Seandainya “Dardanella” Masih Ada
Oleh
Autar Abdillah
Dardanella adalah Toneel
atau rombongan sandiwara yang pupuler pada 1926-1930-an. Sebuah kelompok teater
yang lahir di Sidoarjo (21 Juni 1926) dan mampu berkeliling Asia, Eropa dan
Amerika. Mungkin sulit membayangkan saat ini, bagaimana sebuah kelompok teater
yang lahir di salah satu kota di Jawa Timur, mampu tampil di berbagai kota
besar dunia. Untuk tampil berkeliling di kota-kota di Jawa Timur saja, bukan
perkara mudah. Tapi, inilah salah satu ciri penting teater-teater yang mampu
menangkap kebutuhan publik sekaligus “idealisme” senimannya. Inovasi-inovasi
yang dilakukan bukan sekedar teks akademik, tetapi beroperasi di lapangan dan
dirasakan langsung penikmatnya.
Piedro sang pendiri
Dardanella menangani langsung persoalan-persoalan teknis pemanggungannya. Mulai
penataan lampu dan panggung hingga mengelolanya menjadi pertunjukan yang
menarik. Kemampuan kompleks yang saat ini justru dinilai tidak professional.
Saat ini justru kemampuan yang terspesialisasi dianggap professional. Misalnya,
kalau jadi sutradara ya sutradara saja, tidak usah mengurus manajemen, apalagi
soal teknis, seperti lampu maupun tata artsitik. Terdapat pengecualian dengan
penulis naskah. Saat ini, justru sutradara cenderung menulis naskah sendiri.
Sedangkan di era Dardanella, justru dicari penulis-penulis tangguh agar dapat
menjaga kesinambungan pertunjukan, mirip dengan perkembangan sinetron saat ini.
Persaingan antar kelompok
dihadapi dengan berbagai cara, mulai merekrut pemain-pemain handal hingga
cenderung “membajaknya”. Nama Riboet yang sudah popular pada masa itu dengan
adanya kelompok Miss Riboet’s Orion, dia gunakan sebagai nama pemain. Tentu hal
ini menimbulkan perselisihan, dan akhirnya nama pemain ini diganti dengan Riboet
II. Ada saja akalnya untuk tetap membangun persaingan agar Dardanella sejajar
dengan kelompok teater yang telah lebih dahulu populer. Hal ini bisa disebut
sebagai catatan buruk pertumbuhan seni pertunjukan saat itu. Karena sudah
menjadi kegiatan bisnis pertunjukan yang komersial, maka segala carapun
dihalalkan oleh pemilik modal.
Perburuan pemain pun terus
dilakukan Piedro yang berdarah Rusia dan lahir di Penang Malaysia ini. Piedro
menemukan seorang gadis berusia 14 tahun ketika berkunjung ke Banyuwangi.
Seorang penyanyi yang akhirnya menjadi primadona Dardanella dan mendunia. Gadis
bernama Soetidjah inipun berganti nama Dewi Dja. Berawal dari menyanyikan lagu
“Kopi Soesoe” yang terkenal pada saat itu, Dewi Dja tumbuh menjadi bintang dan
dipinang oleh Piedro. Kemahirannya menyanyi juga diimbangi dengan kemampuannya
menari dan berakting di panggung.
Menjaga Keseimbangan
Untuk tampil keliling
dunia, mulai dari Singapura, Rangoon, India, Lebanon, Mesir, Muenchen,
Amsterdam hingga kota-kota di Amerika, tentu Dardanella tidak seperti tampil di
Indonesia. Dalam perjalanan kelilingnya, Dardanella mengganti namanya menjadi
The Royal Bali-Jawa Dance. Artinya pertunjukan mereka lebih cenderung sebagai
pertunjukan tari ketimbang teater. Ini adalah salah satu upaya menjaga
kesimbangan yang dilakukan Dardanella. Tidak terspesialisasi dan mampu
beadaptasi dengan ruang dan waktu pertunjukan yang dapat diterima publik.
Dalam perjalanan
kelilingnya, mereka juga tidak tinggal di tempat-tempat mewah, tetapi bisa di
kereta api/trem atau di rumah tokoh masyarakat yang bisa menerima mereka,
seperti Mahatma Gandhi di India. Mereka mampu beradaptasi dan melakukan
komunikasi yang efektif dengan publiknya. Semangat kebersamaan amatlah penting
dalam membangun kekuatan kelompok dan “nafas” pertunjukan. Bersatu dengan
publik agar mereka tetap menjadi bagian dari publik itu sendiri.
Di samping bermain untuk
Dardanella, ternyata sebagian anggotanya juga terlibat dalam dunia film. Tidak
ada batasan bahwa jika bermain untuk Dardanella, seseorang tidak bisa terlibat
dalam aktivitas lainnya. Bahkan, Devi Dja juga membantu masyarakat Indonesia
yang terlibat berbagai kasus dimana mereka mengadakan pertunjukan. Khususnya di
Los Angeles, Devi Dja membantu pemuda-pemudi Indonesia yang terkait persoalan
“budak-budak”.
Keseimbangan antara
kehadiran Dardanella khususnya, pertunjukan dan atau dunia kesenian umumnya
merupakan aspek penting kesenian di Indonesia hingga akhir 1990-an. Namun,
memasuki era Millenium ini, nyaris tidak ada lagi keseimbangan yang mampu
dijaga. Spirit Dardanella hanya terasa sebagai spirit masa lalu. Bagi kalangan
remaja dan anak-anak muda malah tidak dapat merasakan bagaimana kerasnya
pertarungan membangun kesenian maupun kebudayaan pada umumnya.
Jika saja Dardanella masih
hidup saat ini, tentu akan sangat semakin bermakna persaingan dan perjuangan
meraih kesuksesan dalam membangun kesenian. Riuh rendahnya pertarungan
melahirkan karya-karya terbaik semakin kompetitif. Daya juang untuk hidup dan
menghidupi berbagai bentuk seni semakin tinggi.
Dardanella adalah potret
seni pertunjukan di Indonesia yang lahir dari spirit untuk membangun dunia seni
pertunjukan “tanpa batas”. Terlepas dari kekurangan karena timbulnya persaingan
bisnis pertunjukan yang sedemikian tinggi, upaya menciptakan persaingan itu
sendiri menjadikan dunia seni pertunjukan semakin kompetitif dan berusaha untuk
dekat dengan publiknya. Isu-isu seni pertunjukan yang selalu muncul hingga era
1990-an, menjadi titik tolak yang penting juga di era Dardanella. Namun kini
justru melemah karena dunia seni pertunjukan lebih tertarik pada
masalah-masalah teknis pemanggungan, bukan masalah yang paling serius yang
sedang dihadapi publiknya.
Seni pertunjukan dan
publiknya, seperti sedang bertarung untuk dirinya sendiri. Pada saat seperti
ini, Dardanella kembali membawa bayang-bayang yang tak pernah hilang dalam
khazanah seni pertunjukan di Indonesia umumnya, Jawa Timur khususnya.
(Autar
Abdillah, staf pengajar konsentrasi
Drama Jurusan Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Surabaya)