Autar Abdillah
Gagasan kesenian kita sekarang semakin kompleks. Hal ini di dukung oleh berbagai kemungkinan yang memberikan peluang pada senimannya maupun pada kemungkinan penyebarluasan informasi dari perkembangan kesenian yang dapat dimanfaatkan publik kesenian. Di samping itu, tumbuhnya upaya "membuka diri" dalam konsteasi kreativitas seni terhadap kemungkinan untuk menemukan realitas kesenian yang "baru" akan pula membuka wacana seni yang lebih luas dan konstruktif.
Hal di atas memberikan arti pula, bahwa dunia kesenian itu menghadapi tantangan yang semakin besar untuk menangkap atau mencerap, serta memberikan penjelasan terhadap pertumbuhan kehidupan yang sedang berlangsung. Dan, dengan demikian, kita dihadapkan pada usaha untuk mencari relasi yang terbangun dalam tubuh kesenian tersebut, beserta lingkungan yang meberikan energi bagi kelahiran kesenian. Relasi itu bisa berasal dari karakter antar bangsa, antar disiplin seni, dan antar wacana kreativitas. Energi kesenian ini turut memberikan dukungan keberartian dari kesenian. Juga, bagi peradaban maupun zaman yang dipercayai sebagai sekuen penting dalam membangun realitas kesenian.
Kesenian kita juga dihadapkan pada munculnya berbagai persentuhan atau pergesekan, baik dalam penggunaan bahasa seni maupun bahasa dalam kajian akademik, seperti lahirnya terminologi-terminologi baru dari pencerapan aktivitas kesenian oleh para pelaku seni, serta konsepsi-konsepsi baru yang didalamnya terdapat keharusan untuk melakukan berbagai pembenahan maupun mereposisi diri untuk menempatkan kesenian dalam lingkup yang lebih tegas. Para seniman, pemerhati, kritikus, peneliti maupun wartawan, harus bersama-sama meletakkan kesenian dalam "jalur" yang dapat menunjang kreativitas, bukan justru melemahkan daya juang kreatif itu sendiri. Hal ini bukan tidak sering terjadi, karena ketidaksamaan dalam menempatkan diri dan memposisikan dirinya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, dan barangkali juga akan masih terus menjadi persoalan penting kita, persoalan yang nyaris tak habis-habisnya untuk kita bicarakan, salah satunya adalah persoalan refleksi dan kreativitas. Kedua hal ini, menjadi pembicaraan yang menghangat, dan menjadi krusial ketika kita menyadari betapa kedua persoalan tersebut tumbuh dalam kesenian di saat kita menghadapi sedemikian banyaknya, dan sedemikian kompleksnya wilayah jelajah dunia kesenian dan pandangan publik yang mulai merasakan, bahwa kesenian telah melahirkan banyak bentuk-bentuk yang kemudian terkadang tidak mampu tercerap oleh publik.
Sebelum kita lebih jauh bicara tentang seni eksperimental, ada baiknya kita mencoba untuk membuka suatu persoalan yang turut memberikan konstribusi lahirnya persepsi seni eksperimental tersebut. Pertama, adalah persoalan refleksi atau reflektere yang mengandaikan bahwa "manusia itu melihat dan menganggap dirinya sebagai suatu makhluk yang berpikir dan berkehendak". Menurut Louis Leahy (1993:227), bahwa refleksi menunjukkan keunggulannya terhadap materi. Ia, sebagai energi dari pikiran. Ia, juga berangkat dari pandangan filsafat dan menempatkan manusia yang memiliki roh yang bersifat imaterial. Dalam kesenian, perannya menjadi penting, ketika kesenian dihadapkan pada semacam penguasaan dari verbalisasi pencitraan pandangan yang hanya mendorong lahirnya perujudan fisik, bentuk, dan keindahan-keindahan yang menyertai pencitraannya.
Sedangkan kedua, adalah kreativitas yang memiliki dimensi historis dan sangat dekat dengan hidup manusia. Ia bersifat dinamis dengan segala kapasitas yang dimungkinkan oleh keberadaan manusia. Ia dapat terjelma secara konkrit lewat kerja yang memerdekakan, kemajuan ilmu-ilmu, penggunaan alat-alat, seni lukis, kesusasteraan, musik, teater, tari, dunia etika, adat istiadat, cinta, pergaulan, tanggungjawab, persahabatan, arsitektur, kedokteran, dan seterusnya. Ia terus berubah, berkembang, dan nyaris tak ada yang bisa menghentikannya. dari sudut pandang yang historis tersebut, manusia terkait langsung dengan pengalaman dirinya secara langsung. Baik dari fenomena-fenoma hidup yang disadarinya maupun tidak disadarinya
Ada tiga hal yang terkandung dalam perspektif di atas, seperti ditegaskan oleh Louis Leahy (1993:203). Yakni, pertama, roh manusia itu terjelma. Roh manusia tidak bereksistensi sebagai suatu roh murni. Kedua, secara hakiki manusia adalah makhluk intersubjektif. Manusia tidak sebatang kara di dunia. Karya manusia memungkinkan intersubjektif, karena karya itu adalah garis penghubung antara kebebasan orang yang satu dengan orang yang lainnya, dan karena itu juga merupakan penghubung antara masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang. Ketiga, manusia adalah makhluk yang terkait dengan waktu. Manusia bukan hidup dalam kepenuhan "nunc" yang kekal.
Dengan demikian pula, kreativitas melewati prosedur yang tidak bisa tidak menjadi suatu kenyataan untuk membangkitkan dirinya di dalam dunia orang lain yang juga berada dalam kenyataan bangunan diri yang saling menampakkan dirinya. Tiga hal penting disini adalah intelegensi, imajinasi, dan ingatan. Hal ini bisa dijelaskan bahwa intelegensi merupakan sekuen yang membuka deskripsi ide dan pikiran dalam pengejaran-pengejaran terhadap ruang eksistensial pengalaman dari berbagai kemungkina yang telah, sedang dan akan ditimbulkannya. Sedangkan imajinasi merupakan sekuen pengkayaan terhadap meluasnya pengejaran-pengejaran yang terkadang menemukan ruang kedalinya. Artinya, imajinasi tak pernah bisa menemukan begitu saja kemungkinan yang disadari atas berlangsungnya "pengalaman langsung" yang berbasis pula pada peristiwa hidup sehari-hari. Dan, disini pulalah peran ingatan membangun atau menjalin terjadinya atau terbentuknya ruang pengalaman langsung tersebut bagi pencitraan diri yang hadir di dalam kesenian.
Di sini kita dapat mengatakan bahwa potensi yang terdapat dalam kelahiran kesenian tersebut, juga berangkat dari bagaimana kita bisa memecahkan hubungan yang terdapat dalam kita memahami persoalan refleksi dan kreativitas, yang kita percayai sebagai upaya dalam membuka kemungkinan kita "bersetubuh" dengan kesenian, dalam memandang kemungkinan hadirnya diri kita dalam kesenian, yang boleh dikatakan sebagai basis seni eksperimental. Baiklah, selanjutnya kita mencoba mengamati bagaimana seni eksperimental itu tumbuh dan berkembang di dalam dirinya, beserta berbagai implikasi yang terdapat dalam perjalanannya.
Seni Eksperimental: dalam perjalanan
Pada 1960-an hingga 1970-an, dunia seni di seluruh dunia seperti sepakat untuk melakukan pemberontakan terhadap hal-hal yang paling esensia, terutama dalam hubungan seni dengan manusia. Mengenali kembali segala apa yang telah, sedang, dan mungkin akan terjadi. Banyak hal mulai terlihat berubah secara drastis. Banyak penemuan, dan lahirnya ekspresi yang bertolak dari kenyataan yang manusiawi. Ada dadaisme-surealisme Perancis, ada futurisme Italia --keduanya merupakan salah satu karya besar modernisme, yang menurut Henry M Sayre (1992:2) mengorientasi pada satu pandangan. lalu, kita diperkenalkan dengan simbolisme Rusia, muncul "Mini Kata" WS Rendra yang bersamaan dengan maraknya dan populernya Ontological Hysteric Theatre dari Richard Foreman di Amerika Serikat, ada musik Underground, ada Jazz Dance yang ingin merefleksikan identitas Negro di Amerika, ada musik New Wave, ada tari "non cerita" Isadora Duncan, ada teater teror Putu Wijaya, ada teater Kacau Antonin Artaud, ada teater Miskin Jerzy Grotowski, ada teater Ketiga Eugenio Barba, ada Meta-Ekologi Sardono W Kusumo, ada sajak Mantra Sutardjo Calzoum Bachri, dan ada pula Happening Art, ada pabrik, bekas gereja, rumah tinggal, halte bis dan puncak pegunungan yang jadi tempat pertunjukan. Ada sajak pamflet, ada sastra kontekstual, ada gerakan seni rupa baru dan seterusnya.
Di Indonesia, semua eksperimen yang dilakukan, pada awalnya merupakan suatu pemberontakan, penolakan, perlawanan, kemuakan, bukan semacam kebencian terhadap hadirnya seni politik partai-partai. Terdapat kesan dogma-dogma, doktrin maupun klaim-klaim sosial, terutama politik. Sehingga, seni tidak lagi mampu untuk membebaskan diri dari personalitas maupun kecenderungan untuk menemukan realitas estetika, tematikalitas, skenografis, hingga concern terhadap hidup manusia dan masyarakat yang berada di dalamnya. Dan, semacam kebijakan yang lahir dari Gubernur DKI Jakarta pada awal 1970-an, Ali Sadikin, yang membuka Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, kemudian menjadi media untuk mengakomodasi daya ekspresi yang terasa mulai "tak keruan". Memang, di sini terjadi semacam pelembagaan. Disengaja atau tidak, di sini mulai terjadi pemusatan atau sentralisasi. Semboyan yang diteriakkan pada waktu itu adalah Kebebasan Kreatif dan Otonomisasi Seni --(hal ini barangkali masih menjadi titik persoalan kesenian dan seniman hingga saat ini). namun demikian, apakah yang terjadi? Kesenian maupun seniman dan publiknya, ternyata masih mengalami kendala aktualitas yang maha pelik. Ada etika-moral-normatif, ada kebiasaan-kebiasaan, ada adat istiadat, ada kebijakan-kebijakan politik yang tak bisa digoyahkan begitu saja.
Kembali pada persoalan seni eksperimental. Secara intrinsik, eksperimen itu dalam perspektif seni, seperti dikemukakan oleh James Roose-Evans dalam bukunya yang cukup populer, Experiemental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook (1989), menyebutkan bahwa eksperimental itu lebih berarti sebagai "sesuatu seni yang belum dinamakan". Mengapa? Karena seniman masih sedang melakukan eksplorasi, penjelajahan, penelitian hingga membutuhkan waktu untuk dapat menemukan apa yang sedang dan telah ia kerjakan. Dalam bukunya, Roose-Evans membuat beberapa tinjauan terhadap para seniman yang melakukan pencarian hingga mereka menjadi bagian dari proses eksperimentasi, atau penemuan-penemuan tanpa henti untuk mendapatkan realitas baru dalam berkesenian. Di sini, juga berlangsung pengandaian bahwa kesenian harus ditemukan dan dilahirkan melalui upaya-upaya pencarian, penggalian, penelitian maupun penjelajahan yang terus menerus, dan semua itu dilakukan dengan mengacu pada tindakan seni dari pelaku sebelumnya. Hal ini sangat menarik bagi dunia kesenian di Indonesia, karena selama ini kita nyaris tidak melakukan tinjauan terhadap pelaku seni terdahulu dalam melahirkan suatu kesenian. Sehingga, epigonitas atau bahkan peniruan buta menjadi sesuatu yang dihalalkan.
Dalam sebuah diskusi --dalam rangka ulang tahun ke 25 teater Populer, Oktober 1993, Nirwan Dewanto menyikapi seni eksperimental sebagai upaya untuk mengatasi keterbatasan. Persepsi ini terlihat kurang memahami sikap kreatif itu sendiri. Keterbatasan dimanapun dalam proses kesenian tentu ada, tetapi eksperimentasi seni tidak bertitik tolak dari perlawanan seperti ini. Namun demikian, bisa disadari bahwa di Indonesia, proses kreatif seni memang jarang sekali menjadi upaya untuk menggali kaidah maupun khazanah terdahulu. Para pelaku seni lebih suka menggampangka diri dalam melakukan eksplorasi. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak adanya media penghubung antara satu disiplin seni dengan disiplin seni lainnya. Juga, oleh ketiadaan informasi yang memadai untuk melakukan pertentangan ide yang satu dengan yang lain. Sehingga, eksperimentasi seni bukan suatu keharusan, tetapi lebih merupakan ketidakmampuan untuk memasuki wilayah kreatif yang ada. Karena disiplin kreatif yang tersedia dirasakan sulit untuk diantisipasi.
Tindakan eksperimentasi itu terus berlanjut. Putu Wijaya misalnya, meskipun tidak mengatakan sesuatu eksperimentasi terhadap keseniannya, khususnya dalam teater, tapi ia telah melakukan berbagai upaya interaktif terhadap sesuatu yang bisa disebutkan sebagai penggalian maupun penjelajahan yang baru. Melalui akar budaya Bali yang dimilikinya, Putu lebih kreatif memasuki wilayah yang baru itu. Bagi Putu Wijaya, teater eksperimental itu adalah berlawanan dengan kehendak pasar, bermusuhan dengan orang banyak, bertentangan dengan kebahagiaan, dan berontak pada dirinya sendiri, terhadap kemapanan (terutama bahasa). Juga, menolak untuk tahu, anti status-quo: tak pernah diam, yakni dalam keadaan bergerak, bimbang ragu, mencari sesuatu yang belum ada, tak ada atau mungkin tak pernah ada. Ia juga tak ingin mengada.
Lalu --lanjut Putu Wijaya, teater eksperimental merupakan teater nihil, yang zero: namun amat penuh, ambisius, prestisius --langkah ke zona terapung, yakni ruang berlapis-lapis dengan dimensi tak terjangkau, mendekati "misteri". Membuat manusia lebih menyadari keadaannya yang tak berdya, mengingatkan manusia pada diri sendiri yang noktah, tak punya hak, tak kekal, dan yang pasti akan musnah. Ia sebuah ideologi, ritus, dan ajaran kebaikan. Sebuah teror mental juga. Sedangkan bagi Nirwan Dewanto, seni eksperimental juga merupakan sebuah "metoda". Lain halnya, dengan seorang sutradara teater SAE Jakarta, yang justru menolak keseniannya sebagai eksperimental, karena menurutnya eksperimental lebih sebagai sebuah percobaan. Dan, teater yang dilakukannya bukan sebuah percobaan. Memang, sejumlah seniman yang kemudian menyebut dirinya melakukan eksperimental, hanya merupakan sebuah percobaan.
Perspektif di Indonesia, memang berbeda di Eropa dan Amerika. Karena, mereka memiliki basis yang kuat terhadap berbagai konsepsi maupun ideologi kesenian yang berdasar pada pemikiran filsafat. Sehingga mereka lebih mampu menjelaskan posisi seni eksperimental tersebut hingga ke dataran yang paling esensial dari setiap orang yang memasukinya. Yakni kemampuan manusia dalam membangun reseptivitas terhadap realitas (terutama empirik, maupun imajinatif-fiktif-fantasi-mitologis), ke dalam stimulasi kesekarangan dari seseorang (individu, seniman hingga masyarakatnya). Kita ambil contoh Martha Graham, seorang koreografer Amerika Serikat. Ketika ditanya tentang bagaimana ia melahirkan tarinya, dan mengapa karya tarinya tersebut diturunkan dari mitologi Yunani, ia menjawab, "I am a thief" (aku adalah pencuri). Artinya, ia menyaksikan dirinya dengan memahami situasi dirinya lewat mitologi Yunani, kemudian melakukan korespondensi dengan kehidupannya yang sekarang, yang ada dalam dirinya. Lalu, ia membawa semua perbendaharaan pertemuannya itu ke studio. Ia melakukan eksplorasi dari bagaimana dirinya yang sekarang dengan mitologi Yunani itu sendiri. Sesuatu yang terbangun lewat stimulasi pertemuan tersebutlah, kemudian melahirkan karya tari. Terjadi semacam mistifikasi juga terhadap mitologi dari dunia sehari-hari yang hidup, dan dunia yang telah berlangsung di luar dirinya (mitologi Yunani), untuk dimasuki kembali, dikenali, dan dialami.
Seorang koreografer kontemporer dari Thailand, Naraphong Charassri juga melakukan hal yang nyaris sama. Koreografer yang pernah belajar pada Martha Graham ini, dan melakukan kolaborasi dengan sejumlah seniman, seperti dengan Keiko Takeya dan Makoto Sato (Jepang), dan I Wayan Sadra (Indonesia), dalam sebuah percakapan di Surakarta (November 1994), menyebutkan bahwa apa yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari secara sadar, dapat melahirkan rangsangan terhadap penemuan-penemuan dalam dunia tari. Ketika ditanya, bagaimana ia melakukan proses kreatif, ia mengatakan bahwa segala yang dilihatnya, termasuk duduk di warung kopi, melihat kucing berjalan, buruh yang sedang bekerja maupun perilaku kekuasaan merupakan inspirasi positif untuk menumbuhkan proses kreatif. Naraphong banyak menemukan rangsangan dari proses kehidupan sehari-hari menjadi proses kreatif yang mampu membangkitkan hubungan dirinya (internal) dengan yang berada di luar dirinya (eksternal).
Jadi, ada "dunia bersama" yang lahir dari kesadaran, dan membangun rangsangan terhadap situasi kesekarangan. Pemahaman seperti inilah yang juga memasuki dunia pemahaman kita terhadap seni eksperimental. Kita bisa melihat bagaimana koreografer seperti Gusmiati Suid yang muali menyadari pentingnya realitas didalam diri dalam dunia tari. Dunia tari tak semata-mata melakukan pengejaran terhadap kesempurnaan teknik gerak semata. Tetapi, lebih pada fenomena-fenomena yang hidup, dan dihidupkan dalam setiap kesaksian pada hidup itu sendiri. Dalam gerakan musik New Wave 1970-an misalnya, mereka membangun prinsip dasarnya pada pengandaian bahwa "apa yang didengar, dengar, dengar. Itulah yang dirasakan".
Bila kita ingin lebih jauh bergerak, terutama ke dalam khazanah seni dunia --Indonesia, tentu bagian di dalamnya, merupakan kerja besar "proyek" modernisme. Modernisme seni mengandaikan bahwa "pemberontakan dari subjek yang merasa utuh-lengkap terhadap kenyataan yang ditata, namun direduksi pula oleh hukum-hukum rasional". Di sini, eksperimen terlihat kehilangan maknanya hingga lahirnya modernisme tinggi.
Sebuah Perspektif: Dunia Kemungkinan
Lalu, bagaimana perspektifnya? Apakah kita tengah menemukan jalan buntu? Apakah kita harus menyerahkan diri pada perubahan tanpa arah? Apakah eksperimen itu masih memiliki maknanya dalam kehidupan kita?
Perspektif seni eksperimen itu dapat kita bagi menjadi tiga. Pertama, bahwa ia merupakan seni yang belum dinamakan. Sejalan dengan munculnya pemahaman tentang "kematian seni", maka seni eksperimen itu sudah melewati berbagai paham besar seni yang pernah ada. Kita dapat melewatinya dengan satu keyakinan melalui upaya penjelajahan, penelitian, dan pencarian serta latihan-latihan yang menmpatkan pemberian makna terhadap kehidupan yang lebih manusiawi, hidup bersama dalam alam semesta. Di sini, kepercayaan kita semakin dipertebal dengan meyakini adanya kemungkinan-kemungkina yang bisa lahir dari sebuah refleksi dan proses kreatif. Penawaran-penawaran mutakhir dunia filsafat, seperti yang dikemukakan oleh Edmund Husserl, yakni fenomenologi. Artinya, perbuatan kesenian bisa lahir dari apa yang ada di sekitar kita. Yang paling dekat dengan hidup kita. tidak lagi berada dalam narasi-narasi besar yang membuat diri kita hanya menjadi budak dari permainan bahasa, dan keagungan masa lalu. Dan, saatnya kita menempatkan dunia kodrati berada tidak dari satu tangan. tapi, kita manusia adalah bagian yang integral dengan kemungkinan hidup yang ditemukan.
Hal yang kedua, bahwa kita dihadapkan pada realitas di sini dan sekarang. Artinya, kita, seniman, kreativitas seni, masyarakat, negara, suku bangsa, hukum, pikiran, tubuh, teknologi, adalah sekuen yang integral. Di sini, berarti berada didalam diri kita (biografis-histroris) dengan konsekuensi ruang, tempat, keadaan atau situasi yang membangun realitas kehadiran. Sedangkan sekarang memiliki dimensi waktu yang didalamnya kita berada, saling berhadap-hadapan, bertemu, berkenalan, aktual dan memperkuat lapisan-lapisan hidup yang kita temukan.
Ketiga, adalah perspektif kesedarajatan. Tidak ada eksklusivitas. Tidak ada hubungan guru-murid yang memisahkan manusia satu dengan yang lainnya, sehingga masing-masing manusia mengalami hambatan psikis dalam membangun hubungan kreatif. Kesederajatan merupakan upaya untuk menghilangkan kesan keterpisahan satu sama lainnya. Di sini, juga terkandung realitas bahwa suatu karya seni akan merupakan suatu "kepengarangan bersama" antara publik dan kreatornya.
Menuju Perubahan
Akhirnya, saya membayangkan suatu perubahan. Sekarang, saya semakin sadar pula bahwa perubahan itu membawa konsekuensi yang tidak sedikit pada situasi mental yang macet. Ikatan-ikatan yang membuat manusia memasuki dunianya sendiri lewat prosedur yang retorik. Dalam kondisi inipun, say tak bermaksud untuk membuat suatu penggolongan maupun batasan-batasan, kelas-kelas baru yang mencoba untuk melakukan pengabsahan terhadap "seni eksperimen". Juga, tanpa maksud pula membangun legitimasi baru untuk perspektif yang memungkinkan seni eksperimen itu dipercayai sebagai gerakan pembaruan dalam kesenian. Bukan. Semoga penafsiran yang terlintas dalam diri kita masing-masing adalah sebuah upaya penjelasan. Kesenian yang kita tumbuh kembangkan disini-sekarang itu adalah wacana kontingensi untuk melihat hidup kita diantara hidup yang lain. Kita sendiri bisa menemukan wilayah yang ingin kita capai dalam sebuah kebersamaan yang tidak harus dalam langkah yang sama. Kita tidak harus saling bersetuju pada perbuatan kesenian yang kita jalani masing-masing. Tetapi, kita bersama-sama di sini, adalah untuk "membaca" kehidupan yang kita lalui, bukan saja sekedar berangkat dari daya tarik, tetapi lebih jauh melewati juga pemeriksaan, pertimbangan, dan persetujuan pada dunia kemungkinan yang setiap saat bisa mnyergap kehadiran diri kita masing-masing.
Dengan demikian pula, pemberontakan, kritik, dan perlawanan dalam tubuh modernisme, telah gagal dalam menjawab tantangan peradaban sekarang. Di sini, ada baiknya kita mengutip pernyataan Octavio Paz, bahwa "pemberontakan (telah) jadi prosedur, kritik jadi retorik, dan perlawanan jadi upacara". Kita memang berhadapan dengan variabel-variabel semu. Disinilah mistifikasi menjadi jalan dari pusat-pusat kesenian yang kemudian melahirkan relativitas yang harus dipahami bersama. Berbagai kegiatan eksperimentasi seni yang diselenggarakan oleh sejumlah pihak, sebut saja misalnya Taman Budaya Jawa Timur (11-16 September 1995), di Medan juga melakukan hal sama, begitu pula di Bandung (Forum Oktober 1994, "Dago Bengkok"), "Binal" di Yogyakarta, "Nur Gora Rupa" di Surakarta, "Seni anti-konsep" di Semarang, dan seni eksperimental di Denpasar (1994), menjadi salah satu bahan acuan yang memungkinkan kita pula untuk mengetahui sejauhmana kita mengetahui kerja seni yang kita percayai hidup bersamaan dengan pergolakan kehidupan yang terjadi di mana-mana. Kita, tentu tak pernah berniat untuk berhenti, hanya pada satu proyeksi yang kita sebut seni eksperimen(tal) itu.
Sekali lagi, hidup yang kita lewati dalam kesenian adalah perbuatan membaca segala yang kita hadapi, sambil mempercayai kehidupan yang lain juga. Kita, membangun keseimbangan dimensi manusiawi, maupun pemberdayaan diri kita terhadap signifikansi kemanusiaan kita, sekaligus menyadari kekayaan dan kemiskinan kita. Bukan saja dalam ketidakberdayaan yang menumpuk. Lebih jauh, keadaran pada kemampuan menstimulasi secara multidimensional terhadap setiap fenomena kehidupan yang kita hadapi masing. Kita berniat untuk melakukan perubahan, paling tidak dimuali dari diri kita sendiri.(Catatan: tulisan ini merupakan perluasan tulisan di Surabaya Post (Minggu, 17 September 1995, seni), dan makalah untuk yang disampaikan dalam "Pekan Seni Eksperimen 1995" di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, 11-16 September 1995)
seni experimental itu terdiri apa saja ya pak..dan seni experimental itu terfokus pada siapa...
BalasHapus