Autar Abdillah
Setiap pergerakan yang tumbuh di kampus-kampus atau oleh warga kampus, selalu mendapatkan tanggapan yang besar dan luas, baik dari kalangan masyarakat, maupun kalangan aparatur negara. Hal ini lebih disebabkan oleh posisi kampus atau dunia perguruan tinggi yang memiliki sejumlah pengaruh dalam menyikapi kondisi hidup berbangsa, bermasyarakat, bernegara itu sendiri. Posisi yang menguntungkan ini membawa akibat yang cukup besar terhadap konsekuensi aktivitas yang dilakukan kalangan kampus.
Pada saat-saat tertentu, kalangan kampus bisa menjadi bumerang dalam pengambilan keputusan-keputusan akademis maupun "politis". Dan, pada kesempatan lain, kalangan kampus juga menjadi tolok ukur bagi suatu peradaban, dan produk-produk (kebijakan) yang dihasilkan oleh kalangan aparatur negara. Dalam situasi ini, maka setiap pergerakan dan aktivitas di kampus-kampus selalu mendapat kontrol yang cukup kuat dan ketat --terutama di masa Orde Baru, baik dari dalam (pihak internal), maupun dari luar (pihak eksternal: kepolisian dan penguasa maupun tentara).
Di samping itu, pada situasi percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi dan kebudayaan sekarang ini, semakin banyak pilihan-pilihan kalangan kampus untuk memberikan arti yang lebih besar terhadap perannya di tengah-tengah masyarakat, baik secara akademis, maupun (kalau perlu) secara politis. Hal semacam ini juga terjadi dalam menyikapi kesenian. Kesenian menjadi media untuk menyampaikan "pesan-pesan", unek-unek yang ada dalam kehidupan sosial. Melalui kesenian, kalangan kampus --terutama para mahasiswanya, mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang dihadapi publiknya. Sedemikian besarnya peran kesenian dalam kehidupan kampus, maka tak jarang pula kesenian di kampus dipandang sebagai akses yang dapat menimbulkan keguncangan struktural, dan sistem yang ada.
Keberatan-keberatan terhadap perilaku yang muncul dalam tatanan kehidupan, yang diekspresikan melalui kesenian telah mebuat --sedikitnya, semacam polusi terhadap situasi berkesenian itu sendiri, terutama pada pengungkapan dan pernyataan sosialnya. Polusi tersebut sesungguhnya muncul bersamaan dengan ketidakberdayaan kalangan kampus untuk memisahkan posisi dirinya dengan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Karena, bagaimanapun juga, kesenian di kampus bersifat temporer secara personal. Tetapi, secara organisatoris, ia tetap merupakan lembaga yang dibutuhkan untuk memberikan jawaban terhadap dinamika kesenian khususnya, dan pergolakan-pergolakan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat umumnya.
Kesenian di Kampus
Sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan oleh kalangan intelektual atau ilmuan, bahwa kekhasan yang muncul dalam kesenian kampus adalah orientasinya. Ketiadaan hubungan yang menunjukkan arah aktivitas kesenian di kampus-kampus maupun orientasinya pada intelektualitas, memberikan indikasi jelas, bahwa kesenian di kampus lebih merupakan aktivitas sampingan, semacam hobi dan kegiatan ekstrakurikuler --kecuali di perguruan tinggi kesenian, semacam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar, Bandung, Surakarta, Padang Panjang, maupun di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, dan beberapa Institut dan Universitas yang memiliki jurusan atau program studi seni) ketimbang melahirkan cita-cita kesenian maupun kesenian sebagai gerakan. Maka, memandang kesenian di kampus pun adalah dengan melihat kesenian tersebut dari situasinya yang temporal.
Dengan cara pengamatan atau perlakuan kesenian di kampus yang demikian, kesenian di kampus dipandang sebagai letupan-letupan semangat para mahasiswa dalam menyuarakan isu-isu di sekitarnya. Masih jauh dari kebutuhan untuk melihat kesenian di kampus menjadi satu wacana perubahan dalam kesenian. Di samping itu, ada kecenderungan yang jelas, bahwa kesenian di kampus masih disibukkan oleh romantisme sejarah para pendahulunya. Di sini dapat dilihat masih kuatnya pengaruh para pendahulu kesenian dalam upaya penciptaan maupun pelahiran karya-karya kesenian.
Keberadaan mereka terlihat pada penggunaan idiom-idiom kesenian itu sendiri, maupun sikap dan perilaku dalam berkesenian. Hal ini sangat mungkin terjadi, bukan dikarenakan oleh eratnya hubungan mereka terhadap para "tokoh" yang mereka idam-idamkan atau idolakan tersebut, tapi lebih pada pemahaman dan keterbatasan informasi yang sampai ke warga kampus, dalam melakukan penerjemahan dan pencerapan kembali idiom-idiom yang sudah berkembang, dan mengalami berbagai pengembangan di tengah warga kampus baru saja mulai memasukinya.
Jadi, persoalan kesenian di kampus, bukan hanya persoalan yang tumbuh dari keterlibatan kalangan kampus terhadap "birokratisasi", dan melemahnya peran-peran demokratisasi --seperti pada rezim Orde Baru, tapi lebih diperparah oleh situasi kalangan kampus yang masih enggan melepskan diri dari keterpasungan yang mereka lakukan sendiri, dalam memasuki wilayah kreatif kesenian yang bersumber pada para pendahulu kesenian. Semacam kinerja pewarisan tanpa sinergi yang mampu memunculkan idiom kreativitas yang baru.
Kreativitas yang Memudar
Kesenian di kampus, bagaimanapun juga, sebaiknya memiliki aspek yang sangat dekat dengan peran kampus itu ketika memasuki wilayah kesenian. Pertama, kesenian di kampus (terutama perguruan tinggi non kesenian) merupakan kegiatan ekstra atau merupakan unit kegiatan mahasiswa. Di dalamnya terdapat berbagai unit lainnya, seperti tari, sastra, teater, musik dan seni rupa. Dalam posisi seperti ini, maka tak dapat diharapkan, kaidah kesenian akan "ditaati" melalui pemahaman kesenian sebagaimana perguruan tinggi atau kampus seni memperlakukannya.
Kedua, kesenian di kampus (terutama perguruan tinggi kesenian) merupakan sebuah spesifikasi dan generalisasi studi sekaligus yang dilakukan secara cermat. Artinya, kesenian dipahami melalui penjelajahan, penggalian, penelitian untuk tujuan-tujuan khusus. Misalnya, pendataan, kendokumentasian maupun penemuan-penemuan dari cara-cara atau metode, fungsi-fungsi struktur yang membangun suatu kesenian.
Bertolak dari kedua perspektif di atas, maka kesenian di kampus juga dipengaruhi oleh sejumlah arah yang menjadi motivasi atau titik tolak berkesenian. Sedangkan kreativitas yang dilakukan kalangan kampus lebih dutujukan pada peran-perannya yang sangat dominan dalam kehidupan dunia kampus.
Perlu juga dinyatakan disini, bahwa situasi non teknis (misalnya, pengetatan, pengendalian, dan kontrol) yang kuat terhadap aktivitas kesenian di kampus, dan situasi teknis (terhadap pemahaman kesenian itu sendiri) telah menyebabkan munculnya gejala keterpsungan kreativitas. Tak dapat dipungkiri, bahwa kalangan kampus mencoba memasuki wilayah yang secara sederhana mereka kenali, tetapi kesederhanaan tersebut ternyata membuat mereka berada dalam situasi yang memenjarakan diri mereka sendiri.
Bahkan, saya menyaksikan sejumlah kesenian kampus yang meberikan indikasi sebagai "plagiator", atau tidak sedikit yang hanya merupakan epigon. Ada kesenian yang hanya memproduksi sejumlah aktivitas kesenian yang dilakukan oleh kesenian di luar kampus (non formal) yang mereka saksikan. Sementara, yang mereka lakukan sendiri tak sepenuhnya dimengerti perilaku-perilakunya dalam kehidupan dan aktivitas kesenian yang mereka ingin hidupkan secara kreatif.
Memang, hal yang demikian tak sepenuhnya terdapat pada semua kesenian kampus. Baik dilakukan secara sadar maupun tanpa pretensi untuk "ikut-ikutan", dan melakukan peniruan buta. Namun demikian, kesenian kampus memiliki peluang melakukan reformasi. Baik dalam penciptaan idom-idom kesenian baru, maupun dalam menumbuhkan kebutuhan memasuki wilayah kesenian yang juga dibutuhkan oleh publiknya. Karena, bagaimanapun juga, keberadaan kesenian tak bisa lepas dari segala bentuk perubahan yang terus mendesak keberadaan manusia yang masuk dalam ruang kesenian. Dan, manusia yang berada dalam kesenian adalah manusia hidup yang terus mendobrak perilaku, dan tatanan hidup yang terkadang sulit untuk didapatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah suatu kondisi, dimana kerativitas-kreativitas kesenian di kampus mengalami pemudaran, dan seharusnya dapat dipecahkan melalui studi yang menyeluruh terhadap sejumlahpersoalan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tanpa harus mengasingkan pendisiplinan diri terhadap pemahaman kesenian yang ditumbuhkannya secara bersamaan dengan kehidupan yang dilaluinya. Dan, tidak bisa tidak, kesenian di kampus lebih banyak dituntut untuk memberikan penafsiran, dan mempetegas posisinya dalam kehjidupan kampus. Ia bukan saja "pengadi atau pelayan" pada persoalan kampus, dan persoalan akademis, tapi juga merupakan institusi yang memiliki kepercayaan penuh dari masyarakatnya.
Sebagai sebuah penciptaan, kesenian di kampus sudah melepaskan dirinya dari keterpasunga yang lebih jauh dari persoalan yang tidak bersentuhan dengan masyarakatnya. Di samping itu, kesenian kampus bukan untuk mengasingkan aktualitas dirinya dari seluruh gejolak yang bermukim dalam situasi personalnya di kampus. Tapi juga merupakan penguatan atas segenap persoalan yang tumbuh di dalam dunia kampus itu sendiri. Hal ini lebih merupakan satu upaya untuk memberikan realitas tersendiri dalam dunia kampus.
Realitas tersebut adalah kesadaran atas keberadaan kesenian di kampus sebagai aktivitas dari sejumlah aktivitas di dalam kampus, bagaimanapun juga memberikan kontribusi bagi pengembangan diri mahasiswa atau kalangan kampus dalam kesenian. Akhirnya, seluruh situasi di kampus memberikan indikasi bagi situasi kesenian kampus tersebut. Dan, wilayah kesenian yang dimasuki kalangan kampus merupakan manifestasi dari seluruh aktivitas aktual kalangan kampus.
Bali Post, Jumat, 19 November 1993, opini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar