Autar Abdillah
Pada sebuah pertemuan di Malang, seorang peserta pertemuan bertanya, "manakah yang harus didahulukan, teater atau masyarakat?". Pertanyaan semacam ini juga sering muncul dalam pertemuan-pertemuan lain. Begitu pula, ketika kita membaca tulisan-tulisan maupun pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan upaya membangun relasi teater dengan kekuasaan, politik, ekonomi, hingga sampah. Di sini, kita selalu kehilangan posisi untuk melihat hidup teater itu sendiri dengan hidup diri kita yang ada di dalamnya.
Terlebih dahulu, marilah kita pahami, mengapa muncul pertanyaan pertama dari seseorang tadi. Teater yang dipahami adalah cara-cara. Artinya, untuk berhadapan dan hadir bersama teater, terlebih dahulu muncul tuntutan untuk memeriksa struktur dramatik (tema --juga amanat, alur, penokohan, dan latar). Juga, persoalan artistik seperti tata lampu, panggung, rias maupun busana. Ditambah lagi dengan pikiran-pikiran maupun pengetahuan tentang pemeranan, penyutradaraan, dan mengelola (sesuatu) pertunjukan, serta penonton.
Pertanyaan kedua, adalah masyarakat. Masyarakat, bagi kita sekarang dipahami sebagai orang – orang yang telah mengalami penguasaan oleh dunia di luar dirinya. Sehingga, mereka kehilangan kedaulatan di atas keberadaan yang tumbuh disekitarnya. Masyarakat dikenali dari penindasan, penggusuran dan represifitas tindakan yang terjadi. Lebih jauh, masyarakat adalah ,akhluk yang "direndahkan" mastabatnya.
Permasalahan tersebut, bukan berarti tidak penting dalam teater. Tetapi justru merupakan realsi yang membangun hidup teater. Namun, antara teater dan masyarakat bukanlah sekuen yang dipandang secara dikotomis. Sehingga, muncul pemahaman, "mana yang harus didahulukan". Pemahaman ini, telah melahirkan teater yang disadari atau tidak, kehilangan hidup teater itu sendiri. Dan, akhirnya "ditinggalkan" oleh publiknya.
Hidup teater yang harus dipahami dalam hidup yang ada dalam "dunia sekitarnya". Terutama dari hidup makhluk yang juga hidup bersamanya. Jadi, teater berawal dari setiap orang yang sedang terlibat di dalamnya. Tidak bisa tidak, keterlibatan itu merupakan persentuhan yang berlangsung terus menerus dari hidup yang sedang berlangsung. Hidups ekarang itu, bukan berarti membutakan dirinya atas hidup di belakang dan didepannya.
Ketika "seseorang" (penonton publik) hidup bersama teater, selalu terjadi dua hal yang dilematik. Pertama, apakah seseorang harus menyaksikan segala sesuatu yang hidup di dalam (realitas) dirinya bersama – sama (realitas) teater. Kedua, apakah seseorang yang harus menyaksikan teater dengan segala pergumulan yang memasuki dirinya dengan menempatkan sebagai dunia lain yang mensubsidi pengalaman baru dalam diri sesorang tersebut. Sehingga, seseorang mendapatkan segala yang diinginkannya pula.
Kejadian pertama, menempatkan seseorang pada penemuan kembali realitas yang ada dalam dirinya. Misalnya, bagaimana seseorang memahami kembali hubungan (relasi) kenyataan hidup sehari – harinya, sehingga terbangun isnpirasi yang baru dalam ia memahami kenyataan hidup yang sedang berlangsung. Nah, di sinilah terjadi semacam kebangkitan atas peran – peran seseorang di dalam memposisikan dirinya, dan akhirnya memiliki dorongan untuk mempercayai antisipasi yang harus dilakukannya dalam hidup sehari – hari.
Sedangkan kejadian kedua, seseorang tetap mengalami pengasingan atas dirinya. Mengapa? Karena, pada saat hidup teater sedang berlangsung, ia membangun klaim – klaim (tuntutan) atas hidup teater itu sendiri. Bukan pada hidup yang dijalaninya sendiri. Seseorang, tiba – tiba mengklaim bahwa teater yang disaksikannya tidak ada emosi, tidak realistik, mengganggu perhatian dan sebagainya. Klaim – klaim tersebut hanya mungkin terjadi melalui satu penyidikan ataupun penelitian dengan terlebihd ahulu mencari variabel yang dapat dijadikan imbangan bagi persepsi – persepsi yang telah dilahirkan. Baik melalui pendekatan semiologi, sosiologi, antropologi, atau kebudayaan.
Surabaya Post, Minggu, 11 Juni 1995, seni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar