oleh Autar Abdillah
Sebagai sebuah pengantar, sejarah teater Jawa Timur dapat kita telusuri melalui para pelakunya. Luthfi Rachman misalnya, selain sebagai sastrawan dengan puisi-puisi religiusnya, juga seorang pelukis, seorang organisator dalam pelaksanaan berbagai kegiatan festival drama, seperti Festival Drama Lima Kota yang diarsitekinya. Pada 1951 (1952 dibuat Kartu Tanda Anggota), bersama Muhamad Ali, Fadjar Sidiq dan Farid Thamrin mendirikan GSAMI (Gabungan Sastrawan Angkatan Muda Indonesia) Surabaya. Pada masa itu GSAMI bertindak membantu penyelenggaraan siaran suntingan Sastra di Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya. Siaran ini mendapatkan sambutan yang luas di Malang, Jember, Madiun, Mojokerto maupun Madura, sekitar tahun 1952-1953. GSAMI, sebagaimana juga diakui oleh Muhammad Ali, lahir dari upaya menandingi kekuatan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan PKI -yang pada waktu ini dilancarkan oleh S. Rumambi dan kawan-kawan. GSAMI ini, karena aktivitas melahirkan karya-karyanya di majalah Zenit, Gelanggang-Siasat, SENI, Kisah, Budaya, Medan Sastera, Tifa, Mimbar Indonesia, Mimbar Taruna, Unggun, dan sebagainya, sehingga memiliki hubungan yang dekat dengan seniman lain di Jakarta, antara lain Trisno Sumardjo, Zaini, Asrul Sani, H.B. Jassin, Ayip Rosidi, Bahrum Rangkuti, Balfas, S.M Ardan, Ahmad M.S. Juga dengan seniman di Yogyakarta, antara lain, Kirdjomulyo, Sri Murtono, Bagong Kussudiardjo, Rulyati, Elanda Rosi Ds, Mansur Samin dan sebagainya. GSAMI ini juga pernah menerbitkan majalah stensilan bernama Tjetusan. Setelah terbitan keenam berubah menjadi Gajabaru dan Bumi. Majalah ini beredar di lingkungan seniman dan sekolah menengah. Iwan Simatupang (guru sastra SMA 1 Wijaya Kusuma) dan Karyono JS tercatat turut membantu. GSAMI sendiri juga memperluas keanggotaanya, seperti Umar Haryanto dan Fuad Hassan. Dalam sebuah pergelaran di Sidoarjo, GSAM dan Luthfi Rachman mendapatkan ”musibah”. Pihak kepolisian Sidoarjo menghentikan pertunjukannya setelah berjalan selama 45 menit. Ihwal penghentian atau pembubaran ini adalah adanya sokongan atau pungutan pada penonton sebesar Rp. 700,00 (tujuh ratus rupiah) tanpa izin dari kepolisian Sidoarjo. Meskipun penonton telah menyatakan rela dengan sokongan tersebut, namun pihak kepolisian tetap memperkarakannya. Kepiawaian --dan terkadang kontroversial, kembali ditunjukkan Luthfi Rachman dalam karya drama Takdir Suara-suara Mati yang digelar di gedung Balai Sahabat, jalan Gentengkali Surabaya, 9-10 Mei 1959 yang disutradarai Anwar Rasjid (lulusan kursus seni drama tahun 1953 yang dilaksanakan Jawatan Kebudayaan Jawa Timur, pelawak dan koreografer tari Indonesia modern) sekaligus pemeran tokoh Sarojo, Toeti Roesmiatinah (pengurus kesenian keluarga Bhakti, anggota kesenian YMCA, penari Jawa di Bali tahun 1952-1954) sebagai Tuni, dan Luthfi Rachman sebagai Karim. Dalam drama ini terdapat adegan yang menurut pandangan masyarakat pada waktu itu sebagai ”serem”, yakni adegan mencium pada bagian leher dan dahi, serta pegangan tangan dengan penuh kemesraan pada bagian pundak dan dagu. Drama ini melukiskan kembalinya seorang bekas suami pada istrinya untuk melihat anaknya, tetapi anaknya telah lama mati. Istrinya masih belum percaya bahwa yang datang secara tiba-tiba itu adalah suaminya, karena telah tersiar kabar bahwa suaminya itu telah mati karena sakit gila. Akhirnya, sang istri menyatakan hendak kembali pada suaminya itu, namun ditolak. Pada saat bersamaan muncullah suami kedua dari sang istri dan terjadi percekcokan. Drama empat babak Tiga Puluh Keping Perak merupakan karya Luthfi Rachman selanjutnya sekaligus sebagai sutradara dan pemain dengan peran sebagai tokoh Judas, yang dipentaskan di gedung Taman Yayasan Kebudayaan Surabaya, 5 Juni 1959 yang di dukung pula oleh Sarjadi Hs sebagai Barabas, dan Toeti Roesmiatinah sebagai Mariam.
Pada 11 Pebruari 1961, sebuah rombongan serampang dua belas dari Jakarta yang baru saja mengikuti kejuaraan di Surabaya memainkan sandiwara dengan lakon Si Mersing (Hamidi T. Djamil) dengan sutradara Abdulmutholib (RRI Jakarta) atas permintaan ALRI untuk menghibur perwira Angkatan Laut, bertempat di ruang rekreasi Perwira Ujung Surabaya. Lakon ini berkisah tentang lingkungan keluarga yang bertitik pusat pada sifat kesatriaan nelayan-nelayan di Bawean pulau Kampal. Sebagai pendukung pertunjukan dari Jakarta, antara lain bintang film Aju Nysmah dan Lucia Harahap, dan dibantu oleh dramawan dan aktor Surabaya, antara lain Luthfi Rachman dan Umar Barabah.
Dalam rangkaian dakwah Islamiah, Drama Bilal Muadzinur Rasul (Luthfi Rachman) dipentaskan oleh pemuda Muhammadiyah cabang Surabaya, 30 Juni-1 Juli 1962 bertempat di gedung Yayasan Taman Kebudayaan Surabaya. Dalam aktivitas bersama pemuda Muhammadiyah, banyak kegiatan kesenian baik berbentuk halal bil halal maupun malam kesenian, misalnya ”Malam Gembira dan Halal bil Halal pemuda Muhammadiyah pada 25 Pebruari 1966, menampilkan drama satu babak, Njonja dan Njonja di Balai Pemuda Surabaya. Setelah sekian lama bergiat dalam dunia teater, Luthfi Rachman tiba-tiba menghilang. Sejak 1969 mulai berkecimpung dalam dunia film. Hal ini disebabkan oleh situasi ekonomi yang memang belum dapat memberikan jaminan hidup sehari-hari. ”Saya sempat menjual sepeda pancal dan dimarahi oleh Bapak saya”, kenang Luthfi Rachman. Atas dorongan Kandar Sinyo, Ratno Timur dan Pitrajaya Burnama, maka jadilah Luthfi Rachman menyiapkan naskah-naskah atau skenario film dan ikut terlibat dalam produksi, misalnya Misteri Borobudur, Pendekar Bambu Kuning, Dendam si Anak Haram, Lima Jahanam, Manusia Terakhir, Raja Pungli, Tante Soendari dan sebagainya. Namun demikian, pada 1976 kalangan sastrawan dan dramawan Jawa Timur, misalnya Djati Kawijanto dan Muhammad Ali, mendadak dikagetkan oleh ide mengadakan Lomba Drama Lima Kota (eks karesidenan Surabaya, yakni Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya) yang diikuti 32 kelompok teater di tambah dengan pertunjukan eksibisi dari Teater Alam Lamongan. Kegiatan ini tak lepas pula dari dorongan Cholik Dimyati dan Drs. Soetrisno R yang pada waktu itu mengepalai Pusat Kebudayaan, atau Taman Budaya Jawa Timur sekarang di jalan Gentengkali 85 Surabaya.
Pada tahun 1977 terlihat kecenderungan menyajikan legenda-legenda. Misalnya, Teater Bicara menampilkan Balada Roro Mendut, Teater Paplus menampilkan Balada Aria Panangsang, April 1979 karya Luthfi Rachman, dan karya drama lainnya Maulana Raja, Calonarang, Panembahan Senapati, Angling Darma, Damarwulan, Roro Hoyi, Balada Raden Wijaya, Roro Jonggrang, Jaka Tingkir, Jaka Tarub, Sumpah Gajahmada, Ande-ande Lumut, Panji Semirang, Bandung Bondowoso, Jayaprana, Lutung Kasarung, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh penerbit Firma “Warga”. Tersirat maksud untuk mengingatkan generasi pada saat itu tentang perbendaharaan sastera yang ada, agar tidak hilang. Dalam bentuk skenario film, antara lain Sawunggaling, Berdirinya Kerajaan Demak, Trunojoyo, Pak Sakerah, Jaka Sambang, dan Warok Suryomenggolo. Dan dalam bentuk film studi, antara lain skenario Siapa Ayahku dan Babat Alas Bedol Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar