terus melulur, membelitnya tanpa henti. Barangkali harapan-harapan itu bisa terwujud atau barangkali tidak. Benturan-benturan pun terjadi saat kekompakan itu mengental. Tiba-tiba saja kepercayaan sikap mereka berubah saling curiga, saling menuduh, saling melepaskan jati diri, saling kehilangan pegangan. Campur tangan individu yang lain menimbulkan tanda tanya. Apakah alam ini akan dipaksa menuruti kehendak, ambisi dan nafsu. Disinilah harapan-harapan itu tergantung, disinilah tekad itu akan diuji (Katalog Kerontang, PPIA, 18 Mei 1994). Pertunjukan ini dimainkan oleh 8 pemain dengan durasi sekitar satu setengah jam. Setelah Kerontang, M.H. Iskan menampilkan karya lakon Gaok sekaligus menyutradarainya di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, 1 Oktober 1994 dan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, 11 Maret 1995 (pertunjukan Gaok ini, sekaligus merupakan aktivitas terakhir M.H. Iskan dalam penggarapan teater secara komprehensif). Lakon ini berkisah tentang kehidupan manusia bagaimanapun ujudnya merupakan kehidupan manusia untuk dijalani. Seolah-olah hidup itu tanpa akhir, bagai lorong-lorong yang ditembus tanpa batas. Namun nurani manusia lebih handal untuk direnungi, apalagi dicermati. Sebab, betapa nafsu manusia memiliki jalan lapang dan mulus di tengah arus yang serba membutuhkan nilai-nilai perubahan yang serba super, perlu adanya ketingkatan dan dedikasi untuk menyiasatinya. Hingga, kehidupan yang dipilihnya merupakan pilihan yang serba mapan dan paling diarungi, walaupun dengan alternatif yang bertentangan dengan martabat manusia itu sendiri. Ambisi, jalan pintas, intrik, kemudahan, tipu daya adalah getaran-getaran yang menyusup-nyusup jiwa manusia dimanfaatkan untuk mencapai tujuan. Kehilangan nurani, bagaikan raksasa-raksasa beton yang menghimpitnya, melumatnya, robot-robot yang kehilangan kontrol, saling mencakar, saling melumat bahwa harga diri dan keangkuhan adalah simpul-simpul paling tajam. Bagaimanapun ulah dan sikap manusia memiliki jati diri kebenaran yang akan selalu menuntunnya (Katalog pertunjukan Gaok).
Sebelumnya, masih bersama kelompok teaternya, Teater Persada Ngawi, pada 27 Agustus 1978 memainkan lakon Dag Dig Dug (karya Putu Wijaya), di dukung oleh M.H. Iskan, Maria Soedjono, J. Soeprijono, Amin SA, Istanto, Abdul Wahab, Irianto Widodo, dengan sutaradara M.H. Iskan. Pada saat ini, tiket pertunjukan Rp. 150,00 (seratus lima puluh rupiah). Lakon Dag Dig Dug ini pernah di mainkan dalam berbagai durasi, misalnya (secara utuh 3 jam, kemudian di Depdikbud menjadi 2 jam, lalu di Pemda Ngawi dalam rangka HUT Dharma Wanita menjadi 20 menit saja). Meskipun M.H. Iskan merasakan ketidakmentoloannya atau ketidaktegaannya terhadap penyingkatan durasi pertunjukan yang berkonsekuensi dengan lakon dan pengarangnya, namun M.H. Iskan punya prinsip pula, bahwa apa yang dilakukannya ”harus melayani yang diminta masyarakat”. Pada 1983 dengan lakon Orang-orang Terminal, Iskan meraih penghargaan sutradara terbaik ”Lomba Drama Lima Kota” di Surabaya. Kemudian menggarap lakon Dag Dig Dug yang dipentaskan di Seni Sono Yogyakarta, 25 November 1978. M.H. Iskan lahir di Ngawi 11 November 1942, pendidikan terakhirnya adalah SSRI/ASRI 1962-1965 (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia/Akademi Seni Rupa Indonesia yang sejak 1984 berubah menjadi Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Indonesia). MH. Iskan kini aktif mendorong siswa-siswa sekolah menengah melalui berbagai apresiasi teater yang dimainkannya secara tunggal. Salah satu pertunjukan tunggal atau monolog yang dipentaskannya adalah Mulut (karya Putu Wijaya). Pertunjukan ini juga dipentaskan pada ”Pekan Monolog Kaum Adam” di Galeri Surabaya, 21 Juli 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar