Ketika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) menancapkan kakinya dalam realitas pertumbuhan teater di Indonesia, bersamaan dengan situasi kemasyarakatan dan kebudayaan yang penuh gejolak pada masa itu, maka bolehlah, setiap "ajaran" teater ala ATNI ini menjadi salah satu --atau mungkin satu-satunya, sikap berteater kita. Meskipun WS Rendra sempat menggegerkan situasi pada awal kedatangannya dari Amerika, sikap teater ala ATNI, tetap kokoh tak tergoyahkan. Bahkan, WS Rendra pun hanya membuat sensasi berkesenian saja. Karena, sikap selanjutnya tidak menunjukkan suatu pertentangan yang mencolok dari sikap realisme dramatiknya ATNI. Seluruh pelosok tanah air, menularkan bibit-bibit teater yang berada dalam tradisi ATNI. Tidak kalah menariknya, sejumlah lembaga pendidikan --termasuk lembaga pendidikan tinggi, menjalani tradisi ATNI yang bila dipandang dalam kehidupan sekarang, tentulah sudah tidak memadai lagi.
Akademi Seni Drama dan Filem Indonesia (Asdrafi) Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI dahulu bernama ASTI) Bandung, serta Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan contoh kongkret, bagaimana tradisi ATNI ini dipelihara sedemikian rupa, sehingga melahirkan manusia – manusia tangguh dalam memahami apa yang kemudian kita kenal dengan drama realisme dari "Teater Barat", atau yang sebagian besar berkembang di dataran Eropa. Hanya Institut Seni Indonesia (ISI)
Tradisi berteater yang bersifat tradisional, atau teater rakyat, lambat laun, mulai ikut mencampuri tradisi teater ATNI tersebut. Sehingga, tidak mengherankan, bila pada tubuh "teater rakyat" tersebut, terbenamnya tradisi yang sudah mereka miliki sendiri, yakni improvisasi, spontanitas dan guyonan saling bersahut – sahutan, serta keintiman yang menjadikan "teater rakyat" tersebut, sangat dekat dengan segala persoalan dan peristiwa – peristiwa sosial, yang menjadi bahan pembicaraan dari masyarakat pendukungnya.
Ketika Putu Wijaya kemudian hadir di pentas teater di
Di manakah letak keretakan dan suatu pertentangan yang sedemikian lebar, pada tata kehidupan teater di
Artikel ini, tentulah tidak menelusuri tema yang hendak dibicarakan dalam Festival Teater nasional 1996, yang mengambil tema Peta Kehidupan Teater Indonesia Masa Kini tersebut, karena memang sudah ada sesi yang membicarakannya dalam acara tersebut. Sebagai catatan pendamping artikel ini hendak menggarisbawahi dua persoalan mendasar yang telah disebutkan di atas.
Dalam tradisi teater ATNI dan tradisi teater di
Pusat pertunjukan pada naskah drama atau lakon itu, dimana pusat pertunjukan ini harus dipatuhi sedemikian rupa oleh masing – masing pemainnya, kemudian bergeser pada pemeranan. Pergeseran pada pemeranan (akting), ini secara total berlangsung dalam sikap berteater Boedi
Bergesernya pusat lakon dalam personifikasi pemeranan, lewat kemungkinan terjadinya interprestasi yang beragam, dan kompleks inilah suatu dunia kemungkinan dibuka selebar – lebarnya dan sebesar – besarnya. Pemeranan bukan lagi manifestasi lakon dramatik-tekstual. Tetapi merupakan suatu pembongkaran terhadap realitas yang memungkinkan kehidupan menemukan titik revelansi dan sinkronik aktualitasnya.segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan itu, sedemikian rupa merupakan subjek yang mungkin dalam kehidupan itu sendiri, pada masing – masing diri yang terlibat di dalamnya.
Demikianlah, teater ini, menyatakan dirinya dalam kehadiran atau presentasi kemungkinan hidup yang dialami oleh manusia. Hal ini bukan saja terjadi pada diri sutradara, aktor, maupun para pekerja yang memiliki tanggung jawab masing – masing dalam kerja artistik dan manajerial. Tetapi, lebih jauh memiliki konsekuensi pula pada diri penonton yang hadir bersama – sama aktor di ruang pertunjukan. Penonton bukanlah "mahluk dan keberadaan yang lain", tetapi memiliki peran juga dalam membangun teater, meskipun di dalam dirinya masing – maisng. Inilah yang dimaksud dengan berlangsungnya subjektivikasi di dalam teater, di mana masing – masing personal, terlibat dalam suatu pertemuan yang senlanjutnya dinamakan teater.
Keretakan atau pertentangan yang terjadi dalam tatanan kehidupan teater kita -- dari sesuatu yang dimutlakkan diri melalui "ajaran hidup" yang diinterprestasikan lewat naskah atau lakon, bergeser pada segenap kemungkinan hidup yang dipersepsesikan lewat kehidupan masing – masing komponen yang terlibat dalam pertemuan ruang pertunjukan --, menjadi suatu identitas yang unik dan spesifik dalam perkembangan paradigma teater itu sendiri di Indonesia.
Konsekuensi logis dari kenyataan di atas adalah pada munculnya berbagai manifestasi berteater yang terkadang mengandung indikasi janggal, aneh – aneh, tidak asyik dan tidak membahagiakan. Muncul juga semacam kekacauan paradigma dalam wacana kontekstual kehidupan sehingga membawa kesan pada pemerasan terhadap kehidupan itu sendiri.
Suara Karya, Minggu, 6 Oktober 1996, seni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar