Autar Abdillah
Runtuhnya dianasti TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta), diiringi oleh meningkatnya mobilitas kreatif di perbagai pelosok "daerah". Mulai di kampung-kampung yang dipenuhi sawah, dikelilingi pegunungan hingga ruang-ruang sempit penuh sesak di kampus-kampus, dan rumah-rumah tinggal. Tidak ada yang bisa membangun prediksi secara akurat, bahwa fenomena ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Tetapi, sangat jelas bahwa fenomena ini merupakan suatu bukti, dan suatu pertanda pula dari suatu transisi era yang sedang akan bertemu dengan atmosfirnya yang baru.
Lembaga-lembaga maupun individu yang memberikan untuk mengesahkan sesuatu seni atau seniman itu memiliki nilai dan kapasitas dalam menghadirkan diri, ditonjok habis-habisan. Tapi, tidak sampai babak belur juga, karena masih ada sebgaian lembaga maupun seniman yang ditokohkan merasa dirinya masih layak melakukan hal itu. Semua itu, tentunya akan mengokohkan keyakinan terhadap satu hal. Yakni, setiap kehadiran sesuatu seni dan seniman itu, membutuhkan ruang yang mampu melakukan penjelasan-penjelasan terhadap keberadaan setiap kreativitas seni yang melibatkan diri setiap orang didalamnya. Ini artinya, "kedaulatan perseptif" berada pada diri masing-masing orang yang mempresentasikan kesenian tersebut.
Hal inilah yang beroposisi bagi kecenderungan yang telah menempatkan kesenian itu berada dalam satu arus utama --dan tunggal. Dengan terbukanya kemungkinan-kemungkinan yang tak perlu terorganisasi secara kaku. Lebih jauh, merupakan "pintu terbuka" bagi datangnya makhluk baru yang "out of mainstream", dan tersamarnya relasi interaktif. Tepatnya, sebuah kelahiran dari asumsi estetika yang hendak disodorkan lewat praktek-praktek konkret dari kehendak dan kebebasan setiap orang.
Situasi ini dipertegas dengan penolakan mentah-mentah terhadap penguasaan yang dilakukan modernisme. Dengan mengklaim --yang modernism itu tak punya malu mendorong lahirnya kesenian-kesenian yang (harus) konsisten, tidak boleh berbeda pendapat, dan otonomisasi, serta menutup jalan bagi perbuatan yang tidak berada dalam arus penguasaan yang dibuatnya (justru) untuk melegitimasi dirinya sendiri. Kekuasaan yang dibangunnya untuk kepentingan sendiri. Dan, juga, suatu upaya untuk membangun ketergantungan yang semakin bear dan luas setiap kecenderungan yang mungkin bisa dilahirkan. Melalui penutupan untuk melakukan inisiatif, dan juga partsisipasi.
Dengan demikian, out of mainstream itu membangun pengertiannya atas usaha-usaha untuk menemukan kembali kenyataan-kenyataan yang seharusnya terjadi. Kenyataan tersebut adalah kesediaan untuk menerima berbagai kenyataan yang bisa dihadirkan. Di sini, juga tidak ada lagi kekuasaan mutlak yang hendak meyakinkan dirinya, bahwa estetika yang dimilikinya, bahwa kesenian dirinya, dan kelompok yang dibangunnya merupakan the best one dari semua peradaban, bahkan dari peradaban yang sekarang sekalipun.
Meyakinkan diri sendiri untuk masuk pada kehidupan dan kebudayaan diri orang lain adalah keniscayaan yang begitu mudah untuk digugat. Karena semua tindakan kesenian, kebudayaan, estetika, agama, politik maupun filosofi moral adalah keberadaan masing-masing yang percaya bahwa dirinya memiliki peluang, dan kesempatan yang sama dalam berbuat atau bertindak secara praktis.
Masih tumbuhnya kepercayaan terhadap kebesaran-kebesaran mutlak, kepada empu, kepada tokoh panutan, kepada pembesar-pembesar kebudayaan, politik maupun kesenian, bukan saja serta merta mementahkan kenyataan antropologis seseorang, tetapi juga mementahkan keterlibatannya dalam membangun subsidi konkret atas keberadaan manusia lainnya. Imbasan materialisme, sepertinya telah membentuk makhluk baru yang bermental menundukkan diri pada idealisasi kehidupan yang dihadapi, diinginkan, dan dikehendakinya. Hal ini juga merupakan realitas yang dapat mementahkan khazanah budayanya sendiri.
Serbuan televisi. "Ancaman" internet. Gelagat teknologi supercanggih, seperti hendak meruntuhkan hubungan yang kaku dari manusia dalam memandang kebudayaan yang diwarisinya. Manusia seperti hendak juga menipu dirinya sendiri, ketika ia dihadapkan dengan kebudayaan-kebudayaan baru yang dikenalnya secara samar-samar. Penipuan diri ini akan semakin nyata, ketika manusia kehilangan daya tangkap, pencerapan dan kepekaannya terhadap keberadaan dirinya sendiri. Manusia seperti tidak percaya lagi, bahwa di tubuhnya menempel kebudayaan yang ditolaknya, ketika kebudayaan itu mencoba merebut kehendak-kehendak dirinya yang paling ia ketahui, "asli".
Kehendak diri manusia itu, yang hendak dimanipulasi tersebut merupakan bawah sadar biologis manusia yang hidup, ketika pergerakan kontraksi otot menemukan gerak reflektifnya. manusia memiliki kecenderungan yang terkadang terlupakan untuk disadari kembali, bahwa aspek biologis --sekaligus alamiah dalam dirinya, akan selalu berimprovisasi dalam menanggulangi tindakan apresiatif. Tindakan inilah yang secara improvisatoris melakukan negosiasi logis saat dalam proses kreativitas dalam kesenian.
Di dalam pergaulan kesenian, tidak jarang pula muncul upaya mempertahankan diri untuk memanipulasi kenyataan laten yang bersembunyi di balik realitas bawah sadar biologis yang henak menutup diri dari pergerakan improvisatoris yang hendak menegasikan kesenian yang dihadirkannya. Kesenian semacam ini merupakan kesenian yang tidak mungkin mampu memasuki realitas industri global. Sebagai jalan keluar, pergaulan kesenian itu harus mampu mengoreksi kembali, arah yang bergerak sebagaimana dia memperlakukan kesenian tersebu, dan juga harus segera menyadari pergerakan yang tumbuh di sekitanya. Singkatnya, dibutuhkan suatu keterbukaan idealiasi. Dibutuhkan, kesadaran baru akan pertahanan diri yang berada dalam pluralitas pergaulan yang kompleks dan multidimensional.
Satu hal lagi, bahwa segala arus kesenian yang kini tumbuh harus menempatkan dirinya sederajat dengan yang lain. Ini juga berarti bahwa semua kenyataan kesenian harus mampu berada dalam upaya mendapatkan peluang yang sama ketiak melahirkan kreativitas, seperti apapun bentuknya. Kreativitas itu merupakan realitas kehadiran yang menempatkan manusia tidak berjarak dengan kehidupan nyata sehari-hari yang ditemukan di tengah-tengah hidup bermasyarakat. Dan, dengan demikian pula, kesenia menjadi realitas relasional yang meniadakan penggolongan dan pemihakan yang tidak disadari atas realitas entitas kultual yang tumbuh dan berada bersama-sama di tengah-tengah kesenian yang ditumbuhkan. Kebersamaan dan kesederajatan di sini merupakan suatu komitmen yang dibangun dari upaya menimang kembali martabat yang disediakan dalam pergaulan kemanusiaan. Di sini, kesenian menemukan realitas konkritnya bersama kehendak-kehendak pelaku kesenian tersebut. Akhirnya, kita kini semakin membuka diri terhadap segala kecenderungan yang menjadi simptom kultural yang tak hendak mempercayai hegemoni maniak kepribadian --jati diri, yang tdaik mampu berbicara atas nama kemauan ataupun kehendak "orang banyak". Orang banyak menjadi simbolisasi baru dari suatu mobilisasi, dan demokratisasi dalam menerima setiap perubahan. Kesenian, kini juga hendak kembali pada rumah-rumah baru yang bukan ditentukan oleh bentuk-bentuk legitimasi. Tetapi, lebih pada kepercayaan untuk menempatkan diri berada di luar wilayah yang "biasa-biasa saja". Berada di luar itu adalah berada di luar arus utama yang ada.
Jawa Pos, 1 Desember 1996, budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar