Autar Abdillah
Dalam sebuah surat pembaca di surat kabar harian terbitan ibukota, sepasang penari (couple dancers) dari Sukabumi, membantah sejumlah surat kabar di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, yang menyebut tariannya sebagai tarian bugil, dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai tarian porno. Sejumlah tokoh masyarakat pun menganggapnya sebagai kesenian yang merusak budaya bangsa, dan Yogyakarta sebagai kota pelajar dan budaya, telah "diselewengkan", karena tarian yang mereka lakukan berlangsung di salah satu hotel berbintang di Yogyakarta. Mereka --sepasang penari itu, menyebut tariannya sebagai magic dance. Dan, warna-warni di tubuh mereka yang terbuka itu, mereka namakan sebagai body painting.
Banyak teknik-teknik manipulasi, dan stilisasi untuk menggiring penonton dalam gairah erotis yang terjadi pada tarian itu. Hal ini mengingatkan kita pula pada penyanyi dangdut yang selalu hadir dalam acara tahunan selama satu bulan, yakni sekaten di alun-alun utara keraton Yogyakarta. Para penyanyi dangdut itu, bukan saja menyanyikan lagu yang penuh rangsangan penghambaan percintaan, tetapi juga meliuk-liukkan tubuhnya hingga samar-samar terlihat pakaian dalamnya. Begitu pula dengan gerak-gerak tubuh, dan pakaian menor yang mengundang birahi yang kita temukan dalam film-film Indonesia yang digandrungi masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah. Kita lihat saja dari judul-judulnya, seperti Gairah Malam, Tabu, dan sebagainya. Dan, karya fotografi dalam buku Syuga Dewi Soekarno yang ditolak pihak berwajib untuk diedarkan di Indonesia.
Untuk karya fotografi Syuga Dewi Soekarno, dan "magic dance" dari Sukabumi, penontonnya adalah masyarakat kalangan menengah atas, atau sebut saja kalangan berduit. tetapi, untuk film nasional dan penyanyi dangdut yang mengumbar nafsu seksual, sebaliknya. Cukup dengan uang recehan seribu lima ratus hingga lima ribu rupiah. Ujung-ujungnya, dari kehadiran seni yang dianggap di luar tata krama sosial itu adalah pelarangan, kecuali untuk film nasional.
Dalam pelanggaran "tata krama politik", pelarangan juga terjadi. Sebut saja misalnya, Drama Pak kanjeng Emha Ainun Nadjib, dan pameran instalasi untuk Marsinah di Surabaya. Dan, beberapa karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membicarakan semua pelarangan yang telah menjadi batu karang yang menjengkelkan. Tetapi, lebih jauh untuk melihat betapa semakin derasnya arus gerakan seni kita, sehingga menjadi begitu radikal, dan memiliki yang semakin abstrak. Tetapi, kehadirannya sangat nyata di tengah-tengah masyarakat, dan institusi resmi negara.
Gerakan Seni Kita
Gerakan seni di Indonesia, secara intrinsik didorong oleh kehendak untuk sejajar dengan seluruh aktivitas hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Lebih jauh, pada seluruh aktivitas kebudayaan yang membangun kesadaran penuh manusia. Upaya itu tidak sepenuhnya dapat berlangsung dengan wajar. Terutama, disebabkan oleh beban sosial maupun politis yang selalu mengiringi kehadiran seni dan senimannya. Di sini, terjadi perlawanan terus menerus. Sehingga, tak jarang kesenian lahir dari sejumlah bentuk perlawanan.
Perlawanan yang dilakukan oleh seni itu sendiri, membangun kesan bahwa kesenian merupakan wacana berpikir. Dan, untuk itu kesenian tidak hanya ditempatkan sebagai forum diskusi, tetapi juga sebagai peluang lahirnya manusia-manusia baru. Hal ini merupakan sisi penting bagi kesenian, karena tak begitu mudah menembus barikade kesimpangsiuran manusia yang memiliki beraneka ragam keinginan maupun sasaran hidup dalam kesenian yang ingin dicapainya. Yakni, pemikiran seni dari kehendak lahirnya manusia-manusia baru tersebut.
Dalam gerakan seni itu, sudah seharusnyalah bisa dilepaskan dari ikatan politis maupun sosialnya, agar otoritas yang lahir dari kesenian tersebut mampu memasuki wilayah interpretasi yang konstruktif dari masyarakatnya. Bila masih menguatnya ikatan atau beban yang diberikan pada muatan politis dan sosialnya, maka bukan tidak mungkin, kesenian itu hanya akan menjadi pemakluman yang menjemukan. Di sini, kita akan melihat peran yang ditumbuhkan kesenian itu masyarakatnya. Bukan dari institusi resmi negara yang dibangun untuk mewaspadai atau memata-matai gerak-gerik atau aktivitas, serta pemikiran masyarakat. Dan, bentuk perlawanan yang terjadi dalam kesenian pun dipandang dalam wilayah masyarakat yang menghidupkannya. Ia tidak serta merta diasumsikan sebagai destroyer. Apalagi dikhawatirkan sebagai pembawa nilai-nilai dan norma-norma negatif. Kita dapat melihat, betapa menguatnya arus kesadaran masyarakat untuk mampu memberikan pernyataan atas nama dirinya sendiri. Dan, hal ini akan berarti pula bahwa masyarakat dalam kesenian akan menolak atau menerima kehadiran kesenian itu sebagai bagian dalam aktivitas sehari-harinya.
Lebih jauh, kesenian dalam gerakan yang tumbuh dari evolusi yang wajar adalah terjadinya pembebasan pada masyarakat untuk membuat pilihan-pilihan yang mungkin bagi hidupnya sekarang dan di masa depan. Di sini pulalah tumbuh kewajaran radikalitas seni, tanpa harus dipaksakan menjadi kesenian yang bergerak dalam sejarah hidup manusia --yang sedang dan telah tumbuh dengan kewajaran pula. Betapapun kontradiktifnya kesenian tersebut di mata masyarakat kontemporernya, ia akan menjadi ritus yang tidak bisa tidak merupakan pengamalan masyarakat dari situasi kontemporernya.
Seni Ritual-Kontemporer
Satu kenyataan lagi dalam pertumbuhan ataupun sejumlah gerakan dalam seni kita adalah modernitas. Artinya, kesenian kita sekarang sedang menghadapi guncangan modernisasi. Di sini, juga terjadai pertentangan antara kalangan perguruan tinggi, dan seniman otodidak. Hal ini bukan hanya merupakan gejala klasik. Tetapi juga merupakan sebuah situasi yang membuat radikalitas seni dapat dibaca menjadi upaya penemuan yang sedang berlangsung tanpa henti.
Modernitas yang terjadi dalam kesenian, seiring dengan upaya melepaskan diri dari kekakuan-kekakuan yang ditimbulkan oleh peradabannya. Sehingga, tak jarang terjadi sikap primitif dianggap sebagai sudah melalui proses wajar dari upaya modernitas tersebut. Hal ini artinya bahwa seni lahir dari sejumlah kerancuan tolok ukur maupun akan aktualitas yang diinginkan oleh seniman dan masyarakatnya. Banyak upaya pencarian kita sekarang ini, ditujukan untuk melepaskan sakraliasi kehidupan dan seni, sering disebut sebagai desakraliasi seni. hal ini lebih merupakan upaya penemuan yang azasi dari seni tersebut ketimbang penemuan manusia yang memiliki kesadaran penuh berada dalam alam yang nyata bagi sikap dan perilakunya di dunia.
Seni, ketika menjadi bagian dari ritualitas hidup, maka ia akan menempatkan manusia berada dalam struktur hidup tersebut. Manusia tak akan dibebaskan untuk memasuki wilayah haram bagi sikap maupun ritus ritualnya. Namun demikian, bila ia dihadapkan pada situasi kontemporernya, maka di sini manusia diupayakan sebagai baru dan lahir. Artinya, manusia ditempatkan dalam wilayah yang gelisah, unik, dan eksotik, kognitif, dan penuh dengan keingintahuan.
Maka, seni ritual-kontemporer adalah pemaknaan, dan sublimasi dari suatu kepercayaan manusia akan keberadaan dirinya. Setuju atau tidak, dalam hal ini manusia dibawa ke alam bawah sadar yang terkadang membuat indeks pemikiran tak mampu menjawab, dan membahasakan kehadiran manusia beserta perangkat sikap dan lakunya.
Lalu, bagaimana dengan Seni Ritual-Kontemporer (Internasional) yang diselenggarakan di Taman Budaya Surakarta, 9-15 April 1994? Acara yang diberinama Nur Gora Rupa itu merupakan salah satu dari aktivitas seni kita yang berkecenderungan radikal dalam konteks penemuan-penemuan seni yang dilakukan. Setahun sebelumnya, penyelenggara kegiatan ini juga telah membuktikannya. Beberapa seniman dari dari sejumlah negara seperti Australia, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea, dan beberapa seniman Indonesia, seperti Ray Sahetapi, Slamet Abdul Sjukur, Yasudah, Yoseph Praba, Sutanto, Edi Hara, Bonyong, turut melibatkan sejumlah karyanya.
Surabaya Post, Minggu, 16 April 1994, seni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar