Jumat, 16 Juli 2010

Teater Monolog Indonesia, dan Monolog Para Aktor

Catatan ”Pesta Monolog 2005, Panggung Para Aktor Bicara”
Oleh Autar Abdillah
(catatan: tulisan ini merupakan catatan saya sebagai Pengamat pada Pesta Monolog 2005 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005, dan pernah dimuat dalam majalah CIPTA DKJ, 2006; karena seorang mahasiswi IKJ membutuhkan tulisan ini, maka ada baiknya saya terbitkan kembali, semoga bermanfaat)

Empat belas aktor pilihan yang telah diseleksi melalui lomba di 13 wilayah di Indonesia, ditambah dengan dua bintang tamu (Ken Zuraida dan Wawan Sofwan) memperagakan kapasitas mereka sebagai aktor teater monolog Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005. Penampilan mereka tidak berlebihan untuk disebut sebagai presentasi aktor-aktor teater yang kini kita miliki. Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimana kita melihat monolog ala Indonesia itu, dan bagaimana kapasitas keaktoran teater di Indonesia saat ini?

Monolog dalam khazanah perteateran di Indonesia, dibahasakan melalui pemahaman teater modern. Monolog sebagai percakapan seorang diri (seseorang) yang disampaikan kepada pihak lain, sesungguhnya sudah dimiliki Indonesia sejak awal keberadaan teater di Indonesia. Di Sumatera Barat kita mengenal Bakaba dimana seorang pencerita menggunakan media saluang sebagai pengiring, menyampaikan cerita yang disaksikan penonton sambil mengitarinya. Di Surabaya terdapat tokoh paling populer bernama Markeso yang bercerita sendiri dalam bentuk yang disebut dengan Ludruk Garingan. Di Banten kita mengenal Wayang Garingan. Di Bali kita mengenal pula Pacegan. Di Aceh terdapat Kekeberen (dalam komunitas budaya Gayo), Adnan PMTOH, dan Bercerita Tunggal. Sedangkan di Makassar terdapat Kondobulong, Sindrilli yang diiringi instrumen keso-keso atau rebab, dan Massure (Bugis). Bila kita telusuri, masih banyak lagi bentuk-bentuk monolog ini dalam khazanah teater di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai pemahaman teater tutur yang diklasifikasikan dalam teater tradisional Indonesia.
Secara umum, semua teater tradisional kita merupakan perpanjangan bentuk dari sastra lisan hingga melahirkan teater tutur atau secara berseloroh seorang peserta ”Bincang-bincang” dalam Pesta Monolog 2005 lalu, menyebutnya sebagai ”teater” nyerocos. Selain dimainkan oleh satu orang pencerita, juga diiringi oleh berbagai alat musik lokal yang berperan membangkitkan suasana, dan memperkuat karakter tokoh-tokoh yang diceritakan. Hingga saat ini, bentuk teater tutur atau teater nyerocos ini, nyaris sudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya dengan berbagai alasan. Diantaranya, karena cerita yang dimainkan tidak berkembang, dan lemahnya unsur teateral yang dimiliki teater tutur tersebut.
Dalam khazanah teater modern, Monolog dapat kita rujuk pada pengucapan salah satu tokoh atau pemeran pada sebuah drama yang menyampaikan rangkaian dialognya seorang diri. Dialog yang relatif panjang ini berbentuk Soliloquy atau ada juga yang menyebut Aside yang secara harfiah berarti percakapan seorang diri dan berbicara ”kesamping” atau bisikan, dan menjadi satu kesatuan dengan seluruh pertunjukan. Meskipun menjadi satu kesatuan dalam pertunjukan, Soliloquy maupun Aside ini, merupakan percakapan seorang diri yang memiliki konteks khusus, yakni pernyataan tokoh cerita secara personal terhadap situasi yang sedang dihadapinya.
Memang, sejarah teater belum menempatkan monolog sebagai sebuah genre yang dikhususkan dalam teater. Juga, tidak merupakan sebuah gerakan yang mengubah jalannya perkembangan teater. Namun demikian, kalangan teater tetap memandang monolog sebagai sesuatu yang penting sebagai media berlatih seorang aktor. Media berlatih ini pun menjadi salah satu alasan untuk terus mengembangkan teater monolog. Alasan lain, karena sulitnya mengumpulkan para aktor dalam suatu kelompok, dan perbedaan kemampuan yang sulit disatukan diantara para aktor dalam suatu kelompok. Sebagai media berlatih, monolog memang dapat dipandang cukup efektif, karena seorang aktor mendapat tantangan yang lebih besar dalam menghidupkan perannya atau tokoh-tokoh yang diperankannya, karena seluruh artikulasi penokohan harus mampu diperagakannya dengan segala kapasitas yang dimilikinya.
Dalam ”Pesta Monolog 2005, Panggung Para Aktor Bicara” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki yang berkapasitas kecil atau sekitar 200-an penonton, 11-19 Mei lalu, kita dapat melihat bagaimana perbedaan kemampuan masing-masing aktor teater di Indonesia. Kalau tidak disebut kelemahan, kita bisa menyebutnya beberapa aspek pencapaian yang telah dilakukan para aktor tersebut. Pencapaian tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa aspek.
Pertama, penguasaan elemen keaktoran. Elemen keaktoran sedikitnya mencakup beberapa hal, diantaranya kemampuan vokal (baik volume maupun artikulasi, diksi, ketepatan dan kejernihan produksi suara), penggunaan peralatan tubuh (gestur, mimik, kelincahan dan kelenturan pergerakan tubuh), pemanfaatan ruang pertunjukan (eksterior dan interior), kemampuan menggunakan peralatan di luar tubuh (hand property, perabotan –jika ada), penyatuan dan harmonisasi dengan seluruh komponen artistik (baik musik, pencahayaan, kostum maupun make up –bila digunakan), dan kemampuan mengkomunikasikan dirinya dengan penonton.
Pada aspek yang pertama ini, hampir semua aktor mengalami persoalan yang signifikan. Persoalan tersebut bisa dipahami melalui beberapa hal. Yakni, ketidaksiapan aktor menghadapi pertunjukannya (bisa karena gugup yang disebabkan oleh arsitektur ruang yang relatif tidak begitu akrab dengan dirinya, bisa pula karena kondisi fisik yang kelelahan, karena harus menangani hampir seluruh kebutuhan pertunjukan), hingga kekurangmampuan aktor tersebut menggali potensi dirinya. Selain itu, besar kemungkinan para aktor memang tidak menjalani latihan-latihan yang intensif. Keikutsertaan mereka hanya untuk mengisi kesempatan yang ada. Bukan karena monolog menjadi pilihan penting dalam ekspresi berteaternya.
Satu hal yang sangat disayangkan juga adalah adanya aktor yang mengubah naskah pertunjukannya hanya dua minggu menjelang penampilannya. Disamping itu, ada pula yang mengalami pembatasan waktu penampilan ketika mereka mengikuti lomba di wilayahnya, sehingga diambillah jalan pintas dengan mengubah struktur lakon, dan melahirkan struktur lakon dan pertunjukan yang baru tanpa memperhatikan atau membuat pertimbangan yang memadai terhadap kapasitas lakon yang dimainkannya. Celakanya lagi, ada yang menampilkan tokoh imajiner menjadi tokoh yang benar-benar hadir di atas panggung dan melakukan dialog dengan sang aktor. Apapun alasannya, cara semacam ini justru menunjukkan kelemahan mendasar sang aktor pada aspek interpretasi teks dramatiknya.
Kedua, interpretasi dan pengejawantahan lakon atau teks dramatik dan teateral. Meskipun interpretasi awal lakon harus dilakukan oleh sutradara, seorang aktor yang juga menempatkan dirinya sebagai sutradara mencoba melakukan interpretasi sebagai aktor sekaligus sutradara, bahkan ada yang juga memasuki wilayah artistik. Interpretasi teks dramatik dan teateral secara sederhana terlihat amat mudah. Namun akan amat dirasakan akibatnya, ketika teks dramatik dan teateral tersebut memasuki atau ditransformasikan ke dalam teks pertunjukan.
Seorang aktor –bagaimanapun ahlinya, tidak memiliki kesempatan atau peluang melakukan interpretasi terhadap apa yang sedang dilakukannya. Misalnya, bagaimana ia telah mencapai tingkat pemahaman terhadap isi teks tanpa mengetahui output isi teks tersebut, ketika disaksikan oleh orang lain atau penontonnya. Demikian pula dengan transformasi isi teks tersebut menjadi bentuk pertunjukan, penempatan ruang, interaksi dan dinamika teks hingga keterbacaan teks dramatik dan teateral tersebut. Agaknya, terlalu gegabah bila seorang aktor memiliki kepercayaan diri yang terlalu besar, bahwa semua teks dramatik dan teateral bisa diinterpretasi tanpa pembanding yang dapat mendorong bekerjanya teks tersebut.
Pembanding yang tidak diposisikan secara khusus, memiliki akibat tidak adanya pedoman yang memadai dalam mendorong bekerjanya teks secara efektif dan produktif. Terdapat beberapa istilah yang digunakan para aktor untuk melengkapi pembanding atau pihak yang mencoba mendorong bekerjanya teks pertunjukan, seperti Ken Zuraida bintang tamu dari Jakarta yang membawa teks Tanpa Batas, dan Joind Bayuwinanda (Jakarta) melalui teks Nol karya Putu Wijaya menyebutnya Skenografi, Mami Sri Maryani (Bandung) melalui teks Masmirah karya Arthur S. Nalan menyebutnya Dramaturg, Etenk Irsyad (Palu) melalui teks Aut karya Putu Wijaya menyebutnya sebagai Konsultan Garapan. Barangkali dalam istilah lain ada peserta yang menggunakan istilah supervisor untuk tujuan yang sama.
Ketiga, ketiadaan seorang sutradara dalam melakukan proses penyutradaraan. Selain melakukan interpretasi, sutradara sangat berarti dalam membangun struktur pertunjukan. Sutradara akan sangat membantu dalam membangun mise en scene, variasi dan dinamika komposisi, hingga keberartian pengucapan yang dilakukan aktor. Selain peserta yang telah disebutkan diatas, selebihnya tidak menggunakan ”jasa” khusus seorang sutradara. Akibatnya, banyak kemungkinan pengucapan, tidak mampu terbangun dalam struktur pertunjukannya.
Bahkan, aktor-aktor yang menulis sendiri teks dramatik maupun teks teateralnya mengalami kebuntuan yang berdampak pada ketersumbatan aliran tekstualnya. Hal ini sangat mencolok terjadi pada Sendri Yakti (Kendari) dengan lakon Bulan. Sedangkan Aishah Basar (Medan) dengan lakon Perempuan, terbawa terlalu jauh pada penafsirannya sendiri, sehingga sutradara yang dimilikinya (Idris Pasaribu) tidak bekerja terlalu banyak untuk mengalirkan teks dramatiknya ke teks pertunjukan.

Konsepsi Sinergis
Bila memang monolog itu merupakan khazanah pemahaman teater Modern, maka konsepsi sinergis menjadi pilihan yang paling kecil resikonya bagi seorang aktor. Konsepsi sinergis ini mengandaikan adanya berbagai komponen yang bisa disatukan untuk menjadikan kerja aktor lebih efektif dan produktif serta melahirkan wacana ke-Indonesiaan yang menarik sebagai referensi perkembangan teater di Indonesia umumnya, teater monolog khususnya. Komponen yang terlibat dalam konsepsi sinergis ini bisa merupakan pola teater tutur yang berkembang di pelosok Indonesia, bisa pula tema lokal yang aktual, kebahasaan, perilaku, dan asumsi kultural.
Dalam Pesta Monolog 2005, konsepsi sinergis ini paling tidak dapat kita temukan pada pertunjukan bintang tamu dari Bandung yang dipercayai tampil dalam acara penutupan, yakni Wawan Sofwan yang membawa teks Dam karya Putu Wijaya, maupun bintang tamu yang dipercaya membuka rangkaian Pesta Monolog 2005, Ken Zuraida (Jakarta) melalui teks Tanpa Batas karya Ken Zuraida. Disamping itu dapat pula kita temukan pada Luna Vidia melalui teks Balada Sumarah karya T. Lestari, Elan Windalian (Aceh) melalui teks Wih karya Salman Yoga S, Mami Sri Maryani (Bandung) melalui teks Masmirah karya Arthur S. Nalan, dan Sukamto (Surabaya) melalui teks Damar Kurung karya Sukamto.
Wawan Sofwan membangun konsepsi sinergis melalui transformasi model teater tutur (topeng) Pacegan yang ada di Bali untuk menghidupkan lakon yang kebetulan di tulis oleh pengarang yang memang berlatarbelakang budaya Bali. Berdasarkan pengakuan Wawan, teks yang telah dimainkan beberapa kali ini juga pernah dicoba menggunakan berbagai latar kultural terhadap tokoh-tokoh yang diperankannya. Kepiawaian Wawan tidak hanya sampai disitu. Ia juga memiliki kapasitas yang lebih dibandingkan para aktor lainnya dalam mengkombinasikan bahasa tubuhnya dengan bahasa verbal melalui berbagai variasi. Dalam konteks konsepsi sinergis bahasa tubuh dan bahasa verbal ini, juga dapat kita temukan pada penampilan Luna Vidia dan Mami Sri Maryani.
Berbeda dengan Elan Windalian, konsepsi sinergis dibangunnya lewat pengungkapan fakta sosio-kultural yang dialaminya di tanah kelahirannya. Melalui media tikar pandan, Elan membuka tabir delinkwenisasi sosial yang merobek pencitraan masa lalu yang menjunjung tinggi adat istiadat. Elan berujar, ”ini saatnya katak memecah tempurung/meretas nurani/meruntuhkan kebungkaman sopan santun adat”. Melalui teknik non verbal, Elan benar-benar memfungsikan seluruh penginderaannya terhadap peristiwa yang seolah-olah terjadi di depan mata.
Dalam konteks yang hampir sama, melalui teknik verbalnya Ken Zuraida menggambarkan tokoh utamanya yang menuntut hak yang sama dirinya sebagai manusia. Teknik verbal yang dibangun Ken Zuraida menggiringnya pada situasi bercerita atau terkesan mendongeng. Kesan semacam ini dimungkinkan pula oleh perbedaan usia tokoh dengan dirinya yang teramat jauh, serta gambaran peristiwa aktualnya tidak secara langsung dihadapi Ken Zuraida. Namun semua itu mampu terabaikan oleh kapasitas keaktoran Ken Zuraida yang dapat menguasai alur penceritaan dan bahasa tubuh dan verbalnya yang amat kuat.
Sedangkan Sukamto mencoba membahasakan pertunjukannya dari khazanah filosofis masyarakat Jawa untuk membaca persoalan masa kini. Teknik non verbal yang digunakan Sukamto cukup efektif, tetapi kurang produktif, karena Sukamto berlari terlalu jauh dari substansi kultural yang hendak dibangunnya. Di samping itu, Sukamto juga mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari kondisi fisikalnya. Hal ini berdampak pada lemahnya produksi suara yang menjadi tuntutan tekstualnya.
Mami Sri Maryani bak penari yang menggunakan sehelai kain untuk membantu pembentukan tokoh-tokoh ceritanya –disamping menggunakan differensiasi suara. Cara ini sangat efektif dan produktif. Personifikasi tokoh-tokoh cerita yang sedemikian gamblang ditampilkan Mami SM, didukung pula oleh penguasaan ruang interior dan eksterior yang memadai. Meskipun membawa warna kultural yang kental seperti yang diupayakan Sukamto, Mami SM lebih mampu membangun kekuatan kulturalnya, karena didukung oleh penataan artistik yang signifikan.
Monda D. Gianes (Riau) dengan lakon Aut (Putu Wijaya) sebenarnya ingin pula membawa nuansa kultural ke dalam nafas pertunjukannya. Tetapi, Monda hanya ”bermain” sebatas instrumen musiknya. Pengucapan dan perilakunya dikembalikan pada ”teks aslinya”. Monda seperti kurang peka akan adanya kemungkinan transformasi kultural seperti yang dilakukan Luna Vidia yang menyelipkan pola ucap orang Makassar, meskipun agak janggal dengan ritme tekstual yang sesungguhnya. Namun, Luna berhasil membentuk suatu iklim rekreatif kulturalnya. Sebagai proses peragaan teks, Monda cukup mampu menggerakkan penceritaanya.

Kerancuan Tekstual
Kerancuan tekstual merupakan pemberian kadar tekstual yang kurang tepat atau berlebihan. Hal ini terlihat pada pertunjukan Hendra Utay (Bali) melalui teks Bahaya Racun Tembakau karya Anton Pavlovich Chekov, dan Pandu Birowo (Padang) melalui teks Apologia karya Plato. Sebagai sebuah pertunjukan, Hendra Utay boleh dibilang cukup berhasil. Namun demikian, jalan pintas yang diambil Utay untuk memecahkan persoalan waktu atau durasi penampilan, sepertinya agak sulit untuk melupakan begitu saja khazanah tekstual yang digunakannya.
Tidak ada larangan untuk melakukan pembongkaran habis-habisan teks yang sudah dilahirkan oleh seorang dramawan atau seorang penulis naskah (playwright). Tetapi setiap teks membawa dengan sendirinya berbagai kaidah yang membawa denyut jantung kehidupan pengarangnya. Bila denyut jantung pengarangnya sudah dicabut dari saluran urat-urat syarafnya, maka teks yang kita gunakan memiliki hak untuk bermigrasi. Migrasi teks tersebut dapat mengalihkan identitas maupun entitas pengarang atau penulis teks tersebut. Meskipun tidak membunuh atau mematikan pengarangnya, migrasi teks harus disertai dengan penjelasan terhadap ”penistaan” atau peleburan dengan nama dan kontekstualisasi teks yang baru.
Utay masih menggunakan nama Bahaya Racun Tembakau dengan pengarang Anton P. Chekov. Kerancuan pada Utay justru memberi kesan, bahwa Utay gagal memahami teks yang digunakannya. Disamping itu, Utay juga terkesan gagal menjadi aktor karena tokoh imajiner yang seharusnya mampu dihidupkannya lewat kemampuan keaktorannya, justru tereliminasi oleh kehadiran tokoh imajiner tersebut. Lebih rumit lagi, Utay justru telah membentuk pertunjukan teater dengan dua aktor yang tentu bukan lagi monolog atau percakapan yang personal dan seorang diri.
Sedangkan Pandu Birowo belum memiliki kesempatan yang cukup untuk memasuki teks yang digunakan. Ia justru menjelmakan diri menjadi seorang filsuf yang diidentikkannya dengan kesopanan, kelembutan, berpikir keras, dan seolah-olah tidak peduli dengan orang lain. Hal ini berakibat pada pelarian teks dari publiknya. Pelarian teks ini bergerak terus hingga pelarian ketubuhan Pandu Birowo kepada penontonnya. Penonton tidak tahu kepada siapa sang aktor hendak bicara. Lebih tepat bila disebut sang aktor hanya ingin bicara pada dirinya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh rendahnya volume dan dinamika pertunjukan yang digiring sang aktor.
Apa yang dialami Pandu nyaris mirip dengan Dedi Apriansyah (Lampung) yang membawakan teks Hamlet dan Sedikit Perkiraan Tentangnya karya Ari P. Hutabarat. Teks dramatik maupun teateral kehilangan tubuhnya. Sepertinya, tidak ada perkiraan yang bisa ditransformasikan dalam idiom yang baru. Terdapat kesan, sang aktor hendak membuat suatu konsep kontras atau ambiguitas dalam berbagai relasi, tetapi justru menimbulkan kelucuan yang tidak lucu. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak ikut bermainnya gestur dan tubuh Dedi dalam menopang konsepsi yang dibangunnya, dan kerancuan tekstual terjadi pada titik tafsir membangun struktur pertunjukan.
Sedangkan Hapsah (Jambi) yang membawakan teks dramatik Prita Istri Kita (Arifin C. Noer) terjebak pada pengejaran kalimat pada saat dia tidak menyentuh benda atau peralatan yang ada. Teks mengalami pengurangan fungsinya secara signifikan. Hal ini dipersulit lagi dengan dinamika emosi dan tubuh Hapsah yang tidak terbangun sebagai akibat pemenggalan kalimat dan jedah yang kurang tepat. Penonton mengalami kesulitan yang berarti mengikuti jalannya penceritaan sang aktor. Hal yang hampir sama terjadi pada Aishah Basar (Medan) dengan lakon Perempuan (Aishah Basar).

Epilog
Apapun yang telah dilakukan para aktor teater monolog di teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta beberapa waktu lalu itu, satu hal yang tak bisa kita pisahkan adalah warna kultural yang kita miliki dan pemahaman modern yang telah merasuk dalam diri kita menjadi idiom keberadaan teater monolog di masa mendatang. Disamping itu, kepada para aktor, banyak harapan yang bisa kita tumpahkan. Harapan tersebut bukan saja pada masa depan mereka, tetapi juga harapan untuk lebih menempatkan monolog sebagai pilihan berteater yang dapat berkembang menjadi salah satu kekuatan berteater kita. Untuk itu, upaya keras para aktor dalam menangani persoalan-persoalan keaktorannya akan sangat menentukan.
Disamping itu, keseriusan untuk menjadikan monolog sebagai salah satu genre teater harus ditopang oleh berbagai penelitian yang dapat menemukan aspek-aspek logis pengembangan monolog tersebut. Jadi, monolog bukan saja sebagai media berlatih dan pengujian kemampuan aktor, tetapi menjadi kekuatan pengucapan teater dalam menggalikemungkinan idiom maupun ideologi berteater di Indonesia. Tidaklah berlebihan, bila khazanah berteater kita, dapat menemukan pilihan baru dari situasi yang sulit bagi suatu kelompok teater dalam membangun komunitas yang dapat terus menerus atau secara periodik mengadakan pertunjukan.
Bila pantomime sebagai satu genre teater yang juga dimainkan secara perseorangan telah mengalami ketersingkiran oleh dunia sulap semacam Doddy Corbuser atau reality show di layar televisi yang penuh kejutan, maka monolog sangat mungkin menjadi bagian yang terpisahkan dari spirit ”one man show” di era sekarang ini. Selamat bertemu di arena pertunjukan yang lain. Dan, selamat berproses menemukan monolog ala Indonesia, yang mungkin bisa menjadi teater nyerocos atau teater tutur atau juga teater tunggal sebagaimana telah dikenal dalam pertunjukan tari. Apapun monolog itu, kita bisa mencoba monolog menurut perkiraan kita masing-masing.

Autar Abdillah
Staf pengajar Drama dan Teater pada program studi Seni Drama, Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, Pengamat pada Pesta Monolog 2005 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 11-19 Mei 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar