Sabtu, 10 Juli 2010

Membaca Peta Teater Katimuri

oleh Autar Abdillah
(Catatan: tulisan ini dibuat 2 Oktober 2002)

Selama satu minggu, 22-29 September 2002, sebagian warga Surabaya menikmati tontonan teater dari para pekerja teater di kawasan timur Indonesia (Katimuri), yang bertajuk “Temu Teater Katimuri III”. Meskipun hawa panas gedung pertunjukan di gedung Gema Universitas Negeri Surabaya, maupun auditorium IAIN Sunan Ampel Surabaya begitu menyengat, namun tidak mengendurkan niat ratusan penonton untuk berdiam menikmati hampir semua pertunjukan. Hal ini tentu merupakan perjuangan yang tak kalah beratnya dengan yang dilakukan oleh para pekerja teater itu sendiri.
Para pengunjung teater ini sebagian besar adalah para peserta Katimuri yang ikut ambil bagian dalam berbagai acara yang digelar, dan mahasiswa di Surabaya. Tidak banyak terlihat para penonton yang berasal dari kalangan teater non kampus maupun pelajar. Begitu pula pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan teater, baik itu Depdiknas, Taman Budaya, maupun lembaga yang dipercaya memiliki peran memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang suatu kesenian yang sebaiknya dikembangkan di Jawa Timur maupun di Surabaya. Kalangan masyarakat umum pun nyaris tidak menempatkan dirinya dalam peristiwa ini. Pendeknya, telah terjadi semacam “pengisolasian diri” atau terisolasinya kegiatan ini dari berbagai kalangan di Surabaya maupun di Jawa Timur. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena peristiwa semacam ini seharusnya menjadi bagian dari semua pihak yang turut serta menghidupkan atau mengembangkan teater maupun kesenian di Jawa Timur.
Terdapat kesan bahwa “Temu Teater Katimuri III” ini hanya merupakan “kenduri” dari sebuah kelompok teater saja, dan ditujukan kepada saudara-saudara dekatnya. Jadi, bukan sebuah peristiwa teater di kawasan Timur Indonesia. Hal ini dirasakan oleh sejumlah kelompok teater “tamu”, dan mereka ekspresikan dalam sebuah pertunjukan kecil hasil sebuah kolaborasi. Dalam pertunjukan tersebut diperlihatkan bagaimana para peserta Katimuri hanya datang untuk memperebutkan kaos yang menggambarkan kegiatan Katimuri. Disini diperlihatkan pula bagaimana mereka menerima nasi bungkus, dan setelah itu ditinggalkan begitu saja oleh “si pemberi nasi bungkus”. Dan, ironisnya nasi itu digambarkan sebagai nasi yang telah basi.
Kisah ironis lain terlihat dari tidak siapnya tuan rumah kenduri ini dalam menyusun jadwal acara. Sejumlah acara yang telah tertulis dalam buku agenda acara, sebagian tidak terselenggara. Bahkan, sebuah tempat yang disiapkan untuk pertunjukan ditiadakan begitu saja tanpa pemberitahuan. Tidak ada permintaan maaf apapun, karena penonton yang datang --masyarakat umum di Surabaya, memang bukanlah “tamu yang diundang”. Cara-cara semacam ini, sekali lagi sangat disayangkan. Ini merupakan tindakan tidak terpuji yang patut dihindari oleh siapapun dalam penyelenggaraan pertunjukan, termasuk teater. Hubungan penyelenggara teater dengan penonton --siapapun mereka, harus benar-benar merupakan hubungan yang akrab, kondusif dan mampu menjalin komunikasi yang erat dan bersahabat

***
Satu hal lagi yang cukup ironis adalah tidak ada satu pun teater dari Jawa Timur yang ikut berpartisipasi menggelar karyanya. Hal ini berbeda dengan Katimuri I dan II yang menampilkan “teater tuan rumah”. Bahkan, Katimuri II di Mataram memunculkan 10 teater dari Nusa Tenggara Barat. Apakah teater di Jawa Timur itu tidak memenuhi standard yang telah ditetapkan? Apapun alasannya, dan standardisasi apapun yang hendak diterapkan, kelompok teater yang datang ke Surabaya itu, paling tidak ingin mengetahui bagaimana pekerja teater di Surabaya dalam memperlakukan teater. Jadi, kesan yang muncul adalah tidak adanya teater dari Jawa Timur maupun Surabaya yang layak untuk berbagi pengalaman dengan teater di kawasan Timur Indonesia. Kesan ini lebih menunjukkan arogansi dan semakin memperkokoh ketidakharmonisan komunikasi diantara pekerja teater itu sendiri. Disamping itu, juga semakin memperkuat kesan “raja-raja kecil” atau tiran-tiran kecil yang bermunculan di tengah-tengah kompetisi global sekarang ini, termasuk kompetisi kreatif yang memungkinkan teater membangun penemuan-penemuan baru..
Rendahnya ruang kompetisi itu, juga tercermin dari teater-teater yang lahir dari Katimuri III ini. Nyaris tidak ditemukan gagasan-gagasan besar yang mampu mengubah jalan hidup teater. Tidak terlihat sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam Katimuri ini. Selain hanya sebuah pertunjukan demi pertunjukan itu sendiri. Salah seorang pelaksana kegiatan ini sempat mengatakan bahwa kegiatan ini untuk menghadapi adanya superioritas “wilayah Barat” dalam berteater. Semangat atau cita-cita semacam ini semakin tidak mudah untuk dimengerti, karena teater sama sekali tidak mengenal rezim teritorial. Bila hal ini yang menjadi titik tolak keberadaan teater “Katimuri”, maka nasibnya akan sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh gerakan “sastra pedalaman”, yang akhirnya hilang tanpa jejak. Sebelum sejarah “sastra pedalaman” itu berulang kembali, ada baiknya para penggagas teater “Katimuri” ini menancapkan gagasan-gagasan ideal bagi suatu teater yang hidup di kawasan Timur Indonesia.

***
Banyak pertunjukan dari Katimuri III di Surabaya ini, nyaris tanpa eksplorasi data dan semakin mengukuhkan telah terjadinya dehumanisasi dalam teater. Kedua cara penemuan teater ini bukan saja berdampak pada kedangkalan penerimaan dan interaksi antara para aktornya dengan penonton, tetapi juga akan membawa teater pada sesuatu yang tak bermartabat. Pada pertunjukan monolog Marsinah Menggugat dari Teater Sendiri (Kendari) misalnya, mengesankan bahwa tokoh buruh Marsinah adalah seorang wanita yang tidak berdaya sama sekali menghadapi kezaliman yang terjadi. Hampir di semua adegan, Marsinah digambarkan penuh dengan kesedihan. Selain tidak ada data baru dari penampilan ini, sangat sulit untuk dibayangkan bagaimana Marsinah berada dalam kesedihan. Sudah banyak data yang diperlihatkan sebelumnya, bahwa Marsinah sudah tidak punya air mata lagi. Marsinah bukan sekedar buruh pabrik arloji PT CPS Porong, Sidoarjo yang memberikan dukungan terhadap tuntutan rekan-rekannya, tetapi Marsinah adalah seorang guru yang baik bagi anak ibu kostnya di Porong, serta membantu perekonomian keluarganya yang relatif miskin.
Hal yang sama terjadi pada teater Yupa (Samarinda) dengan “skenografi” Kanvas Tak Bertepi, teater Madaduli Kempo melalui Berita Hari Ini, teater Sendiri (Kendari) melalui Lilit Melilit Dililit, dan teater Betang (Sampit) melalui Dikejar Bayangan. Ketiga teater ini nyaris tak memiliki arah yang jelas. Sedangkan teater Kamar Indonesia (Lombok) melalui adaptasi cerpen Sentimentalisme Calon Mayat karya Soni Karsono, terlihat sangat verbal. Mayat-mayat diperlihatkan tergeletak di tengah-tengah panggung yang dibuat berbentuk arena. Sedangkan “Mayat yang sentimentalistik” itu bermain diantara “mayat-mayat” yang tak lain adalah manusia-manusia hidup yang digeletakkan. Entah apa yang membuat sutradara teater ini memiliki kerelaan membiarkan manusia-manusia atau orang-orang yang masih bernyawa itu mempersonifikasikan mayat, terinjak-injak, dan terkena semburat nasi yang keluar dari tokoh utama pertunjukan ini. Dan, entah apa yang dirasakan para pemain yang memerankan mayat-mayat itu, kalau bukan rasa jijik, sakit dan tercerabutnya martabat kemanusiaan yang tentunya merupakan dasar ketika mereka memasuki teater.
Satu pertunjukan yang banyak menarik perhatian penonton adalah dari Sanggar Budaya (Banjarmasin) yang membawa lakon komedi realis Perkawinan dari Nikolai Gogol. Namun demikian, sang sutradara teater ini mengalami sedikit keraguan dalam mentransformasi dialektika bahasa lakon pada masyarakat penontonnya. Di satu sisi ingin membawa lakon ini pada atmosfir masyarakat Surabaya dengan menggunakan sejumlah ikon masyarakat kota Surabaya, di sisi lain terdapat dialektika yang masih berakar pada kultur Yogyakarta, seperti penamaan daerah Bantul dan beberapa pola pengucapannya. Sedangkan teater Srikandi yang membawa lakon Payung Kematian, terkesan terlalu mendramatisir dialog yang berpola mirip dengan lakon-lakon Putu Wijaya. Upaya untuk menggiring komunikasi dengan penonton melalui pemberian duplikasi payung, ternyata tak memberi dampak apapun. Sehingga, payung yang berada di tangan penonton justru memberikan beban tersendiri pada pertunjukan tersebut.
Berbagai kendala yang bersifat teknis dari pertunjukan-pertunjukan teater “Katimuri” lebih disebabkan oleh masih rendahnya pergesekan informasi perkembangan mutakhir dunia teater. Namun demikian, bukan berarti teater bertolak dari informasi semacam ini. Yang jauh lebih penting tentunya adalah pergesekan kalangan teater tersebut dalam kehidupan. Teater tidak harus menjadi cermin dari kehidupan, tetapi teater adalah kehidupan itu sendiri. Ini artinya, eksplorasi didalam teater, memiliki kaitan yang sangat kuat dengan kehidupan. Anehnya, benang merah dengan kehidupan itu sendiri masih sangat terbatas pada isu-isu sosial dan politik semata. Dan, isu yang paling mendalam, yakni bagaimana manusia menghadapi keidiriannya, tubuhnya, dan relasi hidupnya dengan realitas disekitarnya, masih jauh dari harapan. Pada titik ini, teater “Katimuri” tidak memiliki perbedaan mendasar dengan teater-teater lainnya di Indonesia, termasuk yang ada di Jawa Timur.
Untuk penyelenggaraan teater “Katimuri” IV (bila masih ada), sebaiknya teater-teater yang akan tampil sudah melakukan eksplorasi sejak dini, jadi bukan beberapa bulan atau beberapa minggu setelah berakhirnya Katimuri III ini. Kedua, ada baiknya setelah pertunjukan teater berlangsung, pada hari berikutnya diselenggarakan dialog atau pemecahan persoalan-persoalan teater yang didasari atas pertunjukan tersebut. Hal ini lebih efektif ketimbang melakukan pelatihan secara terpisah atau mempersoalkan yang bukan menjadi pusat perhatian dari masing-masing teater. Ketiga, ada baiknya membuat garis yang tegas terhadap apa yang hendak diperjuangkan oleh teater “Katimuri” di masa depan. Dan, lebih jauh, teater “Katimuri” itu dapat membangun suatu gerakan yang dinamis dalam membongkar dan membuat sejarah baru bagi dunia teater.

(Autar Abdillah, staf pengajar prodi Sendratasik FBS-Universitas Negeri Surabaya)

1 komentar:

  1. Salam dari Madura.
    http://lontarmadura.com
    http://publiksastra.net
    (Syaf Anton Wr)

    BalasHapus