Minggu, 21 Juni 2009

Menjelang Festival Teater Nasional 1996

Pada Apa Teater Harus Percaya?
Autar Abdillah

Ada apakah gerangan, sebuah festival teater nasional digelar di Bandung, 3-7 Oktober? Dua puluh tujuh peserta utusan dari 27 propinsi di Indonesia, hampir dapat dipastikan akan berbondong-bondong menghadiri pertemuan ini. Apa tolok ukur bagi upaya penegmbangan dan pembinaan teater secara nasional, bagi teater itu sendiri. Dan, dengan tema Peta kehidupan teater Indonesia masa kini, apakah urgensinya bagi jagad teater di Indonesia? Barngkali, agak jelas adalah harapan masyarakat luas, agar pertemuan tersebut mampu membangun titik tolak baru dalam memahami tantangan ke depan dari kerja teater itu sediri.
Tulisan ini mencoba secara ringkas memberikan gambaran persoalan teater di Indonesia dengan penekanan pada substansi persoalan teater, dan upaya memahami kembali persoalan mendasar yang dihadapi teater (di) Indonesia. Bila berbicara teater, secara intrinsik, sesungguhnya yang dibicarakan adalah sutradara, aktor, dan penonton. Kita sedang melacak, mengapa sutradara "menulis di kanvas pertunjukan" dengan sikap, perilaku, gerak isyarat, warna, bunyi, kesakitan, kebahagiaan, mobilisasi makhluk-makhluk, dan keberadaan --seperti yang ditunjukkan aktor, properti, lampu, kostum, dan mungkin juga musik, dan tata rias.
Kita juga sedang mencari tahu, mengapa aktor berkata tentang sesuatu yang harus dipersepsi oleh orang lain, yakni penontonnya, masyarakatnya. Dan, bahwa dirinya yang bukan dokter, atau seorang ayah, seorang ibu, atau seorang pembantu rumah tangga yang teraniaya majikannya sendiri, dinyatakan kepada orang lain dengan penuh kepercayaan, dan kepastian. Atau, mengapa si anu menyatakan dirinya tanpa malu, ia pernah mencuri, mempermalukan dunia sosialnya, bahkan "membunuh" kehidupan sehari-harinya.
Apa yang dibicarakan aktor tentang dirinya, dan apa yang dihadapi penonton ketika bertemua aktor, bertemu dengan seluruh penampakan yang dilakukan dalam sesuatu pertunjukan itulah, kita membicarakan teater dalam arti sesungguhnya. Maka, segala yang melekat pada teater, adalah segala yang melekat dalam diri sutradara, aktor, dan penontonnya. Bila ada teater nasional, teater modern, atau teater Indonesia --atau mungkin realisme, dan absurditas, perlu disadari disini, bahwa kita tidak serta merta sedang membicarakan teater. Di sini, berarti sedang membicarakan teater dalam prediksinya bernama nasional, modern, dan Indonesia. Juga realisme, dan absurditas dalam drama.
Kesalahkaprahan selama ini adalah semacam kecerobohan dalam memandang teater dalam generalisasi yang justru menjauhkan pemahaman, sekaligus pengkajian terhadap kehidupan teater tersebut. Pembicaraan tentang teater, memang sering tidak menyediakan diri untuk melihat lebih dekat hal-hal semacam ini. Pembicaraan tentang teater, selalu menuju pada persoalan yang jauh berada di luar wilayah kerja teater sendiri. Misalnya, membicarakan teater hanya pada kemungkinan dan gejala lakon, atau pada teks semata. Upaya semacam ini, sering menjauhkan publik dari kemungkinan untuk memahami pembicaraan teater yang hendak dikenalinya.

***

Teater di Indonesia, boleh dikatakan "dijaga ketat" oleh penyelenggara negara. hal ini untuk mengatakan, bahwa di dalam teater sesuatu yang berbicara memiliki konsekuensi dengan penyelenggara negara. Tetapi, teater semacam ini nyaris tak mampu berkembang, karena yang mereka hadapi adalah perubahan yang sedemikian besar di luar kebijaksanaan penyelenggara negara. Dalam situasi semacam ini, teater selalu melakukan resistensi yang ujung-ujungnya adalah kehilangan peluang dalam manifestasi presentasinya.
Satu hal di sini, adalah rendahnya pengembangan yang terjadi dalam teater. Teater memasuki wilayah pembinaan yang hanya dapat ditelusuri lewat kebijakan penyelenggara negara. Teater tidak berpeluang berbicara pada zamannya. Hal ini pulalah yang menyebabkannya, ditinggalkan masyarakat. Kalaupun peluang itu ada, ia tetap terkonsentrasi pada upaya resistensi. Dengan asumsi demikian, maka ada dua sisi teater yang hidup di sini. Pertama, di bawah lindungan, dan ketaatan kepada penyelenggara negara. Kedua, yang melakukan resistensi. Keduanya selalu bertolak belakang. Negara terlalu kuat dalam memberikan, dan menentukan tolok ukur suatu teater. Disinilah pemetaan teater turut menemukan kerumitan.
Pemetaan kehdiupan teater di Indonesia hampir selalu didekati dengan kajian sejarah, sosiologis, dan ekonomi. Dan, secara kultural, pemetaan itu hanya berlangsung di permukaan. Pertemuan di Bandung, seperti hendak menjelaskan kondisi ini. Di sini, justru tak ditemukan teater yang mampu hidup dalam zamannya. Dalam artian, teater hanya melakukan reduplikasi terhadap pikiran masyarakat sendiri tanpa menyediakan diri memberikan "santunan" pikiran kepada masyarakat maupun kebudayaannya.
Pemetaan teater Indonesia masa kini tidak memiliki urgensi dalam jagad teater sendiri, karena kita tidak pernah mau memasuki persoalan yang memiliki relevansi kuat pada kerja masing-masing teater. Kita tidak bekerja dengan segenap data presentasi teater. Kita tidak bekerja dengan ketelitian penuh terhadap disiplin yang sedang berlangsung dalam teater. Kita lebih mau mengulangi kembali semangat "masa lalu" yang pernah ada dalam "teater".
Akhirnya, kita serempak bertanya, pada apa teater harus percaya? Dalam menghadapi tantangan besar kemanusiaan sekarang ini, teater tidak bisa tidak harus dipercayai lewat aktualitas diri kemanusiaan yang memungkinkan manusia dapat membangun dunia bersama yang ditemukannya, atau tidak ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Teater harus sedemikian rupa untuk memiliki "kerajinan" dalam memeriksa kehidupan yang berlangsung di sekitarnya.Sesuatu teater yang hanya percaya pada "drama-drama", sesuatu yang "dibuat-buat", sesuatu yang palsu, sesuatu yang mengasingkan kemanusiaan kini dengan realitas kemanusiaan itu sediri --seperti yang sangat kita pelihara dalam "teater" Indonesia masa ini, sudah tidak bisa dipercayai lagi dalam sesuatu teater masa kini. Teater bukan kemalasan primordial yang melekat pada kemapanan struktural kehidupan itu sendiri.
Kompas, Minggu, 29 September 1996, seni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar