Sabtu, 20 Juni 2009

Sastra "Ikan Asin"

Autar Abdillah

Ibarat manusia, jagad sastra juga membutuhkan gizi yang cukup memadai untuk dapat terus tumbuh dan berkembang. Sastra dalam perkembangannya sekarang ini, berhadapan dengan segala macam pergesekan yang sedemikian kompleks. Semua itu, membutuhkan energi yang mampu membuatnya untuk tetap sehat walafiat. Di samping itu, sastra juga harus bisa menjaga kesehatannya, agar segala tantangan yang dihadapinya dapat membuatnya tetap tegar, dan bukan malah lesu dan melarikan maupun mengasingkan diri pada hal-hal yang justru menghancurkan "kepribadiannya" yang hakiki sebagai mata pisau perambah jalan bagi masyarakat. Untuk itu, perlu perbaikan kadar gizi maupun menghindarkan diri dari polusi udara yang merusak tubuhnya.
Jagad sastra boleh dikatakan sedang memasuki masa-masa yang kritis. Mengapa? Pertama, pengenalan kita terhadap sastra, tidak lagi sesederhana kita memahami sesuatu sastra yang indah --estetik, dan enak untuk dinikmati. Tidak pula dari sesuatu yang lahir dalam dunia yang komtemplatif. Karena, ruang-ruang kontemplatif itu sudah direbut sedemikian rupa oleh verbalisasi objek-objek audio-visual, pengetahuan dan teknologi yang kini justru sangat digandrungi masyarakat, menjadi kebutuhan manusia yang utama. Kehadirannya nyaris tak dapat ditolak, dan ditawar-tawar lagi.
Bila suatu masa kita mengenal sastra dari manisfestasi bersastra itu sendiri, dan secara langsung dapat menemukan realitasnya yang konkrit, yakni hubungan persaudaraan yang akrab, kedamaian batin yang menyejukkan, dan menjadai identitas bagi suatu bangsa, serta berlangsung dalam suatu perjumpaan yang cenderung kolektif. Maka, sekarang ini justru sebalikya. Sastra kita temukan di ruang seminar-seminar, buku-buku, koran, radio, dan televisi, sebagai wacana publik yang menyesakkan. Wacana sastra juga berlangsung lewat pembicaraan di warung-warung kopi. Dan, disinilah sastra itu berjumpa secara fragmentaris, dan terkotak-kotak, tanpa disadari oleh pelakunya sendiri. Akhirnya, bersastra pun menjadi sedemikian subjektif dalam ruang kolektifnya.
Kondisi demikian tidak terhindarkan lagi --dan tak perlu dihindari, terutama lahirnya eufemisme yang cenderung apologis. Hal seperti ini seperti sebuah eufemisme para politikus di dalam megapolitik, dan sosial kita. Seorang sastrawan bisa saja mengatakan, bahwa kita harus mengapresiasi suatu sastra "A", karena sastra itulah yang "baik" --yang notabene memiliki gizi yang tinggi. Tetapi di sisi lain, sang sastrawan tidak sepenuhnya memiliki perhatian pada khazanah sastra yang dinyatakannya sendiri. Karena ia harus mempresentasikan aspresiasi yang lain terhadap suatu sastra "orang lain". Hal ini akan semakin luas, dalam kenyataan, dan dalam pola pengapresiasian sastra kita dikemudian hari. Karena, bagaimanapun juga, jagad sastra itu mengalami kesulitan mendasar dalam menggali persoalan baru di tengah persaingan merebut perhatian publik yang luas. Para penerbit sastra, mulai kehilangan kesabaran untuk menempatkan sastra dalam piliha pertama.
Apa yang terjadi disini, bukan saja pada semacam pengkategorian kinerja sastra, tetapi juga pengkotak-kotakan jagad sastra, seperti yang pernah dilakukan HB Jassin pada masa lalu. Perbedaannya adalah kualitas pengkategorian yang dibuat Jassin dengan yang terjadi sekarang ini adalah apada upaya memperkenalkan pergualatan para sastrawan itu sendiri. Sementara pergulatan itu sebenarnya masih sangat rendah. Sastra kemudian di ukur dan dihitung dengan ilmu pengetahuan yang saling terkait pada masing-masing disiplin ilmu yang dijumpainya. Hal ini juga menyangkut suatu persoalan mendasar, bahwa sastra dan bersastra tidak lagi merupakan tindakan yang memiliki otonomi dan independensi. Seseorang --dengan sengaja atau tidak, menciptakan karya sastra prematur. sastra harus diciltakan, kerena telah meninggal seorang Ibu yang ketakutan, dan harus dicintai, atau sebuah kota yang harus dipuja, dan diperingati juga oleh sastra. Atau, lebih jauh, menjadi titik tolak kehadiran sastra.
Kondisi kritis kedua, bahwa udara di atas langit sastra kita sekarang, dipenuhi polusi besar-besaran. Asap tebal penghargaan-penghargaan sastra menjadi tujuan. Barangkali, sebentar lagi akan lahir "adipura" sastra. Sebentar lagi, yang disebut sastra adalah peraih "adipura" itu, dan seterusnya. Dalam kondisi demikian, sastra seperti lupa atau melupakan dirinya yang terus menguras energinya untuk menghadapi derasnya daya saing dalam mempertahankan kemungkinan hidupnya. Sastra kita dihadapkan pada semakin menipisnya energi dalam persaingan global. Ini artinya, sastra menistakan dirinya sendiri dalam kondisi mentalnya yang merendahkan dirinya sendiri. Jadi, tidak melakukan koreksi untuk selanjutnya membangun konstruksi yang lain. Kematian akan menjadi alamat yang tepat bila sastra tidak dibaca dalam akumulasi persoalan yang berada dihadapan masing-masing pelaku sastra itu. Karena, bersastra seolah-olah sudah selesai ketika pujian atau penghargaan telah berada digenggaman.
Dalam sebuah perbincangan sastrawan kampus beberapa waktu lalu di salah satu kampus di Surabaya, terlihat semakin jauhnya kita dari kemungkinan hidup sastra itu di masa-masa datang. Para sastrawan kampus itu, menyibukkan dirinya dalam memperbincangkan karya-karya besar di kalangan kampus. Sebuah karya sastra, seperti berhenti atau harus berhenti pada satu kecenderungan kebesaran yang pernah ada. Semua yang bersastra sekarang ini pun, tidak luput dari kehilangan rasa percaya diri untuk hidup bersama-sama realitas yang ditumbuhkan oleh sastra tersebut. Karena hidup telah memiliki pemaknaan yang material. Kalangan sastra kampus yang di era sebelum 90-an sebenarnya telah menjadi motor bagi berlangsung sikap kritis terhadap pertumbuhan sastra. Kita mengenal, bagaimana lahirnya "Sastra Kontekstual", dan bergumulnya wacana kritis dalam komunitas "Sastra Sawo Manila", dan beberapa aktivitas sastrawan kampus lainnya yang sangat kritis, dan memiliki kreadibilitas dalam mengkaji lebih dalam dari substansi karya sastra di dunia kampus. Namun demikian, semuanya seolah-olah emnjadi tak ada sama sekali. Kebesaran sastra dari kampus seperti terputus di era 90-an menjadi romantisme sejarah, dan munculnya keraguan dalam membangun sesuatu yang mampu menjawab persoalan masyarakat.Akhirnya, sastra kini sudah seharusnya menyadari, dan kembali pada realitas aktual yang memiliki substansi kreatif. Sastra kita tidak dapat dipisahkan dengan apa yang kini dihadapi oleh seluruh umat manusia. Memandang perspektif sastra itu, seharusnya kita memandang pada sumber-sumber energi yang melekat dalam tubuh kita sendiri untuk dilakukan penggalian atau penjelajahan yang lebih progresif. Hal inilah yang merupakan konsekuensi logis dari semakin kritisnya daya hidup dalam sastra tersebut. Meskipun harga yang harus kita beli terhadap gizi yang memungkinkan sastra itu mampu mengubah jalan hidupnya, maka yang paling tepat untuk kita katakan bahwa sastra kita adalah sastra ikan asing. Ikan asing bisa didapatkan di mana-mana. Meskipun ia akan tersingkir oleh orang yang makan keju atau daging, serta sambal botolan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar