Selasa, 23 Juli 2013

Riau Pos Ekspektasi Kepemimpinan Lokal Oleh: Autar Abdillah 20 Juli 2013 - 08.42 WIB > Dibaca 19 kali Provinsi Riau memiliki pengalaman yang panjang dalam kepemimpinan lokal. Masih segar ingatan terhadap Gubernur Riau H Arifin Achmad dengan segala pernik-pernik persoalan yang dihadapinya. Persoalan itu kemudian membuka peluang militer menjadi pemimpin lokal. Kemunculan Aris Munandar tidak kalah problematiknya. Gaya kepemimpinan Jawa Timuran yang dia terapkan melukai perasaan warga lokal. Aris Munandar bahkan tersingkir saat memasuki periode kedua masa jabatannya dari pemilihan lokal yang dramatis. Meski dipaksakan, Aris Munandar akhirnya dikalahkan oleh penyakitnya sendiri. Kehadiran Suripto sempat membawa angin segar bagi politik dan kehidupan sosial budaya lokal. Meski akhirnya tak mampu menjawab tantangan zamannya. Otonomi daerah mengantarkan masyarakat daerah menentukan nasibnya sendiri. Namun demikian, kepemimpinan lokal (daerah) dalam satu dasawarsa lebih, gagal menjawab harapan publiknya. Banyak aspek yang menyebabkannya. Mulai masalah akuntabilitas, partisipasi masyarakat lokal, rekrutmen dan manajemen kepegawaian lokal sampai pada motif-motif ekonomi dan politik dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan lokal. Akuntabilitas pemerintah lokal sering tidak teruji dalam masyarakatnya. Bahkan, pada level hubungan dengan negara, selalu mengalami kesenjangan yang serius. Di sisi lain masyarakat lokal hanya menjadi “bayang-bayang” saja dan tidak tersentuh secara praksis. Masyarakat hanya seolah-olah terlibat dalam perencanaan, penyusunan maupun penyelenggaraan kebijakan pemerintahan lokal. Akibatnya, perseteruan di tingkat “penguasa lokal”, eksekutif dan legislatif, menjadi tontonan sinis masyarakatnya. Celakanya, terjadi pula pertarungan kekuatan politik di dalamnya. Partisipasi masyarakat lokal yang terjebak dalam arus politik saling dukung menunjukkan belum terkelolanya pemberdayaan yang efektif, pendidikan politik, dan kesadaran terhadap hak dan kewajibannya. Lebih jauh, institusinalisasi partisipasi masyarakat lokal tidak banyak tersentuh. Ada guru yang ramai-ramai dibatalkan serifikasinya, karena mereka tidak diberdayakan dalam penulisan ilmiah. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang merasa dirinya memiliki kekuatan massa, sehingga mempengaruhi secara dominan kebijakan pemerintah lokal tanpa memperhitungkan kompetensi yang dimilikinya, dan seterusnya. Kepemimpinan Lokal dan Otda Kepemimpinan lokal adalah proses penyelenggaraan kedaulatan masyarakat lokal untuk dimanfaatkan bersama oleh seluruh aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal. Tidak mudah mendefenisikan kepemimpinan lokal yang memiliki garansi terhadap terpenuhinya aspirasi dan kepentingan masyarakatnya, karena kepemimpinan lokal adalah kepemimpinan politik yang masih bercampur baur dengan lemahnya pendidikan politik yang dijalankan oleh masing-masing partai politik. Dengan demikian, terdapat pemisahan di awal kita membicarakannya, antara kepemimpinan lokal dengan dampak yang akan ditimbulkannya. Di samping itu, kepemimpinan dalam segala aspeknya juga telah mengalami distorsi yang signifikan. Kepemimpinan dalam masyarakatnya sekarang ini berada dalam tiga ruang yang masih memiliki pengaruh yang sangat kuat. Pertama, kepemimpinan diletakkan dalam ruang kekuasaan. Memimpin berarti menguasai. Bukan melayani. Kepemimpinan lokal belum memenuhi harapan publik karena tidak banyak melakukan perubahan signifikan. Yang terjadi justru masing-masing kepemimpinan disibukkan dengan mengurusi “kongsi” politiknya, dan menjelang pemilihan untuk periode selanjutnya sibuk mengatur strategi pemilihan baru (baik untuk diri sendiri maupun untuk partainya). Keadaan semakin sulit ketika dalam suatu pemilihan menggunakan sistem paket. Kepentingan masing-masing “kongsi” politik menimbulkan konflik tanpa henti. Kedua, kepemimpinan diletakkan dalam ruang pentasbihan permanen. Suatu kepemimpinan selalu menekankan pembukaan peluang untuk dipertahankan terus menerus. Jika tidak mampu mempertahankan, dianggap tabu. Dicap gagal. Hal ini merupakan kecenderungan berpolitik yang menempatkan kepemipinan lokal sebagai wakil partai semata. Belum mencair menjalankan tugas dan perannya mengayomi seluruh warga masyarakat dalam menciptakan keadilan, demokratisasi dan kesejahteraan. Dalam kondisi seperti ini, jangan berharap ada perubahan. Ketiga, kepemimpinan adalah kemewahan. Untuk menjalankan kepemimpinan yang sehat, seseorang sering menunjukkan segala kemewahan yang dimiliki. Seolah-olah kemewahan linier dengan keberhasilan dalam suatu kepemimpinan lokal. Akibatnya, terjadi banyak tindakan penyelewengan yang berakibat amat mengenaskan. Namun demikian, kepemimpinan lokal yang menjadi teladan bagi rakyat sekarang ini adalah kesederhanaan yang harus ditunjukkan pemimpinannya. Kepemimpinan Jokowi adalah contoh menarik untuk melihat bagaimana kesederhanaan melahirkan simpati yang luas dari masyarakat. Bahkan, dalam jejaring sosial pun ditunjukkan bagaimana dalam penerbangan pulang ke darah asalnya Solo, Jokowi duduk di kelas ekonomi. Kesederhanaan juga ia tunjukkan dalam berbagai penampilannya dan ucapan-ucapannya yang mudah dimengerti masyarakatnya. Ketiga ruang kepemimpinan ini, sekarang menjadi musuh bersama masyarakat. Masyarakat teralienasi dengan daerahnya sendiri, dengan kelokalannya sendiri, berapapun besarnya upaya membangun kebudayaan lokal. Kelokalan bukan hanya melahirkan produk kebudayaan, tetapi semua kebutuhan masyarakat lokal dalam memandang kehidupan bersama. Perspektif Otonomi daerah harus ditempatkan dalam posisi yang sesungguhnya. Otonomi daerah bukanlah otonomi pemerintah daerah. Otonomi daerah adalah otonomi masyarakat daerah (baca: lokal). Inilah yang sering menimbulkan permasalahan serius dalam kepemimpinan lokal, yang seolah-olah mereka adalah penguasa daerah yang tidak memiliki pijakan pada masyarakat daerahnya sendiri. Otonomi masyarakat daerah merupakan perujudan keadilan, demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat daerah. Kepemimpinan lokal dalam otonomi daerah harus mampu membangun mutual trust dan mutual respect, saling melengkapi, saling membutuhkan, baik antara pusat dengan daerah, antar penyelenggara pemerintah daerah/lokal, pemerintahan lokal dengan masyarakatnya. *** Autar Abdillah, Anak jati Pekanbaru, sekarang staf pengajar Universitas Negeri Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar