Sabtu, 20 Juni 2009

Festival ("Seni") "Para Pedagang"

Autar Abdillah

Festival pada dasarnya merupakan sebuah "pesta rakyat". Disini masyarakat (baca: rakyat) meluapkan suka gembiranya, setelah berhasil melaksanakan panen. Pesta ini juga memberikan motivasi lain seperti upaya untuk menjauhkan desanya dari segala kemungkinan bencana yang datang. Jadi, tidak perlu malu untuk mengatakan, bahwa dengan mengadakan festival, kita sedang berpesta. Yakni, sebuah pesta yang kita tujukan kepada "keselamatan dan kebahagian" bersama dari seluruh anggota masyarakat.
Pada awalnya, pesta rakyat atau festival itu diorganisasikan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat memberikan sumbangan sukarela. Baik itu tenaga, uang, dan pertunjukan-pertunjukan yang mereka anggap penting bagi pembangunan masyarakatnya, dan tentu juga bagi seluruh kehidupan berkebudayaannya. Semua bergembira. Meskipun tanahnya digunakan tempat pertunjukan, dan dipenuhi oleh para pendatang dari desa-desa terdekat maupun dari berbagai penjuru desa dan kota lainnya. Bahkan, desa-desa terdekat itu memberikan sumbangan, yang serupa dengan sumbangan yang diberikan oleh masyarakat setempat.
Semua bergembira! Karena, memang itulah yang diinginkan masyarakat lewat pesta atau festival itu. Panggung didirikan. Umbul-umbul dipajang seantero desa. Pakaian baru dikeluarkan. Kesenian paling "baik", yakni kesenian yang sesuai dengan keinginan masyarakat, juga digelar. Diutamakan, kesenian yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Karena, memang kesenian itu untuk menunjukkan pada masyarakat yang lain, bahwa di desa itu terdapat kesenian yang bagus, dan harus diketahui oleh masyarakat pendatang.
Menggelar kesenian, juga menunjukkan bahwa cermin masyarakat itu terdapat pada kesenian yang mereka gelar. Kebanggaan terhadap kesenian sendiri, bukan merupakan kesombongan. Tetapi merupakan upaya merangsang tumbuhnya kesenian tersebut, dan membangun kesadaran komunitas yang mereka miliki. Kesenian dari desa yang lain terkadang juga digelar. Tetapi bukan untuk dicontoh begitu saja. Bukan pula untuk kebanggaan mampu menggelar pertunjukan kesenian dari desa lain. Semua itu, lebih merupakan upaya untuk membangun keakraban, persaudaraan, dan saling berdialog tentang kehidupan masing-masing di dalam kesenian yang mereka miliki.
Jadi, kerja interkultural di dalam kesenian di tengah-tengah masyarakat itu telah berusia cukup lama. Kesadaran untuk menjalin hubungan antar kebudayaan itu, juga merupakan upaya yang telah membentuk siklus kehidupan masyarakat kita. Setiap desa adalah pusat kebudayaan yang membangun realitas kebudayaannya sendiri. Mereka menemukan kebudayannya dari kepercayaan akan keharmonisan kehidupan yang mereka hadapi. Disinilah, mereka menancapkan dan memahami sepenuhnya nilai-nilai kebudayaan yang mereka sumbangkan kepada ketenteraman di dalam mereka menjalani kehidupan.
Melalui pesta rakyat itu, inspiratif sekali dalam penumbuhan kerja kesenian selanjutnya. Setiap desa ingin memiliki pestanya sendiri. Dicarilah waktu yang baik dan tepat. Maksudnya, tak lain adalah untuk kehidupan bersama yang lebih baik, dan membahagiakan. Berbagai macam nama dilekatkan. Berbagai macam simbol dikuatkan untuk memberikan identitas, misalnya festival Dynosius, festival Pantai, festival Jazz, dan sebagainya.
Secara politis, pesta rakyat itu merupakan pernyataan bersama seluruh masyarakat dalam memberikan dukungan terhadap kekuasaan yang ada. Mereka juga hendak menunjukkan pada para pemimpin mereka, bahwa mereka memiliki sumbangan juga pada cita-cita yang hendak dilakukan oleh para pemimpinnya dalam membangun desa. Dan semua itu, memang lebih merupakan inisiatif dan partisipasi masyarakat. Bukan kehendak para pemimpin desa itu sendiri. Meskipun pemimpin desa itu merupakan pimpinan adat juga di tengah-tengah masyarakat.


Kekuatan Ekonomi
Pesta Rakyat itu, lambat laun bukan lagi merupakan bagian yang terintegrasi dari kehidupan masyarakat. Berbagai kepentingan mulai mendekatinya. Mulai dari kepentingan pendidikan (seperti penelitian), publikasi dan dokumentasi dengan berkembangnya sejumlah media massa, dan kepentingan politik maupun ekonomi. Untuk yang terakhir ini, kita dikenal dengan istilah memantapkan karir (jabatan politis) dan mencari uang (nafkah).
Tercerabutnya realitas pesta rakyat yang kini bernama festival itu, tidak terlepas dari munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru di tengah-tengah masyarakat. Kekuatan ekonomi baru tersebut, merupakan realitas yang dibangun dalam makro politis. Sebuah kota dibangun dengan mencirikan dirinya pada identitas tertentu, yang secara ekonomis harus mendukungnya. Disinilah "kesenian" (dalam tanda petik) memasuki realitas barunya yang tidak terintegrasi dengan masyarakatnya.
Di negara-negara industri yang tingkat perekonomian atau pendapatan penduduknya sudah cukup tinggi, festival itu selain dibiayai oleh pemerintah dan swasta, juga berangkat dari kesadaran untuk merangsang pertumbuhan kesenian didaerah tersebut. Para seniman, pemikir (kritikus atau ilmuan), ekonom, dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dilibatkan. Semua menyadari, bahwa festival itu harus mampu merangsang dan membangun kesadaran masyarakat terhadap kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenian merupakan suatu kecintaan primordial terhadap kehidupan itu sendiri. Yakni kehidupan yang tumbuh dari sikap, dan perilaku masyarakat setempat. Sehingga, festival merupakan upaya menyaksikan kenyataan kultural dari masyarakat tersebut. Di samping juga, menyaksikan kenyataan kultural masyarakat pendatang dengan pendekatan yang dialogis. Saling memberikan sumbangan dalam pencitraan kebudayaan yang dikehendaki bersama.
Tetapi di negara-negara yang "masih miskin", terkandung pandangan konservatif dalam memperlakukan kekuatan ekonomi yang tumbuh. Kesenian menjadi instrumen yang indah dan mengasikkan. Hubungan kultural berlangsung diantara yang baik dan buruk. Bagus dan jelek. Untung dan rugi. Pencitraan kesenian sedemikian eksklusifnya. Sehingga, "kesenian" yang tidak laku ditolak. "Kesenian buruk" disingkirkan. "Kesenian" yang tidak berselera tinggi diklaim sebagai tak punya etos kerja, atau minder. Bahkan, masyarakat senimannya ditakut-takuti dengan istilah "primordialisme dangkal".
Inilah realitas perdagangan baru dalam "kesenian". Kesenian lain harus disingkirkan, karena dianggap sebagai produk yang tak layak dikonsumsi. Padahal, kita tidak punya cukup ukuran untuk menilai kesenian itu. Setidaknya, kesenian tidak dipandang dari pilihan senimannya dalam memandang realitas kultural dan karakteristik keseniannya sendiri.
Kita memang sedang berhadapan dengan kemiskinan secara ekonomis. Siapa penonton kesenian kita yang "sanggup" membeli karcis? Siapa penonton kesenian kita yang sudah menyadari, bahwa kesenian masih merupakan wilayah yang mampu membangun kehidupan kultural, integritas dan spirit bersama --dalam kondisi perekonomian kita sekarang ini? Inilah yang terlebih dahulu kita benahi.
Kekuatan para pedagang, atau pemodal yang membangun kesenian sekarang ini, juga didukung oleh semangat untuk segera mendapatkan hasil yang "terbaik" dalam kesenian. Dengan adanya kesenian, bukan berarti para maecenas kesenian itu harus menutup dunia usaha (perdagangan) yang dilakukannya. Maecenas kita itu, meminjam istilah Umar Kayam kecenderungannya tentang "seni" adalah kitch yang mantap, seni yang enak dilihat dan didengar.
Persoalan kita adalah juga bahwa para "penyangga" maecenas kita itu memiliki spirit yang identik dengan maecenas itu sendiri. Para "penyangga" maecenas itu, para pelaksana organisasi yang menyelenggarakan "kesenian" adalah "para pedagang yang mumpuni juga. Berbagai cara dilakukan untuk meyakinkan masyarakat, bahwa inilah "produk monumental", "produk yang akan menjadikan kota kita sebagai pusat kebudayaan", dan juga kita saksikan iklan lain, seperti "kesenian kita penuh spiritualitas", "menggairahkan kota kita", dan sebagainya.Tidak kita temukan kesenian yang akan menjadikan kita, sekuen penting dari perjalanan kesenian di dalam masyarakat kita sendiri. Kita, menjadi asing dengan kenyataan kesenian kita sendiri. Dan, media festival akan menjadi "pasar" baru bagi para pedagang yang melihat "kesenian" dari kelembutan, keindahan, dan kegagahan dalam gaya hidup yang penuh selera, tapi bukan tidak mungkin tanpa wacana kreatif.
Surabaya Post, Juni 1996, seni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar