Sabtu, 10 Juli 2010

Tentang Teater Modern Indonesia

oleh Autar Abdillah
(catatan: tulisan ini dibuat 4 Juli 2002)

Membaca tulisan “Qua Vadis Teater Modern Indonesia, benarkah?, Perlu Penyegaran, bukan Penyeragaman” (Jawa Pos, 30/6), terdapat sejumlah kerancuan yang berakibat pada penyesatan pandangan tentang teater Modern di Indonesia. Hal ini lebih diperparah oleh asumsi-asumsi yang tidak berdasar tentang teater SAE yang melahirkan “sejumlah pengekor”. Padahal, sangat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh teater SAE sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan oleh teater-teater lainnya, termasuk oleh teater Kubur dan Payung Hitam. Meskipun Dindon dan Andi Bersama di teater Kubur pernah bergabung dengan teater SAE, tetapi mereka memiliki pandangan yang sangat berbeda. Begitu pula dengan aktor yang sangat penting dalam teater SAE dan kini membintangi sejumlah sinetron serta menjadi presenter acara flora dan fauna di sebuah stasiun TV swasta , yakni Zainal Abidin Domba, memiliki pandangan yang berbeda dengan apa yang diinginkan oleh Boedi S. Otong selaku penggagas maupun pelopor penting “teater anthropologis” di Indonesia.
Teater Modern di Indonesia hingga saat ini dipahami sebagai teater yang menggunakan naskah tertulis untuk membedakannya dengan teater tradisional yang menggunakan naskah lisan secara turun temurun. Itu pulalah sebabnya, mengapa Bakdi Sumanto menyebut teater Gandrik sebagai teater “post-tradisi”. Pengertian ini menjadi sangat tidak memadai lagi, karena teater tradisional sejak dilaksanakan berbagai festival teater rakyat-tradisional pertengahan tahun tujuh puluhan --memuncak di tahun delapan puluhan, dan berkembangnya media televisi, mulai memberlakukan naskah-naskah yang bukan berasal dari sastra lisan, tetapi mengembangkan naskah-naskah yang aktual dari persoalan-persoalan sosial ada. Untuk itu, tidak pada tempatnya lagi untuk memandang konsepsi teater dari bagaimana teks lakon dipergunakan.
Maka, teater modern di Indonesia dapat ditelusuri dari bagaimana aktor dan sutradara memposisikan dirinya dalam teater. Teater modern di Indonesia adalah teater dengan posisi aktor dan sutradara tidak lagi memiliki penafsir tunggal. Hal ini telah dimulai oleh Putu Wijaya yang membangun kepengarangan bersama dalam melahirkan teaternya. Hal ini tidak terdapat pada Rendra (Bengkel Teater), Arifin C Noer (Teater Kecil), Teguh Karya (Teater Populer), Nano Riantiarno (Teater Koma) maupun Suyatna Anirun (Studiklub Teater Bandung). James Roose-Evans, menyebut Jacques Copeau sebagai bapak teater modern. Copeau dalam manifesto terakhirnya (1913), mengatakan “Pour l’oeuvre nouvelle qu’on laisse un treteau nu!”. Sebuah panggung yang terang, sebuah ruang kosong. Lima puluh tahun kemudian diikuti oleh Peter Brook. Apakah telah terjadi penyeragaman?
Istilah penyeragaman dengan munculnya teater-teater yang tidak lagi memperlakukan tubuh seperti apa adanya, tubuh yang distilisasi, non verbal dan seterusnya, bukanlah bentuk penyeragaman. Semua itu proses yang lazim, yakni sebuah penguatan atas suatu mainstream dalam pertumbuhan teater. Pekerja teater mencoba untuk merebut hati publiknya dengan cara yang hampir sama dengan apa yang dilakukan teater pendahulunya. Atau, melakukan semacam percobaan untuk sesuatu yang dipandang dapat dieksplorasi lebih jauh. Tapi, semua itu tidak akan berlangsung lama. Karena setiap esensi bentuk yang dilakukan memiliki dasar historisnya sendiri. Tidak semua orang bisa melakukannya. Memang, di sebuah festival teater SMU di Yogyakarta pernah terjadi bentuk penyampaian yang nyaris seperti Gandrik, (saya sendiri sempat menyaksikannya) tapi semua orang tahu, bahwa itu bukan Gandrik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pola pertumbuhan semacam ini.
Khusus mengenai teater SAE yang dianggap melahirkan sejumlah “pengekor”, saya sangat tidak sepakat dengan asumsi ini. Teater SAE yang lebih dari sepuluh tahun membangun teater, dan lahir dari Festival Teater Remaja, lalu tidak berproduksi lagi harus dilihat sebagai suatu persoalan alami dalam suatu gagasan teater. Saya kebetulan berada di tengah-tengah teater ini ketika mengalami krisis “ideologis” yang menajam. Pada waktu itu sedang berlangsung penggarapan teater dengan judul Ayah Telah Berwarna Hijau. Beberapa tahun kemudian, sejumlah penggiat teater inipun sempat memainkan satu lakon yang dipimpin oleh Bustro Q. Yoga, dipentaskan di Jakarta, Bandung dan Surakarta. Pertanyaannya, apakah suatu teater harus berproduksi setiap hari, setiap bulan atau setiap tahun untuk mengatakan bahwa teater tidak mengalami stagnasi estetik atau artistik? Disnilah persoalan mendasar dari kekeliruan berpikir dalam teater.
Di Indonesia, boleh dikatakan ratusan teater lahir setiap tahun. Kelahiran artistik dan estetik juga sangat luar biasa. Ada teater dari Kalimantan dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional dua tahun lalu, bermain dari tali ke tali, bergelantungan untuk mengatakan bahwa tidak ada lagi tanah yang bisa mereka pijak, karena seluruh hutan di Kalimantan telah dirampas oleh para pemegang HPH. Saya menyarankan sdr. Indra Tranggono menyaksikan teater-teater di luar Yogyakarta. Di Yogyakarta itu, teater memang sangat sulit berkembang disebabkan oleh kuatnya pengaruh paham sastra dalam memandang teater. Teater dilihat dari kaca mata sastra, bukan kaca mata teater itu sendiri. Sejarah teater di Indonesia telah berubah jauh dari apa yang kini ditulis di buku-buku berbahasa Indonesia. Sedangkan sejumlah buku terjemahan yang ada, mengalami kesulitan interpretasi karena bukan merupakan bagian dari eksplorasi teater kebayakan para pekerja teater di Indonesia. Memang sulit bagi seorang sastrawan untuk membaca teater pada saat sekarang ini, termasuk sdr. Shoim Anwar. Bahkan, masyarakat secara umum pun merasa ditinggalkan oleh gagasan teater satu dasawarsa terakhir. Kita memang membutuhkan para kritikus teater yang mampu menjembatani jurang yang semakin lebar tersebut.
Mengenai akar teater di Indonesia, Akhudiat mungkin benar. Tapi, teater Indonesia tetap memiliki akar. Sedikitnya ada tiga akar yang menjalar dalam tubuh teater modern di Indonesia. Pertama, akar “stambulan” yang membangun teater tradisional. Kedua, akar teater “Barat” yang membangun prinsip teater ATNI, Asdrafi dan teater-teater yang bercorak realisme, naturalisme, dan romantisme. Ketiga, akar eksperimental yang melawan prinsip legitimasi teks lakon. Ketiga akar ini bisa tumbuh secara sepihak, tetapi dapat pula merupakan gabungan dari dua akar, bahkan ketiga akar itu dapat berjalan beriringan. Inilah keunikan teater modern Indonesia bila dibandingkan dengan teater di Eropa dan Amerika, maupun teater di Asia, Afrika, dan Australia. Khusus teater di Eropa, mereka memiliki akar historis yang lebih jelas, terutama dengan kuatnya hubungan mereka dengan perjalanan teater sejak era klasik (Yunani Kuno). Diaspora teater modern Indonesia pun juga unik, karena kebudayaan itu memang berdiri bebas tanpa ada yang bisa menguntitnya --termasuk rezim otoriter Orde Baru sekalipun, sampai ke akar-akarnya. Lalu, siapa bilang terjadi “pembusukan sejarah” atau pelapukan?
Indra Tranggono mengatakan, "artinya, ide-ide estetik maupun ide-ide sosial yang terkemas dalam kreativitas teater, akhirnya gagal menjawab tantangan zaman, sehingga tak terhindar untuk menjadi usang, lapuk dan busuk". Sungguh ironis bila teater dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman melalui ide-ide estetik maupun ide-ide sosial. Ini merupakan pemikiran yang mengada-ada. Teater tidak lahir untuk mengubah masyarakat. Di Jerman, para salesman, tukang parkir, pegawai percetakan, politikus mengikuti latihan teater tidak untuk mengubah masyarakat Jerman. Mereka masuk ke teater untuk mengubah diri mereka sendiri, agar mereka mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Teater yang membesar-besarkan dirinya untuk dapat melakukan revolusi sosial atau mengubah keadaan masyarakat adalah teater-teater omong kosong. Sama omong kosongnya dengan teater-teater yang menyibukkan diri dengan drama-drama yang bukan presentasi dirinya. Peter Brook mengatakan teater dengan drama-drama semacam itu sebagai “teater sampah”. Karena perbudakan teks lakon itu juga melahirkan diktatoritas sutradara, dan hilangnya otoritas aktor sebagai manusia juga dalam teater. Seni teater adalah seni peran, pertama, terakhir dan selamanya, jelas Granville-Barker. Atau, Jerzy Grotowski menegaskan teater adalah pertemuan aktor dan penonton, tidak perlu ada tata rias bahkan panggung sekalipun.
Modal dasar teater adalah manusia yang memandang dan menjalani kehidupannya. Bukan yang lain. Kalau modal manajemen teater itu soal lain. Selama ini memang terjadi juga kerancuan dalam membedakan mana yang teater, dan mana yang manajemen teater. Karena pekerja teaternya merangkap untuk mencari uang, mencari penonton, mencari sponsor, dan mencari penulis untuk membicarakan teaternya. Sehingga, teater tidak dilihat dari kemungkinan eksploratif yang terjadi, tetapi bagaimana perburuan untuk menghidupi para pekerja teater tersebut. Hal ini memang tidak terpisahkan dengan kebijakan besar negara dalam memandang kesenian, termasuk teater. Pemerintah tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membangun kehidupan teater.
Akhirnya, memang cukup menarik bila memandang gejala yang baru saja tumbuh di Indonesia dengan ikut sertanya sejumlah artis menjadi aktor dalam teater. Rendra pernah melakukannya di tahun 1987, ketika menampilkan Zoraya Perucha dalam lakon Oidipus Rex karya Sophocles di Balai Sidang Senayan Jakarta. Namun demikian, gejala yang baru saja muncul di Jakarta itu, lebih merupakan suatu tarik menarik dan upaya menghilangkan kesan, bahwa artis yang bermain di sinetron itu hanya jual tampang. Mereka ingin mengatakan, bahwa gue juga bisa akting lho. Dan, itu belum merupakan tradisi baru, atau pengaruh teater instan. Bila Royal Theatre Shakespeare London di pertengahan tahun delapan puluhan juga memainkan para artis dalam pertunjukannya, barangkali seperti yang dikatakan Akhudiat, yakni adanya kejenuhan dari penonton. Tapi, di Indonesia, penonton tidak mengalami kejenuhan. Yang terjadi adalah ketidaktahuan. Begitu pula dalam memandang teater modern di Indonesia yang penuh ketidaktahuan. Dan, itulah teater modern Indonesia. Apa mau dikata?

(Autar Abdillah, staf pengajar drama pada prodi Seni Drama, tari dan Musik (Sendratasik) FBS Unesa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar