Senin, 25 November 2013

Menolak Korupsi Melalui Puisi

Oleh Autar Abdillah

Sekilas, menolak korupsi seolah-olah tindakan yang sia-sia. Korupsi bukan lagi suatu kejahatan yang memalukan. Tapi, korupsi adalah kehangatan hubungan borjuasi yang merasa dirinya sebagai makhluk yang terhormat. Hampir tidak ada pelaku korupsi yang memancarkan rasa sedih dan penyesalan. Apalagi rasa malu merampok uang rakyat. Sementara rakyat menjerit karena himpitan kemiskinan yang seolah-olah dibiarkan untuk konsumsi politik lima tahunan pembuat legislasi, maupun eksekutif yang hendak membuat rencana perampokan. Bahkan lembaga Yudikatif pun diserangnya tanpa ampun. Upaya bersama menolak korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan membangun keyakinan bahwa korupsi dapat merusak sendi-sendi kemanusia. Mengubah tatanan nilai dan kebudayaan menjadi lebih arif dan bijak. Maka, upaya-upaya semacam ini –apapun medianya— tentu dapat menggerakkan kemauan masyarakat luas, sekaligus kesadaran terhadap dampak-dampak korupsi itu sendiri. Ratusan penyair di Indonesia ramai-ramai dan bergerak bersama untuk memilih puisi sebagai media untuk menyatakan dirinya menolak korupsi. Sejak setahun lalu, lahir kumpulan puisi menolak korupsi (PMK). Dipimpin oleh penyair Sosiawan Leak, ratusan puisi pun kembali lahir tahun ini dari 197 penulis (terbitan pertama ditulis oleh 85 penulis) berbagai profesi, terutama para penyair yang aktif di jejaring sosial Facebook. Guna menghantarkan puisi menolak korupsi ini ke hadapan masyarakat, maka digelar road show ke berbagai daerah. Pada akhir November ini memasuki road show ke X dan XI, yakni di Surabaya dan Bojonegoro. Selanjutnya akan bergerak ke Jepara dan Ngawi, dan beberapa daerah lain juga mempersiapkan dengan penuh gairah. Sebelumnya, kegiatan road show sudah mampir di Blitar, Tegal, Banjarbaru, Palu, Semarang, Solo, Purworejo, Pati bahkan KPK sebagai institusi resmi pemberantasan korupsi. Penyelenggara road show ini juga beragam, mulai dari seniman, guru hingga organisasi wartawan. Bentuk penyelenggaraan bukan saja membaca puisi dan diskusi, tapi sebagian juga menyelenggarakan performance art hingga menulis puisi dan berbagai perlombaan. Membaca Harapan atau Kemarahan Di tengah-tengah carut marut korupsi yang menggarang, tentu tak banyak harapan. Namun bukan berarti harapan harus disingkirkan. Karena korupsi ada dimana-mana. Bukan saja mencuri hak-hak rakyat, tapi mendustai rakyat dan sesama manusia dengan berbagai dalih. Korupsi kebijakan yang sulit diperkarakan menjadi pintu masuk baru bagi tindakan korupsi yang semakin sophisticated. Begitu gampang bersembunyi dan bahkan dengan kepengecutan diatas keperkasaan yang semu ditunjukkan tanpa ragu. Korupsi hati juga memberi aksentuasi yang dialogis dalam puisi menolak korupsi tahun ini. Harapan yang mengeras pada akhirnya menimbulkan kemarahan, hingga ketidak-percayaan dan apatis terhadap perilaku korupsi. Inilah yang mendominasi penulisan puisi menolak korupsi yang kedua ini. Seperti pada akhir puisi Linda Ramsita dari Bekasi “Negeri Seribu Dusta”, … negeri seribu dusta/dipenuhi penghuni pemabuk gila/menguliti jiwa-jiwa tak berdaya/pada tanah telanjang/setiap detik adalah deraan/biluri hati mereka/yang dirajam nestapa. Atau puisi Asdar Muis dari Makassar “Bila Aku Tolak Korupsi”, …Bila kita menolak korupsi/Akankah suara kita terdengar/akankah menggugah kesadaran diri akan kebangsaan/ Dapatkah menyadarkan akan empati kebersamaan/Bila kita menolak korupsi/Mestinya mereka tidak tuli!. Dari sisi kebahasaan, Majas harapan maupun kemarahan juga memberikan identitas khusus dan warna penulisan puisi menolak krupsi. Melalu majas pembaca dibawa pada kesadran yang membangkitkan imajinasi yang lebih kental. Puisi “Nafas Bau” Barlean Bagus dari Jember …nafasmu bau !!/lekas kau kunyah saja aku/biar tak merah rotiku/merah saja mulutmu. Majas-majas semacam in semakin mengekalkan keyakinan penyairnya akan ketersampaian makna harapan maupun kemarahan. Varian majas cukup beragam dan menunjukkan bahwa penulis puisi yang terangkum dalam antologi puisi menolak korupsi ini memiliki kesadaran puitik yang memadai. Seratus Sembilan tujuh penulis dalam puisi menolak korupsi tahun ini juga dengan tegas menunjukkan betapa rendahnya martabat tindakan korupsi itu sendiri, termasuk para koruptormya. Selain sebutan raja maling, penghutang, penjarah, serakah, juga ada nama-nama binatang yang diidentikkan dengan para koruptor. Menghujat terkadang juga memberikan tekanan emosi yang merangsang harapan. Meski terkadang menghujat dapat pula membuyarkan harapan, sehingga pembaca hanya menerima kesan kemarahan penulis puisi. Nasehat yang Bijak Satu hal yang tak kalah pentingnya dalam puisi menolak korupsi (PMK) adalah munculnya nasehat-nasehat yang penuh dengan nasehat yang bijaksana. Nasehat merupakan sarana pengingat bahwa tindakan koruptif dapat mencelakakan masa depan kemanusiaan. Tindakan koruptif dapat dicegah sedini mungkin dengan adanya kesadaran para pelakunya untuk mengubah tabiat dirinya dalam korupsi. Seperti salah satu bagian puisi “Ladang Kata” Dyah Setyawati dari Tegal, …jangan kau manipulasi hati/bukankah ini salah satu bentuk tindak korupsi/mari introspkesi. Nasehat juga selalu dikaitkan dengan kekuasaan ilahi. Tuhan yang maha bijak tidak akan membiarkan umatnya untuk terjerumus pada kenistaan dan kesesatan. Tindakan dan pelaku korupsi dikembalikan pada perlunya campur tangan Tuhan. Manusia hanya berusaha untuk saling mengingatkan. Tuhan juga berkehendak agar manusia menjauhkan dirinya dari tindakan yang koruptif. Seperti puisi “Suatu Hari di Negeri Yang Baru 68 Tahun Merdeka” Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta) … :hanya satu yang tak dapat dijajah uang/hati yang tulus dan selalu/bergantung hanya pada-Nya. Masa Depan Gerakan PMK Puisi menolak korupsi (PMK) yang digagas ratusan penulis puisi ini merupakan gerakan moral yang mulai berhadapan dengan berbagai tuntutan dari para penulisnya sendiri. Adanya yang ingin segera ada hasil yang dicapai dalam upaya pemberantasan korupsi lewat puisi. Ada pula yang ingin mengalir saja sejalan dengan gejolak yang muncul dari kegiatan penolakan korupsi. Sebagai gerakan moral dan dengan spirit kultural melalui puisi dibutuhkan energi yang cukup untuk menggelorakan penolakan terhadap korupsi. Puisi sebagai salah satu media memang tidak harus berhenti disini. Sinergi dialogis melalui berbagai elemen masyarakat sangat menentukan keberlangsungan gerakan moral semacam ini. Semakin banyak puisi yang lahir, semakin banyak pula interaksi yang sebaiknya digalakkan. Road show yang dilakukan gerakan ini –sementara ini—menunjukkan sinergi yang cukup signifikan. Bahkan, sambutan dari berbagai daerah juga memberikan makna yang cukup berarti. Berbagai event non puisi juga selayaknya disinergikan dan melibatkan kalangan masyarakat luas guna menanamkan spirit bersama menolak korupsi lewat puisi. Semoga… Autar Abdillah, staf pengajar Sendratasik FBS Universitas Negeri Surabaya Jawa Pos, 24 November 2013 (rubrik Ruang Putih)

1 komentar:

  1. Ijin reposting ya pak,
    http://gerakanpuisimenolakkorupsi.blogspot.com/2013/11/menolak-korupsi-melalui-puisi.html

    Salam hangat.

    BalasHapus