Minggu, 21 Juni 2009

Teater adalah "Keringat"

Autar Abdillah

Apakah teater itu? Siapakah yang mengusik setiap orang untuk menyaksikannya? Bagaimana hidup dan matinya? Mengapa dia tidak boleh disaksikan, bila ada kata-katanya atau prosedur penampilannya tidak memenuhi "persyaratan" tertentu? Apakah persyaratan itu? Siapa itu aktor, sutradara, artistik, penonton, skenografi, (penulis) naskah, dan karcis, dan...?
Konon, teater itu, ya, tempat nonton. Gedung tontonan. Dan, yang ditonton itu disebut "teater". Dulunya lagi, yang ditonton itu namanya bukan teater, tetapi bisa Ludruk, Kethoprak, Lenong, Wayang Bangsawan, Sandiwara, Tonil, Drama, Dulmuluk, Makyong, Mendu, Randai, Wayang Wong, dan tempat nonton itu pun bisa di tanah lapang, dan ada yang dipagari ("ditembok" pakai jerami, daun kelapa, tikar, bambu maupun kain, dan seng).
Lebih jauh lagi, "orang" mulai menarik substansi dan merasionalisasikan hubungan yang terjadi, antara yang ditonton, dan penonton. Apa itu yang ditonton. Siapa yang ditonton. Mengapa ditonton. Bagaimana cara menonton tontonan itu. Mengapa menonton harus pakai ini, dan pakai itu, misalnya mengapa menonton harus pakai karcis, pakai sepatu, harus diam, dan tenang, atau tak boleh ikut teriak-teriak, dan menyahut apa yang dibicarakan oleh tontonan. Tak boleh menyalakan blitz bila hendak memotret, dan terkadang juga tak boleh merokok.
Dari hubungan yang terjadi antara tontonan dan penonton, teater itu pun mulai di-wong-ke, dimanusiakan. Teater itu merupakan makhluk (hidup). Teater itu memiliki eksistensi. Teater itu ajaran (filsafat), pendidikan, forum, kebudayaan, peradaban, kesenian, (untuk cari) nafkah, (untuk) sosialisasi, mengangkat martabat dan kebebasan, kebersamaan, kerukunan, tukar menukar informasi, visi, keluhan, kebahagiaan, hiburan, "ideologi", dan bisa juga teror. Dan, disinilah --salah satunya, pilihan orang terusik untuk menyaksikannya.
Lalu, bagaimana hidup dan matinya teater itu? Hidup dan matinya teater di Indonesia --dalam beberapa pembicaraan, selalu dilihat secara "tak lazim". Pertama, dilihat dari bertambah dan berkurangnya jumlah kelompok teater yang pernah ada. Meskipun, perhitungan tersebut tidak dilakukan melalui pencatatan yang intensif. Bubarnya sebuah kelompok teater dianggap sebagai suatu kemunduran --sekaligus sebagai kematian teater. Kedua, dilihat dari kemunculan "tokoh handal". Dalam artikel Tommy F. Awuy, "Teater Sudah Mati" (Kompas, 10/12) yang lalu, semakin mempertegas kenyataan tersebut, dan bahwa teater tidak dipahami lewat disiplin teater yang sesungguhnya dikerjakan, dan dipahami lewat kerja keras teaterawan itu sendiri. Betapa sederhananya, pertumbuhan media sinetron yang menghasilkan nilai uang (ekonomis), kemudian dimasuki oleh seseorang (yang kemudian disebut tokoh handal dalam teater), seperti Putu Wijaya, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, dan (alm) Arifin C Noor, dianggap sebagai kematian teater!
Labih jauh, Tommy melihat bahwa sinetron sebagai pusat baru dari dunia akting --(untuk diketahui saja, bahwa dalam sinetron itu, dan juga film), (padahal) yang akting adalah kamera, bukan manusia atau orang-orang seperti layaknya teater. Maka, tidak bisa dikomparasikan, apalagi dijustifikasi sebagai perubahan seni peran (akting) yang akan mempengaruhi hidup teater. Tetapi, bisa benar bila kehidupan teater mendapat inspirasi dari kehidupan sinetron --juga film, dan juga mode, atau perangkat-perangkat teknologi, dan gerak manusia.
Semakin tidak bisa diterima lagi, ketika Tommy mulai mengidentifikasi teater secara tidak berdasar. Misalnya, (1) teater tinggal mampu mewarisi sisa romantisme maknanya, (2) Utopi, jika ada penerobosan baru yang paradigmatik, (3) secara epistemologis, pemeranan tidak subjek, namun agen mensuplay pemain, (4) teater --media dalam pengertian klasik, merupakan alat, bukan tujuan untuk sinetron dan film, (5) teater kehilangan bahasa tunggal, dan murni, (6) siapakah lagi teaterawan yang berjuang demi teater itu sendiri dalam kondisi globalisme?

***
Pernyataan Suyatna Anirun yang selalu menjadi ingatan saya, terutama dalam menghadapi aktor-aktor, adalah bahwa teater adalah "keringat". Singkatnya, teater tidak bisa lahir begitu saja. Ada kerja-kerja kreatif, dan disiplin yang terjadi di dalam teater yang hanya bisa dilakukan dengan kerja keras. Berlatih intensif. Menggali, menjelajahi, dan meneliti berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan. Dan, peristiwa teater tidak merupakan hasil ciptaan semata. Tetapi, ia merupakan temuan-temuan dari penggalian, penjelajahan, serta penelitian, oleh segenap unsur yang terdapat didalamnya.
Ketika konsep waktu mengalami polarisasi, maka waktu berlatih tidak dipahami lagi berdasarkan perhitungan hari. Misalnya, berlatih teater harus satu tahun, atau sekian bulan. Tetapi, ia sekarang dilihat dari bagaimana intensitas yang bisa dilakukan selama latihan teater tersebut dilakukan. Meskipun banyak kerja teater yang mulai melakukan simplifikasi dalam mempersiapkan kehadiran dirinya. Masih cukup banyak pula yang memang bekerja secara intensif, dan melakukan upaya-upaya yang sangat keras untuk menggali segala potensi diri yang dimilikinya. Kerja keras teater yang dilakukan oleh para teaterawan kita sekarang ini, sesungguhnya juga telah melahirkan banyak paradigma teater yang belum sempat tercatat. Atau, barangkali kita memang membutuhkan seorang pencatat yang memiliki kemampuan menganalisa sekaligus, serta mengakomodasikannya secara luas.
Jadi, kerja keras teater tersebut, tidak semata-mata merupakan kerja dari teaterawan itu sendiri. Tetapi, lebih jauh merupakan kerja dari berbagai pihak yang memiliki minat dan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap berbagai pertumbuhan sektor kehidupan kita. Tulisan ini tidak mungkin menghitung kedala dan peluang yang sedemikian besar terbentang di hadapan kita. Namun, saya dapat menyebutkan bahwa setiap tahun, ratusan teater lahir dari berbagai festival, pertunjukan keliling, dan inisiatif sendiri dari para pelaku teater di berbagai pelosok di Indonesia. Semua itu, tentulah tidak mudah dibaca hanya lewat media cetak kita. Semua itu, hanya mungkin bila kita mau menyadari, bahwa teater itu merupakan kerja yang dilakukan oleh manusia untuk berbagai kebutuhan yang melekat di dalam dirinya masing-masing.
Barangkali, tidak ada, dan kecil kemungkinannya, bila kita berharap bahwa seorang teaterawan harus berjuang demi teater itu sendiri. Seorang teaterawan itu juga berjuang untuk anak, istri, kerabat, tetangga, tubuhnya, dan mungkin juga bagi bangsa dan negaranya. Semua itu merupakan titik kewajaran yang bisa kita pandang sebagai realitas hidup, dan menghidupkan teater. Bila seorang politikus berpuisi, bukanlah berarti politik sudah mati. Analog dengan bila seorang teaterawan "bersinetron", bukan serta merta teater sudah mati.

***
Satu hal lagi yang harus dihadapi oleh teater adalah hilangnya kesempatan untuk hadir, karena beberapa prosedur kehadiran teater yang dihubungkan dengan kenyataan politik dan sosial. Kenyataan ini dihubungkan dengan bahasa teater yang berkaitan erat dengan bahasa publik teater. Pengaruh bahasa teater yang diasumsikan memiliki daya gerak politik dan sosial itu, justru menunjukkan bahwa sikap politik dan sosial itu mengalami kekacauan dan keguncangan. Paling tidak, persepsi politik, dan sosial itu tak sepenuhnya dimengerti sebagai suatu disiplin sendiri. Karena teater memiliki disiplinnya sendiri dalam "mengelola" dirinya.
Lebih jauh, Persyaratan teater itu atau subjek komunikasi teater itu dapat kita pandang sebagai rangsangan menghidupkan kenyataan dari diri masing-masing. Meminjam pernyataan Victor Turner dalam Anthropology of Performance (1988), seperti dikutip Tommy F. Awuy dalam kalimat terakhir tulisannya, merupakan "...daya ekspresi bahasa masing-masing diri kita". Teater hidup dalam pengalaman yang kita sadari, atau disimpan dalam kesadaran yang kita alami.
"Elemen-elemen" teater seperti aktor, sutradara, penonton, skenografi, "naskah lakon" maupun artistik, dan beberapa lagi yang lainnya, bisa ada bisa tidak --seperti karcis, tata rias, dan bahkan gedung pertunjukan sekalipun (ingat perspesi "teater Miskin" Jerzy Grotowski), merupakan jaringan tubuh teater yang tak kalah pentingnya untuk dipahami lewat tradisi kerja teater itu sendiri.Akhirnya, saya ingin mempertegas kembali bahwa kita memerlukan pembicaraan teater yang secara mendasar memandang basis kerja teater tersebut dengan memandangnya sebagai makhluk hidup. Dengan demikian, ia terus berubah. Sebuah disiplin. Kerja Keras. Bangunan kesadaran diri untuk menggali potensi diri yang tidak disadari bersembunyi dibalik "kemalasan", ketakutan, kekhawatiran untuk mengenali diri sendiri, kenyataan diri kita yang sesungguhnya. Bau kita. Bohong kita.
Kompas, Minggu, 31 Desember 1995, seni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar