Autar Abdillah
Seni pertunjukan di Indonesia bukanlah barang baru yang sedang mengahadapi persaingan dengan percepatan teknologi sekarang ini. Namun demikian, seni pertunjukan kita itu, memang sedang tak enak badan dalam pertumbuhannya yang semakin menua, dan di satu sisi, ia sedang menghadapi situasi hidup berdampingan dengan berbagai perangkat pertunjukan "kemasan" melalui layar kaca, dan berbagai perangkat kemasan lainnya yang lebih mudah dimanfaatkan keberadaannya.
Begitulah, sebuah situasi yang kini menjadi perbincangan masyarakat seni pertunjukan kita. Bagaimana kita menghadapi seni pertunjukan yang menua, serta bagaimana pula pertumbuhan baru seni pertunjukan sekarang ini, dapat menjadi bagian dari pencitraan diri kita di tengah-tengah masyarakat dunia, dan di tengah situasi hidup berdampingan jagad seni pertunjukan itu sendiri.
Bagi masyarakat luas, keberadaan seni pertunjukan dipandang dari kesiapan seni pertunjukan itu melayani dirinya (masyarakat dengan segala kebutuhan, hasrat, dan keinginannya). Sehingga, seni pertunjukan merupakan produk siap pakai bagi konsumsi penonton. Tidak bisa tidak, seni pertunjukan diciptakan agar kebutuhan konsumen terpenuhi. Nafsu penonton juga dijaga, dan diawasi agar tidak kehilangan selera untuk tetap bertahan pada setiap penyajiannya.
Dan, disini pulalah, keberadaan sekolah-sekolah seni didirikan. Ini memang salah satunya. Tetapi, situasi ini semakin menyudutkan posisi sekolah seni untuk menempatkan diri di antara mediator penjelajahan, penelitian, dan penyerahannya pada masyarakat luas. Karena, bagaimanapun juga, sekolah seni diharuskan mampu membuktikan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk tetap memelihara "orisinalitas" seni itu sendiri di satu sisi, dan di sisi lain sebagai pembaharu untuk konsumsi masyarakat.
Sebuah perdebatan yang tak pernah usai. Lagi pula, memang terus akan menjadi perdebatan menarik. Mempertahankan "orisinalitas", dan berperan sebagai pembaharu. Dutambahkan lagi, bahwa posisi sekolah seni dalam memandang seni pertunjukan masih terlalu muda. Kita tak terlalu mudah untuk melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap kondisi seni pertunjukan kita sendiri. Sehingga, kita harus terbang ke negeri yang pernah menjajah negeri kita untuk mendapatkan informasi yang lebih tepat tentang posisi seni pertunjukan kita yang sesungguhnya.
Kajian dan Informasi
Menyadari akan posisi seni pertunjukan kita yang sedang "tak enak badan" itu, maka kita melihat berbagai kemungkinan untuk menempatkan seni pertunjukan dalam tatanan kehidupan masyarakat beserta aktivitasnya. Bagaimanapun juga, sebuah lembaga kajian tak pernah cukup untuk mengamati dan menyoroti peristiwa yang tumbuh, dan akan lahir di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Begitu pula dengan stasiun informasi yang didirikan, tak pernah bisa melengkapi keberadaan nyata dari gejolak yang sedang berlangsung. Maka, yang kita hadapi, tentu bukan hanya masyarakat dan jagad seni pertunjukan itu sendiri. Tapi juga ruang yang begitu luas dari setiap pertumbuhan dan kehendak untuk lahir dari manusia-manusia yang ada didalamnnya. Paling tidak, kita dapat melihat satu kekuatan yang dapat dihadirkan dari situasi yang kini kita hadapi.
Bila kita memang telah sepakat dengan situasi yang tumbuh dalam jagad seni pertunjukan dan masyarakat seperti yang disebutkan di atas. Maka, seni pertunjukan kita sekarang dapat diperseterukan dengan kondisi sosial, politik maupun kebudayaan dalam arti luas. Kondisi ini memberi isyarat yang dapat dijadikan masterplan, dengan tanpa menghilangkan persetubuhannya dengan realitas seni pertunjukan itu sendiri, tentunya.
Secara Sosiologis, kita sekarang berada dalam situasi masyarakat yang diperagakan sebagai "kapital-sosialis". Artinya, menguatnya sikap kapitalistik juga dibarengi oleh menggebu-gebunya sikap sosial atau semangat kesetiakawanan sosial yang dihembuskan melalui lembaga formal di jalur pemerintahan negara. Hingga kini, kekuatan kapitalistik atau identik dengan kekuasaan yang menguasai seluruh kebijakan politik warga negara itu memang masih demikian kuatnya, dan belum memberikan imbangan atau mendekati daya juang dari semangat sosial yang ada. Sehingga, masyarakat di usung untuk bersama-sama berjuang dalam situasi yang memperdulikan modal, ekonomi, dan pasar (market).
Dalam tatanan politik, belum ditemukan peluang bagi masyarakat (juga masyarakat seni pertunjukan), untuk berbuat lebih banyak dalam arus aktualitas dirinya. Di sini, kekuasaan negara, meskipun bersifat terbuka, tetapi bukan berarti tidak mengikat. Ada arus politik yang harus dipentingkan demi terselenggaranya hidup bersama yang tenteram dan aman. Hal ini terutama dipusatkan pada tatanan dunia kekuasaan yang "menunggalkan diri", bukan manunggal dalam segenap kepercayaan yang bisa "diluluh-lantakkan" pada masyarakat itu sendiri. Kekuasaan begitu besar peluangnya dalam menentukan segala kemungkina yang bisa dilahirkan masyarakat melalui kesenian, seperti penentuan cerita-cerita yang boleh ditampilkan hingga warna-warna yang bisa hadir dalam satu pergelaran pertunjukan. Dan, inilah identitas Orde Baru yang kemudian turut memperlemah kinerja seni pertunjukan di satu sisi.
Sedangkan pemikiran kebudayaan kita berada dalam era transisi. Artinya, sebuah arus kebimbangan yang tak pernah putus untuk menempatkan wilayah yang tegas. Semacam upaya pencarian dalam totalitas pertumbuhan aktivitas masyarakat yang pluralistik. Ada juga semacam kecemasan yang bersumber dari tidak kokohnya pendirian kita terhadap lintas kultural yang kita miliki. Kita masih menyangsikan situasi ironis masa lalu dalam situasi kompleks masa kini --yang telah mengalami perubahan besar, dan bahkan mendasar.
Dari gambaran-gambaran yang ada dalam diri kita sekarang ini, masyarakat hampir tak bisa memilih di satu sisi, dan masyarakat juga dihadapkan pada dorongan memuaskan diri di sisi lain. Di sini, pertumbuhan seni pertunjukan mengalami kekalahan atau telah dikalahkan. Di sini pula, masyarakat tak dapat menunjukkan wajahnya sendiri dalam konstelasi sikap dan perilaku yang tumbuh dan lahir sekarang. Yang kemudian tampak di permukaan adalah persetujuan-persetujuan gelap di ruang-ruang pengap, dan hampa udara.
Lalu, bagaimana dengan kajian dan informasi kita terhadap seni pertunjukan? Seiring dengan kebisuan dan tercerabutnya loyalitas pada diri sendiri, pada sebagian besar tata cara hidup kita, maka kajian dan informasi kita hanya diperuntukkan bagi sebuah arsip untuk masa yang akan datang. Entah kapan... Dan, kita terus menerus kehilangan energi untuk menyatakan seni pertunjukan sebagai bagian penting dalm kehidupan manusia atau individu, maupun masyarakatnya.
Barangkali, setumpuk harapan masih bisa kita lakukan. Upaya penemuan sejumlah kemungkinan dapat dikerjakan. Meskipun bukan untuk kita selenggarakan dalam kondisi saat ini, namun kita masih bisa meyakinkan diri kita akan bisa berbuat dalam ruang yang jauh di depan. Hal ini bukan berarti kita menutup mata-telinga kita terhadap realitas saat ini. Tetapi, tentu lebih sebagai bangunan yang kian memperkokoh dan mutasi bagi kolom perjalanan yang tidak kita sangsikan lagi kan ditempuh juga, meskipun berada di jauh di sana, di seberang sana.
Tentu, "sikap kalah sebelum berperang", bukan pilihan yang bijak. Dan, meraba ke depan dengan sistem mikroskopik yang usang, bukan jalan yang mulus. Tapi, kita memiliki segala yang kita butuhkan dengan sejumlah pandangan yang berakar dari kesemarakan yang digelorakan oleh situasi hidup itu sendiri. Bukan oleh situasi yang memendam perasaan, sehingga terbenam membusuk dalam kenyataan yang terus menjelajahi alam lahir dan batin kita.Pertemuan-pertemuan, festival maupun diskusi seni pertunjukan kita, barangkali menjadi bekal untuk ke depan. Dalam latar dan dataran penyelenggaraan seni pertunjukan kita sekarang merupakan ritus pembukaan sebuah dunia baru yang harus kita hadapi. paling tidak, ia merupakan bagian dari persembahan diri kita terhadap loyalitas masyarakat terhadap segala pertumbuhan dan kelahiran seni pertunjukan kita. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar