Sabtu, 20 Juni 2009

Memilih Kesenian Unggulan

Autar Abdillah

Kesenian, tak dapat dipungkiri, juga telah memasuki pemahaman sebagai seauatu produk. Barangkali, tidak identik dengan sesuatu barang. Tetapi, ia sebagai produk yang secara pragmatis digunakan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan aktivitas kehidupannya. Dalam konteks ini, jelas dan tegas membawa pula sejumlah kepentingan-kepentingan yang barangkali tak terkait langsung dengan pencapaian kreatif terhadap kesenian. Atau, sebagai suatu pemenuhan nafsu institusional ketimbang nafsu estetik. Konsekuensinya, kesenian bisa dilombakan untuk mengetahui siapa yang terbaik diantara mereka. Sebuah produk yang kemudian terbaik, menjalin identifikasi "berkualitas". Sebuah "karya seni" unggulan. Hal semacam ini tidak terlalu sulit untuk kita temukan. Para penyelenggara pemilihan kesenian unggulan ini pun dari berbagai kecenderungan sesuai dengan kepentingan yang hendak diambilnya. Pola ini sedemikian maraknya, sehingga tak jarang menimbulkan sejumlah perdebatan.
Memang, tidak semua pemilihan seni unggulan itu berarti diadakannya sebuah perlombaan. Ada yang hanya berupa pekan seni atau festival non lomba. Persoalan kita adalah bagaimana kesenian yang dipahami sedemikian itu, dipilih untuk dihadirkan. Apakah yang melatarbelakanginya? Dan, mengapa pilihan tersebut menjadi kenyataan kehidupan kultural kita sekarang ini?
Pilihan penyelenggaraan kesenian dalam sebuah festival, pesta atau parade merupakan sebuah salah satu cara untuk mengetahui sejauhman suatu kesenian telah mencapai tingkat kreativitasnya, dan juga merupakan sebuah gejala seni yang dipaketkan. Hal ini dilakukan, di samping untuk melakukan penghematan berbagai persoalan teknis penyelenggaraan, juga guna memenuhi kompleksditas dan keragaman publiknya. Sedangkan waktu penyelenggaraan dikaitkan dengan berbagai momentum yang ada. Misalnya, pada bulan Mei hingga Juli, dipahami sebagai "musim berlibur" wisatawan mancanegara (wisman). Festivak Kesenian Yogyakarta (FKY) dan Pekan Kesenian Bali (PKB) merupakan contoh hal ini. Pola ini pernah pula dilakukan oleh Jawa Timur dengan menggelar Pekan Budaya Jawa Timur (PKBJ) yang sempat berganti-ganti nama karena ketidakkonsistenan dalam menemukan arah penyelenggaranya, dan karena terdapat bukti bahwa penyelenggaraan itu tidak berhasil memancing kehadiran wisman. Sedang FKY dan PKB relatif berhasil, karena didukung oleh kesan yang kuat dalam konteks budaya yang dimilikinya. FKY dan PKB ini lebih menitikberatkan sosialisasi seni dan menempatkan secara jitu kesenian sebagai produk pariwisata. Hal ini terlepas dari kepentingan seniman yang memiliki sejumlah konsep ideal kesenian yang mereka geluti. Para seniman di Yogyakarta dan Bali, barangkali lebih menyadari penyelenggaraan ini bukan merupakan wilayah khusus bagi mereka. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada gejolak yang menginginkan adanya konsepsi ideal tersebut.
Kesenian-kesenian yang bertendensi kepariwisataan ini merupakan kebijakan yang dibangun oleh pemerintah (di) pusat maupun (di) daerah. Terdapat semacam target pemasukan bagi pendapatan asli daerah, sebagai modal pembangunan yang lebih luas. Secara nasional, target ini harus mampu dicapai masing-masing daerah. Pemerintah daerah (Pemda) berlomba-lomba untuk mencapainya. Hingga sekarang, pendapatan sektor pariwisata, baik itu melalui kesenian maupun sumberdaya alam dan manusianya mencapai 3,6 triliyun rupiah, dari 6 hingga 6,5 triliyun rupiah yang ditargetkan (1995). Hasil ini didapat dari kunjungan wisman di sektor pariwisata.
Selain itu, satu hal yang juga tak bisa dipungkiri, bahwa penyelenggaraan-penyelenggaran tersebut mampu membangun spirit dialogis untuk melahirkan dan menemukan kesenian-kesenian yang bisa memenuhi keinginan publiknya. Meskipun hal itu tidak serta merta terjadi, dan masih kecil dampaknya. Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) VII misalnya, memfokuskan pergelaran kesenian yang merupakan puncak prestasi seniman di Yogyakarta. Hal ini kemudian menjadi beban tersendiri, sekaligus beresiko dalam perspektif kreativitas seni. Karena, dalam kesenian ada pemahaman, bahwa "puncak dari kesenian adalah kematian". Kesenian memasuki pilihan yang serta merta "membunuh" kemungkinan melakukan "perburuan".
Tetapi, perlu digarisbawahi, bahwa apa yang terjadi di Yogyakarta --dan sering terjadi dalam pemahaman birokrasi seni, kelompok kesenian dan figur seniman merupakan titik tolak dari pemilihan seni yang "unggul". Bukan pada konsepsi, kinerja, atau ideologi seni yang lahir dari kesenian tersebut. Kita seharusnya memandang dari perjalanan, dan seberapa besar pengaruh kesenian yang lahir itu pada pertumbuhan kesenian yang ada. Semacam "munumentasi" kreativitas yang lahir dari karya seni. Penilaian dan pemahaman seperti ini menghindari sikap yang gegabah, terburu-buru, dan akhirnya artifisial. Karena, retorika untuk membangkitkan kesenian tidak bisa diselesaikan hanya dengan penampakan bagian luarnya saja. Kita harus menghindari ekslusivitas dalam arti menutup peluang kreativitas karena kesenian itu tak mampu memasuki pasar secara ekonomis. Hal ini mengingat bahwa kesenian bukan hanya lahir untuk masa yang pendek, tetapi harus mampu menjadi bagian dalam memahami masa depan masyarakatnya.
Kesenian-kesenian yang kita saksikan dari pandangan birokrasi seni yang sempit, berangkat dari tidak adanya kemauan, sekaligus kemungkinan bagi kita untuk membangun suatu pergaualan dan pergulatan yang intensif dari karya seni. Para birokrat seni selalu berpikir bahwa ia harus mampu menyajikan kesenian yang mudah dipahami, bisa tertawa terbahak-bahak, dan gemerlap seperti berada di surga yang ketujuh, dan ujung-ujungnya membahagiakan pimpinan yang tidak memiliki perspektif dalam memahami kesenian yang mampu membawa masyarakat dalam perubahan yang besar, semacam dunia baru yang harus dilewati dengan pemikiran-pemikiran besar, bukan dengan bersenang senang duluan, bersusah-susah ke tepian. Inilah fenomena yang kini kita saksikan.
Lebih jauh, kita --mungkin juga secara politis dan menjadi perilaku dalam strategi kebudayaan yang kita kembangkan di Republik ini, mempersempit ruang gerak, serta terbatas pula peluang yang diberikan, bahkan dibatasi segala kehendak dan keinginan untuk membebaskan diri dari kekakuan memandang kebudayaan kita. Salah satu implementasinya, adalah munculnya legitimasi lembaga-lembaga perizinan, dan sensor. Bagaimana mungkin kita bisa mengembangkan karakter kesenian yang kita inginkan, dan kita kehendaki, sementara kita masih mengalami kesulitan untuk saling berhubungan satu sama lain, melakukan dialog dengan peradaban yang tumbuh diantara kita.Kita, sudah harus memulai untuk menampatkan kesenian dari suatu pergaulan dan pergulatan dengan publiknya yang membawa kemungkinan pada lahirnya kreativitas yang membangun kesenian yang berangkat dari pertumbuhan diri publiknya. Tidak bisa tidak, kita harus bisa berhadap-hadapan langsung untuk menempatkan publik sebagai relasi yang membangun kekuatan dan kepercayaan dirinya. Kesenian unggulan yang telah menjadi pilihan bagi sementara birokrasi seni, mudah-mudahan bukan sebagai harga mati dari suatu kerja kesenian.
Surabaya Post, Minggu, 9 Juli 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar