Jumat, 26 Juni 2009

Teater, Presentasi Kemungkinan Hidup

Autar Abdillah

Ketika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) menancapkan kakinya dalam realitas pertumbuhan teater di Indonesia, bersamaan dengan situasi kemasyarakatan dan kebudayaan yang penuh gejolak pada masa itu, maka bolehlah, setiap "ajaran" teater ala ATNI ini menjadi salah satu --atau mungkin satu-satunya, sikap berteater kita. Meskipun WS Rendra sempat menggegerkan situasi pada awal kedatangannya dari Amerika, sikap teater ala ATNI, tetap kokoh tak tergoyahkan. Bahkan, WS Rendra pun hanya membuat sensasi berkesenian saja. Karena, sikap selanjutnya tidak menunjukkan suatu pertentangan yang mencolok dari sikap realisme dramatiknya ATNI. Seluruh pelosok tanah air, menularkan bibit-bibit teater yang berada dalam tradisi ATNI. Tidak kalah menariknya, sejumlah lembaga pendidikan --termasuk lembaga pendidikan tinggi, menjalani tradisi ATNI yang bila dipandang dalam kehidupan sekarang, tentulah sudah tidak memadai lagi.

Akademi Seni Drama dan Filem Indonesia (Asdrafi) Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI dahulu bernama ASTI) Bandung, serta Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan contoh kongkret, bagaimana tradisi ATNI ini dipelihara sedemikian rupa, sehingga melahirkan manusia – manusia tangguh dalam memahami apa yang kemudian kita kenal dengan drama realisme dari "Teater Barat", atau yang sebagian besar berkembang di dataran Eropa. Hanya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang tidak terlalu kuat, dalam mempersepsi teater ini, karena tenaga pengajarnya yang memang hanya sedikit, yang secara instensif memberikan arahan yang mendalam terhadap tradisi teater "ATNI" itu.

Tradisi berteater yang bersifat tradisional, atau teater rakyat, lambat laun, mulai ikut mencampuri tradisi teater ATNI tersebut. Sehingga, tidak mengherankan, bila pada tubuh "teater rakyat" tersebut, terbenamnya tradisi yang sudah mereka miliki sendiri, yakni improvisasi, spontanitas dan guyonan saling bersahut – sahutan, serta keintiman yang menjadikan "teater rakyat" tersebut, sangat dekat dengan segala persoalan dan peristiwa – peristiwa sosial, yang menjadi bahan pembicaraan dari masyarakat pendukungnya.

Ketika Putu Wijaya kemudian hadir di pentas teater di Indonesia, sejumlah orang memang agak terkejut, terpesona dan merasakan suatu keasyikan tersendiri. Begitu pula dengan kehadiran Arifin C Noor (Almarhum), N Riantiarno, Wahyu Sihombing (Almarhum) -- semuanya di Jakarta, maupun Suyatna Anirun di Bandung dan Wisran Hadi di Padang. Tetapi kemudian pentas teater Indonesia sedikit mengalami "keretakan" ketika Boedi S Otong dan Afrizal Malna menggoyahkan paradigma yang selama ini menjadi "kitab suci" dalam tradisi teater ATNI.

Di manakah letak keretakan dan suatu pertentangan yang sedemikian lebar, pada tata kehidupan teater di Indonesia itu? Dan bagaimanakah konsekuensinya dengan tatanan kehidupan teater Indonesia, secara keseluruhan? Dua pertanyaan mendasar ini untuk mencoba mendampingi, apa yang kini sedang dihadapi oleh penyelenggara Festival Teater Nasional 1996 di Bandung, 3 – 7 Oktober ini, yang mencoba mengangkat suatu tema, yang berangkali tak memiliki urgensi dalam pentas teater itu sendiri. Tetapi tidak ada salahnya, bila kita mencoba membicarakan sesuatu, yang mungkin menjadi titik pemikiran yang penting bagi sejumlah pelaku teater kita.

Artikel ini, tentulah tidak menelusuri tema yang hendak dibicarakan dalam Festival Teater nasional 1996, yang mengambil tema Peta Kehidupan Teater Indonesia Masa Kini tersebut, karena memang sudah ada sesi yang membicarakannya dalam acara tersebut. Sebagai catatan pendamping artikel ini hendak menggarisbawahi dua persoalan mendasar yang telah disebutkan di atas.

Dalam tradisi teater ATNI dan tradisi teater di Indonesia secara keseluruhan, naskah drama merupakan titik pusat untuk memasuki apa yang kemudian disebut teater. Melalui seorang sutradara naskah ini diinterprestasikan lebih awal dan diakomodasikan kepada seluruh komponen yang terlibat di dalam teater. Interprestasi menyeluruh, kemudian disepakati, sambil berlangsung proses berlatih. Sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan Putu Wijaya dari sisi naskah lakon ini. Karena, Putu Wijaya melahirkan naskah pada diri aktor masing – masing dengan mencatat semua pembicaraaan yang berlangsung pada diri aktor, untuk dipersiapkan pada pertunjukan teater sendiri.

Pusat pertunjukan pada naskah drama atau lakon itu, dimana pusat pertunjukan ini harus dipatuhi sedemikian rupa oleh masing – masing pemainnya, kemudian bergeser pada pemeranan. Pergeseran pada pemeranan (akting), ini secara total berlangsung dalam sikap berteater Boedi S Otong yang didukung oleh Afrizal Malna yang melahirkan kerja intertekstual, dan inter-relasional di dalam memperlakukan teks yang tidak lagi memutlakkan interprestasi pada diri sutradara. Semua komponen mulai terlibat dalam membangun interprestasi naskah atau lakon atau teks sedemikian rupa. Sehingga membangun suatu pemeranan yang tidak "mutlak" sebagai sesuatu yang berpegang pada satu persepsi atau interprestasi tunggal.

Bergesernya pusat lakon dalam personifikasi pemeranan, lewat kemungkinan terjadinya interprestasi yang beragam, dan kompleks inilah suatu dunia kemungkinan dibuka selebar – lebarnya dan sebesar – besarnya. Pemeranan bukan lagi manifestasi lakon dramatik-tekstual. Tetapi merupakan suatu pembongkaran terhadap realitas yang memungkinkan kehidupan menemukan titik revelansi dan sinkronik aktualitasnya.segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan itu, sedemikian rupa merupakan subjek yang mungkin dalam kehidupan itu sendiri, pada masing – masing diri yang terlibat di dalamnya.

Demikianlah, teater ini, menyatakan dirinya dalam kehadiran atau presentasi kemungkinan hidup yang dialami oleh manusia. Hal ini bukan saja terjadi pada diri sutradara, aktor, maupun para pekerja yang memiliki tanggung jawab masing – masing dalam kerja artistik dan manajerial. Tetapi, lebih jauh memiliki konsekuensi pula pada diri penonton yang hadir bersama – sama aktor di ruang pertunjukan. Penonton bukanlah "mahluk dan keberadaan yang lain", tetapi memiliki peran juga dalam membangun teater, meskipun di dalam dirinya masing – maisng. Inilah yang dimaksud dengan berlangsungnya subjektivikasi di dalam teater, di mana masing – masing personal, terlibat dalam suatu pertemuan yang senlanjutnya dinamakan teater.

Keretakan atau pertentangan yang terjadi dalam tatanan kehidupan teater kita -- dari sesuatu yang dimutlakkan diri melalui "ajaran hidup" yang diinterprestasikan lewat naskah atau lakon, bergeser pada segenap kemungkinan hidup yang dipersepsesikan lewat kehidupan masing – masing komponen yang terlibat dalam pertemuan ruang pertunjukan --, menjadi suatu identitas yang unik dan spesifik dalam perkembangan paradigma teater itu sendiri di Indonesia.

Konsekuensi logis dari kenyataan di atas adalah pada munculnya berbagai manifestasi berteater yang terkadang mengandung indikasi janggal, aneh – aneh, tidak asyik dan tidak membahagiakan. Muncul juga semacam kekacauan paradigma dalam wacana kontekstual kehidupan sehingga membawa kesan pada pemerasan terhadap kehidupan itu sendiri.

Akhirnya, konsekuensi yang menyeluruh adalah pada upaya membawa kembali persepsi teater itu, pada kemungkinan hidup, yang memang merupakan realitas aktual dari kehidupan masing – masing kita. Teater bagaimanapun juga harus mampu menjadi sekuen kehidupan yang penting bagi setiap orang yang melibatkan dirinya. Teater tetap membawa manfaat bagi umat manusia dalam memahami setiap momen kehidupan yang memang memiliki kandungan kemungkinan yang sedemikian besar. Di sinilah peta kehidupan teater Indonesia masa kini, kita awali pelacakannya tanpa membawa korban pada generasi baru teater, yang terus tumbuh dan mencatatkan dirinya sebagai generasi teater, yang menuntut suatu perubahan besar dalam hidup dan kehidupan teater tersebut.
Suara Karya, Minggu, 6 Oktober 1996, seni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar